Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46008 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pipit Meilinda
"ABSTRAK
Penelitian mengenai prasasti-prasasti Bali mencantumkan berbagai keterangan yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Penelitian ini membahas bagaimana penerapan hukum waris yang dicantumkan dalam kitab hukum seperti Manawadharmasastra dalam prasasti berbahasa Bali kuno serta relevansinya dengan keadaan Bali dewasa ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pihak laki-laki mendapat bagian yang lebih besar dari pihak perempuan dan disebutkan dengan konsep junjungan pikulan. Berdasarkan penelitian juga diketahui bahwa peraturan mengenai pembagian warisan dalam prasasti lebih bersifat praktis karena berkaitan dengan kehidupan sehari masyarakat, sementara peraturan yang dicantumkan dalam Manawadharmasastra adalah lebih konseptual. Raja memiliki andil yang besar dalam mengatur ketentuan yang tidak dicantumkan dalam kitab hukum dan memiliki kepentingan ekonomis dan sosial dalam alokasi harta rakyatnya. Dari hasil penelitian juga ditemukan peraturan-peraturan tambahan mengenai pewarisan yang tidak ditemukan dalam kitab hukum yang masih dilaksanakan hingga sekarang di Bali, terutama berkaitan dengan harta orang yang tidak lagi memiliki keturunan. Segala hal yang dilakukan dalam hal pengurusan kematian dan harta almarhum pada dasarnya adalah salah satu cara melaksanakan dharmma.

ABSTRACT
Old-Bali inscriptions mention many information related to the social and cultural life of people. This study discusses how the application of the law of inheritance is mentioned in Old-Balinese Inscriptions, the book of the law Manawadharmasastra, and its relevance in Bali nowadays. According to the research revealed that the men gets larger share than the women and mentioned in the concept of “junjungan pikulan”. Based on the study also note that the rules regarding inheritance in the inscription is more practical, while the rules specified in Manawadharmasastra is more conceptual. King has a significant role in regulating provisions that are not included in the Manawadharmasastra and also have an intertest with the allocation of economic and social wealth of its people. From the research also found some inheritance’s additional rules that are not found in Manawadharmasastra that is still held today in Bali. The management of death and property are basically one way to implement dharmma."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pande Wayan Tusan
Karangasem: Citra Lekha Sanggraha, 2002
701.759 8 PAN s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Agung Ayu Vania Utami
"Perkawinan adat Bali dipengaruhi oleh sistem kekerabatan patrilineal yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan sistem kekerabatan tersebut, laki-laki berkedudukan sebagai purusa yang memiliki tanggung jawab serta memegang peranan utama dalam keluarganya. Perkembangan jaman membawa dampak bagi bentuk perkawinan adat Bali yaitu bukan hanya laki-laki yang memiliki kedudukan sebagai purusa, namun perempuan juga dapat berkedudukan sebagai purusa di keluarganya dan menarik laki-laki untuk menjadi bagian keluarga perempuan, dengan status sebagai perempuan predana . Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan terlihat dari bentuk perkawinan pada gelahang. Dalam perkawinan tersebut, laki-laki dan perempuan adalah sebagai purusa di keluarganya masing-masing. Namun, bentuk perkawinan ini belum sepenuhnya diakui oleh masyarakat Bali, maka perlu diketahui lebih lanjut tentang pengaturan serta akibat hukum dari dilakukannya perkawinan pada gelahang tersebut. Selain itu, perlu juga diketahui mengenai perkembangan dari perkawinan pada gelahang di masyarakat Bali dewasa ini. Berdasarkan kondisi diatas, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan library research yang datanya bersumber dari bahan kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa bentuk perkawinan pada gelahang merupakan perkawinan alternatif bagi keluarga yang hanya memiliki satu anak anak tunggal , sehingga dapat mencegah putusnya keturunan dalam keluarganya. Kemudian, melalui perkawinan ini terdapat kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai purusa di keluarganya masing-masing.

