Ditemukan 142042 dokumen yang sesuai dengan query
Ken Swari Maharani
"CITES 1973 merupakan konvensi lingkungan internasional yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa dari perdagangan internasional yang berlebihan. Konvensi ini menggerakkan upaya global untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu satwa yang terancam bahaya kepunahan adalah harimau Sumatera. CITES 1973 memasukkannya ke dalam kategori Appendiks 1 yang berarti tidak boleh ada perdagangan komersial terhadap satwa tersebut. Indonesia, sebagai negara habitat harimau Sumatera, telah meratifikasi CITES 1973 dan mengesahkan peraturan-peraturan hukum untuk melindungi tumbuhan dan satwa, termasuk harimau Sumatera. Selain itu, Indonesia juga terlibat kerja sama regional dan global dengan negara-negara habitat harimau lainnya. Namun, populasi harimau Sumatera terus menurun, tidak hanya karena perdagangan, tetapi juga karena kerusakan habitat, perburuan liar, dan konflik dengan manusia. CITES 1973 belum diimplementasikan dengan baik di Indonesia terlihat dari lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan populasi harimau Sumatera terus terancam. Penanganan kasus-kasus kriminal terkait harimau Sumatera tidak dilakukan secara tuntas dan sanksi-sanksi yang diberikan tidak memberi efek jera. Perdagangan liar bersifat terbuka dan terorganisir, baik di dalam maupun di luar negeri. Hutan di Pulau Sumatera mengalami degradasi karena banyaknya konversi fungsi hutan untuk kebutuhan komersial. Masyarakat belum dilibatkan dalam perlindungan harimau dan habitatnya; sementara peran NGOs sering terhambat oleh respon yang lambat dari pemerintah. Komitmen Indonesia terhadap CITES 1973 harus diperkuat agar harimau Sumatera tidak lagi terancam kepunahan dan ekosistem di sekitarnya juga turut dilestarikan.
CITES 1973 is an international environmental convention aiming to protect flora and fauna from excessive international trade. This convention drives a global effort to conserve biodiversity. One of the animals that are in danger of extinction is Sumatran tigers. CITES 1973 has categorized the species in the Appendix 1, which means there should be no commercial trade against the species. Indonesia, as the habitat for Sumatran tigers, has ratified CITES 1973 and passed the legal regulations to protect plants and animals, including Sumatran tigers. In addition, Indonesia is involved in regional and global cooperation with the other tiger range countries. Nevertheless, the population of Sumatran tiger continues to decline, not only because of trade, but also due to habitat destruction, illegal poaching, and conflict with humans. CITES 1973 has not been implemented properly in Indonesia as seen from the lack of law enforcement causing the population of Sumatran tigers continues to be threatened. Criminal cases towards Sumatran tigers have not been solved completely and sanctions given have less deterrent effect. Illegal trade has become increasingly open and organized, both domestically and globally. Forests in Sumatra have degraded because of the conversion of forest lands to fulfill commercial needs. Local communities have not been involved in the protection of tigers and their habitat; while the role of NGOs is often hampered by the slow response from the government. Indonesia's commitment to CITES in 1973 should be strengthened so that Sumatran tigers are no longer in danger of extinction and the ecosystem around them is also conserved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42327
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Waworuntu, Damar Gerung
"Skripsi ini menganalisis implementasi dari Otoritas Manajemen di Indonesia berdasarkan ketentuan hukum dari Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) . Thesis ini akan membahas implementasi penegakan hukum akan perdagangan hewan langka dari segi international, regional, yang pada akhirnya mengerucut ke implementasinya di tingkat nasional di Indonesia. Penulis menemukan bahwa adanya ketentuan yang memberikan dua instansi negara menyebabkan susahnya isu perdagangan ilegal hewan langka ditegakkan. Penulis percaya bahwa dengan adanya kerjasama regional dan penggunaan sumberdaya dari ASEAN Wildlife Enforcement Network, perdagangan hewan liar dapat dikontrol hingga dapat menjadi pendapatan stabil untuk negara.
