Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34053 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Warsito
"Penulisan tesis ini berangkat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 terkait uji meteri beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena dianggap bertentangan dengan ketentuanketentuan yang ada dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu putusan penting Mahkamah Konstitusi adalah mengubah Pasal 1 angka 6 dengan menghapus kata "negara" sehingga menjadi ?hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat?. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, status hutan adat dipulihkan kembali menjadi salah satu obyek hak ulayat dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dengan banyaknya pengakuan atau klaim dari masyarakat hukum adat atas hutan adat, maka diperlukan analisis mengenai pemulihan hutan adat sebagai hak ulayat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, khususnya terkait kriteria kepemilikan hutan adat sebagai hak ulayat dalam konsep negara kesatuan, status kepemilikan atas tanah dan izin pada hutan adat serta mekanisme dan peran pemerintah dalam rangka pemulihan hutan adat sebagai hak ulayat. Metodologi yang digunakan yaitu studi normatif dan empiris dengan model deskriptif kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa untuk membuktikan kepemilikan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat diperlukan penelitian terhadap keberlangsungan penguasaan dan penggunaan hutan adat baik sebagai tempat tinggal maupun tempat memenuhi kebutuhan hidup seharihari dan tidak hanya sekedar pengakuan atau klaim semata. Hasil penelitian tersebut merupakan salah satu dasar pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah, dan selanjutnya menjadi rujukan bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan penetapan hutan adat sebagai hak ulayat tidak ternyata menghapus hak-hak pihak lain atas tanah maupun izin yang diperoleh sebelum penetapan hutan adat. Kesimpulan penting dari hasil analisis yaitu penetapan hutan adat sebagai hak ulayat harus sesuai prinsip-prinsip negara kesatuan dengan batasanbatasan yang telah ditentukan baik dalam UU Kehutanan maupun UU tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

This thesis departs from the decision of the Constitutional Court number 35/PUU-X/2012 related judicial test several articles in Law No. 41 of 1999 on Forestry because it is contrary to the provisions contained in the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945. With the decision of the Constitutional Court, the status of indigenous forests restored into one of the objects within the jurisdiction of communal rights of indigenous peoples. With so many confessions or claims of indigenous people on indigenous forests, it would require an analysis of the recovery of the communal rights of indigenous forest after the Constitutional Court decision number 35/PUU-X/2012, particularly related to the ownership criteria as communal rights of indigenous forest in the concept of the unitary state, status of land ownership and permissions on indigenous forests and the mechanisms and the role of government in order to recovery the communal rights of indigenous forest. The methodology used is normative study with qualitative descriptive models. The results of the study showed that to prove ownership of indigenous forests as communal rights of indigenous people needed research on the sustainability of communal tenure and forest use either as a residence or a place to meet the needs of everyday life and not just a mere acknowledgment or claim. The results of these studies is one of the basic recognition of customary laws and communal rights by local governments through local legislation, and subsequently became a reference for the central government to establish communal rights of indigenous forest as indigenous peoples. The determination of customary rights of indigenous forest as it turns out doesn?t remove the rights of other to land and permission obtained before the establishment of indigenous forests. Important conclusion from the analysis is the determination of the communal rights of indigenous forest should be according to the principles of the unitary state with the limits specified either in the forestry laws and regulation laws on agrarian basis points.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agnes Permata Sari
"Pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dengan memberikan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Namun dalam penerbitannya seringkali membawa akibat hukum bagi para pihak. Salah satu contohnya terdapat penerbitan sertipikat oleh Kantor Pertanahan yang secara yuridis kawasan tersebut adalah kawasan hutan dan belum mendapat keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih antara areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman dengan Izin Usaha Perkebunan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kurang menunjangnya data fisik dimana belum terdapatnya sistem update peta secara otomatis atas segala tindakan hukum yang dilakukan pemerintah sehingga menyebabkan kekeliruan dalam mengambil suatu kebijakan.

Land registration in Indonesia aims to ensure legal by giving a certificate. However in issuing the certificates often carry legal consequences for the parties. One example is the presence of dispute of the issuance of the certificate by the Land Office, which legally the region is forest area and has not, received a decision the forest area release from the Minister of Forestry. Due to this, there is an overlap between the areas of Business License Utilization of Forest Plants with Plantation Business and the rights over the land. The method used in this research is normative juridical research using secondary data. This study concluded that the lack of support that the physical data which has not been the presence of the map automatically updates the system for any legal action taken by the government, causing an error in taking a policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Djamal
"Penelitian ini bermaksud menggambarkan strategi dalam perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan Cagar Alam Gunung Simpang (CAGS). Kawasan hutan CAGS adalah kawasan konservasi yang mengalami tekanan dari penduduk sekitar kawasan berupa penebangan liar dan perambahan, yang mengakibatkan kerusakan hutan CAGS. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan diantaranya pasokan air berkurang dan munculnya isyu perebutan tanah. Pada gilirannya isyu-isyu tersebut telah memicu lahirnya konflik baik antar warga masyarakat maupun antara warga masyarakat dengan pihak pengelola kawasan CAGS (BKSDA). Dalam melihat hal tersebut, digunakan konsep adaptasi. Konsep ini mengasumsikan bahwa baik individu maupun masyarakat akan mengembangkan berbagai strategi untuk mengadaptasi berbagai persoalan yang dihadapi. Sedangkan untuk mendapatkan informasi tentang persoalan tersebut, dilakukan beberapa metode dan teknik, diantaranya dengan melalui pengamatan dan wawancara mendalam, kepada informan.
