Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208929 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lestari Nurhajati
"Kekerasan demi kekerasan atas nama agama makin sering terjadi di Indonesia, terutama dilakukan oleh kelompok Islam garis keras dan radikal.Nilai kemanusiaan dan demokrasi pun seolah diterabas dengan bebasnya, padahal selama ini masyarakat Indonesia selalu berbangga diri sebagai negara demokratis dengan jumlah penduduk sangat besar.
Pergulatan atas nama agama yang dipertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kemudian pun menghadirkan sebuah permasalahan tersendiri yakni: bagaimana wacana demokrasi dalam public sphere komunikasi politik di organisasi Islam di Indonesia? Bagaimana menjelaskan kemungkinan adanya nilai-nilai demokrasi dalam masing-masing organisasi Islam di Indonesia, dengan konsep, pemikiran, dan bahasa yang digunakan oleh masing-masing organisasi Islam tersebut.
Habermas mengatakan bahwa dengan komunikasi yang emansipatoris maka komunikasiyang ideal akan tercapai. Tindakan komunikatif, yakni saling berdiskusi, memberi keyakinan dengan bebas tanpa tekanan dari pihak manapun, tanpa ada pemaksaan kehendak, dan tanpa kekerasan, akan menciptakan ruang publik (public sphere) yang kondusif, sebagai cikal bakal dari demokrasi yang memiliki kandungan nilai otonomi dan kebebasan. Hal ini seharusnya berlaku di Indonesia, namun yang yang terjadi sebaliknya, masih banyak kekerasan atas nama ideologi dan agama, di negara yang dianggap sudah demokratis ini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma kritis konstruktifis, dengan teknik wawancara mendalam pada beberapa informan yang mewakili organisasi-organisasi Islam di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, HTI dan FPI. Penelitian ini pada akhirnya menunjukkan degradasi keragaman wacana demokrasi yang ada ada di berbagai kelompok Islam di Indonesia. Meskipun wacana demokrasi sudah sangat berkembang di berbagai organisasi Islam tersebut, namun public sphere komunikasi politik yang sudah mulai dibangun dan diharapkan berjalan oleh berbagai organisasi tersebut tidak sepenuhnya berhasil.

Violence in the name of religion increasingly frequent in Indonesia, mainly carried out by Islamic hardliners and radical. The humanity values and democracy was passed freely, although the people of Indonesia has always pride itself as a democratic state with a very large number of people.
Struggling comparasion in the name of religion with democratic values, which brings its own problems: how democratic discourse in the public sphere of political communication in the organization of Islam in Indonesia? How to explain the possibility of democratic values within each Islamic organization in Indonesia.
Habermas says that emancipatory communication could be achied of ideal communication. Communicative action, namely mutual discussions, give faith freely without pressure from any party, without any coercion of the will, and without violence, would create a public space (public sphere) are conducive, as a forerunner of democracy that contains the value of autonomy and freedom.
