Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218690 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miza Agria Yudisti
"ABSTRAK
Asam lemak tak jenuh rantai panjang diakui sebagai zat gizi kunci dalam pertumbuhan dan perkembangan mental. Plasma darah dianggap sebagai biomarker yang baik untuk mengkonfirmasi asam lemak yang diasup. Namun, factor individu sangant mepengaruhi hubungan antar keduanya, khususnya polimorfisme gen. Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran polimorfisme gen FADS dalam hubungan antar asupan makan dan kadarnya dalam plasma. 115 anak berusia 12-16 bulan dihitung asupan makannya dengan Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) dan diidentifikasi genotypenya.kadar asam lemak dalam plasma dianalisa dengan metode gas chromatography. Hasil studi ini menunjukkan bahwa asupan asam lemak rantai panjang tidak adekuat (EPA=22%, DHA=25%, N-6-LC PUFA=58%, and N-3-LC PUFA=37%). Dengan asupan yang sebanding, anak yang memiliki allele A cenderung memiliki plasma yang lebih tinggi dari anak yang tidak memiliki allele A (p<0.05 untuk total LC PUFAs dan N6-LC PUFA). Allele A menunjukkan adanya kemungkinan metabolism asam lemak yang efisien.

ABSTRAK
Long Chain Polyunsaturated Fatty Acids (LC PUFAs) are known as key nutrient for brain development and cognitive function which intermediated by plasma level. Plasma level in blood was mentioned as a good biomarker of related dietary fatty acids intake. However, role of individual factors particularly gene polymorphism also plays role on their relationship. This study was aimed to assess LC PUFAs intake, its plasma level, and the moderation effect of Single Nucleotide Polymorphism (SNP) in FADS gene on their relationship. A total of 115 children aged 12-16 month were assessed their usual intake using Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and were genotyped for rs174468 (G>A). Plasma LC PUFAs were measured by gas chromatography. The result of usual intake of LC PUFAs were lower than recommendation (EPA=22%, DHA=25%, N-6-LC PUFA=58%, and N-3-LC PUFA=37%). Despite comparable intake of LC PUFAs, children who have allele A have much higher plasma level (p<0.05 for total LC PUFAs and N6-LC PUFA). Allele A on this SNP might be related to a good response for dietary intake or efficient metabolism of LCPUFAs"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiya Nadira
"Latar Belakang. Prevalensi balita wasting di Provinsi Nusa Tenggara Barat
mencapai 10%, hal ini dapat memengaruhi tumbuh kembang anak balita. Hasil
penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi dan
asupan nutrisi terhadap wasting. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
karakteristik balita, prevalensi wasting, dan asupan karbohidrat, protein, dan lemak
serta hubungannya terhadap wasting pada balita di Desa Sembalun Bumbung, NTB.
Metode. Studi potong lintang telah dilaksanakan dengan melibatkan 112 balita usia
6-59 bulan di Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur,
NTB pada Agustus 2019. Data antropometri berupa tinggi badan dan berat badan
diukur untuk menentukan status gizi. Wawancara menggunakan kuesioner
dilakukan untuk mendapatkan data demografi, sedangkan untuk mendapatkan
asupan makronutrien balita menggunakan multiple-pass 2x24 hour food recall
terhadap ibu balita. Data antropometri diolah menggunakan WHO Anthro Survey
Analyser, sedangkan kuesioner diolah dengan bantuan perangkat lunak Epidata
versi 4.4. Data asupan makanan dari food recall diolah menggunakan Nutrisurvey
2004. Data dianalisis menggunakan uji Fisher’s Exact Test pada SPSS versi 20.
Hasil. Prevalensi balita wasting di Desa Sembalun Bumbung adalah 7%. Uji
bivariat menyatakan bahwa asupan karbohidrat, protein, dan lemak tidak memiliki
hubungan yang signifikan terhadap wasting (p>0.05).
Kesimpulan. Asupan karbohidrat, lemak, dan protein tidak memiliki hubungan
terhadap wasting pada balita usia 6-59 bulan di Desa Sembalun Bumbung

Background. Wasting prevalence in children under-five in Nusa Tenggara Barat
Province is 10%, while wasting is an important factor affecting children’s growth
and development. Current research shows that infection and nutrition intake affect
wasting. This research is aimed to identify characteristics, prevalence of wasting,
and association between carbohydrate, protein, and fat intake on wasting in children
under-five at Sembalun Bumbung Village, NTB.
