Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200367 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Rachmatika Dewi Andayani
"Tesis ini membahas suatu fenomena baru dalam diskursus hubungan internasional, yakni persoalan kekerasan perempuan di India, yang secara khusus tertuju pada pembahasan tingginya perkosaan perempuan di India. Dalam menganalisa fenomena tersebut, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pendekatan feminisme yang memberikan sumbangan untuk melihat persoalan pemerkosaan perempuan di India sebagai bentuk penindasan serta penguasaan laki-laki terhadap tubuh perempuan. Pendekatan ini akan melihat bahwa pemerkosaan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap HAM dan juga perempuan terutama tubuh perempuan merupakan objek dan digunakan sebagai alat oleh laki-laki. Di sisi lain, India telah aktif mengikuti berbagai pertemuan atau konvensi terkait perlindungan perempuan dan juga telah mengadopsi poin-poin di dalamnya ke dalam regulasi serta kebijakan negara namun dalam realitasnya India telah mengalami kegagalan.

This thesis will examine a new phenomenon in international relations discourse namely violence against women in India, which is specifically focused on the discussion of the high rape of woman in India. In analyzing this phenomenon, the approach used is human rights approach and feminism approach that contributed to see the issue of rape of women in India as a form of oppression and domination of men to female body. This approach see women primarily the female body is an object and the male political tool to achieve power. India on the other hand has been actively participating in various meetings or conventions related to the protection of women and have adopted these points in regulation and policies of the country but in reality India has experienced a failure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meisca Rafinda
"Peningkatan kasus pemerkosaan di India terjadi terus-menerus setiap tahunnya membuat isu ini signifikan untuk diteliti. Penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial baru,  perspektif feminisme radikal dan politik tubuh untuk menjelaskan peranan feminis dan gerakan perempuan India. Pemerkosaan di India dilihat sebagai manifestasi budaya patriarki yang mengakar di dalam masyarakat India. Fokus dari penelitian ini adalah melihat peranan feminis dan gerakan perempuan India dalam memengaruhi pembentukan undang-undang yaitunya Undang-Undang Anti Pemerkosaan di India tahun 2013. Feminis dan gerakan perempuan India berharap pengesahan undang-undang yang baru dapat menjadi solusi dalam mengatasi persoalan perempuan. Akan tetapi, pengesahan undang-undang ini tidak dapat mengatasi pemerkosaan di India yang dibuktikan dengan data statistik meningkatnya pemerkosaan di India setiap tahunnya pasca disahkannya Undang-Undang Anti Pemerkosaan di India tahun 2013.

The increasing of rape cases in India each year makes this phenomenon becomes significant in India. This research employs theory of new social movements, the perspective of radical feminism dan body politics to explain the role of feminism and the impact of Indian womans movement. Rape is seen as a manifestation of Patriarch Culture that rooted in the Indian society. This research aims to see the role of feminism and the Indian womans movement in the formulation of Anti-Rape Law in 2013. Feminist and the women in India build upon this Law as a solution to rape cases that happened in India. But as a matter of fact, this Law is not a solution for the rape cases, its proven with the statistics data that that there is still escalation each year even if the Law itself is passed in 2013.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Roremary Megawe Suwasono
"Penelitian ini akan berperspektif Feminisme Siber, yang mengupayakan pemberdayaan perempuan di ruang digital untuk melawan budaya patriarki dalam pemanfaatan teknologi, Salah satunya Kekerasan Seksual Berbasis Gender yang difasilitasi teknologi yaitu, Deepfake Pornografi sebagai hasil rekayasa terhadap citra seseorang yang digabungkan dengan wajah atau tubuh orang lain untuk menciptakan konten porno berbentuk gambar dan atau video palsu yang baru. Penelitian ini melihat bahwa Deepfake Pornografi dioperasikan oleh mayoritas laki-laki yang memposisikan perempuan sebagai target pengancaman untuk mengontrol dan berkuasa atas korban. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memposisikan dan memberikan perlindungan terhadap korban. Mengingat, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dirumuskan dengan Pasal-Pasal yang lebih berperspektif pada pengalaman korban dan gender. Penelitian ini juga ingin menunjukkan pada penanganan kasus Deepfake Pornografi, beberapa Aparat Penegak Hukum memilih untuk tetap menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan alasan belum memahami mekanisme pelaksanaan dan belum mendapat sosialisasi materi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kurangnya literasi pada Aparat Penegak Hukum menyebabkan pemahaman yang multitafsir, bias gender dan objektivikasi tubuh perempuan pada penanganan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online dapat berpotensi mere-viktimisasi dan mengkriminalisasi korban melalui pengunaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, Feminisme Siber hadir sebagai perjuangan gerakan feminis di ruang digital dalam menyediakan ruang aman bagi perempuan untuk berkembang, berpartisipasi, berkontribusi dan untuk melawan budaya patriarki dan dominasi laki-laki dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dengan mengutamakan pengalaman perempuan sebagai korban untuk sistem hukum yang lebih berperspektif gender.