This study used a qualitative method with the critical constructivism paradigm, with in-depth interview technique on several informants who represent Islamic organizations in Indonesia, such as NU, Muhammadiyah, HTI and FPI. This study shows the diversity of democratic discourse in the various Islamic groups in Indonesia. Although the discourse of democracy is highly developed, but the public sphere of political communication that has begun to be built and are expected to run by various Islamic organizations, not entirely successful."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1907
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karman
"Indonesia sebagai negara demokrasi harus melaksanakan sistem dan nilai-nilai demokrasi. Implementasi demokrasi ini mendapat tantangan sebagian umat Islam (kelompok fundamentalis). Studi literatur menunjukkan bahwa hubungan demokrasi dan Islam lebih banyak disorot dari sisi politik dan pada tataran prosedural (pemilihan umum). Peneliti terjebak cara berfikir oposisi biner: Islam moderat versus fundamentalisme. Artikel ini membahas konstruksi wacana nilai-nilai demokrasi oleh kelompok Islam fundamentalis di media online. Kelompok Islam fundamentalis yang dimaksud adalah JAT, MMI, dan HTI. Aspek yang dikaji adalah konstruksi kelompok Islam fundamentalis terhadap pemilihan umum, HAM, kebebasan beragama, kelompok minoritas, kebebasan berekspresi. Penelitian ini menggunakan perspektif Teori Konstruksi Realitas Sosial dan model analisis wacana Theo Van Leeuwen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penolakan mereka terhadap demokrasi sebatas pemilihan umum. Mereka menerima nilai-nilai demokrasi berupa HAM, kelompok minoritas, dan kebebasan berekspresi. Mereka cenderung menolak kebebasan beragama. Penerimaan mereka terhadap nilai-nilai demokrasi tersebut harus dipahami dalam konteks bisa didamaikan dengan nilai-nilai Islam. Kelompok Islam fundamentalis melakukan adaptasi, reinterpretasi, kontekstualisasi nilai-nilai demokrasi sesuai dengan aspirasi Islam. Media online adalah sarana efektif untuk mendiseminasikan gagasan mereka. Kajian selanjutnya dianjurkan untuk memperdalam fenomena fundamentalisme ini pada aspek pemaknaan, pengalaman, atau dialektika mereka sebagai agen/struktur.

Indonesia -as a democratic country- implement system and democratic values. In the democracy implementation, Indonesia get a challange from Islam-based fundamentalism movement. Literature study shows that relation democracy and Islam focus more on political facet and procedural democracy (general election). Researchers get tied by binnary-opposition way of thinking: moderat Islam versus fundamentalism. This article deals with Islam-based fundamentalist-group’s construction on democratic-value discourse in online media. Those groups are JAT, MMI, dan HTI. We focus on Islam-based fundamentalist group’s construction on general election, human rights, freedom of faith, minority group, freedom of expression. This research harnesses social construction perspective theory and discourse analysis model of Theo Van Leeuwen.
The result shows that their repudiation against democracy only in general election meaning. They accept democratic values : human rights, minority group, freedom of expression but they tend to disagree to freedom of faith. Hence, their democratic-value acquiescence can be only undertood in the context of Islamic value. Islam-based fundamentalist-groups make adaptation, reinterpretation, contextualization of the democratic values in compliance with Islam aspiration. Online Media (internet) is an effective vehicle to spread out fundamentalist’s thought. further researces should investigate this fundamentalism phenomenon from the aspect of their reception, experience, or dialectic as agent/structure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karman
"Indonesia adalah negara yang demokratis. Oleh karena itu, Indonesia menyelenggarakan proses pemilihan umum sejak 1955 dan kemudian dilaksanakan secara periodik dengan keragaman kultur melahirkan sikap yang beragam pula terhadap demokrasi, salah satuny adalah ekspresi penolakan terhadap demokrasi. Kelompok yang gencar melakukan penolakan demokrasi adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Penolakan terhadap demokrasi diartikulasikan melalui media online. Tulisan ini berusaha menemukan frame-frame yang muncul di situs HTI terkait dengan diskursus demokrasi. Metode penelitian ini adalah analisis isi kualitatif pada konsep agenda setting theory. Dalam mencari berita, penelitian ini menggunakan kata-kata kunci: 'pemilihan umum", "demokrasi". Hasil penelitian menemukan 4 (empat) frame utama situs HTI, yaitu(1) frame demokrasi sebagai alat penjajagan kapitalisme dan kolonialisme; (2) frame pemerintah Indonesia sebagai anak penjajah (3) frame demokrasi sebagai tameng orang nonmuslim; (4) frame demokrasi sebagai sistem yang menyengsarakan rakyat. Dalam penelitian ini tidak dikaji topik-topik yang sebenernya menarik, namun karena keterbatasan metode yang digunakan, ini tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, untuk kajian selanjutnya perlu dilakukan pendalaman mengenai masalah ini. Cakupan juga tidak hanya dibatasi pada HTI tapi organisasi lain."