Marriage customs of Bali are influenced by the patrilineal kinship system prevailing in society. According to the kinship system, men as the ldquo purusa rdquo has a responsibility and as a leading figure in his family. The development in this era brings impact to type of Balinese marriage that is not only men who has a position as purusa, however women can also hold the position as purusa in her family and pulled a men to become part of her family with status as a women predana . Equality of position between men and women can be seen from the form of pada gelahang marriage. In that marriage, men and women have a position as purusa in their own family. However, this form of marriage has not been fully recognized by the Balinese society, so it is necessary to know more about the rules and legal effects of pada gelahang marriage. Moreover, it should also be known about the development of pada gelahang marriage on Balinese society in present times. Based on the condition above, the author using the library research method for this research, whose data are come from literature materials. The result of this research stated that form of pada gelahang marriage is an alternative marriage for families who only have one child, so to prevent the loss of the family rsquo s line. Afterwards, through this marriage, men and women can have the same position as purusa in their own family.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69270
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranggapandu Cindarputera
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan hak mewaris perempuan yang statusnya sebagai purusa dalam hukum waris adat bali, di mana perempuan yang telah melakukan perkawinan nyentana tidak lagi berstatus pradana, melainkan statusnya berubah menjadi purusa dan berhak untuk mewaris dari harta peninggalan orang tuanya. Tidak diakuinya status purusa oleh ahli waris lainnya mengakibatkan sengketa terhadap harta peninggalan orang tuanya berupa beberapa bidang tanah yang dikuasai oleh ahli waris lainnya. Kasus tersebut dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor 233/Pdt.G/2019/PN.Gin. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai hak mewaris perempuan yang tidak diakui sebagai purusa dalam hukum waris adat bali dan akibat hukum terhadap tanah waris dari perempuan yang berkedudukan sebagai purusa dalam putusan pengadilan ini. Untuk menjawab permasalahan hukum tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis dalam penelitian adalah kedudukan perempuan yang tidak diakui sebagai purusa menurut sistem hukum waris adat Bali tetaplah sah sebagai ahli waris, di mana perempuan yang telah melangsungkan perkawinan nyentana mengakibatkan statusnya berubah menjadi sentana rajeg, di mana status sentana rajeg dapat dikatakan sama dengan status purusa. Selain itu, akibat hukum yang timbul terhadap tanah waris dari perempuan yang berstatus sebagai purusa mengakibatkan beberapa tanah waris yang dikuasai oleh ahli waris lainnya menjadi tidak sah, sehingga perempuan yang berstatus sebagai purusa berhak untuk mendapatkan setengah bagian dari tanah waris tersebut, sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan haknya yaitu dengan mengajukan permohonan pembatalan hak atas tanah Perkaban 21/2020 Kantor Pertanahan setempat.

This study discusses the position of women's inheritance rights whose status is purusa in Balinese customary inheritance law, where women who have married nyentana no longer have pradana status, but their status changes to purusa and has the right to inherit from their parents' inheritance. The non-recognition of purusa status by other heirs resulted in a dispute over the inheritance of his parents in the form of several parcels of land controlled by other heirs. The case can be seen in the Gianyar District Court Decision Number 233/Pdt.G/2019/PN.Gin. The problems raised in this study are regarding the inheritance rights of women who are not recognized as purusa in Balinese customary inheritance law and the legal consequences of the inheritance of women who are purusa in this court decision. To answer these legal problems, a normative legal research method with an explanatory type of research is used. The results of the analysis in the study are that the position of women who are not recognized as purusa according to the Balinese customary inheritance law system is still valid as heirs, where women who have married nyentana resulted in their status changing to sentana rajeg, where the status of sentana rajeg can be said to be the same as the status of purusa . In addition, the legal consequences arising from the inheritance of women with the status of purusa resulted in some of the inheritance lands controlled by other heirs being invalid, so that women with the status of purusa were entitled to get half of the inheritance land, so that efforts made This can be done to obtain the rights, namely by submitting an apliciation for the cancellation of land rights to Perkaban 21/2020 at the local Land Office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idham Akbar
