Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130522 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johanes Blasius Vernando
"Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan jaminan atas penghargaan hak tersangka dalam hukum acara pidana di Indonesia, khususnya terkait dalam kedudukan seseorang dimata hukum. Jaminan hak dalam upaya paksa (dwang middelen) yang dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim (Pengadilan). Keberadaan Lembaga Pra Peradilan dianggap kurang efektif dan efisien guna menyalurkan hak-hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, timbul ide untuk memperbaharui KUHAP untuk mengganti lembaga pra peradilan dengan Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Konsepsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP adalah mengenai jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka dalam proses peradilan pidana, khususnya perkara yang sedang diselidiki oleh KPK. Upaya paksa merupakan kewenangan penyidik yang merupakan diskresi dari penyidik (internal lembaga penegak hukum), sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa dianggap perlu dilakukan oleh lembaga peradilan. Diharapkan dimasa yang akan datang KPK dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan mampu melaksanakan pembaharuan hukum acara pidana, sehingga dapat terwujud kerjasama yang sinergis dalam pelaksanaan dan penerapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Konsepsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan dirancang untuk mewujudkan tujuan hukum acara pidana yaitu meuwujudkan due process of law dan mencari kebenaran materiel. Sehingga dapat menghindari upaya paksa yang sewenang-wenang. Walaupun demikian Konsepsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan mendapatkan perdebatan diantara penegak hukum, ahli hukum dan praktisi hukum, khususnya terkait dengan kewenangan KPK dalam melakukan upaya paksa.

Law No. 8 of 1981 on the Criminal Code Procedure has guaranteed the respect of the rights of suspects in criminal procedural law in Indonesia, particularly in the position of a person in the eyes of the law. Rights guarantees in an effort to forcibly (dwang middelen) conducted by the investigators, the public prosecutor and the judge (court). The existence of Pra Peradilan is considered less effectively and efficiently to dispense rights of suspect or accused. Therefore, the effort to renew Criminal Code Procedure to replacement Pra Peradilan Institutions within Hakim Pemeriksa Pendahuluan Institutions. Conception of the Hakim Pemeriksa Pendahuluan in Draft of Criminal Code Procedure is about of human rights guarantees for suspects at criminal justice process, especially cases investigated by the KPK. The forced effort is an authority which is discretionary (internal law enforcement), thus the supervision of the implementations of forced efforts is considered needed by judiciary. For that reason, the effort to renew Criminal Code Procedure. In future it is expected the KPK and the Hakim Pemeriksa Pendahuluan will be able to achieve the purpose of the criminal procedure law to enable the creation of synergistic collaboration in criminal justice system in Indonesia. The conception of the Hakim Pemeriksa Pendahuluan is designed to achieve the purpose of realizing the criminal procedure law is to realize due process of law and seek the truth of the material, So that it can avoid the forced efforts arbitrary. However Conception of Hakim Pemeriksa Pendahuluan obtain debate among law enforcement, lawyers and legal practitioners, particularly related to the authority of the KPK in its efforts to force.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramzy
"Secara konvensional hukum dibagi menjadi menjadi hukum publik dan hukum privat maka hukum pidana menjadi hukum publik. di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu metode perdamaian (shulh). Di dalam perdamaian (shulh) baik korban atau walinya ataupun washinya (pemegang wasiat) diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman dengan imbalan pengganti sama dengan diat atau lebih besar dari diat. Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sangat sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia yaitu semangat musyawarah untuk setiap permasalahan pidana dengan tujuan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (obat terkahir) bukan sebagai premium remedium (obat utama).