Method. A cross sectional study was conducted in Desa Sembalun Bumbung,
Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB in August 2019; 112 children of 6-59
months age were recruited. Anthropometry data including height and weight was
obtained to analyze nutritional status. Children’s mothers were interviewed to
collect sociodemographic data and macronutrient intake through multiple multiplepass
2x24 hour food recall using food portion pictures from Indonesian Ministry of
Health. Anthropometry and questionnaire data were processed using WHO Anthro
Survey Analyser and Epidata version 4.4. According to Indonesian Ministry of
Health Food Composition Data, macronutrient intake from dietary recall was
processed using Nutrisurvey 2004. Statistical data was analyzed with Fisher’s Exact
Test using SPSS version 20.
Result. Wasting prevalence of children under-five in Sembalun Bumbung Village
was 7%. Bivariate analysis showed that carbohydrate, protein, and fat intake were
not statistically significant on wasting prevalence (p>0.05).
Conclusion. Carbohydrate, fat, and protein intake was not associated with wasting
in children under-five in Sembalunbumbung Village"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djasmidar A.T.
"Salah satu upaya agar memperoleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas di masa datang dengan memperhatikan keadaan gizi balita umumnya dan anak usia 6-17 bulan khususnya. Kemiskinan erat hubungannya dengan keadaan gizi balita, karena keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar antara lain makanan. Umumnya anak yang hidup di dalam keluarga miskin menderita gangguan pertumbuhan dan kurang gizi, tetapi kenyataannya dalam keadaan sosial ekonomi miskin masih terdapat anak-anak dengan status gizi baik, sehingga timbul pertanyaan faktor-faktor apakah yang menyebabkan anak keluarga miskin mempunyai status gizi baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan pada keluarga miskin di Jakarta Utara, kabupaten Bogor dan kabupaten Lombok Barat.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel yang diolah 479 orang anak dari 540 orang anak yang ada pada studi penyimpangan positif masalah KEP di Jakarta Utara, kabupaten Bogor dan kabupaten Lombok Timur.
Hasil penelitian melaporkan proporsi gizi baik pada anak usia 6-17 bulan di Jakarta Utara 64,7%,kabupaten Bogor 63,1%, kabupten Lombok Timur 59,3% dan secara keseluruhannya 62,4%. Hasil uji chi-square menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p<0,05) asupan energi dan asupan protein dengan status gizi baik anak usia 6-1.7 bulan di Jakarta Utara, ada hubungan yang bermakna pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan di kabupaten Bogor, ada hubungan yang bermakna pola asuh anak dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan di kabupaten Lombok Timur dan ada hubungan yang bermakna pengetahuan ibu tentang gizi dan keadaan rumah dengan status gizi basi anak usia 6-17 bulan pada total di tiga lokasi penelitian.
Hasil analisis multivariat regresi logistik ganda juga menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan berhubungan dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan adalah asupan protein di Jakarta Utara, pengetahuan ibu tentang gizi di kabupaten Bogor, pola asuh anak di kabupaten Lombok Timur dan keadaan rumah pada total di tiga lokasi penelitian.
Dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proporsi gizi baik masih rendah dan adanya variasi faktor dominan yang berhubungan dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan di daerah miskin. Untuk itu Dinas Kesehatan kabupaten/kota dalam perencanaan perbaikan status gizi anak usia 6-17 bulan di daerah miskin tidak disamakan di semua lokasi tetapi dibedakan dengan melihat faktor dominan dimasing-masing lokasi dan perlunya perbaikan lingkungan perumahan yang disertai dengan penyuluhan perilaku hidup sehat. Untuk Puskemas perlu meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi melalui program promosi gizi seimbang di masyarakat.

Factors Related to Good Nutritional Status of Children Age 6-17 Months Old Among Poor Families in Northern Jakarta, Bogor District, and Eastern Lombok District in 1999. (Secondary Data Analysis)Among others, concern on under five nutritional status in general and children age 6-17 months old in particular is one important effort to improve the quality of human resource in the future. Poverty is closely related to the nutritional status of under five due to limitation to fulfill basic needs including food In general, children live within poor families suffered from growth retardation and under nutrition. However, within the poor socioeconomic environment, children with good nutritional status still can be found. This raises questions on what factors contribute to good nutritional status among poor families. The aim of this study is to investigate factors related to good nutritional status of children age 6-17 months old among poor families in Northern Jakarta, Bogor district, and Eastern Lombok district in 1999.
Design of this study is cross sectional with number of sample of analysis 479 out of 540 children who were included in the positive deviance study on protein energy malnutrition in Northern Jakarta, Bogor district, and Eastern Lombok district.
