Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165525 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Trianto
"Setiap bentuk pemberian kredit memiliki risiko untuk mengurangi risiko dalam penyaluran kredit adalah melakukan kerja sama pemberian kredit atau disebut juga kerja sama pembiayaan antarbank. Bentuk kerja sama pembiayaan yang umum dilakukan oleh bank-bank lebih dikenal dengan kredit sindikasi. Dalam praktik, permasalahan mengenai kredit macet tetap saja muncul. Salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk masalah tersebut adalah melalui hukum kepailitan. Permasalahan yang sering dihadapi dalam hal kepailitan kredit sindikasi adalah siapa yang berwenang untuk melakukan permohonan pailit kepada debitor apabila para kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi, apakah pernyataan pailit tersebut harus dilakukan oleh seorang agen ataukah dibolehkan pula kreditur itu sendiri mengajukan permohonan pailit dengan atau dengan tanpa persetujuan kreditur lainnya? Menurut UUKPKPU, seorang debitor dapat dipailitkan oleh satu atau lebih kreditornya. Akan tetapi, dalam UUKPKPU tidak dijelaskan secara terperinci perihal kreditor mana yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit apabila kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi. UUKPKPU menyebutkan hanya satu kali perihal kreditor sindikasi, yaitu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut ?Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2?. Sedangkan Pasal 1 angka 2 menyebutkan ?Kreditor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan?.Hal ini berarti, UUKPKPU tidak membedakan kedudukan kreditur dari suatu perjanjian biasa atau perjanjian sindikasi. Seorang debitor dapat dipailitkan oleh salah satu atau lebih kreditornya. Mengingat dalam skema sindikasi kredit, terdapat agen fasilitas yang mendapatkan kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama para kreditor termasuk untuk mewakili ke pengadilan. Kepailitan dapat terjadi dikarenakan debitur dalam keadaan tidak membayar hutangnya pada kreditor yang sudah jatuh tempo, dan bila kepailitan tersebut terjadi terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi, maka hal ini akan menimbulkan masalah bagi peserta kreditur sindikasi yang berhak mengajukan permohonan pailit, mengingat kreditor dalam kredit sindikasi dianggap sebagai kreditor Pasal 1 angka 2 UUKPKU. Dalam kredit sindikasi terdapat agen bank mempunyai peran yang besar, yaitu mewakili dan bertindak untuk kepentingan serta untuk dan atas nama para kreditur, pihak agen bank ini diangkat oleh para kreditur, serta hak atau kewenangan agen tersebut sudah diatur oleh para kreditor dengan agen itu. Masing-masing peserta sindikasi tidak mempunyai hubungan hukum yang langsung dengan debitur, karena itu tidak dapat berhubungan langsung dengan debitur, dengan demikian anggota dari peserta sindikasi tidak berhak menegur atau menagih pembayaran kredit pokok atau bunganya kepada debitur apabila debitur menunggak pembayaran, segala perbuatan hukum termasuk menyurati debitur hanya dapat dilakukan oleh agen. Penelitian ini akan berupaya untuk menjawab permasalahan-permasalahan berikut: Bagaimanakah ketentuan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diterapkan (ditaati) oleh para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan di dalam kredit sindikasi? Bagaimanakah hakim menerapkan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya dalam putusan pengadilan yang dibuatnya? Bagaimanakah para pihak yang terlibat dalam kredit sindikasi khususnya peserta kredit sindikasi dan agen fasilitas mencari celah (loophole) untuk melakukan pengajuan permohonan pailit, mengingat ketentuan mengenai kepailitan terhadap kredit sindikasi masih belum diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? Analisis yang dilakukan untuk menjawab pokok permasalahan tersebut akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan ialah pendekatan (approach) dari sudut pendekatraktan ilmu hukum, baik secara yuridis (apa yang tertulis di dalam undang-undang) maupun empiris (apa yang terjadi di dalam praktik).