Conventionally law is divided into the public law and private law in which the public law governing the relationship between citizens and the state such as criminal law, while private law governs the relationship between citizens with citizens such as contract law. Enactment of Law No. 8 of 1981 regarding Indonesian Crime Law Procedure has led to fundamental changes, both conceptually and in implemental to the settlement procedures for criminal cases in Indonesia. In the tradition of Islamic criminal law there is a method of settlement, namely method of concilliation (shulh). In the shulh both the victim or the will holder will be allowed to make conciliation in terms of punishment in return for a replacement is equal or greater than the blood money (diyat). Restorative justice is an approach model in a criminal case settlement efforts. This approach focuses on the direct participation of perpetrators, victims and society in the process of resolving criminal cases. Criminal cases settlement process through conciliation method is in accordance with the characteristic of the Indonesian nation, "spirit of deliberation" for every crime case settlement with the aim that criminal law is not as a premium remedium but ultimum remedium"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31921
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Saropie
"Mekanisme lembaga Praperadilan dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam pelaksanaannya karena dianggap banyak merugikan masyarakat pencari keadilan, sehingga banyak bermunculan pendapat dan pandangan yang menginginkan agar lembaga Praperadilan digantikan oleh Hakim Komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP 2008. Konsep lembaga hakim Komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP 2008 merupakan suatu lembaga baru di Indonesia, tetapi bukan merupakan sesuatu hal yang baru di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim Komisaris sangat luas dan lengkap dibandingkan dengan lembaga Praperadilan dalam KUHAP. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan timbul permasalahan baru dengan adanya lembaga Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP 2008. Penulisan inimerupakan analisis mengenai konsep lembaga Hakim Komisaris yang menggantikan lembaga Praperadilan sebagai lembaga pengawasan pada tahap pemeriksaan pendahuluan.

Mechanism of Praperadilan institutions are no longer considered not running properly in its implementation because many people seeking justice harmed, so there are many opinions and views to make the institution Praperadilan replaced by the Magistrate proposed in the revision of Indonesian Code of Criminal Procedure 2008. The Magistrate concepts proposed in the revision of Indonesian Code of Criminal Procedure 2008 as a new institution in Indonesia, but not a new issue in Indonesia. The authority given to the Magistrate is more complete than Praperadilan in the Indonesian Code of Criminal Procedure (UU No. 8 Tahun 1981). However, the possibility is new problems arise with the Magistrate institution in Indonesian Code of Criminal Procedure revision 2008. This research is an analysis of the concept of a Magistrate institution replace Praperadilan institutions as institutions supervision at the stage of preliminary examination."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22579
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iftar Aryaputra
"Gagasan tentang permaafan hakim dalam RKUHP tidak bisa dilepaskan dari kekakuan sistem pemidanaan dalam KUHP. Sistem pemidanaan dalam KUHP mensyaratkan bahwa pidana akan dijatuhkan apabila terpenuhi syarat "perbuatan" dan "kesalahan". Dengan hanya bertumpu pada dua syarat tersebut, maka pemidanaan dalam KUHP dirasakan sangat kaku, akibatnya adalah banyak kasus-kasus kecil yang harus dijatuhi pidana, seperti yang terjadi dalam kasus pencurian kakao, pencurian sandal, pencurian semangka. Di beberapa negara, dalam keadaan yang demikian, hakim bisa untuk tidak menjatuhkan pidana. Ketentuan tersebut dikenal dengan istilah judicial pardon/rechterlijk pardon/dispensa de pena. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tesis ini terkait dengan permaafan hakim dalam hukum pidana positif, praktik permaafan hakim, dan kebijakan formulasi permaafan hakim. Tujuan dari penulisan tesis ini untuk mengetahui permaafan hakim dalam hukum pidana positif, menganalisis permaafan hakim dalam penegakan hukum pidana, serta memberikan suatu bentuk formulasi yang sesuai dengan kebijakan kriminal di Indonesia. Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan perbandingan dan pendekatan kasus, serta dianalisis secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analitis dan preskriptif.
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa dalam KUHP, permaafan hakim terwujud dalam ketentuan pidana percobaan yang diatur Pasal 14a-14f KUHP, sedangkan di luar KUHP, permaafan hakim diatur dalam Pasal 70 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Walaupun dalam hukum positif (khususnya KUHP) permaafan hakim terwujud dalam pidana bersyarat, ada beberapa putusan pemidanaan dan putusan lepas yang mengandung nilai-nilai permaafan hakim, seperti dalam kasus Ny. Ellya Dado, kasus pencurian sandal (Sudarmadi). Sampai di sini dapat dikatakan, terdapat putusan pengadilan yang secara prinsip menerapkan nilainilai permaafan, walaupun dalam putusannya tidak dijatuhkan masa percobaan. Dalam konteks kebijakan hukum pidana, formulasi permaafan hakim dirasakan belum lengkap, karena hanya diatur dalam hukum pidana materiil. Seharusnya permaafan hakim juga diatur dalam hukum pidana formil. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permaafan hakim.