"Prasasti adalah sumber tertulis yang berisikan penetapan sima, keputusan hukum (jayapattra), kutukan (sapatha), utang piutang, dan tindakan pidana dikenai denda (sukhaduhka). Kajian sukhaduhka khususnya Jawa Kuno sudah pernah dibahas tetapi belum dibahas secara mendalam terkait dengan hukum pidana. Penelitian ini akan mengidentifikasi tindak pidana pada prasasti masa Jawa Kuno abad IX-XV Masehi dan menjelaskan relevansi bentuk penyelesaian hukum masa Jawa Kuno dengan bentuk penyelesaian hukum masa kini. Metode penelitian yang digunakan terdiri dari tiga tahapan metode arkeologi yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa sukhaduhka merupakan tindakan yang dikenai denda yang dikeluarkan oleh raja pada prasasti untuk menciptakan keamanan dan ketertiban pada lingkungan masyarakat Jawa Kuno. Sukhaduhka dapat digolongkan menjadi empat jenis bentuk pelanggaran yaitu berupa tindak kejahatan pidana yang menggunakan kalimat, fisik, perkelahian dan fitnah. Membahas relevansi bentuk hukum melakukannya dengan analisis perbandingan yang hasilnya adalah peraturan hukum masa kini masih memiliki relevansi dengan peraturan hukum yang digunakan pada masa Jawa Kuno.

The inscription is a written source containing the determination of sima, legal decisions (jayapattra), curses (sapatha), debts and criminal act (sukhaduhka). The research of sukhaduhka, especially Ancient Javanese, has been discussed but has not been discussed in depth related to criminal law. This study will identify criminal act in Ancient Javanese inscriptions in the IX-XV centuries AD and explain the relevance of forms of legal settlement in the Ancient Javanese period with forms of present legal settlements. The research method used consists of three stages of archaeological methods, namely data collection, data processing, and data interpretation. The results it was found that sukhaduhka is an act that is subject to a fine issued by the king on the inscription to create security and order in the ancient Javanese community. Sukhaduhka can be classified into four types of violations, namely in the form of criminal acts that use sentences, physical, fights, and slander. Discussing the relevance of legal forms, we do this by means of a comparative analysis, the result of which is that today's legal regulations still have relevance to the legal regulations used in ancient Javanese.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Victoria Geraldine
"Prasasti sīma merupakan maklumat raja yang dikeluarkan untuk memberikan anugerah berupa daerah sīma kepada pihak tertentu. Hal tersebut biasanya dilakukan untuk kepentingan bangunan suci atau sebagai bentuk balas jasa raja kepada masyarakat yang telah menunjukkan loyalitas kepadanya. Pada abad XIII–XV M, khususnya pada masa Kerajaan Majapahit, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan, sehingga pembahasan mengenai loyalitas menjadi penting. Oleh sebab itu, tulisan ini dibuat untuk mengungkap bentuk-bentuk loyalitas apa saja yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa Kuno pada abad XIII–XV M, faktor yang mempengaruhi terbentuknya loyalitas tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk-bentuk loyalitas yang ditunjukkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, dan melalui tiga tahap: pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka terhadap prasasti dari abad XIII–XV M yang mengindikasikan adanya loyalitas, analisis data mengenai bentuk-bentuk loyalitas masyarakat Jawa Kuno, dan penafsiran data yang dilakukan dengan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya loyalitas serta bentuk-bentuk loyalitas yang ditunjukkan. Bentuk-bentuk loyalitas masyarakat Jawa Kuno abad XIII–XV M dapat dibagi ke dalam tiga kelompok: jasa dalam perang, pengabdian luar biasa, dan menjaga kesejahteraan rakyat/negara. Kemudian, faktor yang mempengaruhi terbentuknya loyalitas adalah faktor keagamaan, sedangkan bentuk-bentuk loyalitas yang ditunjukkan dipengaruhi oleh faktor kondisi kenegaraan dan kedudukan sosial. Diketahui pula bahwa loyalitas masyarakat Jawa Kuno terbentuk secara alami, tetapi juga menunjukkan karakteristik dari loyalitas kontraktual.