This research shall analyze the implementation of the Management Authority in Indonesia as based on the legal instructions of the Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). It shall discuss the implementation wildlife trade enforcement stage-by-stage from an international platform, a regional co-operation platform and finally leading into its implementation at a national level in Indonesia. Through the writing process, the writer has found that from a legal perspective, other then Indonesias lack of capacity to address this problem, endangered wildlife trade enforcement has been unable to reach its optimal level due to the overlaying laws which give authority to more than one state institution to excercise this right. Though such distribution of power is allowed by the CITES, Indonesia still needs to develop an optimal effort to address illegal endangered wildlife trade. The writer believes that this can be done by Indonesia through utilizing the resources of the regional wildlife enforcement, ASEAN Wildlife Enforcement Network, thus making endangered wildlife species trade a viable asset for the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61713
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dina Zenitha
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2002
S25914
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Agnes Claudia
"Perbedaan hukum nasional masing – masing negara anggota terhadap penerapan aturan perjanjian internasional pada negaranya umumnya menghasilkan perbedaan jangka waktu terhadap implementasi perjanjian internasional. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan bagi para negara anggota untuk menyeragamkan aturan tersebut demi tercapainya maksud dan tujuan dalam perjanjian, khususnya aturan teknis yang memerlukan tanggapan cepat para negara anggota untuk segera mengimplementasikannya. Maka dari itu, beberapa perjanjian internasional serta organisasi internasional layaknya International Maritime Organization memperkenalkan sistem tacit acceptance atau penerimaan secara diam – diam sebagai salah mekanisme pilihan bagi negara untuk tunduk. Penggunaan mekanisme tacit acceptance kemudian menjadi salah satu opsi bagi para pihak dalam mempergunakan aturan perjanjian internasional pada saat yang mendesak dan instrumen penundukkan secara eksplisit tidak mungkin dilakukan. Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif dengan tujuan untuk melihat bagaimana implementasi tacit acceptance melalui beragam jenis tacit pada perjanjian internasional, serta bagaimana negara dan perjanjian internasional mendefinisikan dan mempergunakan tacit acceptance. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa mekanisme tacit pada umumnya dapat diberlakukan hanya kepada negara anggota ataupun para pihak yang dianggap layak oleh perjanjian internasional ataupun putusan pengadilan. Walaupun demikian, dapat ditemukan praktik oleh negara ketiga yang mempergunakan mekanisme tacit acceptance terhadap perjanjian internasional, misalnya Republik Kazakhstan terhadap Liability Convention 1972 melalui perjanjian bilateral 1994 Lease Agreement dengan Federasi Rusia mengenai Baikonur Cosmodrome. Adapun hal yang ditemukan adalah negara ketiga dapat memberlakukan mekanisme tacit berdasarkan pernyataan dalam bentuk tertulis, misalnya pada perjanjian yang terpisah. Terlihat bahwa mekanisme tacit memiliki implementasi dan parameter yang berbeda-beda dalam setiap peristiwa hukum, sehingga mekanisme ini dipergunakan dalam berbagai aspek dan tidak hanya terbatas pada lingkup lingkungan atau maritim saja.
The differences on the national laws of each member states regarding to the application of the international treaties provisions may result in the different timeline for the provision’s applicability. This, however, makes several member states has the difficulties to achieve the object and purpose of the treaty, especially technical provisions that requires contracting parties for a quick response by implement and enforce them immediately. Furthermore, several treaties and international organizations, such as the International Maritime Organization introduce a system that is called tacit acceptance as a mechanism of choice for member states to give their consent to be bound. The use of tacit acceptance becoming one of the options for parties to implement international agreements at the time of urgency and explicit instruments for showing consent is not possible for the time being. Based on the normative legal research method, it is concluded that tacit acceptance in general is applicable only to the member state or parties deemed appropriate by the treaty itself or court decisions. Nevertheless, it can also be found that third states are using tacit acceptance on treaties, such as Republic of Kazakhstan with Liability Convention 1972 through 1994 Lease Agreement with Russian Federation that regulates about Baikonur Cosmodrome. Third state, in fact, is able to apply tacit acceptance to show their consent through a written form in a separate agreement. Moreover, it can be seen that the tacit mechanism has different implementations and parameters for various legal affair. Having said that, tacit acceptance as a tool for showing one’s consent to be bound is utilized in various aspects and not limited to the environmental and/or maritime subjects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Leigh, John
Canberra : National Park and Wildlife Service, 1979
582.1 LEI a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Della Rizky Marsa Velesnika
"Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species 1973 (CITES), tetapi Indonesia belum mengimplementasikan aturan-aturan CITES secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya penyelundupan satwa di Indonesia, salah satunya adalah kasus dengan Putusan Nomor: 496 /Pid.Sus/2014/PN.Dps. yang akan dibahas dalam tesis ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan sering terjadinya kasus penyelundupan satwa di Indonesia, mengkaji langkah-langkah yang sebaiknya diambil Indonesia dalam mencegah terjadinya kembali kasus penyelundupan satwa yang dilindungi oleh CITES, dan menganalisis tindakan suatu negara ketika satwa hasil penyelundupan masuk ke negaranya. Faktor yang menyebabkan terjadinya penyelundupan satwa secara besar dikarenakan oleh faktor ekonomi dan ketidaktahuan masyarakat mengenai satwa yang dilindungi. Salah satu langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya penyelundupan satwa adalah mengadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan satwa yang ada di Indonesia serta dampak yang ditimbulkan.
