Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168013 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Dharmadi
"Untuk memajukan industri yang mampu bersaing serta memberikan perlindungan hukum bagi para pendesain diberlakukanlah Undang-Undang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Akan tetapi aturan hukum di bidang desain industri belum sepenuhnya mendukung perkembangan desain industri di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya kasus pembatalan desain industri yang terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya pembatalan desain industri, yaitu tidak adanya kepastian mengenai kebaruan (novelty). Novelty merupakan persyaratan utama dalam paten dan desain. Suatu desain dianggap baru apabila ada perbedaan yang menyolok dengan desain yang sudah ada sebelumnya. Namun apabila perbedaan tersebut hanya terletak pada perbedaan yang minim, terkait beberapa unsur saja, baik itu warna maupun lekuk penampang luar, maka tidak akan bisa dianggap baru. Belum ada Pasal dalam Undang- Undang Desain Industri yang mengatur mengenai persamaan pada pokoknya yang dapat menentukan nilai kemiripan suatu desain industri yang dapat dijadikan acuan untuk menolak atau mengabulkan suatu permohonan desain industri. Dalam Pasal 2 ayat (2) menggunakan kata ?tidak sama? akan tetapi di dalam penjelasannya tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian maupun batasan kata "tidak sama" ataupun kemiripan antara desain yang satu dengan yang lain yang dapat dikatakan mempunyai unsur persamaan pada pokoknya atau berbeda. Undang-undang desain industri di Indonesia menganut stelsel pendaftaran/pendaftar pertama atau "first to file" dalam hal klaim atas hak desain industri yang baru. Lebih jauh dijelaskan dalam Pasal 26 ayat (5) menyatakan bahwa pemeriksaan substantif tidak akan dilakukan apabila tidak adanya keberatan dari pihak lain. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif mengakibatkan setiap permohonan desain industri harus dikabulkan dan langsung diberikan sertifikat desain industri. Apabila pemeriksaan substantif tidak dilakukan maka apabila terdapat 2 (dua) desain industri yang memiliki kemiripan ataupun sama, dan 2 (dua) desain industri tersebut tidak diajukan keberatan, maka kedua desain industri tersebut berhak mendapatkan sertifikat desain industri. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya sengketa desain industri dan maka dari itu harus diajukan pembatalan desain industri. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis dan analisis data yang dilakukan secara kualitatif.

The imposition of Law No. 31/2000 on Industrial Design is aimed to develop industry which is able to compete and to give legal protection to designers. However, Legal provisions in industrial design do not support the industrial design in Indonesia. It can be seen from various kinds of cancellation in industrial design. The results of the research showed that main factors which caused the cancellation of the industrial design is the uncertainty regarding novelty. Novelty is a patentability requirement. A design could be considered new, if there is a significant distinctive with the prior design. However, if the difference that just lays in distinctive minim one, concerning severally elemental only, therefore it can't be looked on as a new one. There is no article in Law on Industrial Design No. 31/2000, which rules the resemblance of an industrial design which can be used as the reference for rejecting or accepting a application request for an industrial design. Based on Article 2 Paragraph (2) uses the phrase "not similar", but in its explanation it does not clarify the term "not similar" or not resemble between one design and the other. The industrial design law in Indonesia embraces the "first to file" system in order to claiming the rights of the newest Industrial Designs. According to Article 26, paragraph (5) which states that the substantive examination will not be carried out if there is no complaint from other parties. The absence of substantive examination will cause the certificate for industrial design to be given. Substantive examination will not be carried out if there are 2 (two) industrial designs which resemble to each other; if there is no complaint about them, they have the right to get industrial design certificate. This will cause industrial design dispute; the result is that it has to be cancelled. The research used judicial normative approach, using literature materials and secondary data. The nature of the research was descriptive analysis; the data were analyzed qualitatively.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Harini
"Di Indonesia, industry minyak dan gas bumi merupakan industry strategis yang mendapatkan pengecualian dalam melakukan monopoli. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permasalahan timbul, ketika terdapat ketidakselarasan dalam beberapa aturan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta beberapa Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara. Sehingga, hal ini mengakibatkan PT. Pertamina Persero selaku Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam industry minyak dan gas bumi sering melakukan pelanggaran di bidang persaingan usaha.