The study shows the proportion of children age 6-17 months old with good nutritional status are 64.7% in Northern Jakarta, 63.1% Bogor district, 59.3% in Eastern Lombok and the overall proportion is 62A%. The chi square test exhibits. significant association (p<0.45) between energy and protein intakes with good nutritional status among children age 6-17 months old in Northern Jakarta, significant association between mother's nutrition knowledge with good nutritional status among children age 6-17 months old in Bogor district, significant association between child care practices and good nutritional status among children age 6-17 months old in Eastern Lombok district, and significant association between mother's nutrition knowledge and house condition with good nutritional status among children age 6-17 months old.
Multiple logistic regression analysis shows that the most dominant factors for good nutritional status among children age 6-17 months old are protein intake in Northern Jakarta, mother's nutrition knowledge in Bogor district, child care practices in Eastern Lombok district, and house condition for overall places.
The study result concludes that the proportion of good nutritional status is still low and there is variation of dominant factors related to good nutritional status among children age 6-17 months old in poor areas. District Health Service have to consider the variation of determinant by making the planning of improvement of nutritional status not similar to the other districts. The planning has to be based on the real situation and the determinants which have been identified as main caused of nutritional status in each districts. There is a need to improve mother's nutrition knowledge through promotion of balance of nutrition and through promotion of nutrition in Posyandu as well as innovation of affordable nutrition balance.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Shinta
"Varian gen TMPRSS6 berasosiasi dengan status besi diplasma, tetapi efek tersebut belum dijelaskan pada anak Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalasis apakah SNP rs855791 (G>A) dan rs4820268 (A>G) gen TMPRSS6 berhubungan dengan status besi dan hemoglobin yang rendah dengan mengontrol asupan zat besi pada anak baduta suku Sasak. Studi crossectional ini mengeksplorasi baseline data dari randomized trial di Kabupaten Lombok Timur, sebanyak 121 subyek memenuhi syarat dalam penelitian ini. Real Time PCR, metode Taqman Assay digunakan untuk menganalisis genotip. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa varian TMPRSS6 secara signifikan berhubungan dengan feritin, tetapi asupan zat besi lebih berkontribusi terhadap feritin dibandingkan genotipe.

Variants in TMPRSS6 were associated with plasma iron, but their effects in Indonesian children remain elucidated. This study aim to analyze whether the TMPRSS6 SNPs rs855791 (G>A) and rs4820268 (A>G) were associated with low iron status and hemoglobin controlling for iron intake among Sasaknese. A crossectional study explored the baseline of a randomized trial in East Lombok district, 121 subjects were eligible in the study. Real Time PCR using Taqman-assay method was used for analysis of SNPs genotype. The researcher suggests that TMPRSS6 variants were significantly associated with plasma ferritin, but iron intake still more contribute to ferritin than genotype.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabiola Cathleen
"Stunting merupakan masalah kesehatan global yang dimiliki oleh 150,8 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Anak stunting diindikasikan dengan tinggi badan menurut usia di bawah minus dua deviasi standar dari World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. Jika terjadi dalam 1000 hari kehidupan pertama seorang anak, stunting cenderung bersifat irreversible, dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan, mulai dari penurunan kemampuan kognitif, peningkatan risiko atas penyakit metabolik, dan penurunan pendapatan dan kesejahteraan hidup di masa depan. Korelasi vitamin D dan kalsium masih terhadap stunting masih kurang dieksplorasi, padahal beberapa studi menunjukkan dampak positif melalui fungsi mineralisasi tulang dan insulin-like growth factor axis. Dengan begitu, penelitian ini dilakukan untuk mencari korelasi antara asupan kalsium dan vitamin D terhadap indikator stunting (HAZ) pada anak usia 6-24 bulan sebagai usia yang telah mendapatkan MPASI, dan di Jakarta Timur sebagai wilayah dengan prevalensi stunting kedua tertinggi di antara wilayah DKI Jakarta lainnya. Metode: Metode yang digunakan adalah metode potong lintang, dengan total 62 sampel, yaitu anak usia 6-24 bulan yang bertempat tinggal di Jakarta Timur dan mengikuti penelitian Departemen Gizi FKUI 2014, sesuai kriteria inklusi tanpa kriteria eksklusi, kemudian terpilih melalui simple random sampling. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 for Mac. Hasil: Hasil yang ditemukan adalah anak usia 12-24 bulan berhubungan positif dan signifikan secara statistik terhadap asupan kalsium kurang dari AKG (OR= 16,611; p<0,001). Sebaran asupan vitamin D dan status stunting berdasarkan seluruh karakteristik subjek tidak memiliki hubungan signifikan secara statistik. Sementara itu, asupan kalsium dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,324; p=0,005; p<0,01), begitu pula dengan asupan vitamin D dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,279; p=0,014, p<0,05). Hubungan status asupan kalsium dan vitamin D terhadap status stunting tidak bersifat signifikan secara statistik, namun penting secara klinis. Pembahasan: Usia 12-24 bulan lebih berisiko untuk memiliki asupan kalsium yang lebih rendah karena frekuensi minum ASI yang semakin berkurang tidak diimbangi dengan asupan gizi MPASI. Korelasi signifikan antara asupan kalsium dan asupan vitamin D terhadap HAZ mendukung studi sebelumnya bahwa kalsium dan vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi IGF-1 plasma, dan bahwa kalsium dan vitamin D bekerja berdampingan.

