Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186113 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Evelyn Lina, auhor
"Latar Belakang: Prevalensi akne vulgaris (AV) pada perempuan dewasa tinggi dengan morbiditas psikososial bermakna. Akne vulgaris yang timbul saat remaja dan berlanjut hingga umur lebih dari 25 tahun disebut sebagai AV menetap (AVM). Hormon androgen memiliki peranan terpenting dalam patogenesis AVM. Indeks Androgen Bebas (IAB) adalah metode yang bagus untuk mengevaluasi kadar hormon androgen. Perbedaan ras berpengaruh pada variasi kadar hormon androgen antara individu.
Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM dan tanpa AV.
Metode: Penelitian kasus kontrol.
Hasil: Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM memiliki median 1,93 (minimum 0,46 - maksimum 9,88). Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa tanpa AV memiliki median 1,05 (minimum 0,24 - maksimum 2,42). Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM lebih tinggi dibandingkan tanpa AV, dengan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,014).
Kesimpulan: Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM lebih tinggi dibandingkan tanpa AV.

Background: The prevalence of acne vulgaris (AV) in adult women is high with significant psychosocial morbidity. Acne vulgaris which occur in adolescence and continue until age more than 25 years is mentioned as persistent acne vulgaris (PAV). Androgen hormone has the most important role in PAV pathogenesis. Free Androgen Index (FAI) is a good methode to evaluate androgen hormone level. Race difference influent the variation of androgen hormone level between individual.
Objective: To investigate the comparison of blood FAI in adult women with PAV and without AV.
Methods: Case control study.
Result: The blood FAI in adult women with PAV has median 1,93 (minimum 0,46 - maksimum 9,88). The blood FAI in adult women without AV has median 1,05 (minimum 0,24 - maksimum 2,42). The blood FAI in adult women with PAV is higher than without AV, with difference which is statisticaly significant. (p=0,014).
Conclusion: The blood FAI in adult women with PAV is higher than without AV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Previous studies had shown that pasak bumi(PB) root chloroform extract given to laboratory animal would cause aphrodisiac effect and increase the testosterone hormone,FSH and LH whic mechanism of action was assumed to be by central simulation....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dheeva Noorshintaningsih
"Usia subur merupakan usia yang paling penting dalam reproduksi perempuan. Usia subur berkisar 15 tahun hingga 46 tahun. Usia memiliki pengaruh terhadap sekresi GnRH, pada saat perempuan menempuh dekade ketiga dan keempat folikel akan mengalami penurunan sehingga sekresi GnRH juga akan terpengaruh, namun menjelang menopause sekresi GnRH akan meningkat karena folikel sudah tidak ada lagi dan tidak akan yang memberikan umpan balik negatif kepada GnRH, maka itu sekresi GnRH pada orang menopause tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar LH berdasarkan perempuan dengan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik, dalam penelitian ini terdapat 74 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi yang terlibat. Data pada penelitian didapatkan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan analisis chi-square. Berdasarkan analisis, didapatkan hasil bahwa proporsi usia dibawah 30 tahun yang memiliki kadar LH yang tergolong normal lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi usia dibawah 30 tahun yang mempunyai kadar LH abnormal yaitu masing-masing nilainya 60,9% dan 39,1%. Perbedaan proporsi tersebut secara statistic bermakna dengan P sama dengan 0,009. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LH pada aktivitas fisik, status gizi, gejala gangguan mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memiliki peran dalam perbedaan kadar LH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Reproductive age is the most important phase in women?s reproductive cycle. In most women the reproductive age is around 15-46 years old. Age has influence on GnRH secretion, when women take the third and fourth decades of follicles will decrease so the secretion of GnRH may also be affected, but the menopause GnRH secretion will increase as the follicle is no longer there and that will not give negative feedback to GnRH, the GnRH secretion was higher in the menopause. This study aimed to compare the levels of LH by women of reproductive age, especially in women with menstrual disorders. The study design is cross-sectional analytic involving 74 women of childbearing age (15-45 years) who experience menstrual disorders. The study was conducted using secondary data derived from the results of laboratory tests and the SCL-90 questionnaire of study titled "The Role of Adiponection to polycystic ovary syndrome (PCOS) and Its Relationship to Genetic Factors, Endocrine and Metabolic". Data analysis was performed with SPSS for Windows version 17.0 using chi-square analysis. Based on the analysis, showed that the proportion aged under 30 years who have a relatively normal LH levels higher than the proportion aged under 30 years who have abnormal levels of LH values ​​respectively 60.9% and 39.1%. The difference was statistically significant proportion of the P equals 0.009. Meanwhile, there were no significant differences in the levels of LH in physical activity, nutritional status, symptoms of mental, emotional, as well as the status of PCOS women with menstrual disorders. It can be concluded that there are differences in the role of age in LH levels in women with menstrual disorders."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Teresa
"Latar belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa jumlah akne vulgaris AV perempuan dewasa mengalami peningkatan. Hormon, produksi sebum, p. ance, proses inflamasi menjadi berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis terbentuknya AV dewasa.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar Dehydroepiandrosterone sulfate DHEAS dan kadar sebum pada pasien AV perempuan dewasa.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada Bulan Juni-Oktober 2017. Sebanyak 50 sampel perempuan dewasa usia 25-49 tahun didapatkan dengan consecutive sampling. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran kadar sebum wajah dan pengukuran kadar hormon DHEAS.
Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara kadar DHEAS dengan kadar sebum wajah pada pasien AV p:0.008; r:0.371 . Setiap kenaikan kadar DHEAS diikuti dengan peningkatan kadar sebum wajah.
Diskusi: Androgen berikatan dengan reseptor androgen pada sebosit kulit sehingga androgen dapat mengontrol perkembangan kelenjar sebasea dan produksi sebum. Selain diproduksi secara sistemik, hormon androgen juga diproduksi secara lokal di kulit. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya AV dewasa tanpa disertai adanya hiperandrogenisme.

Background: Epidemiologic studies have shown that number of adult female acne vulgaris AV increases. Hormone, sebum production, Propionibacterium acne and inflammatory process are factors involved in adult AV development.
Objective: The aims of this study is knowing the correlation between Dehydroepiandrosterone sulfate DHEAS and sebum level in adult female acne.
Method: This research used cross sectional study, and held from June to October 2017. Fifty samples aged 25 49 years were collected by consecutive sampling. Anamnesis, physical examination, sebum and DHEAS measurement were conducted.
Result: There was significantly difference between DHEAS and skin sebum level in AV patients p 0.008 r 0.371. Every increased DHEAS level was followed by increasing of sebum production in AV patient.
Discussion: Androgen binds to androgen reseptor in skin sebocyte, so that androgen could control sebaceous gland development and sebum production. Besides being produced by systemic, androgen is also produced locally in the skin. This could explain how adult AV develops without any hyperandrogenism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christa Desire Gracia
"Latar belakang: Akne vulgaris (AV) adalah penyakit unit pilosebasea kronis tersering yang dapat menimbulkan dampak psikologis berat dan mengganggu kualitas hidup penderitanya. Penggunaan terapi ajuvan yaitu ekstraksi lesi akne yang dikombinasikan dengan terapi standar dapat memperbaiki kondisi klinis dan kualitas hidup penderita akne. Pengukuran kualitas hidup penting dilakukan untuk menilai keberhasilan terapi. Saat ini telah tersedia kuesioner kualitas hidup spesifik akne berbahasa Indonesia (Acne-QoL- INA) yang tervalidasi, namun belum pernah ada data mengenai perbandingan kualitas hidup antara terapi kombinasi dan terapi standar.
Metode: Studi uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal ini dilakukan pada subjek akne vulgaris dewasa derajat sedang berdasarkan kriteria Lehmann yang dibagi ke dalam kelompok terapi kombinasi standar dan ekstraksi lesi akne (terapi kombinasi) serta terapi standar tanpa ekstraksi lesi akne (terapi standar). Skor kualitas hidup berdasarkan kuesioner Acne-QoL-INA dinilai pada baseline, minggu ke-4, dan minggu ke-8 setelah terapi. Selain itu, penilaian jumlah lesi dan derajat keparahan akne diukur pada setiap kunjungan oleh seorang evaluator secara tersamar melalui foto klinis.
Hasil: Sebanyak 40 subjek dengan median usia 24 tahun (18–48), 17,5% laki-laki dan 82,5% perempuan berpartisipasi dalam penelitian ini. Skor Acne-QoL-INA baseline untuk kelompok kombinasi dan kelompok terapi standar masing-masing adalah 41 (37,5– 57) dan 45,5 (37–63), meningkat menjadi 79 (67,5–94,5) dan 72,5 (59,25–98,5) pada minggu ke-8 namun tidak berbeda bermakna secara statistik antar kedua kelompok (p=0,602). Jumlah lesi baseline pada kedua kelompok masing-masing 35 dan 32, menurun menjadi 18 dan 13 pada minggu ke-8 (p<0,0001) dan perbaikan derajat keparahan menjadi akne ringan pada 100% subjek di minggu ke-8.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan dalam skor Acne-QoL-INA dan perbaikan klinis antara kelompok terapi kombinasi dan terapi standar pada pasien AV sedang. Namun, terapi kombinasi cenderung meningkatkan kualitas hidup dan pengurangan lesi lebih baik daripada terapi standar.

