Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167291 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karmelia Christa Pusung
"One interesting issue nowadays is the legal protection of Intellectual Property Rights (IPR) produced by traditional society. Intellectual property produces by the traditional society called expression of folklore. There is no special regulation in the scope of international and national caused legal protection of iuntellectual property produced by traditional societies is still weak. Consequently, exploitation occured by foreigners. For example, the case of Jepara?s carving art that was exploited by foreign caused craftsmen in Jepara losses.

Salah satu isu yang menarik saat ini adalah perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional disebut expression of folklore. Belum adanya pengaturan khusus dalam lingkup internasional dan nasional menyebabkan perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional masih lemah. Akibatnya, terjadi eksploitasi oleh pihak asing. Contohnya, kasus seni ukir Jepara yang dieksploitasi oleh pihak asing menyebabkan pengrajin di Jepara mengalami kerugian."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 5 (1-2) 2004
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Parera
"Ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta dalam TRIPS Agreement membebaskan anggota untuk membuat pengaturannya sendiri, dengan syarat memenuhi tiga syarat dalam Pasal 13 TRIPS Agreement. Hal ini menimbulkan menimbulkan perbedaan pengaturan diantara anggota WTO. Skripsi ini hendak menjawab permasalahan mengenai pengaturan, penerapan dan keselarasan ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta di Indonesia, anggota WTO lain dan TRIPS Agreement. Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif dengan menganalisis norma-norma hukum dan penerapannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta yang berbeda diantara anggota WTO.

Agreement membuat ketentuan three step test yang bersifat terbuka sebagai penengah dari perbedaan tersebut. Ketentuan pengecualian dan pembatasan yang berdasarkan doktrin fair use, maupun fair dealing perlu memenuhi ketentuan three step test. Indonesia sebagai penganut fair dealing memiliki beberapa ketentuan pembatasan hak cipta yang tidak sesuai dengan TRIPS Agreement, yakni ketentuan Pasal 43 huruf C, E dan Pasal 49 ayat (2) UU Hak Cipta.

Exception and limitations regulations in TRIPS Agreement give leniency for contracting members, to regulate their own exception and limitations as long as they are in accordance to the three conditions in Article 13 of TRIPS Agreement. This has caused differences in regulations among WTO members. This thesis answers matters regarding regulations, applications and conformity of exception and limitations of copyright in Indonesia, WTO members and TRIPS Agreement. This research is conducted using juridical-normative method by analyzing legal norms and their implementation. The result of this thesis shows that there are two different doctrines used in exception and limitations regulations among the WTO members, fair use and fair dealing. TRIPS Agreement regulates an open-ended wording regulation called the three step test to intermediate the difference. Both exception and limitations regulations based on fair use and fair dealing must fulfill the three step test. Indonesia as a fair dealing adherent has a few copyright limitations that are not in accordance to TRIPS Agreement. They are article 43 C, E and article 49 (2) Indonesia Copyright Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Netherlands: Wolters Kluwer, 2008
346.048 INT (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Sumartono
"ABSTRAK
Berawal dari suatu kondisi masyarakat desa dengan latar belakang kehidupan pertanian yang sederhana, masyarakat Desa Sukodono, Jepara, Propinsi Jawa tengah, berkembang menjadi kelompok masyarakat pengrajin seni kerajinan meubel ukir kayu yang handal. Dalam tesis ini hendak dijawab pertanyaan, berkaitan dengan pernyataan di atas, yaitu: Mengapa mereka memilih usaha di bidang seni kerajinan ukir kayu sebagai mata pencaharian pokoknya; bagaimana potensi mereka sehingga mampu mengembangkan kreativitasnya di bidang itu; bagaimana kaitannya dengan sumber daya lingkungan yang ada dan dapat dimanfaatkannya; bagaimana bentuk desain-desain ukir yang diciptakannya, dan; bagaimana fungsi seni kerajinan ukir kayu itu dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Untuk mengkerangkai penjelasan terhadap data dan informasi yang dikumpulkan digunakan konsep kebudayaan, kesenian, kreativitas dan kreativogenik seni, serta desain dalam seni ukir. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya metode etnografis. Sasaran penelitian mengacu kedua arah yaitu kehidupan para perajin seni kerajinan ukir kayu di Desa Sukodono dan desain ukir yang diciptakannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pengrajin Desa Sukodono mengawali usahanya sebagai buruh serabutan, tukang kayu atau tukang ukir di industri-industri kerajinan meubel ukir kayu di wilayah kota Jepara. Akan tetapi, karena pada tahun 1965 sampai tahun 1972 mengalami persaingan yang ketat untuk memperoleh peluang pekerjaan tersebut di wilayah kota Jepara, mereka mengambil alternatif untuk pergi merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya untuk bekerja di bidang yang sama di perusahaan industri meubel besar di kota-kota besar tersebut.
