Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193081 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simanjuntak, Dumaria
"ABSTRAK
Penelitian dalam Tesis ini mengkaji pengisian jabatan Anggota BPK dalam artian luas. Di Indonesia pengaturan tentang pengisian Anggota BPK ini tercantum dalam Ketentuan Pasal 23F UUD NRI 1945 dan UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Tesis ini menganalisis 3 permasalahan utama yakni menganalisis perkembangan pengaturan pengisian jabatan anggota BPK, menganalisis dan mengkaji pengisian jabatan lembaga audit di negara-negara anggota ASEANSAI dan terakhir menemukan implikasi putusan MK No. 13/PUU-XII/2013 terhadap pengisian jabatan anggota BPK.
Penelitian dalam Tesis ini diklasifikasikan sebagai penelitian dengan tipe decriptive explanatory. Tesis ini menganalisis 9 (sembilan) negara yang merupakan negara anggota ASEANSAI.
Setelah melakukan analisis maka dapat disimpulkan bahwa pengisian jabatan anggota BPK dari masa kemasa mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam hal mekanisme dan masa.

ABSTRACT
There are three main problems to be analysed in this thesis. That are analysis of the amendement of regulation of the position fulfillment of BPK?s Member, analysis and review of the positions fulfillment of the Auditor General in ASEANSAI?s members, and ultimately analysis of The implication of the Constitutional Court Decision 13/PUU-XII/2013 in Judicial Review of the BPK?s Law Related to Term of Office.
This research is classified as the descriptive explanatory, which is collecting and concluding the information about the observed problems. This approach is a qualitative research. As the matter of comparison, this thesis analysed nine countries as the country ASEANSAI member organization.
The analysis results conclusion that the charging of office of the BPK over time, has developed very rapidly both in terms of mechanisms and future. After conducting the analysis, it can be concluded that positions fulfillment of BPK?s members from time to time undergoes a rapid development."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Khaira
"Penelitian ini didasarkan pada bentuk badan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia terlebih khusus Badan Hukum Pendidikan yang diatur dalam UU No.9 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126- 136/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang membatalkan UU tersebut beserta implikasinya terhadap status hukum Universitas Indonesia.
Penelitian ini membahas dua permasalahan utama. Pertama, status perguruan Tinggi di Indonesia setelah lahirnya UU BHP. Kedua, implikasi dari keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126- 136/PUU-VII/2009 yang memutus tentang pembatalan UU BHP terhadap status hukum Universitas Indonesia (UI).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perguruan tinggi di Indonesia setelah lahirnya UU BHP terhadap perguruan tinggi berbadan hukum milik negara (PT BHMN) siap bertransformasi menjadi perguruan tinggi berbadan hukum pendidikan (PT BHP), sedangkan perguruan tinggi bersistem pengelolaan keuangan badan layanan umum (PT PK-BLU) tidak terpengaruh dengan adanya UU BHP ini. UU BHP telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan pengujian.
Hasil dari pengujian tersebut adalah pembatalan UU BHP yang kemudian berimplikasi terhadap status hukum UI. Status UI pasca pembatalan UU BHP tetap PT BHMN namun bersistem pengelolaan keuangan badan layanan umum (PK-BLU) sebagaimana diamanatkan PP No.66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

This study is based on the implementation of higher education entity in Indonesia; especially Law for Educational Entity (BHP) regulated by Law Number 9 year 2009 and the Constitutional Court decision Number 11-14-21-126- 136/PUU-VII/2009 on judicial review which invalidated the Law for Educational Legal Entity (UU BHP) as well as its implication on the legal status of University of Indonesia.
This study discusses two main problems; first, the legal status of Higher Educations in Indonesia after the issuance of the Law for Educational Legal Entity; second, the implications of the Constitutional Court decision Number 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 on the invalidation of the law for Educational Legal Entity on the legal status of University of Indonesia (UI).
The method of this study is normative legal research using two secondary data and comparative approach. The findings show that the status of higher education in Indonesia after the issuance of the Law for Educational Legal Entity for the State Owned Legal Enterprises (PT BHMN) university is the transformation of the university into Educational Legal Entity (PT BHP) University. Meanwhile, the university with the system of Financial Management of General Service Agency (PT PK-BLU) is not influenced by the Law for Educational Legal Entity. This law has been proposed to the Constitutional Court to conduct judicial review.
The result of the judicial review is the invalidation of the Law for Educational Entity which gives impact on the legal status of UI. The status of UI after the invalidation is PT BHMN with the system of Financial Management of General Service Agency (PK-BLU) as mandated by PP Number 66 year 20120 on the amendment of PP Number 17 year 20120 on the Management and Education Implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43767
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Dini Indrawati
"Mahkamah Konstitusi membatalkan UU nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena dinilai melanggar UUD NRI Tahun 1945. Negara bertanggungjawab atas pengaturan pengelolaan Perguruan Tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan warganegara dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Mengenai konstitusionalitas bentuk badan hukum pendidikan, Mahkamah mempertimbangkan bahwa tidak ada yang menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan, Akan tetapi Mahkamah berpendapat, istilah "badan hukum pendidikan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Selain PTN Badan Hukum, juga ada PTN Badan Layanan Umum (BLU). PTN dengan Pengelolaan Keuangan BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (public services) dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat yaitu penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.

