Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187709 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Siwi Agustiningsih
"Penelitian ini akan membahas pengelolaan risiko atas permasalahan dalam operasional jaringan irigasi yang dapat dijadikan indikasi atas rendahnya pengelolaan jaringan irigasi seperti kedisiplinan menjaga pola operasi tinggi bukaan pintu dan permasalahan lainnya yang dapat dijadikan indikasi atas rendahnya pengelolaan jaringan irigasi yaitu kondisi fisik jaringan yang disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan terhadap jaringan irigasi.
Pengelolaan risiko dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilakukan dengan tahapan antara lain identifikasi, analisa, respon dan monitoring kontrol risiko, sehingga didapatkan pengelolaan irigasi yang baik. Dimana dengan pengelolaan jaringan irigasi yang baik maka akan dapat meningkatkan kinerja jaringan irigasi dalam meningkatkan nilai manfaat dan pelayanan irigasi yang optimal.
Analisa data akan diolah menggunakan AHP (Analitycal Hierarchy Process) dan analisa level risiko untuk mendapatkan faktor risiko yang dominan dan signifikan. Faktor risiko dominan ini yang kemudian dilakukan validasi untuk mengetahui tindakan atau respon serta rekomendasi tindakan untuk koreksi dan pencegahan yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja jaringan irigasi.

This research will discuss a risk management on issues inside the irrigation network operation that can be used as an indication for lack of irrigation network management such as self-discipline to maintain operation of door height openings and other problems that can be used as an indication of poor irrigation network management which is the physical network condition that caused by lack of maintenance to the irrigation network.
Risk management in operations and maintenance of irrigation networks conducted in stages, such as the identification, analysis, response and monitoring of risk control, so it get a good irrigation management. Where in a good irrigation network management it will able to improve the irrigation network performance which the increase the benefits value and optimize the the irrigation services.
Data analysis is processed using AHP (Analytical Hierarchy Process) and risk level analysis used to get dominant and significant risk factors. The dominant risk factor which then validated to determine the action or response, and recommendations for corrective and preventive actions are required to improve the irrigation network performance.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T42603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfina Rozita
"Irigasi penting untuk kegiatan pertanian karena mendistribusikan air ke daerah irigasi dan menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman. Kegiatan irigasi mendapatkan air dari curah hujan dan sangat tergantung pada beberapa parameter iklim seperti suhu, kelembaban, lama radiasi dan kecepatan angin. Parameter iklim tersebut penting untuk pertanian karena dapat mempengaruhi tingkat evapotranspirasi yang akan menentukan tingkat kebutuhan air irigasi (IWR). Di sisi lain, berkurangnya area pertanian karena adanya konversi lahan pertanian secara bertahap akan mengurangi area layanan irigasi terutama di daerah perkotaan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak dari parameter iklim dan konversi lahan pertanian terhadap IWR. Kecenderungan parameter iklim dianalisis oleh Mann Kendal Test menggunakan seri data iklim 30 tahun. Dan konversi lahan pertanian dianalisis dengan metode analisis spasial menggunakan data citra satelit. Evaluasi IWR dihitung dengan metode KP 01. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh konversi lahan pertanian lebih signifikan mempengaruhi IWR dari pada pengaruh parameter iklim.

Irrigation is important for agricultural activity because it distributes water into irrigation area and provides water for crop growth. Irrigation activity gets water from rainfall and it is very depending on several climate variables for example temperature, humidity, duration of radiation and wind velocity. The climatic variables are important for agriculture since they affect the evapotranspiration rate that it will determine irrigation water requirement (IWR) rate. On the other hand, decreasing of agriculture area as the agricultural land conversion gradually will reduce irrigation service area particularly in the fast-growth area in development. The purpose of this study is analyzing the impact of climate parameters and agriculture land conversion on  IWR. The trend of climate parameters is analyzed by Mann Kendal Test using the 30 years of climatic data series. And the agriculture land conversion is analyzed by spatial analysis method using satellite imagery data. IWR evaluation is calculated by KP 01 method. The evaluation results indicated that the impact agricultural land conversion  significantly affects IWR rather than the climate parameters."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T52360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnayetti
"Pengelolaan sistem irigasi merupakan kegiatan yang demildan luasnya, dimana menyangkut bangunan fisik yang komplek; dan kelompok manusia, pada dasamya sangat tergantung pada keijasama. Tugas-tugas penting dalam irigasi seperti memperoleh, mengalokasikan, dan mendistribusikan air, porsi kegiatannya setara antara sosial dan teknis, jadi mengelola irigasi adalah domain yang tepat untuk menguji kapital sosial (Uphoff, 2000; 2002).
Sistem irigasi Bandar Halim semenjak dibangun kembali oleh pemerintah memiliki dualisme pengelolaan antara pemerintah dan petani. Pengelolaan oleh pemerintah mulai dari bendung sampai saluran utama sedangkan petani pada saluran tertier dan lahan usaha tani. Hal ini membawa permasalahan tersendiri karena dengan masuknya pemerintah, jaringan keija dan kesepakatan-kesepakatan antar individu petani menjadi terpecah-pecah ke kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini dampak dari pelaksanaan program secara sentralistik. Walaupun begitu petani tetap eksis menyelenggarakan pengelolaan irigasi untuk menunjang perekonomian mereka, dengan memfungsikan sistem julo-julo sebagai kapital sosial tradisional masyarakat. Untuk itu dilaksanakan Studi tentang praktik pengelolaan irigasi masyarakat guna mencari peluang pelaksanaan sinerjistik komplementer antara pemerintah dan petani untuk direkomendasikan.