Hasil studi ini menunjukkan, bahwa faktor yang mendorong maraknya penebangan liar dan perambahan diantaranya penegakan hukum yang lemah dari aparat berwenang dan mekanisme keterlibatan warga masyarakat yang tidak jelas dalam proses pengelolaan kawasan hutan. Akibatnya, praktik pemafaatan hutan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak terkendali, sehingga merusak dan menganggu ekosistem kawasan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, masyarakat mengembangkan strategi adaptasi. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan CAGS adalah dengan cara membuat aturan berikut dengan organisasi yang bertangung jawab untuk mengontrol aktifitas warga masyarakat dalam mernanfaatkan sumber daya hutan CAGS. Keberadaan aturan dalam bentuk perda (peraturan desa) dan lembaga lokal (Raksabumi) dapat dipandang sebagai bentuk keterlibatan warga masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian kawasan hutan CAGS.
Keberadaan institusi lokal, sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan konservasi, telah mampu mengatasi persoalan lokai yang dihadapi oleh masyarakat, seperti pcnebangan liar, perambahan, dan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hal tersebut salah satunya, dibuktikan dengan tidak ada aktivitas warga dalam bentuk penebangan liar dan perambahan sejak tahun 2003.
Kendatipun demikian, pembangunan dan pengembangan lembaga lokal harus diikuli dengan pembanguan dan pengembangan pada sektor yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan warga masyarakat melakul-can tekanan terhadap kawasan hutan, diantara faktor lain tersebut adalah kesejahteraan dan pendidikan. Oleh karena itu perlu ada upaya perlingkatan ekonomi dan pendidikan warga masyarakat sekitar kawasan CAGS. Karena bukan tidak mungkin, pada gilirannya, persoalan ekonomi dan tingkat pendidikan rendah akan memicu kembali warga masyarakat untuk melakukan aktifitas yang dapat merusak kawasan CAGS."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezti Muthia
"Penelitian ini memaparkan tentang pemaknaan self-determination yang awalnya dipahami sebagai hak untuk merdeka dan memisahkan diri melalui Declaration on the Granting of Independence to Colonial Peoples, menjadi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam konteks HAM bagi indigenous peoples. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif interpretif, penelitian ini mengeksplorasi perdebatan pada proses penyusunan teks deklarasi indigenous rights di PBB yang dimulai pada tahun 1984-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, walaupun pemaknaan pada akhirnya diterima secara resmi sebagai self-determination yang dibatasi, masih terdapat unsur-unsur ldquo;kolonialisme berlanjut rdquo; advanced colonialism yang masih berlanjut yang menyebabkan masih sulitnya negara menerima pemaknaan self-determination yang bersifat internal. Selain itu, dipaparkan pula mengenai kondisi pengakuan masyarakat adat di Indonesia sebagai refleksi atas permasalahan terhadap pemaknaan self-determination.

This study elaborates the meaning of self determination which was originally conceived as the right to independence and secession by Declaration on the Granting of Independence to Colonial Peoples, becomes the rights to self determination in the context of rights for indigenous peoples. By using qualitative interpretive approach, this study explores the debate on the process of preparing the text of the UN Declaration on Indigenous Rights from 1984 2007. The result shows that,even though the meaning is accepted formally in form of restricted self determination, there are elements of advanced colonialism that led to the difficulty for states to accept the context of internal meaning of self determination. This study also presents the condition on recognition of ldquo masyarakat adat rdquo in Indonesia as a reflection on the problems on the meaning of self determination."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mawuntu, Joyce Helen
"ABSTRAK
Salah satu kelompok masyarakat hukum adat yang ada hingga saat ini adalah kelompok masyarakat adat di Kabupaten Lebong. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan pegunungan Bukit Barisan. Mereka hidup dari hasil memanfaatkan dan mengolah sumber daya hutan yang ada di sekitar mereka.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996, tertanggal 1 Mei 1996, telah mengubah fungsi dan menunjuk sebagian kawasan hutan di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu seluas +/-1.368.000 Ha, menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 901/Kpts-11/1999, tertanggal 14 Oktober 1999 Ditetapkan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang terletak di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu dengan luas 1.375.349,867 (satu juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu tiga ratus empat puluh sembilan delapan ratus enam putuh tujuh perseribu) hektar.