Pengalaman pergi merantau di kota-kota besar merupakan pengalaman yang berharga, dan sekaligus menjadi modal besar, bagi masyarakat Desa Sukodono untuk mendirikan usaha industri kerajinan meubel ukir kayu di desanya sendiri. Selanjutnya, industri kerajinan meubel ukir kayu di Desa Sukodono berkembang pesat membentuk sistem jaringan pekerjaan yang dapat memberikan peluang kerja yang menguntungkan bagi warga masyarakat desa. Dengan demikian perekonomian masyarakat setempat pun ikut berkembang dengan baik.
Lingkungan alam yang ada cukup mendukung usaha di bidang kerajinan ukir kayu. Walaupun sekarang bahan alam sudah tidak semelimpah pada waktu.yang lampau, tetapi tampaknya kayu jati dan mahoni masih tetap dapat diperoleh dari wilayah sekitar Jepara, yang relatif kaya akan hutan kayu jati. Selain itu, faktor kesejarahan telah melekat dalam kesadaran orang-orang Sukodono yang merasa bahwa keahlian membuat ukiran kayu merupakan keahlian warisan dari nenek-moyangnya, yang secara khusus merupakan keahlian orang Jepara pada umumnya.
Desain ukir yang berkembang dan dirancang oleh para pengrain Desa Sukodono pada awalnya adalah desain khas Jepara. Namun, sekarang untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meluas, mereka juga membuat berbagai desain dan corak tradisional berbagai daerah di Indonesia, bahkan corak Eropa, Cina, dan Jepang pun sudah mulai dibuatnya. Barang yang dihasilkan juga semakin beragam. Industri kerajinan ukir Jepara, khususnya Desa Sukodono, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupari sehari-hari masyarakat Desa Sukodono. Industri kerajinan ukir fungsional bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka, baik secara ekonomi maupun estetis, dan fungsional pula bagi pemenuhan berbagai kebutuhan lainnya.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dono Karmadi
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1985
730 AGU s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Desty Ratnasari
"ABSTRAK
Pada masa belum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang
diamanatkan Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 sehingga belum dapat
diterapkannya ketentuan tersebut, skripsi ini melihat penerapan Pasal 16 ayat (3)
Persetujuan TRIPs sebagai dasar hukum pembatalan pendaftaran merek dan
pertimbangan hakim yang menerapkan Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs.
Penelitian untuk menyusun skripsi ini dilakukan secara kualitatif berdasarkan metode
deskriptif. Hasil penelitian adalah hakim telah menerapkan Pasal 16 ayat (3)
Persetujuan TRIPs dengan selanjutnya memberikan pertimbangan hukum terhadap
unsur-unsur dalam Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs, kecuali unsur adanya potensi
kerugian yang diderita pemilik merek terkenal.