Stunting is a global health issue, with approximately 150.8 million children are affected worldwide, including Indonesia. Children with stunting are indicated with a Height-for-Age Z Score of less than-2 standard deviation based the World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. If it occurs in the first 1000 days of life, stunting tends to be irreversible and cause impaired development, from cognitive impairment and increased risk of metabolic diseases, to lower income and welfare in the future. Correlation between vitamin D and calcium intake towards stunting have yet to be explored thoroughly even though several studies suggest their positive impacts through bone mineralisation and insulin-like growth factor axis. Thus, this research is done in order to discover the correlation between calcium and vitamin D toward stunting indicators (HAZ) on children aged 6-24 months, as they are currently given complementary foods, and located in East Jakarta, which has the second highest stunting prevalence compared to other regions in DKI Jakarta. Method: This study uses a cross-sectional method with a total of 62 samples, which are children aged 6-24 months that live in East Jakarta and took part in FKUI's Nutrition Department's Research in 2014, passing inclusion criterias without exclusion criterias, then selected through simple random sampling. Data processing and analysis are conducted with SPSS 20 for Mac software. Results: Results have found children age 12-24 months significantly and positively correlated with calcium intake less then AKG (OR=16.611; p<0.001). Vitamin D intake and stunting status distribution based on all subject characteristics are statistically insignificant On the other hand, calcium intake and HAZ have a positive and unidirectional correlation of (r=0.324; p=0.005; p<0.01), similar with vitamin D intake and HAZ with a positive and unidirectional correlation (r=0.279; p=0.014, p<0.05). Meanwhile, relationships of calcium and vitamin D intake status towards stunting status are not statistically significant, however clinically important. Discussion: Age group 12-24 months has higher risk to have lower calcium intake because reduced breastfeeding frequency is not balanced with adequate complementary food. Significant correlation between calcium and vitamin D intake towards stunting indicator supports the theory where calcium and vitamin D increases plasma IGF-1 concentration, and that both calcium and vitamin D works side-by-side.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilna Khairunisa Shalihat
"Latar Belakang. Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan global. Obesitas ditandai dengan akumulasi sel adiposa yang mencetuskan terbentuknya reactive oxygen species (ROS). ROS menginduksi peroksidasi lemak, yang dapat dideteksi dengan kadar malondialdehid (MDA) plasma. Edukasi nutrisi dengan konseling dan kunjungan rumah pada pengasuh dengan anak berisiko obesitas usia < 2 tahun dapat mempengaruhi perilaku ibu, sehingga merubah asupan nutrisi anak. Belum ada rekomendasi nutrisi untuk anak obesitas usia < 2 tahun yang sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan bahan makanan lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian konseling optimisasi diet tinggi omega-3 menggunakan linear programming terhadap kadar MDA plasma.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis terbuka, desain paralel, alokasi acak selama 10 minggu pada anak usia 12-24 bulan dengan BMI>+1 Z-score berdasarkan kurva WHO. Subjek diambil secara konsekutif dan dibagi menjadi kelompok dengan konseling optimisasi diet tinggi omega-3 menggunakan linear programming dan kelompok dengan konseling standar. Data yang dikumpulkan meliputi wawancara, pengukuran antropometri, kuesioner perilaku makan, data asupan makanan menggunakan food recall 2x24 jam dan food frequency questionnaire (FFQ) semi kuantitatif. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui kadar malondialdehid plasma menggunakan metode sfektofotometri pada periode sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil. Sebanyak total 32 subjek yang ikut serta dalam penelitian ini dialokasikan menjadi 18 subjek pada kelompok intervensi dan 14 subjek pada kelompok control. Rerata usia subjek adalah 18.4±3.7 pada kelompok intervensi dan 18.7±2.8 pada kelompok kontrol. Perbandingan karakteristik demografis anak dan keluarga pada kedua kelompok setara. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan perilaku makan dan asupan PUFA, Asam arakidonat (AA) dan omega-3 antara kedua kelompok. Besarnya rerata penurunan kadar MDA plasma pada kelompok intervensi -0.16 dan pada kelompok control -0.007 dengan p=0.023.