This research will take the perspective of Cyberfeminism, which seeks to empower women in the digital space to fight patriarchal culture in the use of technology, one of which is Gender-Based Sexual Violence which is facilitated by technology, namely, Deepfake Pornography as a result of engineering a person's image combined with another person's face or body to creating pornographic content in the form of new fake images and/or videos. This research sees that Deepfake Pornography is operated by the majority of men who position women as targets of threats to control and have power over the victims. This research aims to see how Law no. 12 of 2022 concerning Crime of Sexual Violence and Law no. 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions in positioning and providing protection for victims. Bearing in mind, Law no. 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence, formulated with articles that have a greater perspective on the victim's experience and gender. This research also wants to show that in handling Deepfake Pornography cases, several Law Enforcement Officials choose to continue using Law no. 19 of 2016 Information and Electronic Transactions on the grounds that they do not understand the implementation mechanism and have not received socialization on the material on the Law no. 12 of 2022. Lack of literacy among Law Enforcement Officials causes multiple interpretations, gender bias and the objectification of women's bodies in handling cases of Online Gender-Based Sexual Violence which can potentially re-victimize and criminalize victims through the use of the Law on Information and Electronic Transactions. Thus, Cyberfeminism is present as the struggle of the feminist movement in the digital space in providing a safe space for women to develop, participate, contribute and to fight patriarchal culture and male domination in the use of Information Technology by prioritizing women's experiences as victims for a legal system that has a more gender perspective. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deviyanti Dwiningsih
"Indonesia merupakan negara hukum (Rechtsstaat), dengan karakteristik adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya persamaan hak-hak perempuandengan laki-laki dalam bidang apapun termasuk bidang politik. Bahkan hak-hak perempuan secara jelas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang memuat persamaan hak dan pendekatan non diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan baik dalam hukum dan pemerintahan maupun akses terhadap lapangan pekerjaan yang layak. Oleh karena perempuan adalah warga negara yang mempunyai hak politik sebagimana laki-laki.Data menunjukkan partisipasi dan keterwakilan perempuan di bidang politik sangat kecil khususnya di Legislatif.Hal ini disebabkan karena adnaya diskriminasi. Diskriminasi terhadap perempuan itu menyebabkan keadilan dan kesetaraan dibidang politik dengan menggunakan prinsip “tindakan khusus sementara”, seperti yang tertuang dalam pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan “ setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan keadilan”. Tindakan khusus sementara ini dapat dilihat dalam upaya peningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, peningkatan keterwakilan dalam posisi strategis pada kekuasan, partisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan dan sinergitas.