Every form of credit has an inherent risk along with it. To reduce the risk in credit provision, a distribution of the risk can be done by the means of credit provision cooperation or also known as interbank financing cooperation, with its most common form known as syndicated loan. In its application, the problem of nonperforming loan still arises. One of the solutions to such problem is the mechanism of Bankruptcy Law. The most common issue to the bankruptcy of syndicated loan is determining the party authorized to file for the bankruptcy of the debtor. When creditors are bound by syndicated loan agreement, does the bankruptcy filing fall within the duty of an agent or can any creditor file by himself with or without the approval of other creditors? According to the Bankruptcy Law, a debtor can face a bankruptcy charge from one or more of her creditors. However, the Law does not elaborate on which creditor reserves the right to file for bankruptcy in the case of syndicated loan. Only once does the Law mention the syndicated loan, that is in the Explanation of Article 2 number (1) as follows: "When there is a syndication of creditors, then each creditor is a creditor as mentioned in Article 1 number 2". Where Article 1 number 2 stipulates "Creditor is a person owning a debt which, by agreement or law, is collectible in front of Court". This means that the Bankruptcy Law does not apply any differentiation to the creditor within either a normal agreement or a syndication agreement. A debitor can be made bankrupt by one or more of her creditors. Taking into account the credit syndication scheme, an agent is authorized to act for and on behalf of the creditors, including the presence in the Court. A bankruptcy can take place due to the debtor's failure in paying her debts in due time to her creditors. And when such bankruptcy happens to a debtor bound by the syndicated credit agreement, the creditors in the syndicated loan will face an issue given that creditors in such syndicated loan is treated as a creditor in accordance to Article 1 number 2 of Bankruptcy Law. In a syndicated credit, there is a bank agent playing an important role, that is to represent and to act for the interest of and on the behalf of all the creditors. This bank agent is appointed by the creditors, and the rights and authorities of the agent are already part of the agreement between the creditors and the appointed agent. Each of the participants to the syndication does not have any direct legal connection to the debtor and thus is not able to communicate directly to the debtor. As such, any participant to the syndication has no right to collect payments to the credit, both of the principal or the interest, from ttrak Bhe debtor in the case of payment arrears. All legal action including the correspondence to the debtor is only performable by the agent. This research attempts to answer the following issues: How is the stipulation of Article 2 number (1), along with its explanation, of Act No. 37 Year 2004 applied (or abided) by the parties involved in the bankruptcy proceedings in syndication credit? How do the Judges apply Article 2 number (1), along with its explanation, in rendering their Judgement? How can the parties involved in credit syndication, particularly the participants to the syndicated credit and the agent find a loophole in filing for the bankruptcy, taking into account that stipulations regarding bankruptcy in a syndicated loan are still seeing gaps in Act No. 37 Year 2004? Analysis held to answer the main issue employs the normative research methods, with both legal (according to the letters of law) and empirical (according to the real-life application) approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Marlina
"Tesis ini membahas tentang peran PPAT dalam jual beli harta pailit berupa tanah yang dikaitkan dengan Pasal 185 Ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif. Tesis ini menyimpulkan bahwa dalam penjualan harta pailit berupa tanah yang menjadi penjual adalah kurator berdasarkan ketentuan Pasal 24 juncto 69 Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Dalam menuliskan komparisi kurator selaku penjual, PPAT harus memberikan keterangan mengenai dasar kewenangan bertindak kurator yaitu putusan pailit yang menjadi dasar penunjukannya dan penetapan hakim pengawas yang memberikan izin penjualan harta pailit tidak melalui lelang.

This thesis discussed the role of PPAT in the bankruptcy assets purchase and sale in the form of land associated with article 185 paragraph 2 of Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. This thesis is a legal normative research. This thesis concluded that in the purchase and sale of bankruptcy assets in the form of land, curator acting as the seller under the provisions of Article 24 conjunction with Article 69 Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. In writing a curator position as a seller, PPAT should provide legal bases of curator's authority which are the bankruptcy decision that also mention curator appointment and stipulation from supervisory judge that authorize curator to sell bankruptcy asset without auction.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28998
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fairus Harris
"Tesis ini membahas mengenai upaya yang dilakukan kreditor separatis melakukan eksekusi atas jaminan hak kebendaan yang dimilikinya dalam jangka waktu yang ditentukan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Permasalahan dalam penulisan ini mengenai kedudukan kreditor separatis dalam proses kepailitan dan proses eksekusi jaminan yang dilakukan kreditor separatis dengan adanya pembatasan jangka waktu.
Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif. Dalam proses kepailitan terdapat batasan-batasan terkait hak yang dimiliki kreditor separatis untuk mengeksekusi sendiri jaminan hak kebedaan. Pembatasan yang utama mengenai jangka waktu untuk memulai melaksanakan haknya dalam melakukan eksekusi jaminan tersebut.