Untuk menemukan jawaban, data dikumpulkan melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, dan wawancara mendalam terhadap inforrnan-informan kunci yaitu: pejabat irigasi mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, wilayah, dan petugas lapangan, serta pengurus organisasi P3A dan petani. Kcmudian aparat penyuluh pertanian lapangan (PPL), aparat Nagari, pemuka masyarakat, dan masyarakat biasa, data dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan bahwa sistem julo-julo merupakan kapital sosial yang handal dalam praktik pengelolaan irigasi di tingkat petani. Sebab sistem ini kaya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diperlukan dalam pengelolaan suatu sistem irigasi, yang diturunkan dari tradisi adat dan merupakan pandangan hidup rnasyarakat. Nilai persamaan dan kebersamaan yang melahirkan norma-norma keadilan, tanggung jawab dan solidariras, yang dimanifestasikan dalam pola awak sumo awak dan Iamak dek awak katuju dak urang, memfasilitasi pelaksanaan semua tugas-tugas panting irigasi seperti perolehan air, alokasi air, pemeliharaan, mobilisasi sumberdaya dan manajemen, serta resolusi konflik. Dari nilai-nilai tadi muncul rasa saling percaya dan solidaritas yang tinggi dan mampu memunculkan kesadaran kelompok individu, hal inilah penyebab eksistensi irigasi di tingiat petani sampai sekarang untuk menunjang perekonomian mereka.
Sementara itu di daerah wewenang pemerintah, pelalusanaan berdasarkan prosedur umum dari atas ditambah dengan keterbatasan jumlah petugas lapangan dibanding luas wilayah kerja, serta berlapisnya birokrasi pembina irigasi, kesemuanya berdampak pada kurang intensnya interaksi dan kornunikasi yang merupakan faktor penting dalam pembangunan relasi. Terutama sekali di batas wilayah wewenang pemerintah dan petani (daerah pintu bagi tertier), pelaksanaan berjalan tidak menurut prosedur dan tanpa kesepakatan yang jelas antara pctugas dan petani, Serta tidak ada kontrol dan sanksi bagi yang melanggar aturan. Semuanya itu berdampak pada cepatnya laju penurunan kondisi fisik.
Keunggulan konsep kapilal sosial julo-julo adalah karena tindakan individu dan pembangunan relasi antar individu lebih didasarkan atas pertimbangan moral, bukan atas keadilan penyebaran reward dan swa kepentingan. Kepercayaan dan solidaritas muncul dari ikatan moral dan emosional sehingga mampu menjaga keberlangsungan kerjasama terutama dalam tugas-tugas rutin irigasi, dalam bentuk rantai ikatan yang menjaga lancarnya kegiatan dalam skala luas (wilayah wewenang pelani). Sedangkan konsep kapital sosial yang didukung oleh para ahli diantaranya Uphoff dan Coleman, tindakan individu didasarkan atas pertimbangan swa kepentingan, pembangunan relasi atau kerjasama tak obahnya sebagai penyatuan swa kepentingan, karena tidak mampu diatasi atau dicapai secara individual. Kepercayaan merupakan hasil rasionalitas kalkulasi manfaat maksimal pembuatan jaringan, seterusnya norma dan nilai akan muncul apabila terdapat keadilan penyebaran reward. Hal inilah yang membedakan dengan konsep kapital sosial julo-julo, sehingga teori kapital sosial Uphoff dan Coleman kurang mampu menjelaskan temuan lapangan secara lebih dalam.
Regulasi dan aturan fomlal lainnya serta tata pelaksanaan sentralistik, tidak berkualitas untuk dijadikan sebagai sumber lcapital sosial di level makro sehingga tidal: mempunyai kekuatan untuk membangun relasi yang bersifat sinerji antara pemerintah dan masyarakat. Relasi sinerji menghendaki pembagian kerja seimbang (koproduksi) dan saling mendukung antara kedua belah pihak secara komplementer. Dampak pengelolaan sentalistik terhadap kemunduran jaringan fisik dan organisasi, serta melemahnya kapital sosial masyarakat yang seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk mendulcung program pembangunan nasional. Oleh sebab itu aturan-aturan formal yang bersifat umum dari pemerintah perlu didampingi dengan aturan-aturan informal masyarakat, agar praktik pengelolaan irigasi terselenggara dengan ketat dan lancar. Sehingga dapat dicapai efisiensi dan efektihtas, serta menyentuh sampai ke level mikro (masyarakat).
Implikasi teoritik dari temuan menyatakan bahwa nilai persamaan dan kebersamaan yang turun dari idiologi dan tradisi adat yang dilmplementasikan dalam rasa solidaritas dan altruism menciptakan watak kerjasama yang mempertimbangkan kepentingan bersama, serta kesadaran kelompok pada individu. Rasionalitas atas pertimbangan rasa persamaan dan kebersamaan dapat rnenggalang kekuatan masyarakat secara bersama untuk mencapai tujuan bersama maupun menanggulangi permasalahan bersama. Kekuatan ini mampu menangkal kekuatan dari luar yang memaksakan pembahan mendasar pada tatanan sosial. Terbukti dengan perubahan mendasar pada sistem irigasi masyarakat semenjak dikelola oleh pemerintah, tetapi petani tetap bertahan dengan sistem mereka.