Indonesia is the legal state (Rechtsstaat) that has high respect of human rights. One characteristic of the legal state is the equality between women and men in all sectors including the political one. Definitely women's rights is provided for in the Article 27 paragraph (1) and paragraph (2) of the 1945 Constitution which includes equal rights and non-discrimination approach between men and women before the law and government as well as employment access. In other words, women are citizens who have political rights equal to men's rights. The data indicate that the participation and representation of women in the political sector is tremendously low particularly in the Legislature. It relates to discrimination. The discrimination against women results in justice and equality in the political sector by using the principle of "temporary special measures", as set out in the Article 28H Paragraph (2) of the 1945 Constitution. The article states "every person should be entitled to special treatment and to have the opportunity and the same benefits to achieve equality of justice ". The temporary special measures can be shown in the effort of enhancing the quantity and quality of human resources, higher representation in strategic position in the power, full participation in the decision-making process and synergy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Febrina Talitha
"ABSTRAK
Skripsi ini mengangkat tema mengenai mitos yang terkandung di dalam tiga buah lirik mengenai Lorelei dari tiga masa berbeda. Lirik mengenai Lorelei dibedakan dari tiga rentang waktu yang berbeda, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine yang diciptakan tahun 1823, Loreley karya Dschinghis Khan yang diciptakan tahun 1981, dan Lore Lay karya Faun yang diciptakan tahun 2013 untuk menampilkan mitos Lorelei dari waktu ke waktu. Selain itu, penelitian mengacu kepada relasi antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan. Melalui telaah feminisme eksistensialisme terlihat perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam ketiga teks. Ketiga teks memperlihatkan posisi laki-laki sebagai subjek, namun laki-laki juga dapat menjadi objek apabila dikuasai oleh perempuan. Posisi perempuan sebagai Sosok yang Lain juga fleksibel. Di satu sisi, perempuan dipandang sebagai objek, namun di sisi lain ia dapat menjelma menjadi subjek, namun hanya sebagai subjek yang jahat femme fatale . Selain itu, berdasarkan pada teori mitos Roland Barthes, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mitos yang mengakar kuat karena adanya kepercayaan masyarakat sejak dahulu kala.

ABSTRACT
This thesis placed its focus on the myth that contained in three lyrics about Lorelei from three different periods. The lyrics of Lorelei are distinguished from three different time ranges, Lorelei by Heinrich Heine in 1823, Loreley by Dschinghis Khan in 1981, and Lore Lay by Faun in 2013 to show Lorelei myth from time to time. In addition, this research refer to the relationship between man and woman characters. Through the study of existentialist feminism, it shows the difference in position between man and woman in all three texts. All of the texts show the position of man as a subject, but men can also become an object when controlled by woman. The position of woman as The Other is also flexible. On the one hand, woman is seen as an object, but on the other hand she can transformed herself into a subject, but only as an evil subject femme fatale . Furthermore, based on Roland Barthes myth theory, the result of this study indicate that there is a myth that is deeply rooted because of the belief of society since a long time ago."
2017
S67877
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paskah Anggelika
"Penelitian ini akan mengkaji mengenai keberhasilan gerakan anti pemerkosaan di India dalam mendorong amandemen undang-undang hukum pidana India pada tahun 2013. Gerakan ini muncul setelah terjadinya kasus pemerkosaan yang terjadi pada seorang mahasiswi berumur 23 Tahun yang bernama Jyoti Singh. Insiden tersebut telah memunculkan protes besar dari masyarakat India terhadap kasus pemerkosaan yang sering terjadi kepada perempuan India. Mereka menuntut pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan kepada perempuan sehingga peristiwa serupa tidak terulang kembali. Gerakan ini juga meminta pemerintah untuk mempertegas sistem hukum terkait pemerkosaan, khususnya undang-undang hukum pidana. Terdapat tuntutan kepada pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap undang-undang pidana yang mengatur hukuman terhadap pelaku pemerkosaan. Mereka meminta agar para pelaku bisa mendapatkan hukuman maksimal yaitu hukuman mati. Pada akhirnya gerakan ini berhasil mendorong pemerintah untuk mengamandemen undang-undang hukum pidana tersebut pada tahun 2013. Dalam mengkaji keberhasilan gerakan anti pemerkosaan ini, penulis menggunakan teori struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya, dan framing. Penelitian ini juga akan menggunakan metode penelitian kualitatif.