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat preskriptif, meliputi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan beberapa peraturan lainnya, seperti Peraturan Kementrian BUMN, dan pedoman dari Komisi Pengawas Persaingan Indonesia.
Monopoli dalam sektor Minyak dan Gas Bumi mendapat pengecualian menurut Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena sektor minyak dan gas bumi merupakan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak dimana hal tersebut juga memiliki kaitan erat dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam mekanisme kegiatan minyak dan gas bumi yang membutuhkan investasi dalam bidang infrastruktur dan teknologi diadakan kegiatan pengadaan barang dan jasa dimana dalam kegiatan tersebut tidak mendapat pengecualian dalam Pasal 51. Sehingga sebaiknya dalam diperlukan pengaturan yang jelas sektor apa saja yang mendapat pengecualian di Pasal 51 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan aturan yang pasti dalam mekanisme bisnis minyak dan gas bumi.

In Indonesia, oil and gas industry is a strategic industry that get an exception in a monopoly. It is stipulated in Article 51 of Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Problems arise when there are inconsistencies in the rules in the Act No. 19 of 2003 on State Owned Enterprises, and Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas, as well as some of the Regulation of the Minister of State Owned Enterprises. Thus, this resulted in PT. Pertamina Persero as the State Owned Enterprises engaged in the oil and gas industry often committed violations in the field of business competition.
The method used in this research is normative juridical prescriptive, covering Act No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, Act No. 19 of 2003 on State Ownd Enterprises, Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas, and some other regulation, such as Regulation of the Ministry of State Owned Enterprises, and the guidelines of the Competition Supervisory Commission Indonesia.
Monopoly in the Oil and Gas have an exemption pursuant to Article 51 of Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition for the oil and gas sector is a strategic sector that concerns the lives of many people, where it is also closely linked with Article 33 of the Constitution of 1945. In the mechanism of oil and gas activities which require investments in infrastructure and technology held procurement of goods and services in which the event does not have an exemption under Article 51. Thus, should the need for clear regulations what sectors have an exemption in Article 51 of Law No. 5, 1999 and definite rules in the mechanism of the oil and gas business
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46845
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Hariz Tommy Irmiansyah
"Skripsi ini membahas mengenai dugaan praktik anti persaingan berupa dugaan adanya praktik kartel yang terjadi pada komoditas beras di Indonesia karena adanya kenaikan harga beras pada akhir tahun 2015 yang dinilai tidak wajar oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dianggap sebagai indikasi adanya kartel ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenaikan harga beras tersebut dinilai wajar karena terjadi pada musim paceklik dan indikasi dari KPPU menduga adanya kartel pada komoditas beras ini didasarkan pada kenaikan harga beras pada bulan November dan Desember 2015 yang dianggap tidak wajar. Dan dugaan ini masih belum cukup kuat sebagai sebuah dasar adanya indikasi praktik kartel.

This bachelor thesis discusses about allegation anti-competition practices in the form of alleged cartel practices on rice commodity because increases price of rice in the end 2015 were judged abnormal by KPPU based on Law Number 5 Year 1999 about Prohibition of Monopoly Practices And Unfair Business Competition. The study is normative-juridicial research using primary and secondary data. The result of the research shows that increases price of rice were judged fair because happened in famine season and indication from KPPU to alleged a presence of cartel practices on rice commodity is because increases price of rice in November and December 2015 were judged unfair. And this allegation is not substantial enough to be a basis of alleged a presence of cartel practices."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64108
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Latif
"Tesis ini membahas tentang penerapan ketentuan Kepemilikan Tunggal Perbankan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/I6/PBI/2006 dalam tinjauan hukum persaingan usaha, bahwa pengaturan ketentuan tersebut membatasi kepemilikan sebagai pemegang saham pengendali lebih dan satu bank. Opsi merger maupun akuisi baik dalam bentuk baru maupun perusahaan induk, mempunyai potensi terjadinya praktek monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat. PBI tersebut mengecualikan PP No. 28/1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Hal ini dari segi hukum masih menimbulkan persoalan, karena PBI tidak dapat mengesampingkan Peraturan Pemerintah, sebaiknya PBI ini ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah sehingga mengikat dengan mencakup perusahaan induk di bidang perbankan dengan mencakup aspek hukum persaingan usaha.