Background: Acne Vulagis (AV) is the most commom chronic disease of the pilosebaceous unit that can have a significant psychological impact and reduce the quality of life. The use of adjuvant therapy such as acne lesion extraction, in combination with standard therapy could better improve clinical outcomes and quality of life. Assessing quality of life is crucial to evaluate the success of therapy. Currently, there has been a validated acne-specific quality of life questionnaire in Indonesian (Acne-QoL-INA), but there is no existing data on the comparison of quality of life between combination therapy and standard therapy.
Method: This single-blinded randomized controlled study was conducted on adult subjects with moderate acne vulgaris based on Lehmann criteria, who were divided into combinations of standard therapy with acne lesion extraction (combination therapy) group, and standard therapy without acne lesion extraction (standard therapy) group. Quality of life score based on the Acne-QoL-INA questionnaire was assessed at the baseline, 4th, and 8th week after therapy. Additionally, the assessment of lesion number and acne grading is also measured at each visit by a blinded evaluator through clinical photos.
Results: A total of 40 subjects with a median age of 24 years old (18–48), comprising 17.5% males and 82.5% females, participated in this study. The baseline Acne-QoL-INA scores for the combination therapy and the standard therapy group were 41 (37.5–57) and 45.5 (37–63), respectively. These scores increased to 79 (67.5–94.5) and 72.5 (59.25– 98.5) at week 8 but did not show statistically significant differences between the two groups (p=0.602). The baseline lesion count in both groups was 35 and 32, respectively, and decreased to 18 and 13 at week 8 (p<0.0001), with an improvement in the severity to mild acne in 100% of subjects by week 8.
Conclusion: There was no difference in Acne-QoL-INA scores and clinical improvement between the combination therapy and standard therapy groups in moderate AV patients. However, combination therapy tended to improve the quality of life and lesion reduction better than standard therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnawulan
"ABSTRAK
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang disertai peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (= HCG). Telah dilaporkan terjadinya gejala hipertiroidisme pada panderita mola yang ada kemungkinan berlanjut dengan timbulnya penyulit krisis tiroid yang dapat berakibat fatal. Hiperfungsi tiroid tersebut disebabkan pengaruh keaktifan tirotropik dari HCG. Penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar hormon tiroid pada penderita mola hidatidosa.
Dari bulan Maret sampai dengan Agustus 1986 telah diperiksa serum dari 12 penderita MR. Pemeriksaan dilakukan secara serial: sebelum pengeluaran jaringan mola, lalu dilanjutkan pada hari ke 3 - 5, 1 bulan dan 2 bulan sesudahnya.
Dilakukan penetapan kadar hormon tiroksin (= T4) dan ambilan tiroksin (= Ambilan T4) dengan cara "Enzyme Immuno Assay" (=EIA) menggunakan kit ENDAB Irmruno Assay, kemudian nilai Indeks tiroksin babas (= ITB) dihitung. Diperiksa pula kadar "Thyroid Stimulating Hormone" (=TSH) dengan cara Radio Immuna Assay (=RIA) dan kadar hCG urin dengan test aglutinasi.
Sebelum dilakukan pengeluaran jaringan mola ke 12 kasus semuanya menunjukkan tanda tanda hipertiroidisme secara laboratoris (Ti, ambilan T4, ITB) dengan atau tanpa disertai gejala klinia. Setelah pengeluaran jaringan mola kelainan ini akan menurun dan mencapai kadar normal pada kurang lebih 1 bulan sesudahnya. Kadar TSH makin meningkat tetapi masih dalam batas batas normal. Keadaan ini seiring dengan penurunan kadar hCG urin. Hasil-hasil tersebut sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti peneliti terdahulu.