Kesimpulan. Pemberian konseling optimalisasi diet tinggi omega-3 menggunakan linear programming dibandingkan dengan konseling standar kepada pengasuh selama 10 minggu dapat menurunkan kadar MDA plasma pada anak dengan risiko overweight, overweight, dan obesitas usia 12-24 bulan di Jakarta Timur.

Background. Pediatric obesity is a major health concern in the world. Obesity is characterized by accumulation of adipose, triggers formation of reactive oxygen species (ROS). ROS will induce lipid peroxidation, which can be detected by plasma malondialdehyde (MDA). Nutrition education with counseling and home-visits to main caregivers with obese-prone children aged under-two-years can affect child-feeding behavior to revise children intake. There are no convenient nutritional recommendations for these children which suited children requirement and matched with available local food. This study aimed to investigate effect of enhancedcounseling with omega-3 optimization using linear programming compare with general counseling on plasma MDA.
Method. This study is an open clinical trial with parallel design and randomized allocation for 10 weeks in children aged 12-24 months with a BMI > +1 WHO Z-score. Subject was taken consecutively and randomly allocated by block randomization with stratification into group enhanced counseling with omega-3 optimization using linear programming compare with general counseling. Data were collected from interviews, anthropometric measurements, eating behavior questionnaires, food recall 2x24 hours and food frequency questionnaire (FFQ) semiquantitative. Laboratory tests are conducted to determine plasma malondialdehyde levels using spectrophotometry methods before and after treatment.
Result. A total of 32 subjects participated in this study, 18 subjects were allocated into intervention group and 14 subjects into control group. The mean age of subjects was 18.4 ± 3.7 for the intervention group and 18.7 ± 2.8 for the control group. The demographic characteristics of the children and families in both groups were similar. There were no significant changes in child-feeding behavior and PUFA?s intake, arachidonic acid (AA) and omega-3 between the two groups. The result of reduction of MDA levels in the intervention group is -0.16 and the control group -0.007 with p = 0.023.
Conclusion. Enhanced counseling with omega-3 optimization using linear programming, compare with general counseling to main caregivers for 10 weeks, can reduce plasma MDA levels among obese-prone 1-2 years old children in East Jakarta
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Novita Wirawan
"Asam amino menjadi zat gizi baru yang diduga berhubungan dengan pertumbuhan linier ketika banyak penelitian menemukan bahwa asupan protein cukup dan intervensi zat gizi mikro menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Kondisi stunting terjadi bersamaan dengan wasting karena kemungkinan berbagi jalur yang sama. Oleh karena itu, studi mengenai stunting dapat memiliki hasil yang berlebihan ketika wasting tidak dijadikan pengecualian. Studi potong lintang komparatif 2 fase ini bertujuan untuk membandingkan asupan asam amino dan konsentrasinya dalam darah antara anak stunted non-wasted (SNW) dan non-stunted non-wasted (NSNW) yang berusia 12-23 bulan dan menggunakan hasil dari fase 1 untuk mengembangkan rekomendasi pemberian makan dan makanan campuran (MC) dengan menggunakan makanan yang tersedia secara lokal yang kurang dimanfaatkan. Stunting didefinisikan sebagai panjang badan menurut umur (PB/U) dalam Z skor <-2 SD sedangkan untuk non-stunting dengan PB/U ≥-1 SD. Kedua kelompok memiliki Z skor berat badan menurut panjang badan yang normal (BB/PB antara -2 SD hingga +1SD). Pemrograman linier digunakan untuk pengembangan rekomendasi pemberian rekomendasi pemberian makan (Optifood) dan CG (Nutrisurvey2004). Sebanyak 151 data dianalisis. Tidak ada perbedaan signifikan pada asam amino dan asupan gizi makro mikro kecuali proporsi protein yang berisiko kekurangan lebih tinggi pada kelompok SNW. Arginin merupakan satu-satunya konsentrasi darah yang berbeda antar kelompok. Histidin menjadi sebuah masalah gizi mutlak pada kelompok SNW dan NSNW, sedangkan riboflavin dan zink rendah dalam kelompok stunting tetapi cukup pada kelompok normal. Selain itu, zat gizi makro dan mikro lainya kurang dalam kedua kelompok kecuali protein dan vitamin A. Zat gizi yang kurang adalah Ca, Vit C, Thiamin, Riboflavin, Niasin, B6, Folat, B12, Besi, Zink, dan Histidin. Rekomendasi yang diusulkan dapat memenuhi Vit C, Riboflavin, Besi, dan Zink tetapi tidak dapat mencukupi Ca, Thiamin, Niasin, B6, Folat, B12, dan Histidin. Dengan memasukkan kacang tunggak, buncis batik, ikan wader, dan susu sapi dalam pengembangan CG, zat gizi yang sebelumnya kurang dapat tercukupi.