This thesis discusses the efforts made by separatist creditors in order to execute their security right of goods in the prescribed period by law of Bankruptcy and Suspension Of Obligation For Payment Of Debts. Problems are regarding the separatist creditor in a process of bankruptcy and the process of execution by separatist creditor in restriction period.
The legal research was carried out through normative research with qualitative data processing. In a process of bankruptcy, there are limitations imposed related to the separatist creditor's rights, to execute by himself the security right of goods that his owned. The main limitation is the defined time period for separatist creditor to begin exercising his rights to execute that security right.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinnisa Anadya
"Adanya perbedaan antara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berlaku di Indonesia dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang terjadi akibat Rehabilitasi berdasarkan Financial Rehabilitation and Insolvency Act FRIA di Filipina menyebabkan perlunya perbandingan mengenai PKPU dengan negara lain. Filipina merupakan negara ASEAN pertama yang sudah mengadopsi UNCITRAL Model Law yang mengatur tentang kepailitan lintas negara. Undang-undang kepailitan di Filipina dianggap selangkah lebih maju daripada undang-undang yang berlaku di Indonesia. Tulisan ini akan mengkaji mengenai perbandingan PKPU di Indonesia dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang akibat Rehabilitasi di Filipina serta menjelaskan mengenai perbedaan apa saja yang ada dalam kedua sistem tersebut.

The difference between Suspension of Payment PKPU based on Law Number 37 Year 2004 applicable in Indonesia and Suspension of Payment due to Rehabilitation under the Financial Rehabilitation and Insolvency Act FRIA in the Philippines led to the need for comparison of PKPU with other countries. The Philippines is the first ASEAN country to have adopted the UNCITRAL Model Law that governs cross border insolvency. Insolvency law in the Philippines is considered one step ahead of Indonesian law. This paper will examine the comparison of PKPU in Indonesia and the Suspension of Payment due to Rehabilitation in the Philippines and explain what differences exist within the two systems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Alfredo
"Hubungan bisnis dilakukan oleh pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lainnya dalam dunia usaha dengan tujuan ekonomis, yaitu mendapatkan keuntungan. Dalam prakteknya perikatan yang dilakukan para pelaku bisnis tersebut terkadang menimbulkan masalah di saat perikatan yang disepakati oleh para pihak ternyata tidak dapat dilaksanakan, yang kemudian menimbulkan utang yang harus dipenuhi. Penyelesaian utang piutang itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur kepailitan melalui Pengadilan Niaga, apabila ternyata terdapat dua atau lebih pihak yang mempunyai piutang terhadap debitur yang memiliki utang. Adapun pengertian utang sebagai salah satu syarat penting dalam perkara kepailitan inilah yang kadangkala menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana hukum. Hal ini disebabkan karena meskipun telah diberikan definisi secara jelas melalui Undang-Undang Kepailitan 2004 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tetapi pemahaman Hakim atas batasan-batasan pengertian tersebut seringkali menjadi rancu apalagi apabila dikaitkan dengan persyaratan kepailitan yang lain, yaitu jatuh waktu serta dapat ditagih, dan perlunya pembuktian secara sederhana atas adanya utang tersebut. Pengertian utang secara mendalam yang tidak hanya berasal dari konstruksi perjanjian pinjam meminjam, melainkan juga berasal balk karena perjanjian lainnya atau karena adanya perikatan yang lahir karena undangundang inilah yang harus dipahami oleh Hakim, dimana pelaksanaan Undang-Undang Kepailitan 2004 dengan demikian dapat dilakukan secara maksimal.

Business relations are done between one business practitioners with another with the economic purpose of achieving profit. In practice, contract between business practitioners sometimes causes difficulty when it can not be fulfilled, which then resulted in the form of debt which must be remunerated. The completion of the debt itself can be done through bankruptcy process in Business Court, if there are two or more parties acting as creditors to the debtor. Whereas, although it has been explained thoroughly in Bankruptcy Act 2004 and Civil Code Book, there are still arguments amongst law scholars regarding debt as one of important conditions in bankruptcy cases. It is caused by the lack of understanding from the Judges on the boundaries of debt, especially if it was connected with other bankruptcy conditions of overdue and liable, also the need of simple evidential phase on the debt. Therefore Judges should have profound knowledge on debt, as not only liabilities derived from loan agreement, but also resulting from other agreements or because of contract which were originated from the law, in order to have the Bankruptcy Act 2004 be exercised properly."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Prisillia
"Tesis ini merupakan analisa terhadap pengaturan mengenai rehabilitasi bagi debitur pailit dalam perkara kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berlaku di Indonesia, diatur mengenai rehabilitasi, dimana Rehabilitasi tersebut dapat memulihkan nama baik serta keadaan debitur pailit seperti sebelum terjadinya kepailitan. Namun dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur mengenai kepailitan notaris, sanksi dari kepailitan yang dialami notaris tersebut adalah pemberhentian secara tidak hormat. Mengenai rehabilitasi terhadap notaris yang telah dijatuhi kepailitan belum diatur lebih lanjut mengenai pengangkatan kembali apabila notaris tersebut telah direhabilitasi atau dipulihkan. Hal tersebut menimbulkan ketidak sesuaian antara Undang-Undang Kepailitan dan Undang-Undang Jabatan Notaris, dimana seharusnya rehabilitasi dapat memulihkan keadaan debitur pailit tetapi tidak mengembalikan keadaan notaris seperti sebelum dipailitkan. Untuk melihat pengaturan mengenai pemulihan keadaan terhadap notaris yang telah dipailitkan, penulis melakukan studi komparatif terhadap Peraturan Notaris di Jepang yang telah melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai keadaan notaris yang telah pailit dan dipulihkan keadaannya.