Disarankan untuk memasukkan pemeriksaan kadar hormon tiroid pada protokol panatalaksanaan penderita mola hidatidosa untuk mempertimbangkan pengobatan terhadap kelainan barman ini dan menghindari penyulit yang mungkin terjadi. "
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artini Wijayanti Islami
"Latar belakang: Akne vulgaris AV adalah penyakit kulit yang ditandai dengan terjadinya sumbatan dan peradangan kronik pada unit pilosebasea. Penelitian sebelumnya tentang kadar lipid darah pada pasien AV menunjukkan hasil yang bervariasi. Lipid darah diduga memengaruhi aktivitas kelenjar sebasea.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar lipid darah dan kadar sebum dengan derajat keparahan AV, serta mengetahui korelasi kadar lipid darah dengan kadar sebum kulit wajah.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap 30 pasien AV non-obesitas, yang terbagi berdasarkan tiga derajat keparahan AV. Dilakukan pemeriksaan kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL darah dan kadar sebum kulit wajah pada SP.
Hasil: Terdapat korelasi yang bermakna antara kadar sebum dengan derajat keparahan AV r = 0,6689, p = 0,0001 . Tidak terdapat korelasi antara kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL darah dengan derajat keparahan AV. Tidak terdapat korelasi antara sebum kulit wajah dengan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL darah.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar lipid darah tidak memengaruhi keparahan AV dan kadar sebum, sedangkan peningkatan kadar sebum kulit wajah dapat meningkatkan keparahan AV.

Background: Acne vulgaris is a common chronic skin disease involving blockage and inflammation of pilosebaceous units. Previous studies about blood lipids in acne patients revealed variable results. Blood lipids were considered affecting sebum production.
Objective: To identify the correlation between blood lipids, sebum excretion rate and acne severity. This study also determines the correlation between blood lipids and sebum excretion rate.
Methods: This study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. This was a cross sectional study with total of 30 non obese AV patients. The patients were divided into 3 groups based on the severity of AV. Total cholesterol, triglycerides, LDL, HDL serum and sebum excretion rate were measured.
Results: The results revealed significant correlation between sebum excretion rate and severity of acne vulgaris r 0,6689, p 0,0001 . There were no correlation between total cholesterol, LDL, triglycerides, HDL and acne severity. Blood lipids had no correlation with sebum excretion rate.
Conclusion: The results of this study has proven that blood lipids does not affect the severity of acne and sebum excretion rate. While increased sebum secretion would increase acne severity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Artini Wijayanti Islami
"Latar belakang: Akne vulgaris AV adalah penyakit kulit yang ditandai dengan terjadinya sumbatan dan peradangan kronik pada unit pilosebasea. Penelitian sebelumnya tentang kadar lipid darah pada pasien AV menunjukkan hasil yang bervariasi. Lipid darah diduga memengaruhi aktivitas kelenjar sebasea.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar lipid darah dan kadar sebum dengan derajat keparahan AV, serta mengetahui korelasi kadar lipid darah dengan kadar sebum kulit wajah.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap 30 pasien AV non-obesitas, yang terbagi berdasarkan tiga derajat keparahan AV. Dilakukan pemeriksaan kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL darah dan kadar sebum kulit wajah pada SP.
Hasil: Terdapat korelasi yang bermakna antara kadar sebum dengan derajat keparahan AV r = 0,6689, p = 0,0001 . Tidak terdapat korelasi antara kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL darah dengan derajat keparahan AV. Tidak terdapat korelasi antara sebum kulit wajah dengan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL darah.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar lipid darah tidak memengaruhi keparahan AV dan kadar sebum, sedangkan peningkatan kadar sebum kulit wajah dapat meningkatkan keparahan AV. Kata kunci: akne vulgaris; kadar sebum; lipid darah.

Acne vulgaris is a common chronic skin disease involving blockage and inflammation of pilosebaceous units. Previous studies about blood lipids in acne patients revealed variable results. Blood lipids were considered affecting sebum production.
Objective: To identify the correlation between blood lipids, sebum excretion rate and acne severity. This study also determines the correlation between blood lipids and sebum excretion rate.
Methods: This study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. This was a cross sectional study with total of 30 non obese AV patients. The patients were divided into 3 groups based on the severity of AV. Total cholesterol, triglycerides, LDL, HDL serum and sebum excretion rate were measured.
Results: The results revealed significant correlation between sebum excretion rate and severity of acne vulgaris r 0,6689, p 0,0001 . There were no correlation between total cholesterol, LDL, triglycerides, HDL and acne severity. Blood lipids had no correlation with sebum excretion rate.