Berdasarkan temuan diajukan rekomendasi sebagai berikut: praktis: pembagian kerja antara petugas dan petani dalam aturan formal (prosedur PU dan AD&ART) yang bersifat umum perlu didampingi dengan aturan informal masyarakat sebagai sumber kapital sosial lokal, sebab pengelolaan irigasi di suatu daerah tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan atau tradisi adat setempat. Potensi lokal ini dapat digunakan sebagai penunjang pembangmman nasional. Kebijakan: pembuatan regulasi diharapkan berpotensi menjadi sumber kapital sosial di level makro dan lata pelaksanaan oleh pemerintah menguatkan, sehingga mampu menyentuh sarnpai ke level mikro. Dengan begitu memberi peluang pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi sebagai mitra dari pemerintah.
Rekomendasi model pengelolaan irigasi di Sumbar adalah dengan mengintegrasikan kelompok hamparan dengan sistem julo-julo ke dalam praktik pengelolaan kesatuan wilayah irigasi, untuk mengisi kekosongan peran akibat kurangnya tenaga petugas lapangan. Nagari diberi otonomi hak dan wewenang dalarn bertindak dan mengambil keputusan sehubungan dengan irigasi di daerahnya, karena Nagari merupakan bagian dari masyarakat lrigasi tersebut.

Irrigation management is one of the most widespread of human activities, and one intrinsically dependent upon cooperation. The uniformity of water as a resource and the ubicuity of gravity as force of nature make this is a good domain in which to look for general phenomena and relationships. Moreover, the essential tasks of acquiring, allocating and distributing water are as social as they are technical, so inigation management is an appropriate domain in which to examine social capital (Uphoff, 2000; 2002).
Bandar Halim irrigation systems, since being redeveloped by the government has dualistic management between the government and the farmers. Government management responsibility of the irrigation system starts from the weir to the main canal, and local authorithies under farmer management is Bom tertiary canal to their farrns. This dualistic management system brings some of its own problems with the entry of the government in its management. The system becomes disjointed or fragmented (breaking up into small units). The community based irrigation system causes the breakdown of its traditional social network and social commitment. This is the impact of the centralistic management.
However, the farmers succeed in managing their irrigation systems by using the traditional julo-julo system as a source of local social capital not only protect but that the improve their income. That is why this Study of the practical management of the community- based irrigation, an opportunity to complement the synergistic strength of management between the government and farmers is proposed as recommendation.
To acquire the data, the study uses documents, participant observations, indepth interviews from key informants such as persons in charge of irrigation institutions from, the provincial to lowest level, that is the person who works closely with the farmers and the water user organizations (PBA). Information obtained from the key informants in the community such as the Nagari informal leaders, and people in general. This research and analysis are descriptive qualitative in nature.
The study finds that the julo-julo system is a viable social capital in the practical irrigation management at the farmers level. This is because the juio-juio system is rich with social values and norms needed to manage an irrigation system, these norms and values deriving from the customary tradition is the way of life of the local society. The value of social cohesion (persamaan) and tagerherrress (lcebersamaan) produced social norms such as justice, responsibility, and solidarity that manifest in the awak some awak and Iama/c dek awrrk, katuju delc rrrang systems, that facilitate all essential management tasks of irrigation such as water acquisition, water allocation, maintenance, resource mobilization and management, and conflict resolution. These values also create mutual trustworthness and solidarity that build collective conscience of the individuals. All these aspects of the existing irrigation management system at the farmers level are found to the supportive of their economy.
While, at the govemmental authority level, its management is based on general procedures (formal rules), with minimum number of field ofEcials compare to its large working area, and intractable irrigation supervision bureaucracy results in the lack of interaction and communication that is an essential factor to build good relations. Especially, the division of responsibility between government and farmer (tertiary box area), the management is carried out without formal procedures and clear social commitment between field officials and farmers, there is no control or sanction on those who break the rules. All these impact on the degradation of the physical conditions of the irrigation system.
The capability of the social capital of the julo-julo is that individual action and relations built among individuals are on moral considerations, not only just reward sharing and self interest. Beliefs and solidarity exist from moral and emotional ties that make them to he able to sustain cooperation,/networl-ring, especially in routine tasks of irrigation operation in the form of social ties that cover a vast area. The social capital concept as elaborated by Uphoff (2000, 20002) and Coleman (2000), individual action based on consideration of self interest, relations built or cooperation such a unity of self interest, because the people could not achieve the means to resolve their individual problem. Their belief is produced by a rational calculation about maximal use of social networking, such that norms and values will exist if there is just distribution of reward. The social concept by Uphoff and Coleman thus could not explain our more indepth and widespread field Endings.
Regulations and other fonnal rules with centralistic govemance program, are not able to be a resource of social capital at the macro level at it is powerless to build synergistic relations between the government and society. Synergistic relations need clear labor differentiation as coproduction to mutually support each other in a complenrantary manner. The impact of the centralistic management is the deterioration of the physical inigation construction and its organization. The strength of the local social capital can actually be used for national development. Therefore, the general formal mles from the government need to be accompanied by societal informal rules, so that the management of the inigation will be sh'ict and effective and efficient. Whwn this is achieved its benefits will be felt by the community.