This study will examine the success of the anti rape movement in India in pushing for an amendment of Indian criminal law in 2013. This movement emerged after the rape case that occurred in a 23 year old student named Jyoti Singh. The incident has sparked massive protests from Indian society over the frequent rape case against Indian women. They demanded the government to provide protection for women so that similar events do not happen again. The movement also asked the government to reinforce the legal system related to rape, particularly in criminal law. There was a demand to the government to amend the criminal law that governs the punishment of perpetrators of rape. They asked that the perpetrators can get the maximum sentence of death penalty. In the end, the movement succeeded in encouraging the government to amend the criminal law law in 2013. In examining the success of this anti rape movement, the author uses the theory of opportunity politics structure, resource mobilization, and framing. This research uses qualitative method.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Thomas Djara
"Tesis ini mengkritik pendekatan human security PBB melalui implementsi resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 dalam isu kekerasan seksual (pemerkosaan dan perbudakan seksual) di Timor Leste pada masa konflik (1975-1999). Penulis menggunakan metode studi literature dengan dokumen Chega CAVR sebagai rujukan data kekerasan seksual di Timor Leste pada masa konflik. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal kultural yang menekankan pada tiga konsep dasar, yakni budaya patriarki, power dan penindasan yang berdampak pada gagasan revolusioner untuk mengakhiri penindasan. Penulis ingin menunjukkan proses pengarusutaman gender dalam operasi perdamaian PBB (UNTAET) di Timor Leste sebagai implementasi resolusi 1325 yang berimplikasi pada pembentukan CAVR namun gagal melawan budaya bisu yang disebabkan oleh budaya patriarki. Budaya bisu perempuan Timor Leste ini membentuk impunitas pelaku kekersaan seksual di Timor Leste pada masa konflik dan berlanjut hingga kini. Tesis ini menemukan dua hal, yakni secara teoritis, adanya integrasi pendekatan human security PBB dengan lensa gender dalam isu kekerasan seksual dalam konflik. Secara empiris, CAVR bukanlah implementasi gagasan revolusioner teori feminisme radikal kultural. Mobilitas CAVR hanya merekomendasikan proses peradilan bagi milisi pro-integrasi di Timor Leste tetapi kurang menargetkan militer Indonesia sebagai pelaku utama kekerasan seksual terhadap perempuan Timor Leste pada masa konflik.

This paper criticizes UN human security approach through the implementation of UN Security Council resolution 1325 on sexual violence issue (rape and sexual slavery) in Timor Leste during the conflict (1975-1999). The method used is literature study with CAVR Chega document as reference for data on sexual violence in Timor Leste during the conflict. The theory used is cultural radical feminism which emphasizes three basic concepts, patriarchal culture, power and oppression impacted on revolutionary ideas to end oppression. The author show gender mainstreaming process in Timor Leste UN peace operations (UNTAET) as the implementation of resolution 1325 and the implications for the foundation of CAVR Commission that failed to change culture of silence caused by patriarchal culture. This silent culture of East Timorese women promotes impunity for perpetrators of sexual assault in Timor Leste during conflict period. This paper discovers two main things: theoretically, the integration of the UN human security approach with gender lens in sexual violence issue during conflict. Empirically, CAVR is not the implementation of revolutionary idea based on cultural radical feminism theory. The CAVR's mobility urges judicial process for pro-integration militias in Timor Leste but lacked demanding on Indonesian military as main perpetrator of sexual violence against East Timorese women during the conflict"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Jenny Rahayu Afsebel
"Di dalam budaya patriarki, marital rape adalah sebuah kejahatan yang pada umumnya rentan dialami oleh perempuan. Namun, perlindungan perempuan korban marital rape belum optimal dilaksanakan. Studi kualitatif ini bertujuan menemukan dan menganalisis transformasi nilai kesetaraan gender melalui kebijakan sosial yang dapat mendorong perlindungan bagi perempuan korban marital rape. Penelitian ini melibatkan 3 informan perempuan korban marital rape dan 20 narasumber terkait dari lembaga pemerintah (KemenPPA, Kepolisian, P2TP2A), lembaga layanan korban (Women Crisis Center), Komnas Perempuan, akademisi maupun pemuka agama (Islam, Kristen, Katolik, Buddha). Wawancara dilakukan secara daring dan tatap muka. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan teori kriminologi feminis dan feminis radikal. Teori kriminologi feminis melihat marital rape sebagai kejahatan dan feminis radikal melihat patriarki sebagai penyebabnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk kebijakan sosial di level individual, interpersonal, organization, community, dan public policy yang beragam seperti transformasi bimbingan pranikah, regulasi, layanan pendampingan (psikologis, medis, ekonomi dan keterampilan bekerja). Dari beragam bentuk kebijakan sosial yang ditemukan, peneliti memprioritaskan terlaksananya transformasi layanan pendampingan korban yang sesuai dengan kebutuhan korban dan bimbingan pranikah di berbagai level kebijakan.