Jakarta: Badan penelitian dan pengembangan sumber daya manusia kementrian komunikasi dan informatika, 2015
384 JPPKI 6:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Julianto
"Kendati rokok dan merokok adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius di dunia dan di Indonesia, namun sejatinya yang lebih utama adalah masalah pertarungan ekonomi politik yang bertali-temali dengan komunikasi dan media. Isu rokok telah membelah Indonesia dalam dua kubu, yaitu yang pro dan kontra terhadap regulasi terhadap komoditas yang adiktif dan membahayakan kesehatan ini.
Selama ini Indonesia tergolong dalam salah satu negara yang paling lemah dalam meregulasi tembakau dan rokok. Regulasi terhadap tembakau/rokok membutuhkan kemauan politik yang kuat, karena walaupun Konstitusi mengamanatkan negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi kelangsungan hidup warganya namun harus berhadapan dengan pragmatisme ekonomi politik yang berujung pada mesranya penyelenggara negara dengan industri rokok.
Argumen perlindungan kesehatan masyarakat dibenturkan dengan argumen ekonomi, karena dikontruksikan bahwa tembakau dan rokok adalah komoditas yang berjasa menyumbang cukai puluhan triliun rupiah serta menyangkut mata pencaharian jutaan petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Padahal tembakau dan rokok yang berisfat adiktif dan membahayakan kesehatan walaupun legal namun tidak normal.
Kesadaran palsu dan mitos-mitos seputar tembakau dan rokok berkelindan dengan hegemoni oleh pemilik industri rokok . yang menampilkan diri sebagai dermawan dan warga negara yang baik lewat iklan, promosi dan sponsor yang massif. Akibatnya jumlah perokok di Indonesia terus meningkat menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Dua dari tiga pria dewasa menjadi perokok. Industri rokok juga secara sistematik menjerat perokok-perokok di bawah umur. Semuanya ini menimbulkan dampak kesehatan yang amat dahsyat berupa kematian prematur lebih dari 200.000 jiwa per tahun, di antaranya 25.000 perokok pasif yang terutama di kalangan kaum perempuan dan anak-anak.
Penelitian ini mencoba membedah kontestasi wacana pro-kontra regulasi rokok di ruang publik media massa dan media sosial yang terdistorsi oleh aneka trik interferensi atau gangguan yang dilakukan industri rokok. Peneliti mencoba memadukan Teori Diskursus dan Ruang Publik Habermas, Teori Hegemoni Gramsci, dan Teori Habitus Bourdieu.

Eventhough cigarettes and smoking are serious public health problem in the world as well as in Indonesia, acatually it is more prominently a political economy contestation that intertwine with communication and the media. The issue of tobacco that has divided Indonesia into two sides, namely the pros and the contras towards regulation of this addictive and hazardous commodity.
So far Indonesia is considered as one of few countries that poorly regulate tobacco and cigarettes. Regulating tobacco/cigarettes needs a strong political will, since the Constitution entrusted that the State should nurture the Nation and protect the sustainabable life of its people, while on the other hand it has to confront with political economic pragmatism of tobacco-industrioState complex.
The arguments of public health protection is colliding with economic arguments, since it has been constructed that tobacco and cigarettes are commodities that collect trillions of Rupiah excise tax and considered as the life and blood of several million tobacco farmers and cigarette company workers. Eventhough tobacco and cigarettes are addictive and hazardous to health, they are legal yet abnormal.
False consciousness and myths that surround tobacco and cigarettes intertwining with the hegemony mastered by the owners of cigarettes companies who perform as philanthropists and good citizens through their massive tobacco advertising, promotion and sponsorship. Consequently the number of smokers in Indonesia is continuosly increasing and become the third highest after China and India. Two out of three adult males are smokers. The cigarettes companies are systematically entrap under age smokers. Due to this situation, a horrifying health impact implies with the premature deaths of more than 200,000 lives every year, including passive smokers, mostly among women and children.