The idea of judicial pardon in the Draft of Penal Code, can not be separated from absolutism of sentencing in the Criminal Code. A sentencing in the Criminal Code need "act" and "guilt". From this condition, we can conclude that the punishment in the Criminal Code showing a rigid sentence. There are some case in Indonesia which are became an interest of the people, for example the case of Minah who stealed 3 kilogram of cacao, case of theft of sandal, case of theft of watermelon. In some countries, in such circumstances, a judge can be not to impose a sanction. The provision is known as judicial pardon/rechterlijk pardon/dispensa de pena. The research questions raised in this thesis related to judicial pardon in positieve criminal law, the practice of judicial pardon, and the formulation of the judicial pardon. The purpose of this thesis to determine judicial pardon in positieve criminal law, to analyze judicial pardon in criminal law enforcement, and also providing a form of policy formulation in accordance with the criminal policy in Indonesia. This research belong into a normative juridical, that be supported the comparation approach and the case approach. Data is obtained from research, analyzed qualitatively which is described with descriptive-analytically and prescriptively.
From the research, it was found that in the Penal Code, judicial pardon embodied in conditonal sentence, set forth in Article 14a-14f. While outside of the Penal Code, judicial pardon regulated in Article 70 of Law no. 11 of 2012 on the Criminal Justice System of Children. Although the positive law (in particular the Pena; Code) judicial pardon in conditonal sentence materialized, there are some the imposition of a penalty or a judgement dismissal all charges (onstlag), contained the values of judicial pardon, as in the case of Mrs. Ellya Dado, sandal theft case (the case of Sudarmadi). Up here it can be said, there is a court decision in principle to apply the values of forgiveness, although the decision was not conditional sentence. In the context of penal policy, judicial pardon formulation felt incomplete, because it only regulated in material penal law. It should set in the formal penal law. The design of the Code of Criminal Procedure Act does not regulate on matters relating to the judicial pardon.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apreza Darul Putra
"Tesis ini berisikan pembahasan mengenai pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam kerangka pembaruan hukum acara pidana Indonesia. Permasalahan dalam tesis ini terkait dengan bagimanakah pengaturan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia pada saat ini untuk kemudian dikaitkan dengan bagaimana praktek sesungguhnya para penegak hukum di Indonesia serta pengaturan apa sajakah yang diperlukan untuk mengaturnya, terkait dengan pembaruan hukum acara pidana di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, karena menggambarkan selengkapnya tentang pengaturan proses dan tata cara penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia dan dikaitkan dengan pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang terdapat di Amerika Serikat dan Inggris. Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut seperti penyidik dan ahli digital forensik, dan juga terhadap akademisi yang bidang keilmuannya sesuai dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendapatkan fakta bahwa KUHAP yang menjadi induk hukum acara pidana di Indonesia tidak memiliki pengaturan terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik karena bukti elektronik bukan merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut KUHAP. Namun demikian bukti elektronik mulai diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah di Indonesia, yang pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan hanya beberapa diantaranya yang telah mengatur tentang hukum acara pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik.
Dikarenakan pengaturan dan pengetahuan yang minim para penegak hukum Indonesia perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, maka tidak semua penegak hukum telah memiliki pedoman, panduan atau Standard Operating Procedures (SOP) dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Seharusnya memang ketentuan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut diatur dalam satu peraturan yang lengkap dan memperhatikan segala keunikan karakteristik dari bukti elektronik dan hal-hal lainnya, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap privacy, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.