Constitutional Court revoked the Act No. 9 of 2009 on Educational Legal Entities (BHP) due to violate the NRI Constitution of 1945. State is responsible for regulating the management in organizing undergraduate study to educate life of the nation; meanwhile the citizens are able to participate in undergraduate study. University as an institution that organizes the Research undergraduate study and Community Service should have an autonomy in managing their own institution. Regarding the constitutionality of the legal entity level, the Court considers that there is nothing to indicate the loss of the state's obligation to the citizens in the field of education, however the Court argued, the term "Educational Legal Entities" as referred to Article 53 paragraph (1) of the Law on National Education System is not the name and certain forms of legal entities, but the designation of the function of education administrator which means that an educational institution should be managed by a legal entity. Besides Legal Entity of State Universities, there is a Public Service Agencies of State Universities (BLU). State Universities with BLU Financial Management aims to improve services to public in order to promote the general prosperity and educating the nation by providing flexibility in financial management based on the principles of economics and productivity, and the application of healthy business practice which is providing organizational functions based on the principles of good management in quality service delivery and continuously.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42275
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Rahmahanjayani
"Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 berperan sebagai negative legislator. Dalam perkembangannya seringkali Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus apakah suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak tetapi juga merumuskan norma baru. Sikap aktif Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai bentuk penerapan prinsip judicial activism. Judicial Activism dipahami sebagai dinamisme para hakim ketika membuat putusan tanpa melalui batas-batas konstitusi. Namun banyaknya kritik terhadap prinsip judicial activism melahirkan doktrin judicial restraint sebagai sebuah antitesa. Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsip ini pun tidak sedikit jumlahnya. Namun hingga kini penerapan kedua prinsip tersebut oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai penerapan kedua prinsip tersebut dalam putusan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara.
Dari hasil riset didapati bahwa belum adanya parameter bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana bisa menerapkan prinsip judicial restraint dan judicial activism menimbulkan kerancuan. Prinsip judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya dalam setiap kasus karena masing-masing kasus memiliki persoalan yang berbeda. Tidak ada satu prinsip yang lebih baik atau yang lebih tinggi dari prinsip lainnya, sehingga tidak bisa dikatakan jika Mahkamah Konstitusi lebih baik mengedepankan penerapan judicial restraint dibanding judicial activism maupun sebaliknya.

The Constitutional Court in executing its authority to review the constitutionality of the law act as negative legislator. In its development the Constitutional Court often to not only decide whether a norm contradict to the constitution or not but also formulate a new norm. The Constitutional Court 39s active stance is considered as a form of applying the judicial activism principle. Judicial Activism is understood as the dynamism of judges when making decisions without going through the boundaries of the constitution. However, many criticisms towards judicial activism causing judicial restraint doctrine to rise as an antithetical view In judicial restraint doctrin, the court must be able to exercise self restraint from the tendency to act like a miniparliament. There are many Constitutional Court's cases that applies the judicial restraint principle. However, until now the application of both principles by the Constitutional Court is not clear. Therefore, this thesis would like to examine about the application of both principles on judicial review cases in Constitutional Court. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview.
The research results found that there is no parameter yet for the Constitutional Court to decide when and under what circumstances to apply the judicial restraint and judicial activism principles. It cause confusion. Nevertheless, the judicial restraint and judicial activism principle can not be equated with the application in each case because each case has different problems. There is no one principle that is better or higher than other principles, so it can not be said if the Constitutional Court is better put forward the implementation of judicial restraint than judicial activism or vice versa.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Devi Melissa
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis normatif terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian konstitusional undang-undang ratifikasi. Sebagaimana diketahui, kebutuhan kerjasama antarnegara berkembang secara signifikan dalam berbagai aspek. Dalam rangka mengadopsi dan mengimplementasi setiap perjanjian yang disetujui di tingkat bilateral, regional, dan multilateral, Indonesia wajib melakukan ratifikasi melalui legislasi nasional. Akan tetapi, produk hukum hasil ratifikasi perjanjian internasional bukan merupakan produk legislasi meskipun secara hierarki kedudukannya dikategorikan sebagai undang-undang. Hal ini disebabkan, sifat undang-undang ratifikasi itu sendiri terutama dalam hal substansi, yaitu adanya perbedaan karakteristik dengan undang-undang yang berlaku pada umumnya. Atas hal itu, pengujian terhadap undang-undang ratifikasi sepatutnya tidak dapat dilakukan mengingat persoalan yang dapat ditimbulkan. 