This research is trying to analyze the discourse contestation of pro and contra towards tobacco regulation in the public sphere of mass media and social media that are distorted by many sly interferences practiced by the cigarette companies. The researcher is trying to synthesize Habermas’s Discourse and Public Sphere theories, Gramsci’s theory of Hegemony, and Bourdieu's concept of Habitus.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1952
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chory Angela Wijayanti
"Tesis ini membahas kontruksi realitas sosial penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak di Surabaya, melalui program talk show Primetime News di Metro TV, serta peran media massa sebagai ruang publik ideal pada realitas sosial berpotensi konflik tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan paradigma kritis, yang menggunakan metode analisis wacana kritis milik Norman Fairclough.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media membentuk representasi, relasi, dan identitas pihak-pihak yang terlibat dalam wacana. Selain itu, pekerja media, rutinitas media, organisasi media, dan extra media menjadi faktor yang mempengaruhi kontruksi realitas sosial.
Temuan lain adalah adanya pengaruh keberadaan waktu prime time dalam industri televisi, serta munculnya dehumanisasi dalam peliputan terkait prostitusi. Program ini menjadi upaya Metro TV dalam menciptakan ruang publik sebagai media untuk diskursif inklusif, untuk mencegah terjadinya konflik. Meski demikian, faktor ekonomi menjadi penghalang untuk membentuk ruang publik dengan kondisi yang ideal.

This thesis discusses construction of social reality, the closing of localozation "Dolly and Jarak" in Surabaya, through a talk show program "Primetime News" on Metro TV, as well as the role of mass media as an ideal public sphere related to that social reality potential conflict. This study is a qualitative research with a critical paradigm, which uses Norman Fairclough’s critical discourse analysis method.
The results showed that the media shape representations, relationships, and the identity of the parties involved in the discourse. In addition, media workers, media routines, media organizations, and extra-media are the factors that affect the construction of social reality.
Other findings, there is the influence of the existence of a prime time in the television industry, and the emergence of dehumanization in prostitution-related reporting. This program is a Metro TV efforts in creating a public space as a medium for discursive inclusive, to prevent conflict. However, economic factors become a barrier to form a public space with ideal conditions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gisela Dwi Christina
"Skripsi ini membahas konsep Politik Perbedaan Iris Marion Young sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal untuk mewujudkan keadilan sosial dalam keadaan heterogentitas masyarakat. Demokrasi liberal dalam kerangka universalitas humanisme mengkonsepsikan dunia politik terbatas dalam pembahasan hal publik. Sayangnya, karakteristik publik dalam politik dikonstitusi seturut budaya kelompok dominan. Akibatnya, pengalaman ketidakadilan yang nyata secara sosio-historis namun hanya dialami oleh grup sosial minoritas tidak dapat diangkat dalam perbincangan politik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain argumentatif terhadap keterbatasan konsep publik tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa pengalaman ketidakadilan tersebut membutuhkan rekognisi oleh negara dalam kerangka Politik Perbedaan agar dapat dientaskan melalui differentiated citizenship.