The sīma inscription is an edict issued by the king as a gift to be given to certain parties. This is usually done for the upkeep of sacred buildings or as a way for the king to reward those who have shown him loyalty. The XIII–XV Centuries AD, especially in the Majapahit Era, was a time ripe with wars and rebellions, so it is important to discuss about loyalty during this time. Therefore, this paper is written to express the forms of loyalty shown by the Ancient Javanese people, the factors that influence the formation of loyalty, and the the forms of loyalty shown. This research was conducted with a descriptive qualitative method, which includes three stages: data collection carried out by literature study of the inscriptions from XIII–XV Centuries AD which indicates the people's loyalty, data analysis on the forms of loyalty of the Ancient Javanese people, and data interpretation which explains the factors that influence the formation of loyalty and the forms of loyalty shown. The forms of loyalty shown by the Ancient Javanese people in XIII–XV Centuries AD can be divided into three categories: service in war, extraordinary dedication, and maintaining the welfare of the people/kingdom. The factor that caused the formation of that loyalty is religion, while the forms of loyalty shown are influenced by the kingdom's political condition and social status. It is also known that the Ancient Javanese people's loyalty were formed naturally, but it also shows characteristics of contractual loyalty.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
R 499.22383 KAM
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Grhamtika Saitya
"Skripsi ini membahas perbandingan kedudukan anak perempuan dalam sistem waris adat Bali sebelum dan setelah keluarnya Keputusan Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III MDP (Majelis Desa Pakraman) Bali. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Hasil penelitian menyarankan agar Majelis Utama Desa Pakraman lebih menggiatkan sosialisasi mengenai hak mewaris perempuan Bali dalam Keputusan Pasamuhan Agung III sampai ke daerah terpencil di Bali yang turut dibantu oleh akademisi dan masyarakat Bali. Selain itu agar Keputusan ini dijadikan payung hukum bagi institusi peradilan apabila terjadi sengketa waris adat Bali.

The focus of this research is the comparative study of the status of daughter in Balinese inheritance system, before and after the Decree Number 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 Concerning the Result of Pasamuhan Agung III MDP (Majelis Desa Pakraman) Bali. This research is a qualitative research.
The researcher suggest the Majelis Utama Desa Pakraman to socialize the Decree of Pasamuhan Agung III regarding the new status of daughter in Balinese inheritance system to every region in Bali with the academicians and Balinesse people. In addition, researcher suggest the court to consider the Decree of Pasamuhan Agung III as reference in Balinese inheritance dispute.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53921
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi
"ABSTRAK
Nama : Ni Ketut Puji Astiti LaksmiProgram studi : Doktoral ArkeologiJudul : Identitas Keber-agama-an Masyarakat Bali Kuno Pada Abad IX-XIV Masehi: Kajian EpigrafisPenelitian tentang identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno sangat penting dilakukan karena sampai saat ini masyarakat Bali masih memeluk agama Hindu dengan berbagai perkembangannya namun demikian belum jelas diketahui bagaimana identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi berdasarkan data yang ditemukan dalam prasasti meliputi tempat suci keagamaan, upacara, dan persembahan keagamaan pada masa tersebut. Terkait dengan tempat suci keagamaan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi tempat suci melalui kajian toponimi. Adapun upacara dan persembahan ditelusuri pula melalui kajian etnoarkeologi. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh rekonstruksi identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi sebagai upaya memperkuat pemahaman keber-agama-an masyarakat Bali pada masa sekarang. Sumber data penelitian ini meliputi prasasti-prasasti Bali Kuno yang dikeluarkan mulai dari abad IX 804 ?aka/882 Masehi sampai dengan abad XIV 1259 ?aka/1337 Masehi . Kesimpulan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, tempat suci adalah salah satu bukti fisik keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi, yang di dalam prasasti disebut dengan istilah Hyang/Sanghyang, Ulan, Bhatara, Tirtha, Dangudu, Sambar, Mandala, Katyagan, dan Partapaan. Beberapa tempat suci masih dapat diidentifikasi keberadaannya dan dapat ditemukan hingga masa sekarang walaupun dengan nama yang berbeda. Tempat suci pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dibangun bukan hanya di tempat-tempat yang tinggi gunung dan bukit , tetapi juga dekat dengan sumber air seperti danau, sungai, mata air, dan laut, serta di pusat-pusat pemukiman. Kedua, persembahan-persembahan yang dilakukan oleh masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi merupakan hasil dari segala usaha dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat pada masa tersebut. Persembahan juga berupa hasil dari kreativitas atau ketrampilan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Persembahan tersebut merupakan penyerahan dengan penuh kerelaan tulus ikhlas berupa apa yang dimiliki kepada Tuhan para dewa , leluhur, alam semesta, dan kemanusiaan, demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemuliaan Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, identitas keber-agama-an masyarakat Bali pada abad IX-XIV Masehi merupakan perwujudan dari kemampuan masyarakat Bali Kuno pada masa tersebut dalam memaknai keberlanjutan kepercayaan prasejarah dan agama Hindu/Buddha. Identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi dapat dirinci sebagai berikut. Pada masa tersebut masyarakat menyebut Dewa Tuhan dan tempat suci dengan beragam istilah. Identitas keber-agama-an pada masa tersebut juga menunjukan adanya keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani, keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, kebersamaan antara sesama manusia, dan keanekaragaman persembahan. Identitas keber-agama-an pada masa tersebut juga menunjukan adanya keberlanjutan tradisi keagamaan atau kepercayaan sebelumnya pemujaan terhadap leluhur dan ketaatan masyarakat pada masa itu dalam beribadah.

ABSTRACT
Name Ni Ketut Puji Astiti LaksmiStudy Program ArchaeologyTitle Religiosity Identities of The Ancient Balinese Society in The IX XIV Christian Centuries an Epigraphic StudyVarious information on religious lives of the ancient Balinese society in IX XIV century were found in some ancient manuscripts consisting of names of holy places, rituals, peoples rsquo obligations, and religious leaders. Hindu and Buddha followers who were at that time not spread evenly in Bali causes pre cultural traditions of Hindu and Buddha still maintains so firmly till today that the situation found in Bali is different from the ones found in the scope of the Archipelago or in the islands as the pioneers of Indonesia such as Java. This research aims to reconstruct the religious lives the ancient Bali periods of the IX XIV centuries based on the data found in the manuscripts including religious holy places, rituals, and offerings of the periods. In particular with the religious places, this research aims to reconstruct holy places through toponymy studies. Rituals and offerings as religious activities are studied through an etnoarcheological study so that a reconstruction of religious lives in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries as identities of religious lives can be found. The data source of the research include the ancient Balinese manuscripts issued from the IX century 804 aka 882 Christian till XIV century 1259 aka 1337 Christian . Till now there are 200 cakeps of manuscripts from 24 kings found in Bali. Nevertheless, not all of them are in complete condition and contain data related to religious aspects. 30 manuscripts chosen are the ones containing religious data and represent other manuscripts of the periods. Religious data collected includedholy places and offerings and they were analyzed through toponymy and etnoarcheological studies. Several conclusions that can be taken in this research are as the followings. First, religious places become physical evidences of the religious lives in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries with terms of Hyang Sanghyang, Ulan, Bhatara, Tirtha, Dangudu, Sambar, Mandala, Katyagan, and Partapaan. The existences of some holy places can still be identified and can be found though with different names. Holy places of the periods are not only located in high areas mountains and hills , but they are also located near water sources such as lakes, rivers, springs, and seas, and inside housings. Second, the offerings made by the Balinese people of the ancient Bali periods of the IX XIV centuries are the results of all efforts and activities in the periods. The offerings could also be in the products of their creativities or skills in fulfilling their daily needs. The rituals are offerings in sincere purpose because of the spirits of their lives. The people did them to the God gods , ancestors, nature, and humans for the sake of prosperity and perfectness of their lives and the nobility of the Almighty God.Third, rituals of the Balinese people of the ancient Bali periods of the IX XIV centuries are the forms of the abilities of the ancient Balinese people in adapting them selves to the natural and social environments as well as to the believes they followed. The religious identities in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries can be described as the followings. In the periods people called God and holy places in different terms. Religious identities in the periods also show that there were balance of between spiritual and worldly secular needs, harmonious relations of humans with nature, togetherness of humans, and diversity of offering. Religious identities in the periods also show that there were continuity of the tradition on religion and believes existing previously rituals to the ancestors and the loyalties of the peoplesin the periods in worshipping."