The theoretical implication from our study findings suggest that the value of the social cohesion and togetherness stemming from the local ideology and customary traditions that were found in the feelings of solidarity and altruism result in the cooperative character that take into account mutual interest, as well as collective conscience to the individual. The rationality on mutual interest and togetherness is able to mobilize the strength of the community to achieve their common objective or overcome their mutual problems. This community strength is able to overcome expand its influence that may threaten or change the local social structure. Even though with the basic change in the management system carried out by the govemment, the farmers are still able to continue to maintain their local system of management.
The recommendations of study are in practical and policy recommendations as follows : Practical recommendation: differentiation of labor between government and farmer in formal rules (procedures of government) that are general needs to be accompanied by societal informal rules as a local social capital resource, as the irrigation management in one area cannot be in isolation or out of context of every day habits or customary traditions. This local indigenous because the management of irrigation in one area cannot be separated from. This local indigenous wisdom could used to facilitate national development. Policy recommendation: the govemment has to make irrigation regulations as a potential social capital resource at the macro level and governance by strengthening its regulatory structure or framework management, such that they can have as effect at the micro level, thus providing the opportunity for the local community to participate as a effective partner.
For West Sumatera as a whole, the study recommends the integration of this irrigation management model into the surrounding adjacent areas with the ,info-julo system in the practice of a wide areal irrigation system to fill the lack of Held manpower. The Nagari should be given the autonomy rights and responsibility to take action and decision conceming irrigation matter in their distr-ics because the Nagari represents an integral part of the West Sumatera irrigation community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selvie Marviana
"Waduk Serbaguna Gajah Mimgkur merupakan salah satu wadiilc terbesar di Jawa
Tengah. Pembangunan waduk besar merupakan sushi investasi yang mahal sekaligus
memiliki nilai manfaat yang besar, salah satunya adalah irigasi pada lahan persawahan.
Dalam pengelolaan daerah irigasi selama lebih dari 10 tahun, maka tujuan dan
penelitian mi adalah untuk mengetahui perkembangan dari pemanfaatan debit air inigasi
terhadap produktivitas padi pada setiap musim tanam yang ada di wilayah penelitian,
dalam masa pengelolaan tersebut di atas, yalta path tahun 1990/1991 dan 1995/1996.
Metode yang digunakan dalazn penelitian mi adalah dengan analisa korelasi peta debit
air inigasi terhadap peta produktivitas padi. Kaitan debit terhadap produktivitas juga
ditinjan dari kerapatan saluran irigasi, dan tekatur tanah yang menentukan efisiensi
inigasi serta sifat-sifat tanah yang mendükung dalam pertumbuhan tanaman. Dari analisa
peta menunjuickan pemanfaatan debit yang baik, yaitu tingkat debit yang ada
menunjukkan tingkat produktivitas yang berada satu sampai dua tingkat lebih tinggi dan Waduk Serbaguna Gajah Mimgkur merupakan salah satu wadiilc terbesar di Jawa
Tengah. Pembangunan waduk besar merupakan sushi investasi yang mahal sekaligus
memiliki nilai manfaat yang besar, salah satunya adalah irigasi pada lahan persawahan.
Dalam pengelolaan daerah irigasi selama lebih dari 10 tahun, maka tujuan dan
penelitian mi adalah untuk mengetahui perkembangan dari pemanfaatan debit air inigasi
terhadap produktivitas padi pada setiap musim tanam yang ada di wilayah penelitian,
dalam masa pengelolaan tersebut di atas, yalta path tahun 1990/1991 dan 1995/1996.
Metode yang digunakan dalazn penelitian mi adalah dengan analisa korelasi peta debit
air inigasi terhadap peta produktivitas padi. Kaitan debit terhadap produktivitas juga
ditinjan dari kerapatan saluran irigasi, dan tekatur tanah yang menentukan efisiensi
inigasi serta sifat-sifat tanah yang mendükung dalam pertumbuhan tanaman. Dari analisa
peta menunjuickan pemanfaatan debit yang baik, yaitu tingkat debit yang ada
menunjukkan tingkat produktivitas yang berada satu sampai dua tingkat lebih tinggi danWaduk Serbaguna Gajah Mimgkur merupakan salah satu wadiilc terbesar di Jawa
Tengah. Pembangunan waduk besar merupakan sushi investasi yang mahal sekaligus
memiliki nilai manfaat yang besar, salah satunya adalah irigasi pada lahan persawahan.
Dalam pengelolaan daerah irigasi selama lebih dari 10 tahun, maka tujuan dan
penelitian mi adalah untuk mengetahui perkembangan dari pemanfaatan debit air inigasi
terhadap produktivitas padi pada setiap musim tanam yang ada di wilayah penelitian,
dalam masa pengelolaan tersebut di atas, yalta path tahun 1990/1991 dan 1995/1996.