The focus of this study is Iris Marion Young’s concept of Politics of Difference as an alternative to liberal democracy in order to establish justice in a heterogenic society. Liberal democracy in accordance to universal humanism defines that only public things matter in political discussion. Unfortunately, the public things characteristics are constituted by the dominant social group. This cause the tangible injustice experiences of the minorities can’t be discussed in political realm. This research is qualitative argumentative to confront the narrow conception of public. This research shows that minorities’ injustice experiences need to be recognized by the government in accordance to Politics of Difference to be solved through differentiated citizenship."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S52948
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Sirulhaq
"Sebagai fenomena politik global, kajian ujaran kebencian sudah banyak dieksplorasi oleh para peneliti terdahulu, tetapi sebagai fenomena kognitif yang terkait dengan ideologi, kajian ujaran kebencian masih sangat terbatas. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, ekspresi ujaran kebencian kerap kali ditemukan, terutama yang disampaikan oleh para elite simbolik. Namun, di Indonesia, hampir tidak ada kajian yang menghubungkan ujaran-ujaran tersebut dengan ideologi kelompok politik tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan dimensi ideologis ujaran kebencian dalam wacana politik di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Data diambil dari ujaran kebencian yang diucapkan oleh enam elite simbolik di Indonesia, yang dipadukan dengan data konteks sosial-politik ujaran tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kajian wacana kritis (KWK) sosiokognitif model van Dijk, penelitian ini memperlihatkan bahwa ujaran-ujaran kebencian yang diekspresikan oleh elite-elite simbolik mengandung proposisi makro yang berhubungan dengan model konteks politik dalam wacana politik di Indonesia. Di samping itu, proposisi-proposisi ideologis tersebut memiliki basis kognitif dalam representasi sosial masyarakat indonesia, yang muncul ke permukaan karena didorong oleh faktor politik. Hal ini membentuk model-mental situasi politik Indonesia, terutama terkait dengan polarisasi kelompok prooposisi dan propemerintah, termasuk aktor, aksi, dan relasi di dalamnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ujaran kebencian dalam wacana politik di Indonesia memperlihatkan adanya relasi antara struktur dan makna ujaran kebencian dengan kognisi sosial-politik di Indonesia yang mengarah pada polarisasi berdasarkan dimensi ideologis yang direproduksi oleh kelompok Kami dan Mereka. Secara teoretis, penelitian ini merupakan terobosan baru terkait dengan cara memahami sikap kelompok berdasarkan keberpihakan politik (propemerintah dan prooposisi) yang tidak disinggung dalam teori ideologi van Dijk. Sumbangan teoretis lain yang dapat diberikan penelitian ini adalah kontribusi pada pengembangan disiplin ilmu linguistik forensik, terutama terkait dengan konsep ujaran kebencian dan bagaimana ujaran kebencian tersebut harus ditafsirkan dengan pendekatan sosiokognitif. Hal ini bersandar pada konsep bahwa ujaran kebencian adalah fenomena ideologis, sementara ideologi adalah parameter kognitif yang paling signifikan yang mengontrol sikap dan tindakan aktor dalam suatu kelompok. Selebihnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berharga untuk memahami situasi politik di Indonesia belakangan ini dalam upaya untuk terus mengasah sikap kritis dan mendorong adanya sistem yang mendasar untuk melakukan perubahan sosial.

As a global political phenomenon, the study of hate speech has been widely explored by previous researchers, but as a cognitive phenomenon related to ideology, the study of hate speech is still very limited. During President Joko Widodo's administration, expressions of hate speech were often found, especially those conveyed by symbolic elites. However, in Indonesia, there are almost no studies that link these utterances to the ideology of certain political groups. Therefore, this research aims to discover the ideological dimensions of hate speech in political discourse in Indonesia during the administration of President Joko Widodo. Data was taken from hate speech uttered by six symbolic elites in Indonesia, which was combined with data on the socio-political context of the speech. By using the van Dijk model of the sociocognitive critical discourse study (CDA) approach, this research shows that hate speech expressed by symbolic elites contains macro propositions related to the political context model in political discourse in Indonesia. Apart from that, these ideological propositions have a cognitive basis in the social representation of Indonesian society, which emerges to the surface because political factors drive it. This forms a mental model of the Indonesian political situation, especially related to the polarization of pro-opposition and pro-government groups, including actors, actions and relations within them. Thus, it can be concluded that during the administration of President Joko Widodo, hate speech in political discourse in Indonesia showed a relationship between the structure and meaning of hate speech