Amino acids be the emerging nutrients that hypothesized to be associated with linear growth when many studies found that protein intake is considerably adequate and micronutrient intervention showed an unsatisfactory result. Stunting condition concurrently occurred with wasting as they may share similar pathways. Therefore, studies on stunting may have an exaggerated results when wasting was not an exclusion. This 2 phases comparative cross sectional study aimed to compare amino acid intake and its concentration in blood between stunted non-wasted (SNW) and non-stunted non-wasted (NSNW) children aged 12-23 months and using the results of phase 1 to develop a complementary feeding recommendation (CFR) and food multi-mix (FMM) by incorporating underutilized locally available foods. Stunted was defined as length for age z-score (LAZ) <-2 SD whereas for non-stunted with LAZ ≥-1 SD. Both groups have normal weight for length z-score (WLZ between -2 SD to +1SD). Linear programming was used for CFR (Optifood) and FMM development (Nutrisurvey 2004). A total of 151 data was analyzed. No significant different on the amino acid and macro micronutrients intake except the proportion protein at risk of inadequacy was significantly higher among SNW group. Arginine was the only blood concentration that significantly different between the groups. Histidine was an absolute problem nutrient in SNW and NSNW group, whereas riboflavin and zinc were inadequate among stunted group but adequate among normal group. In addition, other macro and micronutrients were inadequate in both groups except for protein and vitamin A. The inadequate nutrients were Ca, Vit C, Thiamin, Riboflavin, Niacin, B6, Folate, B12, Iron, Zinc and histidine. With the proposed recommendations, it can fulfil Vit C, Riboflavin, Iron and Zinc. But it cannot fulfil Ca, Thiamin, Niacin, B6, folate, B12 and histidine. With the incorporation of the selected underutilized cowpea, buncis batik, wader fish and cows’ milk in the FMM development, the nutrients that are challenging in CFR development, can be fulfilled."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiffany Cornelia Angelin
"Kejadian stunting pada masa anak-anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) prevalensi stunting pada anak usia 5-12 di Indonesia sebesar 30,7%. Faktor nutrisi telah diketahui sebagai penyebab kejadian stunting. Namun, beberapa penelitian menemukan adanya kontribusi genetik terhadap penyerapan kalsium yang akan mempengaruhi pertumbuhan, yaitu gen vitamin D receptor (VDR). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan nutrisi terhadap height-for-age Z-core (HAZ) pada anak sekolah dasar di kabupaten Malang, Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dan dilakukan pada tahun 2018. Penelitian ini melibatkan 142 anak sekolah dasar berusia 8-10 tahun. Pengukuran tinggi badan dilakukan untuk menghitung HAZ pada anak-anak. Asupan energi, protein, kalsium dan vitamin D diperoleh dengan 24-hour dietary recall selama 4 hari. Dua SNP yang terletak pada daerah promoter dari gen VDR dipilih (rs11568820 dan rs4516035); dan distribusi genotipnya dianalisis menggunakan Real Time PCR. Faktor lain seperti karakteristik sosiodemografi, riwayat penyakit menular dan skor paparan sinar matahari diperoleh dengan kuesioner terstruktur, dan kuesioner paparan sinar matahari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting sebesar 21,8%. Asupan makan sebagian besar kurang terpenuhi, khususnya asupan kalsium dan vitamin D. Distribusi genotip rs11568820 adalah TT (19%), CT (43,7%) dan CC (37,3%). Sedangkan distribusi genotip rs4516035 adalah TT (90,8%) dan CT (9,2%). Analisis bivariat menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara asupan energi dan protein terhadap HAZ (p=0,030 dan p=0,016), tetapi tidak pada asupan kalsium dan vitamin D. Selain itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara polimorfisme kedua SNP gen VDR dengan HAZ (p>0,05). Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, asupan protein secara signifikan berkolerasi dengan HAZ (β=0,034, 95% CI 0,016 – 0,053, p<0,001, adj. R2=0,077). Efek dari aktivitas gen VDR kemungkinan tidak terlihat karena rendahnya asupan vitamin D yang diperlukan untuk meningkatkan penyerapan kalsium yang kemudian akan mempengaruhi HAZ.