Metode yang digunakan dalazn penelitian mi adalah dengan analisa korelasi peta debit
air inigasi terhadap peta produktivitas padi. Kaitan debit terhadap produktivitas juga
ditinjan dari kerapatan saluran irigasi, dan tekatur tanah yang menentukan efisiensi
inigasi serta sifat-sifat tanah yang mendükung dalam pertumbuhan tanaman. Dari analisa
peta menunjuickan pemanfaatan debit yang baik, yaitu tingkat debit yang ada
menunjukkan tingkat produktivitas yang berada satu sampai dua tingkat lebih tinggi dan tingkat debit ditunjukkan oleh ranting Bekonang dan Sragen Hulu pada setiap musim
tanam. Pemanfaatan yang balk juga dituqjukkan ranting Sragen Hilir path musim tanam
1 dan musim tanam 2, tahun 1995/1996. Sedangkan ranting Sukoharjo menunjukkan
pemanfaatan debit belum sebaik ranting lainnya. Jul menunjukkan bahwa tingkat debit
bukan faktor utama yang mengendalikan tingkat produktivitas, karena untuk mencapai
suatu tingkat produktivitas di wilayah penelitian, tidak selalu membutubkan tingkat debit
yang sama pula path sualu musim tanam. Dan ditinjau dari karakteristik irigasi yang
lain, yaitu kerapatan saluran dan efisiensi irigasi, menunjukkan bahwa efisiensi inigasi
dan sifat tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman ikut berperan dalam produktivitas
padi, karena dengan tiz*gkat debit yang rendah pada ranting dengan efisiensi irigasi
tergolong tinggi, menunjukkan tingkat produktivitas yang tinggi."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohsapto P. Mardjuki
"Ketersediaan air irigasi sangat penting bagi program intensifikasi tanaman pangan (beras). Kebutuhan air irigasi meningkat sejalan dengan peningkatan kemajuan di pedesaan, sedangkan efisiensi penggunaan air irigasi masih relatif rendah yang bersumber dari kelemahan manajemen. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang merupakan pengguna dan sekaligus pengelola irigasi partisipatif dipublikasikan mempunyai kinerja yang rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel bebas (independent variable) dari indikator-indikator sosialisasi kebijakan, keadaan organisasi dan kerjasama masyarakat terhadap kinerja P3A. Penelitian ini menggunakan data cross section yang dikumpulkan dengan metoda survei menunakan kuesioner tertutup dan terbuka, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan menggunakan metoda eksplorasi. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) di Daerah Irigasi Papah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah sample sebanyak 10% dari populasi dengan tingkat kesalahan 1%-5% berdasarkan Tabel Isaac dan Michael. Parameter diestimasi dengan skala likert yang dimodifikasi dan kategori. Data diolah menggunakan paket program komputer Statistical Package for Social Science for Windows versi 7,5. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi berganda model persamaan tunggal.
Kinerja P3A di lokasi penelitian ini tergolong cukup baik, meskipun hasil penelitian di tempat lain menyatakan bahwa kinerja P3A rendah. Variabel terikat (dependent variable) kinerja P3A (Yi) signifikan dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terdiri dari: (1) persetujuan petani terhadap kebijakan kebijakan irigasi partisipatif Xi3 yang berpengaruh positif, (2) dorongan untuk berpartisipasi terhadap kebijakan irigasi Xi4 yang berpengaruh positif, (3) manfaat pembinaan irigasi yang dirasakan petani Xi6 yang berpengaruh negatif, (4) intensitas konflik Xi12 yang berpengaruh negatif, (5) persentase peserta gotong-royong Xi14 yang berpengaruh positif, (6) besarnya iuran Xi18 yang berpengaruh negatif, dan (7) kecukupan iuran Xi19 yang berpengaruh positif.
Variabel-variabel bebas persetujuan petani terhadap kebijakan irigasi partisipatif Xi3, persentase peserta gotong-royong Xi14, dan dorongan untuk berpartisipasi Xi4 lebih mampu mempengaruhi variabel terikat kinerja P3A. Namun diperlukan usaha perubahan yang lebih besar pada semua variabel bebas tersebut di atas untuk melakukan sedikit perubahan pada kinerja P3A karena kinerja P3A tidak peka oleh perubahan variabel bebas.
Saran untuk para pengambil kebijakan: (1) memperbanyak sosialisasi dan konsultasi dengan petani agar jumlah petani yang setuju terhadap kebijakan irigasi partisipatif, (2) melibatkan petani dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan respons masyarakat dalam menanggapi program irigasi partisipatif yang dicanangkan pemerintah, (3) memperbaiki kualitas pembinaan yang diberikan, (4) meningkatkan penegakan kepastian peraturan agar konflik dalam pemakaian air menurun, (5) mempersiapkan program kegiatan gotong-royong dengan baik agar setiap penyelengaraannya dihadiri lebih banyak peserta, (6) besarnya nilai iuran tidak memberatkan anggota P3A, dan (7) mencari alternatif sumber pembiayaan lainnya. Saran untuk penelitian lebih lanjut: model kinerja P3A supaya memaksimalkan cara pengukuran menggunakan rasio sehingga data yang dihasilkannya lebih bersifat kontinum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, R.U. Maruasas
"ABSTRAK
Daerah Bekasi pusat pertanian tanaman pangan dan industri di Jawa Barat. Akan tetapi peran pertanian akan terganggu oleh kehadiran industri, yang mengakibatkan keseimbangan air untuk lahan terganggu. Oleh karena itu, faktor dampak industri yang berakibat pada kualitas irigasi akan diteliti, untuk dikelola bagi pertanian.