This thesis contains a discussion concerning regulation on search and seizure of electronic evidence within the framework of Indonesia?s criminal procedure law reform. The questions in this thesis relates to how Indonesia?s criminal procedure law at the moment regulates the search and seizure of electronic evidence and then to be linked to how the actual practice of law enforcement in Indonesia, and what are the required provision to rule it, with respect to Indonesia's criminal procedure law reform.
This research is a sociological juridical research, because it completely describes the regulation concerning processes and procedures for search and seizure of electronic evidence in Indonesia and then linked to the regulation of search and seizure of electronic evidence located in the United States and England. Interviews conducted on informants who carry out the action of search and seizure of electronic evidence such as investigators and digital forensics expert, and also to academics which his or her scientific fields is related to this research problem.
The results of this research is the fact that the KUHAP or Criminal Procedure Code as the source of criminal procedure law in Indonesia does not have a provision related to the search and seizure of electronic evidence because electronic evidence is not a valid evidence under the Criminal Procedure Code. However, the electronic evidence is recognized as one of the legitimate evidence in Indonesia, which is spread in a variety of legislation and only a few of them which has a provision on the procedural law that regulates search and seizure of electronic evidence.
Due to the minimal regulation and knowledge of Indonesian law enforcement officials regarding the search and seizure of electronic evidence, then not all law enforcement agencies have guidelines or Standard Operating Procedures (SOP) in implementing the act of search and seizure. The provision on search and seizure of electronic evidence should be set out in one comprehensive rules and pay attention to all the unique characteristics of electronic evidence and other matters, especially those related to the protection of privacy, confidentiality, smooth running of public services and the integrity of the data.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi
"Skripsi ini membahas mengenai kontribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan ketentuan perlindungan korban perkosaan di dalam hukum pidana nasional Indonesia. Bentuk penelitian dalam karya tulis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Latar belakang dalam penulisan karya tulis ini adalah melihat ketentuan hukum pidana Indonesia terkait perkosaan yang selama ini diatur dalam Pasal 285 KUHP, hanya memberikan sanksi kepada pelaku berupa pidana penjara maksimal 12 tahun. Ironinya perlindungan terhadap korban perkosaan sama sekali tidak diakomodir dalam ketentuan tersebut, padahal dampak negatif yang diderita oleh korban mencakup banyak hal di antaranya berupa kerugian fisik dan psikis. Di sisi lain, hukum pidana Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah memiliki ketentuan hukum yang komprehensif terkait delik perkosaan, yaitu berupa hukuman had zina bagi pelaku perkosaan dan sistem perlindungan bagi korban. Ketentuan hukum pidana Islam tersebut dapat diimplementasikan ke dalam RUU KUHP Indonesia mengingat ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yaitu "Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara", dengan sila pertamanya yaitu "Ketuhanan yang Maha Esa". Demikian kesimpulan dari penelitian ini adalah untuk menjamin perlindungan hak-hak korban perkosaan perlu dilakukan pembaharuan ketentuan yang ada, yang dapat mengadopsi dari ketentuan hukum pidana Islam.