In a patriarchal culture, marital rape is a crime that is generally vulnerable to experience by women. However, protecting women victims of marital rape has not been optimally implemented. This qualitative study aims to find and analyze the transformation of the value of gender equality through social policies that can encourage protection for women victims of marital rape. This study involved three female informants who were victims of marital rape and 20 related sources from government institutions (KemenPPA, Police, P2TP2A), victim service institutions (Women Crisis Center), and Komnas Perempuan, academics and religious leaders (Islam, Christian, Catholic, Buddhist). Interviews were conducted online and face-to-face. The data collected were analyzed using feminist and radical feminist criminology theory. The feminist criminological theory sees marital rape as a crime, and radical feminists see patriarchy as the cause. The results of this study show that there are various forms of social policy at the individual, interpersonal, organizational, community, and public policy levels, such as the transformation of premarital guidance, regulation, and mentoring services (psychological, medical, economic and work skills). From the various forms of social policies found, the researchers prioritized the transformation of victim assistance services according to the needs of victims and premarital guidance at various policy levels."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fazari Zul Hasmi Kanggas
"

Negara Indonesia melindungi dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negaranya sebagaimana yang telah tertulis pada Pasal 28A sampai dengan 28I UUD 1945. Dengan adanya jaminan dari negara atas hak-hak tersebut, bukan berarti negara telah membuka pintu seluas-luasnya kepada warganya untuk melakukan segala macam perbuatan tanpa batas, sebagaimana yang ada pada Pasal 28J UUD 1945. Lesbian Gay Bisexual and Transgender merupakan sebuah penyimpangan dalam perilaku seksual.Beberapa kelompok di negara-negara eropa membungkus bentuk penyimpangan tersebut dengan sebuah “bungkus” yang bernama hak asasi manusia guna justifikasi terhadap prilaku homoseksual dan legalisasi perkawinan sejenis. Dalam penelitian ini mempunyai dua rumusan masalah yaitu; I) Bagaimana pandangan Hak asasi manusia di Indonesia terhadap perkawinan sesama jenis dan perbuatan homoseksual? II) Bagaimana norma hukum yang berlaku di Indonesia dalam menyikapi fenomena perkawinan sejenis dan perbuatan homoseksual kaum  LGBT dengan mempertimbangkan Hak Asasi Manusia? Penelitian ini merupakan penelitan normatif dengan sumber data sekunder. Menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan wawancara. Sedangkan analisis data mengunakan analisis kualitatif sehingga bentuk penelitian ini merupakan penelitian evaluatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sejarah. Pada akhirnya penelitan ini menyimpulkan I) berdasarkan cara pandang theosentris perkawinan sejenis dan prilaku homoseksual bukan merupakan hak asasi manusia, sedangkan berdasarkan cara pandang antroposentris, sebaliknya. II) Indonesia adalah negara yang menganut teori hukum alam irasional dengan pandangan theorisentris, sehingga prilaku homoseksual dan perkawinan sejenis sejatinya telah bertentangan dengan Pancasila dan norma hukum yang berlaku. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia merumuskan adanya norma hukum yang melarang prilaku homoseksual dan perkawinan sejenis.