and socio-political cognition in Indonesia, leading to polarization based on the ideological dimensions reproduced by the group of We and They. Theoretically, this research is a new breakthrough regarding how to understand group attitudes based on political alignments (pro-government and pro-opposition), which are not mentioned in van Dijk's ideological theory. Another theoretical contribution that this research can make is a contribution to the development of the discipline of forensic linguistics, especially related to the concept of hate speech and how hate speech should be interpreted using a sociocognitive approach. This relies on the concept that hate speech is an ideological phenomenon, while ideology is the most significant cognitive parameter that controls the attitudes and actions of actors in a group. Furthermore, it is hoped that this research can provide a valuable contribution to understanding the recent political situation in Indonesia in an effort to continue to hone critical attitudes and encourage the existence of a fundamental system for carrying out social change."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gibraltar Andibya Muhammad
"Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (Brexit) menjadi salah satu kasus dari rentetan gelombang populisme global yang banyak dikaji oleh akademisi lintas disiplin, terutama ilmu sosial, politik dan budaya. Bila ditelaah melalui perspektif Ilmu Hubungan Internasional, Brexit menjadi salah satu studi kasus yang berhasil menunjukkan signifikansi berbagai bentuk wacana politik identitas dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Merujuk pada gambaran besar tersebut, penelitian ini bertujuan untuk meninjau literatur-literatur akademik yang membahas mengenai wacana politik identitas dalam Brexit. Adapun jenis literatur yang digunakan berupa berupa berupa artikel jurnal, buku dan bab dalam buku akademik. Tulisan ini adalah tinjauan literatur akademik yang menggunakan metode pengorganisasian taksonomi dengan cakupan 33 literatur akademik terakreditasi yang dikelompokkan ke dalam empat tema besar, yakni (1) Tinjauan Historis Hubungan Britania Raya dengan Eropa, (2) Aktor yang Berperan dalam Reproduksi Wacana Politik Identitas, (3) Ragam Bentuk Wacana Politik Identitas yang Muncul, dan (4) Interseksi Wacana Politik Identitas dengan Faktor Sosio-Ekonomi. Penulis menemukan bahwa faktor historis dan kejayaan masa lalu membuat independensi dan kepemimpinan yang kuat menjadi satu identitas yang berupaya dipertahankan dan Brexit merupakan upaya Britania Raya untuk dapat keluar dari tekanan Uni Eropa yang dianggap membahayakan dua hal tersebut. Pada akhirnya tulisan ini melahirkan sebuah kesimpulan, yakni ragam wacana politik identitas yang terus berkembang nantinya sangat didorong oleh kompleksitas domestik sebagai hasil dari interaksi antara aktor di tingkat elit dan di tingkat publik dalam menginterpretasikan tekanan di tingkat internasional. Kuatnya nuansa historis dalam mendorong praktik politik identitas dalam Brexit pada akhirnya membuat Brexit menjadi satu manifestasi tersendiri di mana faktor identitas mampu melampaui perhitungan rasional, terutama dalam aspek ekonomi.

The exit of the United Kingdom from the European Union (Brexit) is one of the cases of a series of waves of global populism which has been widely studied by academics across disciplines, especially social, political and cultural sciences. When examined through the perspective of International Relations, Brexit is one of the case studies that successfully demonstrates the significance of various forms of identity political discourse in influencing a country's foreign policy. Referring to this big picture, this study aims to review academic literature that discusses the discourse of identity politics in Brexit. The type of literature used is in the form of journal articles, books and chapters in academic books. This paper is a review of academic literature that uses a taxonomic organization method covering 33 accredited academic literature which are grouped into four major themes, namely (1) Historical Review of the Relations between Great Britain and Europe, (2) Actors Playing a Role in the Reproduction of Identity Political Discourse, (3) Various Forms of Identity Political Discourse Appears, and (4) Intersection of Identity Political Discourse with Socio-Economic Factors. The author finds that historical factors and past glories have made the identity as a nation with independence and strong leadership is necessary to be maintained. Brexit is an attempt by the United Kingdom to get out of European Union pressure which is considered dangerous to these two elements. In the end, this paper gives birth to a conclusion, namely that the variety of identity politics discourse that continues to develop are strongly driven by domestic complexities as a result of interactions between actors at the elite level and at the public level in interpreting pressures at the international level. The strong historical overtones in encouraging the practice of identity politics in Brexit ultimately emphasize Brexit as a manifestation in which the identity factor was able to go beyond rational calculations, especially in the economic aspect."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>