This thesis is focus on implementation of Bank Indonesia Regulation (BIR)No. 8/16/2006 concerning The Single Presence Policy in Indonesian Banks in point of competition law, the regulation rules that any party may only become a Controlling Shareholder in one bank. The option of merger and acquisition as well as alternative to form a bank holding company is has potential become monopoly practice and unfair competition. This BIR exclude Indonesian Government Regulation No. 28/1999 concerning Merger, Consolidation and Acquisition Bank. In Indonesian Legal System, BIR cannot exclude Indonesian Government Regulation, so the Indonesian Government should establish bank holding company regulation included merger and acquisition regulation regarding to competition law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25882
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vira Anggraini Ishmaningsih
"Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai proses penyediaan jasa freight forwarding ekspor benih lobster di Indonesia yang cenderung untuk mengarahkan pada penggunaan satu perusahaan freight forwarding tertentu, yakni PT Aero Cipta Kargo (PT ACK) sebagai jasa pengiriman yang akan digunakan oleh para Eksportir benih lobster. Hal yang demikian menimbulkan suatu pertanyaan apakah dalam proses penyediaan jasa tersebut menimbulkan suatu pelanggaran dalam persaingan usaha yang diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan jenis penelitian hukum yang berbentuk normatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan, Penulis menemukan bahwa proses penyediaan jasa forwarding ekspor benih lobster di Indonesia memenuhi unsur-unsur Pasal 17 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan dengan pendekatan rule of reason, yakni meneliti dampak dari pada permasalahan yang terjadi. Dalam penelitian ini, Penulis memberikan saran bahwa sebaiknya pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyediaan jasa ini dapat lebih bijak dalam melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selain itu pihak yang bertugas melakukan pengawasan harus lebih meningkatkan pengawasan agar penyedia jasa ini dapat berlangsung secara adil dan transparan.

This thesis will be discussing the process of providing lobster seed export freight forwarding service in Indonesia, which tends to lead to the use of one particular freight forwarding company, namely PT Aero Cipta Kargo (PT ACK) as a shipping service that will be used by lobster seed Exporters. This raises a question whether the process of providing this service creates a violation in business competition as regulated in Article 17 and Article 24 of Law Number 5 of 1999. The research in this thesis is carried out with a normative type of legal research. From the results of the research conducted, the author found that the process of providing lobster seed export forwarding services in Indonesia meets the elements of Article 17 and Article 24 of Law Number 5 of 1999 which is carried out with a rule of reason approach, namely examining the impact of the problems that occur. In this study, the author advises that the parties involved in the process of providing this service can be wiser in carrying out their duties in accordance with the applicable laws and regulations, besides that the party in charge of supervising must further improve supervision so that service providers can provide fair and transparent service."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ratihayu
"Tesis ini meneliti mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam menangani perkara praktik diskriminasi di sektor digital, khususnya pada Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penelitian ini menggunakan meotde penelitian yuridis normaitf dengan menggunakan pendekatan perbandingan. Praktik diskriminasi merupakan salah satu kegiatan yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Mengingat zaman yang semakin terus berkembang, praktik dskriminasi pada persaingan usaha juga ikut berkembang seiring dengan berkembangnya kegiatan usaha yang saat ini marak dilakukan pada melalui sektor digital. Pada penelitian ini, penulis menganalisis penerapan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibandingkan dengan Code of Practice for Competition in the Provision of Telecommunication and Media Services 2022 dan Digital Market Act, yang mengatur secara khusus mengenai praktik diskriminasi pada sektor digital. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pengaturan mengenai praktik diskriminasi di Indonesia, khususnya di sektor digital, masih ketinggalan zaman dimana belum adanya pengaturan lebih merinci terkait praktik diskriminasi itu sendiri, dimulai dari belum adanya penjabaran mengenai praktik diskriminasi sampai dengan jumlah penguasaan pangsa pasar khusus pada pasal 19 itu sendiri.