This thesis is an analysis of the regulation on rehabilitation of debtors in bankruptcy cases. Indonesia rsquo s Bankruptcy Law regulates the rehabilitation, which can restore the name and the condition of the bankrupt debtor as before the bankruptcy happened. Meanwhile, Indonesia rsquo s Notary Law which regulates a dishonorable dismissal as a sanction to a bankrupt notary, does not regulate more about the rehabilitation of the bankrupted notary. The notary who had been sentenced for bankruptcy can be rehabilitated as regulated by the Bankruptcy Law. However, the Notary Law does not regulate more about the reappointment of the notary who has been rehabilitated or restored. This circumstances causes a misalignment concept of rehabilitation between the Bankruptcy Law and Notary Law, in which rehabilitation that should be able to restore the debtor 39 s condition but does not restore the condition of a bankrupted notary as before the bankruptcy happened. To study more about the situation of a notary who has been bankrupted, the authors conducted a comparative study of the Japanese Notary Regulation who have regulate more about a bankrupted notary who has been restored."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrie Sekarlaranti Lestari
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaturan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam rangka restrukturisasi utang di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Amerika Serikat akibat dari Reorganisasi Perusahaan berdasarkan Chapter 11 US Bankruptcy Code serta memberikan analisis perbandingan atas pelaksanaan kedua hal tersebut. Penulis mempergunakan metode penelitian eksplanatoris-analitis dengan studi kepustakaan yang dilengkapi dengan studi kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara PKPU dalam konsep Hukum Kepailitan Indonesia dengan PKPU sebagai akibat dari Reorganisasi Perusahaan dalam Hukum Kepailitan Amerika Serikat. Perbedaan tersebut terletak pada kedudukan masa penundaan kewajiban pembayaran utang itu sendiri; jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang di antara keduanya; serta prosedur yang berlaku pada masingmasing konsep, yakni dalam hal eksistensi Pengurus atau Trustee pada PKPU dan Reorganisasi Perusahaan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan terkait dengan kesepakatan akhir yang dihasilkan oleh proses penyelesaian perkara kepailitan pada masing-masing konsep.

This research aimed to explain the regulation of Suspension of Payment in accordance with debt restructuring in Indonesia based on Law Number 37 Year 2004 and Suspension of Payment in United States of America due to corporate reorganization based on Chapter 11 US Bankruptcy Code. Furthermore, this research contained of comparative analysis regarding the implementation of those concepts. This research uses the concept of analytical-explanatory method by means of literature study complemented by case study.
The results of this research showed that there are some differences between the concept of Suspension of Payment based on Indonesian Bankruptcy Law with the Suspension of Payment as the impact of corporate reorganization in the concept of American Bankruptcy Law. The differences are reposed in the standing of the Suspension of Payment itself, the period of Suspension of Payment between those concepts and the procedures applied to each concept, in the matter of the existence of the Undertaker and the Trustee on Suspension of Payment and corporate reorganization. The results also showed the differences related to the final agreement generated by the process of bankruptcy case settlement of each concept.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43085
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Wijaya Oei
"Tesis ini membahas tentang Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pembatalan perdamaian penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh para kreditor pemegang obligasi dengan dasar pertimbangan bahwa Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Pasar Modal mengatur pemegang obligasi harus diwakili oleh wali amanat di dalam maupun di luar pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif untuk menghasilkan data bersifat deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemegang obligasi berhak untuk mengajukan tuntutan perkara kepailitan tanpa harus melalui wali amanat. Hal ini dikarenakan berlakunya asas perundang-undangan yaitu asas lex specialis derogat legi generali yang mengatur bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu meskipun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas namun dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. Dengan demikian, untuk perkara kepailitan haruslah diberlakukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemegang obligasi memenuhi segala syarat kreditor yang diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dan pada penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.