ABSTRACT
At the time when Government Regulation as mandated by Article 6 Paragraph (2)
Law Number 15 Year 2001 hasn't been being issued so that it couldn't be applied,
this thesis sees the implementation of Article 16 Paragraph (3) TRIPs Agreement and
judges' consideration which implemented Article 16 Paragraph (3) TRIPs
Agreement. Research is done qualitatively based on descriptive method. The result is
judges has been implemented Article 16 Paragraph (3) TRIPs Agreement which
followed by giving consideration in matter of substances of Article 16 Paragraph (3)
TRIPs Agreement, except substance of potential lost suffered by well-known mark's owner.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43653
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Berta
"[Selama bertahun-tahun, kerjasama di kawasan ASEAN
menunjukkan banyak kemajuan. Saat ini, dengan sebuah visi bersama sebagai suatu kesatuan dari Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang hidup dalam perdamaian dan terikat bersama-sama di dalam kemitraan untuk
pembangunan yang dinamis dan sebagai komunitas masyarakat yang saling peduli, para Pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) 2015 akan membawa peluang ekonomi yang sangat besar serta memberikan tantangan besar bagi masing negara-negara di wilayah tersebut. Peluang ekonomi ini akan menghasilkan akses pasar yang lebih besar untuk ekspor dan environment yang lebih liberal bagi investasi asing. Ada 4 (empat) kunci karakteristik dari pembentukan AEC : (a) suatu pasar tunggal dan berbasis produksi; (b) wilayah ekonomi yang sangat kompetitif; (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil; dan (d) kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global. Untuk mencapai tujuan pembentukan pasar tunggal dan berbasis produksi dengan aliran bebas barang, para Menteri Ekonomi ASEAN di bulan Agustus 2007 sepakat untuk meningkatkan the Common
Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA) menjadi instrumen hukum yang lebih komprehensif. Hal ini yang
menyebabkan penandatanganan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) tanggal 29 Februari 2009, di Chaam, Thailand. Setelah penandatangan kesepakatan itu, negara-negara anggota ASEAN (AMSs), termasuk Indonesia, diwajibkan untuk menerapkan dan mengembangkan kebijakan mereka sesuai dengan kesepakatan dimaksud. Oleh karena itu, pasca keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan dimaksud, Pemerintah Indonesia harus mentransformasikan kesepakatan dimaksud ke dalam hukum
domestiknya. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kesepakatan dimaksud melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2010 tentang Pengesahan ASEAN Trade in Goods Agreement. Ratifikasi diikuti dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Menteri Perdagangan. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia diharapkan dapat membantu otoritas Indonesia dalam memperkuat posisi Indonesia di ASEAN. Penelitian dalam tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Tesis ini juga akan membahas keuntungan, kerugian, dan tantangan ATIGA bagi Indonesia serta sejauh mana implementasi ATIGA di dalam hukum nasional Indonesia.;Over the years, cooperation in ASEAN region has shown a lot of progress. Now, with a shared vision of ASEAN as a unified body of
Southeast Asian Nations living in peace and bounded together in partnership for dynamic development and as a community of caring communities, ASEAN Leaders resolved to establish an ASEAN Economic Community in 2015. The establishment of an ASEAN Economic Community (AEC) in 2015 will bring enormous economic opportunities as well as great challenges for the individual member countries in the region. These economic opportunities will result greater market access for exports and more liberal environment for foreign investment. There are 4 (four) key characteristics of AEC establishment : (a) a single market and production base; (b) a highly competitive economic region; (c) a region of equitable economic development and (d) a region fully integrated into the global economy. To achieve the goal of establishing the single market and production base with the free flow of goods, the ASEAN Economic Ministers agreed in August 2007 to enhance the Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA) into a more comprehensive legal instrument. This has led to the signing of the ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) in February 29, 2009, at Chaam, Thailand. After signing the agreement, the AMSs, including Indonesia, is required to implement and
to develop their policies in accordance with the agreement. Therefore, after Indonesia’s participation in the aforesaid agreement, the Government of Indonesia have to transform the agreement into domestic law. Then, the Indonesian Government ratified the agreement through Presidential Decree No. 2 of 2010 on the Ratification of the ASEAN Trade in Goods Agreement. Ratification is followed by issuing of Finance Ministerial Decree and Trade Ministerial Decree. Those decisions issued by the Government of Indonesia are expected could help the Indonesia’s authorities in strengthening the position of Indonesia in ASEAN. The research conducted in this thesis is
normative juridical research. This thesis also discusses the advantages,
disadvantages, and challenges of ATIGA for Indonesia. The extent of
implementation of ATIGA in national law of Indonesia will be discussed as well., Over the years, cooperation in ASEAN region has shown a lot of
progress. Now, with a shared vision of ASEAN as a unified body of
Southeast Asian Nations living in peace and bounded together in partnership
for dynamic development and as a community of caring communities,
ASEAN Leaders resolved to establish an ASEAN Economic Community in
2015. The establishment of an ASEAN Economic Community (AEC) in 2015
will bring enormous economic opportunities as well as great challenges for
the individual member countries in the region. These economic opportunities
will result greater market access for exports and more liberal environment for
foreign investment. There are 4 (four) key characteristics of AEC
establishment : (a) a single market and production base; (b) a highly
competitive economic region; (c) a region of equitable economic
development and (d) a region fully integrated into the global economy. To
achieve the goal of establishing the single market and production base with
the free flow of goods, the ASEAN Economic Ministers agreed in August
2007 to enhance the Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free
Trade Agreement (CEPT-AFTA) into a more comprehensive legal
instrument. This has led to the signing of the ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA) in February 29, 2009, at Chaam, Thailand. After signing
the agreement, the AMSs, including Indonesia, is required to implement and
to develop their policies in accordance with the agreement. Therefore, after
Indonesia’s participation in the aforesaid agreement, the Government of
Indonesia have to transform the agreement into domestic law. Then, the
Indonesian Government ratified the agreement through Presidential Decree
No. 2 of 2010 on the Ratification of the ASEAN Trade in Goods Agreement.