This thesis discusses the contribution of Islamic criminal law in the law reform of rape victim protection in Indonesian national criminal law. This is a legal normative research that use a qualitative approach. Indonesian criminal law provisions in Article 285 of the Criminal Code, only impose sanctions on the perpetrators in the form of imprisonment for a maximum of 12 years. The irony is the rape victim protection did not accommodated on the provisions, whereas the negative impact suffered by the victims include many things (ie. physical and psychological damages). On the other hand, Islamic criminal law that comes from al-Quran and as-Sunnah have a comprehensive legal provisions related to the offense of rape and protection system to the victims. Islamic criminal law provisions can be implemented into Indonesian Law. It is based on provision of Article 2 of Law No. 12 of 2011: "Pancasila is the source of all laws of the country", where the first principle is "Ketuhanan Yang Maha Esa". The conclusion is to ensure the protection of the rights of rape victims, it need to have a law reform due to the existing provisions that could adopt from the Islamic Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Praditya Revienda Putra
"Tesis ini membahas mengenai pro dan kontra yang muncul seiring dengan perdebatan mengenai pidana mati dilihat dari falsafah pemidanaan serta pelaksanaannya. Louk H.C. Hulsman, seorang sarjana hukum Belanda, menghubungkan pidana dan sistem peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan kemanusiaan dan rasionalistik. Pendekatan Hulsman tersebut digunakan penulis untuk melihat apakah tujuan pemidanaan pidana mati sebagaimana the law on the books akan dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya sebagai the law in action dan bagaimana pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yang mengumpulkan dan mengolah data dari data kepustakaan serta dianalisa menggunakan pendekatan filsafat hukum (legal philosophy approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach) dengan metode analisa deskriptifkualitatif, sehingga hasil yang diperoleh setalah dilakukan analisa hasil penelitian adalah kesimpulan bahwa falasafah pemidanaan pidana mati adalah retributif dan untuk mencegah masyarakat (potential offender) agar tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (teori prevensi umum/general deterrence) yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana saat ini tidak akan pernah mencapai tujuannya. Pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia lebih rasional dan manusiawi serta dimungkinkan sistem peradilan pidana dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dari pidana mati yaitu demi pengayoman masyarakat yang menitikberatkan pada pencegahan (deterrent) dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum.

The thesis examines pros and cons which often appearing along with the debate on death penalty seen from the philosophy and the punishment. Louk H.C. Hulsman, a Dutch jurist and criminologist, relates crimes and criminal justice system using humanitarian and rationalistic approach. The Hulsman approach was used to see whether the purpose of the death penalty as the aw on the books can be implemented as the law in action. In this case, the study sees criminal justice system as a process and death penalty arrangement in Indonesian law reform. The method used was normative research which collected and processed data taken from legal philosophy approach, statute approach, and conceptual approach with qualitative-descriptive analysis method. This study concluded that the philosophy of death penalty was retributive. In addition, it was to warn the society (potential offender) committing crimes charged with death sentence (general deterrence theory). The existing criminal justice system will never be able to reach the philosophy of death penalty mentioned above. The new Indonesian Criminal Law s more rational and humane and there is a possibility for the criminal justice system to actualize the purpose of death penalty that is the society protection emphasizing on the deterrence of committing crimes by upholding legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28576
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Selviria
"Satu di antara tujuan sistem peradilan pidana ialah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan serta menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat dapat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. Berbicara mengenai keadilan, maka akan ada kaitannya pula dengan hak asasi manusia. Dalam perkembangannya, hak asasi manusia memiliki sejarah panjang sebagai perjuangan terhadap kekuasaan yang absolut dan tiran. Perkembangan tersebut juga mempengaruhi beberapa aspek kehidupan, salah satunya ialah penegakan hukum. Dalam Penegakan hukum lalu dikenal asas peradilan terbuka untuk umum. Peradilan terbuka untuk umum merupakan implementasi dari peradilan yang adil atau due process of law. Asas peradilan terbuka untuk umum ini menimbulkan perbenturan terkait tujuan peradilan dan hak asasi manusia baik hak tersangka atau terdakwa maupun hak masyarakat dalam mendapatkan informasi. selain itu, proses persidangan yang yang disiarkan dikhawatirkan menggiring opini publik terhadap suatu kasus yang dapat mempengaruhi independensi pengadilan, sehingga diperlukan pemahaman mengenai hakikat dari asas peradilan terbuka untuk umum; relevansi larangan mempublikasikan hal-hal terkait persidangan denganperkembangan teknologi; serta memahami bagaimanana memaknai batas keterbukaan pada asas peradilan terbuka untuk umum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi informasi semakin mendorong adanya suatu keterbukaan khususnya dalam penegakan hukum. Siaran langsung sidang peradilan pidana tidak boleh menciderai prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak. Salah satu elemen penting dari prinsip ini berdasarkan hak asasi manusia adalah asas praduga tak bersalah. Adanya peradilan terbuka pada dasarnya sebagai sarana mendidik masyarakat tentang sistem pengadilan dengan memungkinkan mereka untuk melihat fungsi pengadilan, serta membuka kesempatan social control yang bertujuan agar masyarakat bisa mengetahui secara langsung proses hukum sehingga dapat memberikan kontrol demi terwujudnya keadilan.