This research attempts to analyze normatively the jurisdiction of Constitutional Court in doing constitutional review towards ratification act. As we know, the need of cooperation between countries is increasing significantly in variant aspects. In order to adopt and implement every single agreement that has been agreed in bilateral, regional, and multilateral level, Indonesia needs to ratify through national legislation. However, the product of ratification of international treaty is not legislation product law even though it is equally extended to the act based on hierarchy.  This caused by the nature of ratification act itself mainly in the substances area, in which comprehensively different with characteristics of common act applied.  Therefore, the examination of ratification act could not be done since it may disclose problematic decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Muhammad Hanafiah
"Tesis ini membahas mengenai kedudukan dan hak-hak buruh ketika proses kepailitan pada perusahaan, terlebih pasca berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 67/PUU-XI/2013. Selain itu penelitian ini akan membahas perbandingan dari kedudukan para kreditur dalam perkara pailit, berkaitan dengan manakan kreditur yang harus didahulukan untuk dilakukan pembayarannya. Oleh karena hal tersebut penelitian ini akan dirumuskan beberapa masalah mengenai kedudukan hak-hak buruh pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 67/PUU-XI/2013, serta bagaimana perbandingan dari kedudukan tersebut di negara lain. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, kedudukan hak-hak buruh dalam keadaan pailit pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 67/PUU-XI/2013 menjadi prioritas utama yang harus dibayarkan terlebih dahulu dari seluruh kreditur lainnya. Kedua, berdasarkan perbandingan dari negara-negara seperti China, Singapura dan Jepang menunjukkan bahwa, hak buruh seperti upah tidak harus dibayarkan pertama kali melainkan terdapat beberapa kreditur yang memiliki hak eksklusif . Ketiga, upah buruh sejatinya tidak perlu ditempatkan pada posisi pertama, melainkan kreditur separatis demi menciptakan kepastian hukum atas perjanjian yang telah dibuat antara kreditur separatis dan debitur pailit.

This thesis discusses the position and rights of workers during the bankruptcy process at the company, especially after the enactment of the Constitutional Court Decision Number 67/PUU-XI/2013. In addition, this study will discuss a comparison of the positions of creditors in bankruptcy cases, relating to which creditor must take precedence for payment. Because of this, this research will formulate several problems regarding the position of labor rights after the Constitutional Court Decision Number 67/PUU-XI/2013, as well as how the comparison of these positions in other countries. This study uses normative research methods with a statutory approach (statute approach) and conceptual (conceptual approach). The results of the study show that, first, the position of labor rights in a state of bankruptcy in the Constitutional Court Decision Number 67/PUU-XI/2013 is a top priority that must be paid in advance from all other creditors. Second, based on comparisons from countries such as China, Singapore and Japan, it shows that labor rights such as wages do not have to be paid the first time, but there are several creditors who have exclusive rights. Third, labor wages do not really need to be placed in the first position, but separatist creditors in order to create legal certainty over agreements made between separatist creditors and bankrupt debtors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fathimah Azzahra Syafril
"Tesis ini mengkaji mengenai pengujian formil undang-undang di Indonesia yang merupakan kompetensi kewenangan dari Mahkamah konstitusi dengan melakukan analisis terhadap putusan-putusan terhadap pengujian formil. Adapun beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini meliputi: (i) desain dan praktik pengujian formil undang-undang di Indonesia; (ii) permasalahan pengujian formil undang-undang di Indonesia; dan (iii) desain gagasan ideal penataan pengujian formil undang-undang di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Untuk menunjang penelitian ini, metode pendekatan yang dilakukan meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual,  dan pendekatan perbandingan. Pengujian formil undang-undang memiliki kaitan erat dengan pengejawantahan dari berbagai teori tentang pembentukan undang-undang yang pada intinya menekankan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas dan prosedur formil baik secara teoritis maupun normatif, dikarenakan tanpa pemenuhan unsur tersebut sebuah undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku. Sehingga pengujian formil merupakan kerangka untuk menguji dan menilai pemenuhan persyaratan formil dalam pembentukan undang-undang. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian formil dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dengan tetap menggunakan perspektif konstitusionalitas dalam melakukan pengujian. Pada perkembangannya tren putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan Mahkamah Konstitusi cenderung membatasi diri untuk mengabulkan pengujian formil undang-undang kendati terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan proses formil. Tercatat, Mahkamah Konstitusi baru sekali memutuskan dengan amar putusan mengabulkan pengujian formil yakni pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Maka dari itu, terdapat urgensi bagi Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk membuat sebuah batasan dan standar yang bersifat relatif dan bersifat mutlak. Standar yang bersifat relatif ini berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran relatif yang tidak berimplikasi pada pembatalan sebuah undang-undang. Di sisi lain standar mutlak ini berkaitan dengan standar yang harus dipenuhi yang mana pelanggaran terhadap standar ini akan berdampak pada sebuah norma dinyatakan inkonstitusional.