This thesis examines the application of Law Number 5 of 1999 on Anti-Monopoly Practices and Unfair Business Competition in handling discrimination cases in the digital sector, particularly in Article 19 d of Law Number 5 of 1999 on Anti-Monopoly Practices and Unfair Business Competition. This research uses a normative juridical research method with a comparative approach. Discriminatory practices are one of the activities prohibited under Law Number 5 of 1999 on Anti-Monopoly Practices and Unfair Business Competition. Considering the ever-evolving era, discriminatory practices in business competition have also evolved along with the increasing number of business activities currently carried out through the digital sector. In this study, the author analyzes the application of Article 19 d of Law Number 5 of 1999 on Anti-Monopoly Practices and Unfair Business Competition compared to the Code of Practice for Competition in the Provision of Telecommunication and Media Services 2022 and the Digital Market Act, which specifically regulate discriminatory practices in the digital sector. The conclusion obtained from this study is that the regulation of discriminatory practices in Indonesia, especially in the digital sector, is still outdated, where there is no more detailed regulation regarding discriminatory practices themselves, starting from the lack of elaboration on discriminatory practices to the amount of control over a special market share in Article 19 itself."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosiana Khotimah
"Tesis membahas mengenai latar belakang dilarangnya perjanjian penetapan harga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta kesesuaian Putusan Komisi Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 04/KPPU-I/2016 dengan ketentuan peraturan yang ada di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian ini hukum normatif. Secara umum, tujuan dibentuknya UU No. 5 Tahun 1999 adalah untuk menciptakan suatu persaingan yang sehat diantara pelaku usaha pesaing. Salah satu praktek monopoli yang dilarang adalah perjanjian penetapan harga. Sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa penetapan harga dilarang karena banyak terjadi praktek konglomerasi pada tahun 1998. Dalam pembuktiannya KPPU menggunakan pembuktian circumstantial evidence. Pembuktian secara circumstantial evidence cukup sulit karena tidak ada bukti dokumen yang mengarahkan langsung kepada pelanggaran, sehingga KPPU diharuskan melakukan penyelidikan untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan. Salah satu kasus penetapan harga yang diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha baru-baru ini mengenai kasus kartel harga yang melibatkan dua perusahaan besar yaitu PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dengan PT Astra Honda Motor. Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016. Dalam Putusannya Yamaha-Honda terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu penetapan perjanjian penetapan harga motor skutik 110-125cc. KPPU dalam menjerat kedua pelaku usaha tersebut menggunakan unsur price parallelism dan concerted action.Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis menyimpulkan bahwa kedua unsur tersebut tidak terbukti. Penelitian juga menunjukan bahwa keputusan majelis KPPU tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Thesis discusses about the background of the prohibition of pricing agreement of the Law Number 5 of the Year 1999 on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition and Conformity of the Decision of Unfair Business Competition Commission Number 04 KPPU I 2016 with the provisions of existing regulations in Indonesia. This research focused on the reasoning behind the ban of price fixing in the Law Number 5 of the Year 1999 on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition and whether the Verdict of Commission of business competition supervisor has been done in accordance to the existing regulations. This research used juridical normative method that refers to positive law or written norms law. In general, the purpose of the establishment of Law no. 5 of 1999 is to create a healthy competition among competitors. Price fixing is prohibited because of the many conglomeration practices in 1998. Commission of business competition supervisor condoned the uses circumstancial evidence, which is difficult to do because there is no the process of proofment to point the violation of the rules. One of price fixing case which was handled by Commission of business competition supervisor recently involved 2 major company, PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing with PT Astra Honda Motor. Commission of business competition supervisor found that Yamaha Honda was gulity of doing a price fixing on product scooter motorcycle 110 125cc, based on the element of price parallelism and concerted action. Thus make the verdict of Commission of business competition supervisor has not been done in accordance to the existing regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49752