Bahwa berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1990, kedudukan Masyarakat Hukum Adat serta Hak Ulayat yang dimilikinya secara tegas diakui. Akan tetapi dalam UU No. 41/1999, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi beberapa syarat, artinya keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam satu wilayah teritorial di Indonesia diakui sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dan keberadaannya harus diakui oleh Pemerintah Daerah setempat. Selanjutnya implementasi penyetenggaran otonomi daerah Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu terhadap peningkatan kesejahteraan' Masyarakat Hukum Adat akibat pelaksaaan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 192/Kpts-II/1996 yang menetapkan kawasan TNKS sebagai kawasan cagar biosfer, belum memberikan tingkat kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat yang maksimal dikarenakan ketika terjadi pembatasan akses terhadap Masyarakat Hukum Adat terhadap hutan, hal tersebut tidak diikuti dengan kebijakan pemberdayaan ekonomi Masyarakat Hukum Adat yang tinggal sekitar kawasan hutan.
"
2007
T 19650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
wei Tsai, Chih
"Indigenous hunting has always been an indigenous human rights core issue that has received high attention in the conflict between national laws and indigenous legal traditions. J.Y. Interpretation No. 803 affirmed indigenous hunting culture is a constitutional guaranteed fundamental right enjoyed by individual indigenous people. Nevertheless, the said Interpretation did not satisfy indigenous claimant’s assertions. The most critical are the collective nature of indigenous right and the aboriginal title still in the predicament of unclear concept and undetermined content. This article starts with a brief comparative law study, and then analyzes the said Interpretation, and continues with the theory of multicultural constitutionalism to make the argument based on the indigenous claims of traditional territorial rights."
Taipei: Taiwan Foundation for Democracy, 2022
059 TDQ 19:3 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau pembangunan dibidang perekonomian selalu memperhatikan lingkungan hidup disegala sektor, termasuk kehutanan. Objek kajian ini adalah putusan MK No. 35/ PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah dilanggar hak konstitusionalnya. Tujuan dari pengkajian ini adalah: pertama, untuk menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal putusan Mahkamah Konstitusi; dan kedua, menjamin dan menganalisis terlaksananya prinsip-prinsip ekokrasi atas penguatan hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagai living law dalam pengelolaan hutan adat, sebagai konsekuensi logis Indonesia penganut demokrasi berbasis lingkungan dan green constitution. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini. Hasil kajian ini terungkap bahwa pertama, terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubunan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan Adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah. Kedua, Pelaksanaan pembangunan nasional ataupun daerah selama ini selalu memprioritaskan unsur ekonomi atau dalam konteks otonomi daerah lebih mengutamakan pendapatan asli daerah, tanpa memperhatikan demokrasi lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Nur Hidayah
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas jejaring advokasi transnasional yang dilakukan non-state actor dalam menyelesaikan konflik HAM yang muncul di dalam sebuah Negara. Dalam skripsi ini, penulis meneliti AMAN sebagai non-state actor di Indonesia dalam menyelesaikan pelanggaran hak yang dialami indigenous peoples Kepulauan Aru sebagai studi kasus. Dengan menggunakan Transnational Advocacy Network TAN dari Keck dan Sikkink sebagai model analisis, penulis berupaya menganalisis strategi advokasi transnasional yang dilakukan AMAN dalam melindungi dan menegakkan hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dikarenakan terdapat investor yang memasuki wilayah hutan Aru yang merupakan wilayah adat indigenous peoples. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AMAN sebagai non-state actor mampu membentuk jejaring transnasional sehingga memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia dengan menggunakan 4 empat tipologi analisis taktik TAN, yaitu: information politics politik informasi , symbolic politics politik simbolik , leverage politics politik pengaruh , dan accountability politics politik tanggung jawab.

ABSTRAK
This study discussed transnational advocacy network on indigenous peoples rsquo rights. In this thesis, the writer analyzed AMAN as non state actor in Indonesia and its advocacy to address human rights violation of indigenous peoples in Kabupaten Kepulauan Aru. Using Transnational Advocacy Network TAN of Keck and Sikkink as frame of thought, the writer analyzed the transnational advocacy conducted by AMAN to protect and maintain the rights of indigenous peoples in Kepulauan Aru. The finding of this study showed that AMAN as non state actor is able to conduct a transnational network. AMANS succeed giving pressure to Indonesia government by using four typology of TAN tactics, which are information politics, symbolic politics, leverage politics, and accountability politics."
2017
S69134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>