Childhood stunting remains as a major public health problem, especially in developing countries such as Indonesia. According to Indonesia Basic Health Research (Riskesdas, 2013) the prevalence of stunting among children aged 5-12 years old in Indonesia was 30.7%. Nutrition factors has been known as a predominant factors associated with stunting. However, some studies discovered a genetic contribution in calcium absorption that will affect growth of the children, known as vitamin D receptor (VDR) gene. The aim of this present study was to assess the association between genetic and nutritional factors related to height-forage Z-score (HAZ) of elementary school children in Malang District, East Java. The study design was a cross-sectional study which began on 2018. In this study, 142 children aged 8-10 years old were included. Height measurement was obtained to calculate HAZ of the children. Dietary intake consist of energy, protein, calcium and vitamin D intake were obtained using 4 days 24-hour dietary recall. Two SNPs located in the promoter region of VDR gene were selected (rs11568820 and rs4516035); its genotype distribution were analyzed using Real Time PCR system. Other factors such as sociodemographic characteristics, history of infectious diseases and sun exposure score were assessed using structured questionnaire and sun exposure questionnaire. The result showed that the prevalence of stunting was 21.8%. Dietary intake were mostly inadequate, especially for calcium and vitamin D intake. Genotype distribution of rs11568820 was TT (19%), CT (43.7%), and CC (37.3). While for rs4516035 the distribution was TT (90.8%) and CT (9.2%). Bivariate analysis showed a significant correlation between energy and protein intake with HAZ of the children (p=0.030 and p=0.016, respectively), but not with calcium and vitamin D intakes. There were no significant association between VDR gene polymorphism for both SNPs and HAZ of the children (p>0.05). Adjusted by other factors, protein intake was significantly correlated with HAZ (β=0.034, 95% CI 0.016 – 0.053, p<0.001, adj. R2=0.077). The effect of VDR gene promoter activity might not revealed due to very low vitamin D intake to stimulates intestinal calcium absorption which in turn affect HAZ.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denissa Indriana
"Prevalensi balita wasting di Jakarta Timur tahun 2017 merupakan prevalensi tertinggi kedua di DKI Jakarta yakni sebesar 11%. Prevalensi wasting di Jakarta Timur termasuk
masalah kesehatan masyarakat yang serius. Wasting merupakan masalah kesehatan yang serius karna dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas balita. Usia 24-30 bulan merupakan usia yang rentan mengalami wasting karena sudah tidak mendapatkan ASI sehingga diperlukannya asupan gizi yang adekuat. Wasting memiliki beberapa faktor
langsung dan tidak langsung sehingga tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor dominan kejadian wasting pada anak usia 24-30 bulan di Kecamatan Cakung, Jakarta
Timur tahun 2019. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan sampel penelitian 221 anak usia 24-30 bulan. Hasil penelitian menunjukkan 14,9% anak usia
24-30 bulan di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2019 mengalami wasting. Terdapat hubungan positif antara asupan energi, asupan karbohidrat, asupan protein,
asupan protein hewani, asupan lemak, frekuensi asupan susu, dan jumlah asupan susu dengan kejadian wasting. Risiko wasting lebih tinggi pada anak dengan asupan energi, karbohidrat, protein, protein hewani, dan lemak yang tidak adekuat serta frekuensi dan jumlah asupan susu yang kurang. Faktor dominan dari penelitian ini yakni asupan protein yang berarti asupan protein tidak adekuat mempunyai peluang 2,8 kali untuk menjadi wasting dibandingkan dengan anak dengan asupan protein adekuat setelah dikontrol oleh asupan energi, asupan asupan karbohidrat, asupan protein hewani, asupan lemak, riwayat ISPA, riwayat diare, usia minum susu, frekuensi asupan susu, jumlah asupan susu, IMD, dan pendidikan ibu. Maka dari itu diperlukannya asupan protein khususnya susu untuk mencegah kejadian wasting.

The prevalence of wasting toodlers in East Jakarta in 2017 is the second highest prevalance in DKI Jakarta is 11%. The prevalence of wasting in East Jakarta is a serious problem public health. Wasting is a serious problem because it can cause morbidity and mortality in children. Age 24-30 months is the age high risk of wasting because its not getting breast milk anymore, so adequate nutritional intake is needed. Wasting has several direct and indirect factors, the purpose of this study is to find out dominant factors of wasting in children aged 24-30 months in Cakung Sub District, East Jakarta in 2019. This study used a cross-sectional method with 221 children aged 24-30 month. The results showed 14,9% of children aged 24-30 months in Cakung District, East Jakarta in 2019 had wasting. There is a relationship between energy intake, carbohydrate intake, protein intake, animal source protein intake, fat intake, frequency of milk intake, amount of milk intake with wasting. The risk of wasting is higher in children with energy, carbohydrate, protein, animal protein, and inadequate fat intake and less frequency and amount of milk intake. The dominant factor of this study is
protein intake which means that inadequate protein intake has higher risk 2,8 times to be wasting compared to children with adequate protein intake after being controlled by energy intake, carbohydrate intake, animal source protein intake, fat intake, acute respiratory infection, diarrhea, age of drinking milk, frequency of milk intake, amount of milk intake, initiation of breast feeding, and mother education. Adequancy protein intake is needed especially milk intake to prevent wasting in children."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resita Sehati
"Latar belakang: Obesitas dan sindrom metabolik (SM) yang terjadi pada usia dini akan menjadi faktor risiko diabetes melitus tipe 2 dan penyakit jantung koroner. Prevalens SM meningkat secara paralel dengan peningkatan obesitas. Penelitian mengenai SM pada anak dan remaja sangat terbatas.