Conclusion: The results of this study has proven that blood lipids does not affect the severity of acne and sebum excretion rate. While increased sebum secretion would increase acne severity. Keywords acne vulgaris blood lipids sebum excretion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaima Amalia
"Keamanan pangan merupakan salah satu isu internasional. Bahaya penggunaan antibiotik pada budidaya hewan menjadi salah satu penyumbang timbulnya resistensi pada manusia. DiIndonesia, lazim digunakan antibiotik sebagai growth promotor pada budidaya hewan.Larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan tertulis dalam Undang-UndangNo. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperjelasdengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Tesis ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan, khususnya faktor kesehatan, hukum, politik, dan ekonomi. Penelitian menggunakan studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ekonomi memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan faktor politik, hukum dankesehatan.

Food safety is an international issue. Using antibiotic in poultry production is dangerous and it could be caused of antibiotic antimicrobial resistance for human. In Indonesia, poultries using antibiotic as growth promoter AGP. The prohibition of hormones andantibiotics as feed additive using written in Act 18 of 2009 on Livestock and Animal Health, which is then clarified by the Regulation of the Minister of Agriculture No.14 Permentan PK.350 5 2017 on Classification of Animal Drugs. This thesis discusses the factors that influence the making policy of prohibiting the use ofhormones and antibiotics as feed additive, especially health, legal, politic, and economicfactors.This is a descriptive study by qualitative approach. The data were collected by of in depthinterview and literature review. The result is the economy factor is more influence thanpolitic, legal and health`s factor."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Floryanti
"Latar belakang: Kanker payudara merupakan kanker dengan insiden tertinggi dan penyebab kematian utama akibat kanker pada perempuan di dunia. Penggunaan implan payudara pasca mastektomi maupun tujuan kosmetik juga ikut meningkat. Ultrasonografi, mamografi dan MRI adalah modalitas pencitraan utama dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara. Peranan USG dalam hal tersebut masih kontroversi; sensitivitas mamografi dilaporkan menurun sementara MRI terbatas penggunaanya akibat kendala ketersediaan dan biaya pemeriksaan tinggi. Telaah sistematis ini dibuat untuk menilai akurasi diagnostik USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara. Metode: Pencarian sistematis dilakukan pada Januari 2022 untuk mengidentifikasi studi yang menilai akurasi diagnostik USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara dengan referensi baku pemeriksaan patologi anatomi dengan menggunakan data dasar Scopus, PubMed, jurnal dan riset nasional, hand searching serta grey literature. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pada masing-masing uji indeks diekstraksi. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan menggunakan QUADAS-2. Hasil: Tiga belas studi diidentifikasi. Nilai sensitivitas USG terendah 62%, tertinggi 95%, spesifitas 93%. Nilai sensitivitas mamografi terendah 22%, tertinggi 80%, spesifitas 100%. Sementara itu, nilai sensitivitas MRI terendah 86%, tertinggi 100% dengan spesifisitas terendah 17%, tertinggi 75%. Sepuluh studi menunjukkan risiko bias tinggi pada salah satu domain, tiga studi di antaranya menunjukkan risiko bias tinggi pada domain yang lain. Kesimpulan: Akurasi diagnostik modalitas USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara sangat bervariasi.

Background: Breast cancer is cancer with the highest incidence and leading cause of cancer death among women worldwide. Breast implant use for post mastectomy patients and for cosmetic purposes is also increasing. Ultrasonography, mammography and MRI are imaging modalities mostly used to detect breast lesions in patients with breast implants. Ultrasound role is still unclear; mammography has been reported to have lower sensitivity while MRI availibility is still limited and highly cost. This systematic review is written to analyze diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI in detecting breast cancer in patients with breast implants. Methods: Studies contained diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI in detecting breast cancer lesions with pathological examination as reference standard were identified. Scopus, PubMed, national journals and research, hand searching and grey literatures were systematically searched through January 2022. Sensitivity and specificity value of each index tests from eligible studies is extracted. Methodological quality was assessed using QUADAS-2. Results: Thirteen studies were identified. The lowest and the highest sensitivity value are 62% and 95 % for ultrasound, 22% and 80 % for mammography, 86% and 100% for MRI while specificity value are 93% for ultrasound, 100% for mammography, the lowest and the highest of MRI 17% and 75%, respectively. Ten studies demonstrated high risks of bias in one domain with three of them also have high risk of bias in another domain. Conclusion: Diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI to detect breast cancer in patients with breast implants is varied."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>