Kata kunci : Keadilan, Hak Asasi Manusia, Peradilan Terbuka untuk Umum, Perkembangan Teknologi Informasi.


One of criminal justice system purpose is prevent people of being crimes victims and resolve crime's cases, in order to satisfied the community that the justice has been enfourced and the guilty being convicted. If we talk about justice, then there will also be a connection with human rights. In its development, human rights have a long history as a struggle againts absolute abd tyrannical power. The development of human rights also influences several aspect of life, which one is law enforcement. in law enforcement, there is principle that court is open to the public. The open court is an implementation of fair trial or due process of law. Open court principles raises clashes related to justice purpose and human rights that both the right to obtain information. in addition, the broadcasting process is feared to lead public opinion on a case that can affect the independence of court. Regarding the nature of open court principle, the relevance of publish prohibition related to the trial with technological developments and the understanding about interpret limit of openness in open court principle in Indonesia. This study uses a descriptive qualitative approach. On the other hand, the rapid development information technology is increasingly encouraging openness, especially in law enforcement. A live broadcast of criminal trial cant violate the fair principles and impartial trial. One of the important element by this principle that based on human rights is the presumption of innocent principle. The exsistence of open court principles is basically for public education about court system by enabling them to see the function of court, as well as to make opportunities for social control that aims in order people can directly know about legal process that can provide control for justice realization.

Keyword : Justice, Human Rights, Open Court, Development of Technology Information

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy
"Tesis ini membahas tentang wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dimiliki oleh Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi. Kewenangan-kewenangan tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, lembaga kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berbeda satu sama lainnya. Hal tersebut menimbulkan suatu keadaan hukum yang berbeda dalam praktek pelaksanaan dari kewenangan-kewenangan tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah dimana letak perbedaan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada dasarnya secara kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi juga berada di Sistem Peradilan Pidana yang menitikberatkan pada pelaksanaan wewenang penegak hukum untuk saling berkoordinasi dan bekerjasama dengan penegak hukum lainnya sehingga terjadi mekanisme check and balances. Maka dengan demikian, wewenang pada lembaga Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan perkara korupsi tidak boleh dilakukan sepenuhnya secara individual namun harus tetap dalam jalur Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang mengutamakan koordinasi dan kerjasama antar instansi penegak hukum.

This thesis discusses the authority of investigate, investigation and prosecution by the Attomey General of the Republic of Indonesia and Commission of Eradicate Corruption of Republik Indonesia in dealing with criminal comiption. The authority has been set in the Act and the Criminal Law Event and other regulations. In the settlement of criminal corruption case, General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Comiption of Republik Indonesia which in the investigate, investigation and prosecution based on the laws and regulations that differ with each other. This situation raises a different legal practices in the implementation of authorities. The main problem is where are the difference between the authority of General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Corruption of Republik Indonesia. Basically, according to the authorities of Commision of Eradicate Corruptions Of Republik Indonesia, this institution has aiready in Criminal Justice System that focuses on the implementation of the law enforcement authorities for mutual coordination and cooperation with other law enforcement mechanisms so that there checks and balances. So thus, the authority on General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Comiption of Republik Indonesia in handling cases of corruption may not be entirely individual but must remain in the system path of the Indonesian Criminal Justice System, which consider as most important is coordination and cooperation between law enforcement agencies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26066
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>