Tujuan: Mengetahui prevalens SM pada remaja obes usia 12-16 tahun dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Sebuah penelitian potong lintang pada tiga sekolah menengah pertama negeri di Jakarta yang dipilih secara purposive sampling (remaja dan obes). Dilakukan pengukuran antropometri, tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah. Diagnosis SM ditentukan sesuai kriteria International Diabetes Federation (IDF), yaitu lingkar pinggang > persentil 90 menurut usia dan jenis kelamin, dan memenuhi > 2 kriteria sebagai berikut: trigliserida > 150 mg/dl, HDL > 40 mg/dl, glukosa darah puasa > 100 mg/dl atau terdiagnosis diabetes melitus tipe 2 (DMT2), tekanan darah > 130/85 mmHg. Penyakit kardiovaskular atau DMT2 orangtua, riwayat diabetes pada ibu selama kehamilan, bayi berat lahir rendah (BBLR), pola makan tinggi lemak dan gula, aktivitas sedentari, orangtua obes, dan pajanan asap rokok diduga meningkatkan kejadian SM. Data diolah dengan tes Pearson atau Fisher untuk menentukan faktor-faktor yang memengaruhi dan angka kejadian SM ditampilkan dalam prevalens.
Hasil: Prevalens obes pada penelitian ini adalah 5,9%. Penelitian dilakukan pada 95 subyek obes usia 12-16 tahun. Sebanyak 35,8% subyek memiliki IMT >p95-p97 dan 64,2% memiliki IMT >p97, semuanya telah mengalami pubertas. Prevalens SM adalah 15,8% dan meningkat hingga 21,3% pada kelompok super-obes. Terdapat perbedaan bermakna prevalens SM pada kedua kelompok IMT (p=0,048). Hipertrigliseridemia dan kadar HDL rendah adalah kriteria diagnosis terbanyak pada remaja obes dengan SM. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap kejadian SM. Simpulan: Prevalens SM pada penelitian ini 15,8% dan meningkat hingga 21,3% pada remaja super-obes. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang memengaruhi dengan kejadian SM. Dislipidemia adalah perubahan metabolik yang paling sering dijumpai pada remaja obes dengan SM.

Background: Obesity and metabolic syndrome (MS) beginning in childhood lead to a substansial risk for type 2 diabetes mellitus and coronary heart disease. Prevalence of MS increases accordingly with the incidence of obesity. The study of the MS among children and adolescents were limited.
Aim: The purpose of this study is to define the prevalence and factors that affect the incidence of MS among obese adolescents.
Methods: A cross-sectional study selected by purposive sampling was conducted on three junior high school in Jakarta. The anthropometric, blood pressure, lipid profile, and glucose serum level from venous blood sample were taken. The definition of MS was made according to criteria of IDF. Parental history of cardiovascular disease or type 2 diabetes mellitus, history of maternal diabetes during pregnancy, low birth weight, high-fat and sugar diet, sedentary lifestyle, obese parents, and cigarette smoke expossure are considered as the factors affected the incidence of MS. Pearson or Fisher test was used to determine the factors that affect MS and the prevalence of MS were described as descriptive data.
Results: Prevalence of obese were 5.9%. A total of 95 subjects with median age 12-16 years, were enrolled into the study. All subjects were obese, and 64.3% of them were superobese (BMI >p97 for age and sex). The prevalence of MS was 15.8% and increased to 21.3% among superobese group. There was a significant difference in the prevalence of MS in obese and super-obese (p = 0.048). Hypertriglyceridemia and low HDL levels are the diagnostic criteria found the most in MS subjects. There was no significant association between factors affecting MS.
Conclusion: The prevalence of MS was 15.8% and increased to 21.3% among superobese. There was no significant association between factors affecting MS in adolescents. Dyslipidemia is the most common metabolic change in obese adolescents with MS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>