This thesis discusses the Decision of Central Jakarta Commercial Court that rejected the cancellation of a reconciliation request filed by bondholders under the basis of Article 51 paragraph (2) of the Capital Market Law which dictates that bond holders must be represented by a trustee in, or outside a court. This study uses library research methods in a normal juridical manner to provide descriptive analytical data.
This research concludes that bondholders are entitled to file a lawsuit directly to the defendant without the need of being represented by a trustee. Based on lex specialis derogat legi generali, in a specific circumstance, laws concerning that circumstance must be applied even though laws that cover more general circumstances may also be applied to the same specific circumstance. Therefore, for a bankruptcy case as such, Law No. 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts must be enacted. Bondholders must satisfy all the creditor requirements that is stated in Article 1 Paragraph (2) of Law No. 37 Year 2004, the article is interpreted as such: in case of syndicated creditors, each of the creditors shall mean the creditor as referred to in Article 1 Paragraph (2).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Rezkyanti
"Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran mengatur kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang mempunyai 2 (dua) prosedur dan ketentuan yang berbeda khususnya tentang masa insolvensi.
Penelitian ini membahas tentang penerapan ketentuan jangka waktu yang diberikan oleh Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 kepada kreditur separatis untuk melakukan eksekusi obyek jaminan debitur pailit. Jangka waktu eksekusi ini dibatasi selama 2 (dua) bulan dihitung dari terjadinya masa insolvensi. Pada ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang masa insolvensi ini terjadi saat pernyataan pailit yang diucapkan setelah penundaan kewajiban pembayaran utang sedangkan pada ketentuan kepailitan masa insolvensi terjadi ketika tidak terjadi perdamaian pada saat rapat verifikasi piutang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif.
Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan ini perlu diperhatikan oleh kreditur separatis agar tetap dapat melaksanakan haknya untuk mengeksekusi objek jaminannya melalui lelang. Kesalahan dalam menentukan masa insolvensi ini akan mengakibatkan kreditor separatis tidak dapat menggunakan haknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"Dalam hal harta debitor pailit yang ditemukan saat proses pengurusan dan pemberesan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, Hakim Pengawas mengusulkan kepada Hakim Pemeriksa untuk melakukan pencabutan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUK & PKPU. Namun, dalam Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No. 1037.K/PDT.SUS/2010 yang mengajukan pencabutan pernyataan pailit adalah Kurator dengan hanya berdasarkan dugaan tidak ditemukan harta pailit. Permohonan pencabutan kepailitan oleh Kurator yang demikian tentu akan merugikan para kreditor untuk memperoleh pembayaran. Padahal, UUK & PKPU seyogyanya tidak hanya memberikan perlindungan kepada debitor, tetapi juga para kreditor.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder atau studi kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa informan sebagai data tambahan yang menunjang atau melengkapi data sekunder.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Kurator dapat mengajukan permohonan pencabutan pernyataan pailit dengan terlebih dahulu melakukan rapat panitia kreditor untuk memastikan bahwa debitor pailit sudah tidak memiliki harta lagi untuk membayar biaya kepailitan, dan Kurator juga harus memperoleh izin dari Hakim Pengawas. Sehubungan dengan hal tersebut maka ada beberapa saran dari peneliti untuk melakukan pembaharuan terhadap UUK & PKPU, khususnya terkait prosedur dan tahapan pencabutan kepailitan.

In case that the debtors assets discovered during the management and settlement process of the bankruptcy assets are insufficient to cover the bankruptcy charge, the Supervisory Judge shall propose to the Panel of Judges to revoke bankruptcy decision as stipulated under Article 18 paragraph (1) of Law No. 37/2004. Having said that, however, on the Central Jakarta Commercial Court Verdict Number 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. the Supreme Court Verdict Number 1037.K/PDT.SUS/2010, instead of the Supervisory Judge, it is the Receiver who proposed to revoke the bankruptcy decision merely based on unreasonable assumptions stating the debtors assets were insufficient. Such revocation proposal may have harmed the creditors to receive immediate payment. Whereas, Law No. 37/2004 implicates that reasonable protection should not only be given for the interest of the debtor, but also the creditors.
This research is a juridical-normative using secondary data or library research comprising primary, secondary, and tertiary legal materials. Additionally, the researcher also conducted key informants interview to further support and complement the secondary data.
The research shows that the Receiver may propose to revoke the bankruptcy decision by covening the creditors meeting in advance to ensure that the debtor does not have sufficient assets, and the Receiver must have obtained an authorization from the Supervisory Judge prior to the revocation proposal. In connection therewith, some recommendations for possible amendments to the Law No. 32004 are provided, specifically on the procedure and phase of bankruptcy revocation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>