Indonesia is known as one of many countries which has the highest biodiversity in the world. Although Indonesia has ratified the Convention on International Trade in Endangered Species in 1973 (CITES), but Indonesia does not implement CITES rules optimally. This is evidenced by wildlife smuggling in Indonesia, one of many cases is the case with Decision No. 496 /Pid.Sus/2014/PN.Dps. which will be discussed in this thesis. The aims of this study are to analyze the factors that cause frequent occurrence of smuggling cases of wildlife in Indonesia, review the steps that should be taken by Indonesia to prevent the recurrence of smuggling cases of protected species by CITES, and analyze the actions of countries when those animals entry to country. Factors that cause wildlife smuggling is an economic factor and the ignorance of the public regarding the protected animals. One of the appropriate measures to prevent the wildlife smuggling is the socialization and education to the public about the importance of wildlife protection in Indonesia and its impact."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44857
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Frisca Cristi
"Tesis ini khusus membahas pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 dan akibatnya terhadap PSC. Dengan menggunakan metode interpretasi gramatikal, historis, antisipatif dan komparatif maka kita dapat memahami makna dari pasal 31 ini. Penelitian ini adalah penelitian perskriptif deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini sudah jelas bahwa perjanjian wajib dalam bahasa Indonesia dengan batasan khusus terhadap perjanjian dengan tujuan tertentu di Indonesia. Pasal 31 ini sebagai alasan yuridis terhadap PSC yang dilaksanakan di Indonesia diwajibkan dibuat juga dalam bahasa Indonesia.
This thesis specifically discusses article 31 of Law Number 24 of 2009 and its implication on the PSC. To understand the meaning of Article 31 the author uses the method of gramatikal, historis, antisipatif and komparatif interpretation. This study uses a prescriptive-descriptive design. The results stated that the meaning of the article is clear that the agreement shall be made in the Indonesian language which is only for the agreement with certain purposes in Indonesia. Article 31 is the juridical reason why a PSC in Indonesia must be made in the Indonesian language."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27892
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Maya Hasanah
"Tesis ini membahas mengenai beberapa klausul spesifik dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma dengan menggunakan asas proporsionalitas sebagai landasan utama untuk menilai apakah perjanjian tersebut telah mengakomodir kepentingan para pihak secara fair. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris dengan menggunakan metode yuridis-normatif, dimana dari data sekunder yang ada dilakukan analisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam hubungan kemitraan inti-plasma ini para pihak berada dalam 'posisi tawar' yang tidak seimbang, sehingga pada tahap pra kontrak asas proporsional tidak terpenuhi, sedangkan pada tahap pembentukan kontrak terdapat klausul yang memenuhi asas proporsionalitas, namun ada pula yang tidak memenuhi asas proporsionalitas. Pada akhirnya penulis menyarankan bahwa, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengefektifkan program kemitraan inti-plasma ini, selain itu perlu adanya pembekalan wawasan akan aspek-aspek hukum kontrak serta konsekueansinya bagi para peternak/petani plasma, serta perlu dibentuk suatu organisasi peternak/petani plasma sebagai wadah advokasi/pendampingan para anggotanya.
This thesis discusses about some specific clause in the 'Inti-Plasma' Partnership Agreement using 'the proportionality principle in commercial contract' as the primary basis for asessing whether the agreement has accommadate the interests of the parties fairly. This research is an explanatory research which use 'juridical-normative' format were collected the data from the seccondary data which analysed by qualitative methods. The conclusion from this study is, in the 'inti-plasma' relationship the parties are in a unbalance bargaining position,so that in the stage of 'pre-contract' , that principle are not met, while at the stage of 'formation of contracts' there are some clauses that met and does not met with that principle. In the end, the researcher suggest that government intervention is needed to streamline the 'inti-plasma partnership program' eficienly, in addition to the need for debriefing the ranchers/farmers about any aspects of contract law and its consequences for their bussiness relation, beside that it's need to set up an organization of ranchers/farmers as a forum to accommodate the inspirations and the interests of its member, so that through these forum can provide safeguards provisions for a fair contract although the contract was made in the standard agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29636;T29636
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Denny Afriyuliany
"Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi mendorong pemerintah untuk melakukan upaya peningkatan pendapatan nasional di bidang pembangunan. Salah satunya memanfaatk:an tanah ulayat yang pada dasarnya merupakan kepunyaan masyarakat hukum adat. Menurut hukum adat Minangkabau, tanah ulayat memiliki sifat kolektif, dimana peruntukkaffi.?ya ditujukan bagi kesejahteraan komunitas pemilik tanah ulayat. Pemanfaatan tanah ulayat dapat dilakukan oleh pemilik tanah ulayat, pemerintah maupun pihak investor/pengusaha. Bagi pihak investor yang melakukan pemanfaatan tanah ulayat di "Ranah Minang" ini, harus melewati prosedur sesuai dengan hukum adat Minangkabau. Yaitu meminta kesepakatan seluruh anggota pemilik tanah ulayat dengan menuangkannya dalam suatu perjanjian pemanfaatan.
The rapidly of economic development is the reason for government to have increase the national income. One of the act is using ulayat land that basically prescriptive law society as the owner. According to the Minangkabau prescriptive law society, ulayat land has collectiveness at ownership, that is priority to fullfil needed of community ulayat land owner. The owner of ulayat land, government and investor can do utilizing the ulayat land. For investor who utilize ulayat land in "Ranah Minang", have to performed by all procedures according to Minangkabau prescriptive law. That is ask all of community who authorized the ulayat land with a pattern of utilization agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T44112
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library