The Indonesian state protects and guarantees the human rights of every citizen. Protection of these rights is written in Articles 28A through 28I of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. With the guarantee from the state of the rights possessed by each citizen, it does not mean that the state has opened the widest possible door for its citizens to do all kinds of actions according to their own personal desires without clear boundaries. In Article 28J of the 1945 Constitution, according to Article 28J paragraph (2) of the 1945 Constitution Lesbian Bisexual and Transgender Gay is a deviation in sexual behavior. Some groups in European countries wrap the form of deviation with a "wrapper" called human rights for justification of homosexual behavior and the legalization of similar marriage. In this study there are two formulation of the problem, namely; I) What is the view of human rights in Indonesia towards same-sex marriage and homosexual behavior of LGBT people? II) What are the legal norms in force in addressing the phenomenon of similar marriages and homosexual behavior of LGBT people by considering human rights? This research is normative research with secondary data sources consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Using data collection techniques with literature studies and interviews. While the data analysis uses qualitative analysis so that the form of this research is evaluative research. The approach taken is the conceptual approach, legislative approach and historical approach. The purpose of this study is I) The purpose of writing this paper is to explain more about the human rights perspective in Indonesia in addressing homosexual behavior of LGBT people and same-sex marriage. II) to explain the legal norms in Indonesia in responding to homosexual behavior of LGBT people and same-sex marriage based on consideration of the concept of human rights in Indonesia In the end, this research concludes I) that based on irrational natural law theory with theorocentric views will see homosexual and marital behavior of a kind not part of human rights, but based on rational natural law theory with an anthropocentric view will see this as part of human rights. II) Indonesia is a country that adheres to irrational natural law theory with a theoretic view, so that homosexual and marital behaviors of a kind have actually contradicted Pancasila, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights Suggestions from this study suggest that the Indonesian Government formulate legal norms that prohibit similar homosexual and marital behavior.

"
2019
T54415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iralda Nur Titania
"Penelitian ini menganalisis aspek hukum ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan atau affirmative actiondalam pemilihan umum di Indonesia dari perspektif hak asasi manusia. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Meskipun UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mewajibkan partai politik mencalonkan minimal 30% perempuan, tidak adanya sanksi tegas menjadikan ketentuan ini kurang efektif. Analisis dilakukan menggunakan kerangka hukum internasional seperti CEDAW dan Deklarasi Beijing, serta teori keterwakilan deskriptif dan substantif. Penelitian membandingkan praktik di Indonesia dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Filipina, dan Jerman yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam partisipasi politik perempuan. Temuan menunjukkan pentingnya penerapan sanksi, dukungan finansial dan logistik, serta kampanye kesadaran untuk meningkatkan efektivitas kebijakan afirmatif. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan dengan dengan menekankan kepastian hukum dan implementasi yang efektif, sambil mempertimbangkan tantangan kultural dan struktural yang masih dihadapi. Diperlukan penguatan kebijakan afirmatif, peningkatan pendidikan politik, dan perubahan persepsi budaya tentang peran perempuan dalam politik.

This research analyzes the legal aspects of the 30% women's representation quota or affirmative action in Indonesian elections from a human rights perspective. This paper is compiled using doctrinal research methods. Although Law No. 7 of 2017 on General Elections requires political parties to nominate a minimum of 30% women, the absence of strict sanctions makes this provision less effective. The analysis is conducted using international legal frameworks such as CEDAW and the Beijing Declaration, as well as theories of descriptive and substantive representation. The research compares practices in Indonesia with other countries such as the United States, Philippines, and Germany that have shown significant progress in women's political participation. Findings indicate the importance of implementing sanctions, financial and logistical support, and awareness campaigns to increase the effectiveness of affirmative policies. Increasing women's political participation can provide human rights protection for vulnerable groups by emphasizing legal certainty and effective implementation, while considering the cultural and structural challenges that still exist. Strengthening affirmative policies, enhancing political education, and changing cultural perceptions about women's roles in politics are needed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>