Dalam rangka tersebut, pokok penelitian meliputi a) debit dan kualitas air sebagai variabel kualitas irigasi, kebutuhan air dan air limbah sebagai variabel dampak industri, serta dampak kualitas irigasi pada lahan sawah dan produksi sebagai variabel produktivitas lahan, b) korelasi antara kebutuhan air dan air limbah industri dengan kualitas irigasi, c) korelasi antara kualitas irigasi dengan pemberian air untuk lahan. Sehubungan dengan korelasi antara variabel diatas, dirumuskan dua hipotesis sebagai berikut :
1) Penurunan debit air dari sistem irigasi ada korelasinya dengan pemasokan air irigasi untuk industri, jika air limbahnya dibuang ke sistem drainasi.
2) Penurunan pemberian air untuk lahan tidak ada korelasinya dengan penurunan debit air irigasi dari sistem irigasi, jika kebutuhan air untuk industri dipenuhi dari air tanah.
Dengan menggunakan data perkembangan industri, kualitas irigasi dan produktivitas lahan pada MT Gadu dalam kurun waktu 9 tahun (thn 1983-1991), diduga ada korelasi antara kebutuhanair dan air limbah industri dengan perubahan kualitas irigasi. Indikasinya, intensitas tanam 65,5 persen (38.313 ha), produktivitasnya 6,68 ton/ha, pemberian airnya 12,685 m3/det, lahan kurang air 17,2 persen karena debit air irigasi menurun 0,21 persen dari 44.940 m3/det, akibat air limbah industri 56,8 persen dari pemasokan airnya (0,167 m'}/det) dibuang ke sistem drainasi. Kualitas air irigasi khususnya S Bekasi meningkat sebagai dampak Prokasih. Data diungkapkan secara deskriptif dari hasil registrasi instansi terkait.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan sampel air 10 titik sampling termasuk 2 titik sampling limbah industri, 25 unit industri untuk pemasokan airnya dan 21 responden untuk produktivitas lahan (metoda cluster). Pengujian hipotesis dengan analisis statistik, menggunakan variabel kebutuhan air dan air limbah industri, debit air irigasi dan pemberian air untuk lahan.
Hasil analisis data memperlihatkan, 1) Dampak industri pada kualitas irigasi, adalah sebagai akibat pemasokan air untuk industri tersebut dari sistem irigasi yang lebih besar dari air limbah yang dialirkan ke sistem tersebut, sehingga debit air irigasi menurun (0,21 persen) dan kualitas air S Bekasi menurun (2,6 persen) (non significant); 2) Dampak kualitas irigasi pada produktivitas lahan, sebagai akibat penurunan debit air irigasi (1,51 persen) hingga pemberian air untuk lahan menurun (significant). Akibatnya, lahan kurang air (27,9 persen) dan produktivitas lahan menurun (12,3 persen).
Air limbah sebagai faktor dampak industri diharapkan dapat dimanfaatkan lagi dan diprioritaskan untuk dikelola dengan baik agar memenuhi sebagai air irigasi namum pelaksanaannya relatif sulit. Dampak lebih jauh swasembada pangan dan kebutuhan air wilayah Barat akan terganggu, karena peruntukan air untuk industri meningkat menjadi 5,2 m3/det. Diversifikasi tanaman tahunan hemat air berpeluang, untuk mempertahankan kualitas irigasi dan swasembada pangan, tetapi timbal tantangan karena produknya berbeda dengan beras.
Kesimpulan yang diberikan, akibat air limbah industri yang cenderung dibuang ke sistem drainase adalah terjadinya penurunan kualitas irigasi (debit dan kualitas airnya). Akibatnya pemberian air untuk lahan menurun, swasembada pangan dan kebutuhan air wilayah Barat terganggu. Diversifikasi tanaman tahunan hemat air berpeluang, untuk mengatasi masalah kualitas irigasi dan swasembada pangan, hanya kualitasproduknya perlu disesuaikan agar setara dengan beras.

ABSTRACT
Bekasi region is the center of food crops agriculture and industry in West-Java. The agriculture role will be disturbed with the presence of industry and which is also important for the regional economy, due to the disturbance of the water balance for land plots. Therefore, the factor of the industry impact on the quality of irrigation will be surveyed, in order to be able to be managed for irrigation (agriculture).
In said frame, the priority of research shall cover : a) the discharge and quality of water as a variable of irrigation quality, the requirement of water and waste water as a variable industrial impact and the impact on the irrigation quality on rice fields and production as a variable of the land plot's productivity, b) the correlation between the requirement of water and industrial waste water with the irrigation quality, c) the correlation between the quality of irrigation with the discharge of water for land plots. In relation to the correlation between the variables above, two hypothesis are formulates as follows :
1) The declination of the water discharge of irrigation has its correlation with the supply of the water for the industry of the irrigation system, if its waste water to be disposed to the drainage system,
2) The decrease of the water supply for the land plots has no correlation with the decline of the irrigation water discharge of the irrigation system, if the need of water for the industry is fulfilled from ground water.