This thesis examines the formal review of laws in Indonesia which is the competence of the constitutional court by conducting an analysis of decisions on formal review. Some of the issues discussed in this thesis research include: (i) the design and practice of formal review of laws in Indonesia; (ii) the problem of formal review of laws in Indonesia; and (iii) the design of ideal ideas for the arrangement of formal review of laws in Indonesia. This research is normative legal research with an explanatory research typology. To support this research, the approach taken includes a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. The formal examination of laws has a close relationship with the embodiment of various theories regarding the formation of laws which in essence emphasize that the formation of laws must comply with the principles and formal procedures both theoretically and normatively, because without fulfilling these elements a law can be declared not applicable. So that formal testing is a framework for testing and assessing the fulfillment of formal requirements in the formation of laws. In practice, the Constitutional Court carries out a formal review by referring to the laws and regulations that regulate the procedures for forming statutory regulations while still using the perspective of constitutionality in carrying out trials. In its development, the trend of Constitutional Court decisions shows that the Constitutional Court tends to limit itself to granting a formal review of a law even though it is proven that the law is contrary to the formal process. It is recorded that the Constitutional Court has only decided once with a ruling to grant a formal review, namely in the Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020. Therefore, there is an urgency for the Indonesian Constitutional Court to make a limitation and standard that is both relative and absolute. This relative standard relates to relative violations that do not have implications for the cancellation of a law. On the other hand, this absolute standard relates to standards that must be met where violations of these standards will have an impact on a norm being declared unconstitutional."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Aliyul Miftahuddin Mubarok
"Skripsi ini membahas tentang pengaturan daluwarsa pembayaran pesangon bagi pekerja dengan perubahan status sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis terhadap putusan yang dikeluarkan oleh mahkamah konstitusi, yang telah berkekuatan hukum tetap serta telah menghapus isi pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan, diperoleh simpulan bahwa, daluwarsa penuntutan pembayaran upah dan segala yang timbul dari hubungan kerja memberikan manfaat bagi para pekerja, khusunya bagi pekerja yang terkena dampak PHK akibat adanya perubahan status. Upah merupakan hak setiap pekerja yang tidak mempunyai jangka waktu dalam hal penuntutan haknya. Upah adalah hak dan sampai kapanpun tidak pernah hapus dengan adanya daluwarsa. Pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja, penghitungan uang pesangon, serta perubahan status pekerja dari PKWT menjadi PKWTT sudah diatur secara rinci di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan lain yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Namun, daluwarsa tetap diperlukan dalam pengaturan hak pesangon pekerja, hal ini untuk memberikan jaminan kepastian hukum, baik bagi yang menuntut haknya, maupun pihak yang akan dituntut memenuhi kewajibannya.