Ratification is followed by issuing of Finance Ministerial Decree and Trade
Ministerial Decree. Those decisions issued by the Government of Indonesia
are expected could help the Indonesia’s authorities in strengthening the
position of Indonesia in ASEAN. The research conducted in this thesis is
normative juridical research. This thesis also discusses the advantages,
disadvantages, and challenges of ATIGA for Indonesia. The extent of
implementation of ATIGA in national law of Indonesia will be discussed as
well]"
Universitas Indonesia, 2015
T44094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachelle Valencia
"Manusia selama hidupnya tidak akan lepas dari adanya suatu perjanjian. Adapun perjanjian tersebut harus dibuat dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pada zaman sekarang ini, salah satu perjanjian yang paling sering dibuat adalah perjanjian waralaba yang merupakan perjanjian tidak bernama. Pengaturan mengenai waralaba diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (PP 42/2007) dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019). Walaupun tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembuatan perjanjian waralaba harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, termasuk syarat sahnya perjanjian. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya terdapat kasus mengenai perjanjian waralaba yang melanggar ketentuan KUHPerdata, PP 42/2007 dan Permendag 71/2019. Kasus tersebut seperti yang terjadi antara para pihak dalam Putusan Nomor 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai ketentuan mengenai hukum perjanjian di Indonesia, ketentuan hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan usaha waralaba, serta analisis hukum terhadap Putusan Nomor 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI menurut Permendag 71/2019. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak dalam perkara tersebut melanggar salah satu syarat sah perjanjian, yaitu syarat sebab yang halal. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba dibuat bertentangan dengan PP 42/2007 dan Permendag 71/2019

Humans during their lives will not be separated from the existence of an agreement. The agreement must be made by fulfilling the legal requirements of the agreement. In this current era, one of the most frequently made agreements is the franchise agreement which is an innominaat agreement. Regulations regarding franchising are specifically regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising (PP 42/2007) and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising (Permendag 71/2019). Although not specifically regulated in the Civil Code (KUHPerdata), the making of a franchise agreement must follow the provisions stipulated in Book III of the Civil Code, including the legal terms of the agreement. However, it is possible that in reality there are cases regarding franchise agreements that violate the provisions of the Civil Code, PP 42/2007 and Permendag 71/2019. This case is like what happened between the parties in Decision Number 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Decision Number 321/PDT/2021/PT.DKI. Therefore, this research will discuss the legal provisions regarding agreement law in Indonesia, positive legal provisions in Indonesia which regulate the implementation of a franchise business, as well as a legal analysis of Decision Number 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Decision Number 321/PDT/2021/PT.DKI according to Permendag 71/2019. This research is a normative juridical research with a statutory and case study approach. From this research it can be found that the franchise agreement made by the parties in the case violates one of the legal terms of the agreement, namely the terms of a lawful cause. This is because the franchise agreement was made contrary to PP 42/2007 and Permendag 71/2019"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>