By using the industrial development data, the irrigation quality and land productivity at MT Gadu in the duration of 9 (nine) years (year 1983-1991), at is guessed that there is a correlation between the need of water and industrial waste water and the change of the irrigation quality.
Its indication comprises the intensity of planting 65.5 percent (38,313 ha), its productivity : 6.68 ton/ha, the discharge of its water : 12.685 m3/sec, land plots with insufficient water : 17.2 percent as the irrigation water discharge decreases with 0.21 percent of 44.940 m3/sec, consequence of industrial waste water : 56.8 percent of itswater supply (0.167 m3/sec) is disposed to the drainage system. The quality of the irrigation water particularly Bekasi river increases as the impact of Prokasih (Clean River Program). The data are revealed descriptively based on the results of registration of linked government agencies.
The collection of data shall be conducted with the sampling of 10 points of water samplings including the 2 points of industrial waste samplings, 25 industrial units for the supply of its water and 21 respondents for the land productivity (cluster method). The testing of the hypothesis with the statistic analysis, uses variables on the requirement of water and industrial waste water, irrigation water discharge and the discharge of water for the land plots.
The results on analysis of data shows, 1) The industrial impact on the irrigation quality is as the consequence of the water supply for said industry of the irrigation system which is larger than a waste water which is discharged to said system, so that the irrigation water discharge -decreases of (0.21 percent) and the quality of the water of Bekasi River declines (2.6 percent) (non significant) ; 2) The impact of the quality of irrigation on the productivity of land plots, as the consequence of the decrease of the water discharge of irrigation (1.51 percent) so that the discharge of water for land plots declines (significant). The consequence thereof is that the land plots with insufficient water (27.9 percent) and the productivity of land plots decreases (12.3 percent).
Waste water as the factor of industrial impact is expected to be able to be made use of and priority is given to be managed well in order to fulfill the purpose as irrigation water butits implementation is relatively difficult. The further impact of self-supporting food and the need of water for the Western territory will be disturbed, because of the allocation of water for industry increases to 5.2 m3/sec. The diversification of annual plants which do not require much water shall have the opportunity to maintain the irrigation quality and self-supporting on food, but challenge will arise as its production differs from rice.
The conclusion given, that the consequence of industrial waste water which has the tendency to be discharged into the drainage system shall be the decrease of the quality of irrigation (its water discharge and quality). The consequence thereof is that the discharge of water for land plots decreases, the self-supporting of food and the need of water for the Western territory becomes disturbed. The diversification of annual plants which do not need much water shall have the opportunity to overcome the problem of the quality of irrigation and the self-supporting of food, only the quality of its production should be adjusted in order that it is equal to rice.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Widianto
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S35723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlambang Prijatno Soeparto
"ABSTRAK
Berbagai penelitian terdahulu menyatakan bahwa pada pengoperasian jaringan irigasi selain meningkatkan intensitas tanam dan produksi padi, juga berpengaruh pada kualitas tanah, penggunaan masukan produksi dan pendapatan usahatani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa keuntungan yang diperoleh dari pemberian air irigasi juga memberikan kerugian lingkungan terutama terhadap keberlanjutan usahatani.
Penelitian ini dilakukan di daerah irigasi Solo (Proyek Irigasi Bengawan Solo), yang terletak pada tiga wilayah administrasi kabupaten yaitu Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen, Propinsi Jawa Tengah, pada musim tanam I (MT I ) 1994/1995.
Pemilihan petani contoh dikaitkan dengan letak usahatani. pada lahan sawah beririgasi (terkena proyek) dan lahan tadah hujan (tanpa proyek). Karena keterbatasan waktu penelitian, maka pendekatan untuk mengetahui kondisi tanpa proyek digunakan kondisi lahan sawah tadah hujan di daerah sekitar proyek. Pemilihan petani contoh dilakukan secara stratifikasi dan perwakilan. Perwakilan dilakukan menurut pembagian daerah irigasi yaitu bagian hulu dan bagian tengah (Kab. Sukoharjo) dan bagian hilir (Kab. Karanganyar dan Kab. Sragen). Pada setiap bagian daerah irigasi, pengambilan contoh untuk data sosial ekonomi petani/responden dan usahatani dilakukan pada 20 orang petani responden. Pengambilan contoh untuk data kondisi kualitas tanah dilakukan pada setiap bagian daerah irigasi (hulu, tengah dan hilir) masing-masing pada tiga kali ulangan/petak sawah.
Pengumpulan data sifat fisik tanah dilakukan pengamatan lapang dan sifat kimia tanah dilakukan dengan pengambilan contoh tanah yang selanjutnya dilakukan analisis laboratorium di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pengambilan contoh air dilakukan pada saluran tersier dan petakan sawah pada lahan sawah beririgasi, masing-masing dua kali ulangan. Analisis laboratorium untuk kualitas air dilakukan di Laboratorium Kimia, Laboratorium Pusat, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada pengelolaan lahan sawah beririgasi maupun lahan sawah tadah hujan (tanpa irigasi), petani cenderung menggunakan pupuk buatan (Urea, TSP dan KC1) melebihi dosis anjuran, dan pada lahan sawah beririgasi lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah tadah hujan. Pola penggunaan masukan sarana produksi padi yang melebihi dosis anjuran secara jangka panjang akan mengakibatkan penurunan kualitas tanah, kualitas air dan dikhawatirkan akan mempengaruhi pemanfaatan lahan jangka panjang dan mengganggu keberlanjutan usahatani.