This thesis discusses about the regulation of the expiry severance payment for workers with changed status as a result of termination of employment. Using the descriptive analytical on the verdict issued by Constitutional Court that has legally binding that has erased article 96 of The Employment Act, resulted in a conclusion that the expiry of salary payment prosecution and all the things that arise from working relation give benefit to workers, especially for the ones who get the impact from termination of employment caused by the status changes. Salary is the right for every worker and will never be erased with expiry. The regulation about termination of employment, severance calculation, and changed worker’s status from PKWT to PKWTT has been adjusted in details on the Employment Act and other regulation that related with employment. However, the expiry will still be needed in the regulation of worker’s severance payment right. The regulation is purposed to guarantee the legal certainty, either for the one who demands his right or the one who will be accused to fulfill his responsibility.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59939
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anugroho
"Pengujian Terhadap Undang-Undang Ketenagalistrikan). Skripsi ini membahas tentang kesesuaian makna dari unsur ?efisiensi berkeadilan? yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui dengan niat awal para Bapak Bangsa mengenai perekonomian Indonesia. Pembahasan tersebut dilakukan dengan menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur "efisiensi berkeadilan" dalam Uji Materil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa makna dari ?efisiensi berkeadilan? dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Dalam kaitanya dengan sektor ketenagalistrikan Indonesia, interpretasi tersebut sesuai dengan niat awal para Bapak Bangsa selama diartikan bahwa efisiensi dalam penyediaan penyediaan tenaga listrik demi kepentingan umum dicapai melalui penguasaan negara dalam bentuk pengurusan, pengaturan, pengelolaan, serta pengawasan terhadap sektor usaha ketenagalistrikan Indonesia. Penguasaan negara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjamin keadilan bagi rakyat, yaitu tidak adanya penindasan ekonomi dan terjaminya ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat dengan harga terjangkau.

This paper discusses whether the meaning of "equitable efficiency" contained in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment is in line with the original intent of the Founding Fathers regarding the Indonesian economy. Discourse is conducted by analyzing how the Constitutional Court interpret the element of "equitable efficiency" in the judicial review of Law Number 20 Year 2002 and Law Number 30 Year 2009 on Electricity.
The outcome of this research concludes that the meaning of "equitable efficiency" in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution after the 4th Amendment is that the national economy should be organized to use the least amount of resources to achieve the greatest amount of welfare which could be enjoyed equitably by the all citizens. In regards to Indonesia's electricity sector, such interpretation is in accordance with the original intent of the Founding Fathers as long as it is interpreted that efficiency in regards to the provision of electrcity for the public is achieved state control in the form management, regulation, and supervision of the Indonesian electricity sector. The aim of such state control is to ensure justice for the people; namely freedom from economic oppression and the guarantee that electricity is available to all members of society at affordable prices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43103
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Muthiara Wasti
"Penelitian ini membahas tiga pokok permasalahan: Pertama, bagaimana bentuk pengaturan kuota sebelum dan sesudah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Kedua, implikasi dari putusan MK tersebut terhadap jumlah perempuan di DPR dan Ketiga, bentuk pengaturan yang ideal untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif.
Pembahasan dimulai dari adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang telah mengatur kuota perempuan dan sistem ziper sebagai pendukung pengaturan kuota yaitu Pasal 214. Pada tahun 2008 putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut sehingga menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keterwakilan perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh pengaturan di dalam undang-undang, tetapi juga dapat ditingkatkan dengan pendidikan politik, pengaturan internal partai politik, sistem pemilu yang digunakan, district magnitude dan party magnitude. Pengaturan kuota sudah diatur di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilihan Umum namun perlu pengaturan lebih lanjut yaitu di dalam Undang-Undang Dasar dan di dalam peraturan perundang-undangan dengan menambahkan pengaturan kuota kursi di DPR serta pemberian sanksi.

This study is based on three main issues, that is: First, how is the form of rule before and after the decision issuance of the constitutional court number 22-24/PUU-VI/2008. Second, the implication of this decision on the number of women in parliament, and the third, how is the form of the ideal rule to increase number of women in parliament. The method of this study is yuridis normative.
The discussion starts from Law Number 12 year 2003 and Law Number 10 year 2008 that have regulated about women quota and zyper system as supporting of this regulation that is article 214. In 2008, Constitutional Court made decision to cancel this article hence the debate in some groups.
The result of this study shows that the number of women in parliament is not only influenced by quota regulation but it can be increased by other ways such as: political education, internal regulation in politic party, election system, district magnitude and party magnitude. Quota regulation has regulated in Law for Politcal Party and Law for General Election, however this quota needs other regulation such as in constitution and legislation by adding quota regulation in parliament and sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45253
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>