2017
D2431
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Agung Vera Indira Paramamirta
"Masyarakat Bali yang beragama Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Kedudukan anak perempuan di Desa Duda tidak dapat bertindak dalam pewarisan, karena yang berhak bertindak dalam pewarisan hanya keturunan laki-laki sesuai awig-awig Desa Duda. Oleh karena itu anak perempuan Desa Duda merasa tidak adil atas perlakuan subordinatif tersebut, maka diperlukan perlindungan hukum bagi anak perempuan dalam pewarisan adat Bali. Skripsi ini menjelaskan pelaksanaan perlindungan hukum anak perempuan dalam pewarisan adat Bali yang menganut sistem patrilineal pada Desa Duda. Metode penelitian yang digunakan penelitian empiris, menuai hasil pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak perempuan hanya ketika ia belum menikah sebatas hak untuk menikmati harta keluarganya. Adapun hambatan intern yakni kuatnya adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Hambatan ekstern terletak pada Pemda Bali karena pada Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman tidak diatur mengenai jangka waktu pembaharuan awig-awig desa pakraman setiap berapa tahun sekali, mengakibatkan awig-awig Desa Duda dari tahun 1994 masih berlaku hingga sekarang, tanpa melihat keadaan masyarakat sekarang. Sehingga upaya untuk hambatan intern berupa perubahan budaya melalui edukasi secara konsisten kepada masyarakat, dengan sosialisasi ke desa terpencil mengenai Keputusan No.01.KEP/PSM-3/MDP/BALI/2010 Tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MDP yang menyepakati adanya hak waris bagi perempuan Bali. Serta upaya untuk hambatan intern dengan melakukan perubahan dalam PERDA No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, yang berisikan secara tegas bahwa awig-awig Desa Pakraman harus dirubah setiap berapa tahun sekali. Sehingga dengan adanya peraturan demikian, maka awig-awig setiap desa terdapat perubahan menyesuaikan keadaan masyarakat setempat.

In general, Balinese people who are Hindus embracing patrilineal family system. Where daughters in Desa Duda cant act in inheritance, because who have the right to act in inheritance are only man (purusa) according to the awig-awig Desa Duda. Therefore Desa Dudas daughters feel unfair for that subordinate, legal protection is needed for daughters in Balinese traditional inheritance. This thesis explains how the implementation of the legal protection of daughters in Balinese traditional inheritance which embracing patrilineal system in Desa Duda. The research method used is empirical research, which get the results of the implementation of legal protection for daughters only when she isnt married as far as the right to enjoy her familys property. The internal barriers are the strong Balinese customs that embracing patrilineal family system. External barriers are located in Pemda Bali because Perda Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman isnt regulated regarding the renewal period of awig-awig Desa Pakraman every year, resulting the awig-awig of Desa Duda from 1994 still valid until now, regardless of the current state of society. That effort for internal barriers include cultural change through consistent education to the community, with socialization to remote villages regarding Keputusan No.01.KEP/PSM-3/MDP/BALI/2010 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MDP agreed on the existence of inheritance rights for Balinese daughters. As well as efforts for internal barriers by making changes in Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, which contained explicitly that the awig-awig of Desa Pakraman must be changed every year. So that with the existence of such regulations, the awig-awig of each village has a change to adjust the conditions of the local community."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>