2. Akibat pemberian pupuk buatan yang melebihi dosis anjuran dan penanaman padi sepanjang tahun menurunkan kualitas tanah pada lahan sawah beririgasi yaitu nilai kemasaman tanah (pH) dan Kejenuhan Basa (KB). Kandungan N-total dan C-organik tanah pada lahan sawah beririgasi lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah tadah hujan, sedangkan kandungan P-tersedia, K-tersedia dan Kapasitas Pertukaran Kation (KPK) relatif sama.
3. Akibat penggunaan pupuk buatan yang melebihi dosis anjuran menurunkan kualitas air, yaitu nilai Nitrit (N-NO2), Amonia bebas (N-NH3), Magnesium (Mg) dan Oksigen terlarut yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan sesuai dengan kualitas air golongan C.
4. Hasil produksi padi rata-rata per hektar pada lahan sawah irigasi berbeda nyata dibandingkan dengan lahan sawah tadah hujan, masing-masing yaitu 7.191,40 kg/ha dan 3.652,75 kg/ha.
5. Pendapatan bersih usahatani padi pada lahan irigasi berbeda nyata dengan lahan tadah hujan, masing-masing yaitu Rp. 1.255.705,90/ha/musim dan Rp. 443.669,12/ha/musim.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa dampak sistem irigasi terhadap pengelolaan usahatani, yaitu terjadi kecenderungan penurunan kualitas tanah dan peningkatan penggunaan masukan sarana produksi padi yang diperkirakan akan mengakibatkan keberlanjutan usahatani terganggu, meskipun terjadi peningkatan produksi padi dan pendapatan bersih usahatani.

ABSTRACT
Many researches concluded that the operation of irrigation system do not only have effect on yield and cropping intensity, but also on soil quality, use of agricultural inputs, and net income. This study was designed to identify whether that the advantage from using water irrigation, also give environmental damage, especially on the farming management sustainability.
The study was carried out at Bengawan Solo Irrigation Scheme (Bengawan Solo Irrigation Project), covering 3 administrative districts (kabupaten), i.e. Sukoharjo, Karanganyar and Sragen, in the Central Java Province, during the period of cropping season in 1994/1995.
The criteria of the participating farmers as respondents were selected in term of their farm site, which located on the irrigated rice field (with project) and rain fed rice-field (without project), respectively. The selection of respondents conducted by stratification and representation sampling. Due to time constraints, approach to identify without project condition was based on the condition of rain fed rice-field in the surrounding of the project. The representation was based on irrigation scheme areas : upper region (hulu), middle region (tengah) and lower region (hilir). In each irrigation region, data on farm management and socio-economic status of the farmers house-holds were collected randomly for 20 respondents. Samples of the soil condition observed, i.e. soil physics and soil fertility were conducted through soil samples collection and laboratory analysis in Laboratory of Soil Science, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University, Surakarta. Water quality samples were observed on farm level and tertiary channel, whereas laboratory analysis were conducted in the Chemistry Laboratory, Centre Laboratory, Sebelas Maret University, Surakarta.
Results of the study are :
1. On farm management due to on the irrigated rice-field and non-irrigated rice-field, the farmers tend to use fertilizers (Urea, TSP and KC1) higher than standard dosage that recommended by Ministry of Agriculture; and on the irrigated rice-field higher than on the non-irrigated rice-field. Such pattern will cause decrease in the soil and water quality, and tend to affect the long-term utilization and sustainability of the farming management.
2. In the irrigated rice-field, the utilization of fertilizer that higher than standard dosage and the continuous rice monoculture system affect on the decreasing of soil acidity and base saturation. But the soil N-total and soil C-organic of the irrigated rice-field higher than the non-irrigated rice-field; and P, K, and Cation Exchange Capacity tend not different.
3. The effect of the utilization of the fertilizer that higher than standard dosage tend to decrease the water quality i.e. Nitrite (N-NO2), Ammonia (NNH3), Magnesium (Mg) and Dissolved Oxygen higher than maximum standard of the water quality standard for C.
4. The average of production rice yield in the irrigated rice field is significantly different compared with the rain fed rice field, i.e. 7.191,40 kg/ha (irrigated) and 3.652,75 kg/ha (non-irrigated), respectively.
5. The net income of rice yield in the irrigated ricefield is significantly different compared with the rain fed rice field, i.e. Rp 1.225.705,90/ ha/season (irrigated); and Rp. 443.669,12/ha/ season (non-irrigated).
The summary of this study is the impact of irrigation system of Bengawan Solo on farming management sustainability having the trend to decrease of soil and water quality index and to increase of using rice production inputs which is estimating to disturb of the farming management sustainability, although the yield of the production and net income is increasing.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The technical performance of shallow groundwater irrigation schemes (SGWIS) might be able to be increased, either by improvement of pump operation management, improvement of the conveyance system, or improvement in the technology of irrigation application. The objective of this research is to develop sub-unit hydraulics criteria for designing drip irrigation within SGWIS that can ensure a high level of irrigation efficiency. The sub-unit hydraulics design criteria of drip irrigation have been developed in from of table , nomogram, as well as computer program, with parameters of diameter and length of manifold and lateral pipelines...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>