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanu Elga Nasti Dhiraja
"Penulisan ini membahas mengenai kedudukan asosiasi pelaku usaha menurut Hukum Persaingan Indonesia pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta fungsinya bagi industri Indonesia dan apakah keberadaannya tersebut dapat menyebabkan praktik persaingan usaha tidak sehat. Penelitian terhadap penulisan ini didasarkan pada keberadaan asosiasi pelaku usaha pada beberapa ranah industri di Indonesia. Asosiasi yang keberadaannya sering diduga sebagai fasilitator praktik persaingan usaha tidak sehat secara hukum belum diatur oleh Hukum Persaingan di Indonesia. Oleh karenanya tidak ada pembatasan yang jelas terhadap kegiatankegiatan yang boleh atau tidak dilakukan oleh sesama pelaku usaha dalam asosiasi tersebut. Namun di samping memiliki peluang sebagai fasilitator praktik antipersaingan, pada kenyataannya keberadaan asosiasi pelaku usaha mempunyai beberapa manfaat bagi pelaku usaha yang berada di bawah naungannya, pemerintah sebagai fungsinya dalam hal kemitraan, maupun konsumen dalam hal standarisasi kualitas produk dan perlindungan konsumen.

This thesis mainly discuss about the position of the Trade Association according to Indonesia?s Competition Law Number 5/1999 about Prohibition of Monopoly and Unfair Business Competition Practices. The research on the writing is based on the existence of the Trade Association in several industrial areas in Indonesia. Trade Association whose existence is often thought to be the facilitator of the unhealthy and unfair business competition practices has not been regulated by Indonesian Law. Therefore, there is not clear restriction against activities which may or may not done by fellow businessmen of the Association. In the other hand, the existence of Trade Association has some benefits for businessmen itself, government as in partnership, and also consumers in terms of standardization of product quality and consumer protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42406
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maulana Malik Ibrohim
"UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menghapus sanksi pidana dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Efektivitas dari keberadaan sanksi pidana dalam UU Anti Monopoli dan proyeksi penegakan hukum persaingan usaha setelah berlakunya UU Cipta Kerja adalah permasalahan penelitian yang menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Diperoleh kesimpulan bahwa sanksi pidana dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak efektif karena keahlian pihak yang memeriksa berbeda (penyidik kepolisian dan KPPU), pidana kurungan dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999 tidak dapat ditujukan kepada entitas badan usaha, denda (pidana) dalam putusan KPPU dilaksanakan secara administrasi, pidana tidak mengenal indirect evidence dan pemeriksaan pidana bisa terganggu jika pelaku usaha dekat dengan penguasa, dan sanksi pidana tidak sesuai dengan asas subsidiaritas atau ultimum remedium. Proyeksi penegakan hukum persaingan usaha setelah berlakunya UU Cipta Kerja dapat berjalan dan diterapkan lebih baik karena mengubah permohonan keberatan dari pengadilan negeri ke pengadilan niaga dan menghapus sanksi pidana. Namun, proses pidana masih bisa digunakan sehingga proses penegakan hukum persaingan usaha menjadi lama dan tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Perlu membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme penyidikan oleh kepolisian dan jika pelaku usaha dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima putusan KPPU tidak mengajukan keberatan, maka putusan KPPU mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri

Law No. 11 of 2020 on Job Creation has removed criminal sanctions in Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. The effectiveness of the existence of criminal sanctions in the Anti-Monopoly Law and projections of business competition law enforcement after the enactment of the Job Creation Law are research problem that uses normative juridical research methods with statute approach. It was concluded that the criminal sanctions in Law No. 5 of 1999 is not effective because the expertise of the parties examining is different (police investigators and KPPU), imprisonment in Article 48 of Law No. 5 of 1999 cannot be addressed to business entities, fines (penalties) in the KPPU's decisions are implemented administratively, a criminal does not recognize indirect evidence and a criminal investigation can be disrupted if the business actor is close to the authorities, and criminal sanctions are not in accordance with the subsidiarity or ultimum remedium principle. Projected business competition law enforcement after the enacted of Job Creation Law can run and be implemented better due to change the objection request from district court to commercial court and remove criminal sanctions. However, the criminal process can still be used so that the business competition law enforcement process takes a long time and not in accordance with the principles of fast, simple, and low cost justice. It is necessary to make a Government Regulation governing the investigation mechanism by the police and if the business actor within the time limit of 14 (fourteen) days after receiving the KPPU's decision does not file an objection, then the KPPU's decision has permanent legal force and may be requested for an order of execution to the district court"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dinda Aprianty
"Persekongkolan tender menjadi salah satu isu penting dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Dalam Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi tercatat bahwa sekitar 80% dari seluruh kasus yang ditangani oleh KPPU merupakan kasus persekongkolan tender. Salah satu kasus yang terkait dengan persekongkolan tender adalah kasus Proyek Donggi-Senoro. Dalam proyek tersebut, dalam proses pemilihan mitra dilakukan melalui beauty contest, menurut KPPU, beauty contest sama dengan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, namun menurut berbagai para pihak, antara pemilihan mitra melalui beauty contest dan tender tersebut berbeda, sehingga menimbulkan adanya perbedaan pendapat antara keduanya. Putusan kasus ini terdapat dalam Putusan KPPU Nomor: 35/KPPU-I/2010, yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Negeri dalam Putusan Nomor: 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif. Istilah tender diatur didalam Pasal UU No. 5 Tahun 1999, akan tetapi istilah beauty contest tidak terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pemilihan mitra juga tidak masuk di dalam ruang lingkup Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, karena pemilihan mitra adalah pemilihan calon partner untuk membangun suatu usaha, bukan mengenai pengadaan barang/ jasa. KPPU bukanlah merupakan lembaga yudisial, sehingga tidak dapat memperluas ruang lingkup suatu undangundang. Apabila dikaitkan dengan hukum perseroan, pemilihan mitra dianggap sebagai business judgement yang dapat dilakukan oleh Direksi. Sehingga proses pemilihan mitra melalui beauty contest tidak dapat dianggap sebagai tender yang ada dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.

Bid rigging is one of the important issues in Competition Law in Indonesia. In the Position Paper Sector Development Commission Against Construction Services noted that roughly 80% of all cases handled by the Commission are bid rigging cases. One of the cases which related to bid rigging is Donggi – Senoro case. In this project, the partner selection process is done by a beauty contest, according to the Commission, the beauty contest is similar to tender which is referred to in Article 22 of Act No. 5, 1999, however, according to various parties, partner selection through the beauty contest is different with tender, which results different point of views between those two. The verdict of the case is contained in the Commission's Decision No. 35/KPPU-I/2010, which is then amplified by the District Court in its Decision Number: 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. The research method used in this thesis is juridical normative study. The term tender is regulated under Act. 5, 1999, however, the term a beauty contest is not contained in Act No. 5, 1999. In addition, the selection of partners is not also regulated in Article 22 of Act No. 5, 1999, as this selection is meant to select business partner candidates, to build a joint venture, not to provide goods/ services. Commission is not a judicial body, so it cannot widen the scope of the legislation. If the law is associated with the company law, partner selection is considered as a business judgment that can be made by the Board of Directors. So, the partner selection process through a beauty contest cannot be regarded as a tender under Article 22 of Act No. 5, 1999."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38726
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>