Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andanawari Satwika
"Pada era global saat ini, kebutuhan akan pembuatan perjanjian internasional dalam rangka membangun kerjasama antar negara semakin tinggi. Indonesia sebagai negara berkembang juga kemudian banyak terlibat dalam perjanjian internasional. Untuk dapat mengadopsi dan menerapkan perjanjian internsional tersebut, Indonesia butuh untuk meratifikasinya melalui peraturan hukum nasional. Mekanisme ratifikasi perjanjian internasional pada saat ini telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional, dimana di dalamnya diatur bahwa ratifikasi dapat dilakukan melalui jenis peraturan Undang- Undang atau Peraturan Presiden. Permasalahan yang kemudian kerap kali muncul adalah kebingungan untuk kemudian menentukan jenis peraturan yang akan digunakan untuk meratifikasi, apakah semata-mata hanya melihat materi yang diatur saja atau membutuhkan parameter lain. Permasalahan ditambah dengan pengaturan mengenai materi muatan yang berbeda di beberapa Undang-Undang. Kebingungan ini kemudian dapat diminimalisasi dengan pemahaman atas materi muatan undang-undang yang komprehensif dan pengaturan atas materi muatan yang seragam.

In nowadays global era, the need for an international agreement-making in order to establish cooperation between countries is increasing. Indonesia as a developing country also involved in much of international agreement. To be able to adopt and implement the international agreement, Indonesia needs to ratify it through national legislation. The mechanism for ratification of an international agreement is currently governed by Law No. 24 of 2000 regarding International Agreement, where it is stipulated that ratification can be done through a type of law rules or regulations of the President. The problem that then arises is a confusion to then determine the type of rules that would be used to ratify, whether merely saw the substance regulated or require any other parameters. Problems coupled when regulation on specific substance of Act is different in some regulation. This confusion can then be minimized by understanding the specific substance of the legislation comprehensively and setting up a uniform regulation about that."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S57573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ken Swari Maharani
"CITES 1973 merupakan konvensi lingkungan internasional yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa dari perdagangan internasional yang berlebihan. Konvensi ini menggerakkan upaya global untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu satwa yang terancam bahaya kepunahan adalah harimau Sumatera. CITES 1973 memasukkannya ke dalam kategori Appendiks 1 yang berarti tidak boleh ada perdagangan komersial terhadap satwa tersebut. Indonesia, sebagai negara habitat harimau Sumatera, telah meratifikasi CITES 1973 dan mengesahkan peraturan-peraturan hukum untuk melindungi tumbuhan dan satwa, termasuk harimau Sumatera. Selain itu, Indonesia juga terlibat kerja sama regional dan global dengan negara-negara habitat harimau lainnya. Namun, populasi harimau Sumatera terus menurun, tidak hanya karena perdagangan, tetapi juga karena kerusakan habitat, perburuan liar, dan konflik dengan manusia. CITES 1973 belum diimplementasikan dengan baik di Indonesia terlihat dari lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan populasi harimau Sumatera terus terancam. Penanganan kasus-kasus kriminal terkait harimau Sumatera tidak dilakukan secara tuntas dan sanksi-sanksi yang diberikan tidak memberi efek jera. Perdagangan liar bersifat terbuka dan terorganisir, baik di dalam maupun di luar negeri. Hutan di Pulau Sumatera mengalami degradasi karena banyaknya konversi fungsi hutan untuk kebutuhan komersial. Masyarakat belum dilibatkan dalam perlindungan harimau dan habitatnya; sementara peran NGOs sering terhambat oleh respon yang lambat dari pemerintah. Komitmen Indonesia terhadap CITES 1973 harus diperkuat agar harimau Sumatera tidak lagi terancam kepunahan dan ekosistem di sekitarnya juga turut dilestarikan.

CITES 1973 is an international environmental convention aiming to protect flora and fauna from excessive international trade. This convention drives a global effort to conserve biodiversity. One of the animals that are in danger of extinction is Sumatran tigers. CITES 1973 has categorized the species in the Appendix 1, which means there should be no commercial trade against the species. Indonesia, as the habitat for Sumatran tigers, has ratified CITES 1973 and passed the legal regulations to protect plants and animals, including Sumatran tigers. In addition, Indonesia is involved in regional and global cooperation with the other tiger range countries. Nevertheless, the population of Sumatran tiger continues to decline, not only because of trade, but also due to habitat destruction, illegal poaching, and conflict with humans. CITES 1973 has not been implemented properly in Indonesia as seen from the lack of law enforcement causing the population of Sumatran tigers continues to be threatened. Criminal cases towards Sumatran tigers have not been solved completely and sanctions given have less deterrent effect. Illegal trade has become increasingly open and organized, both domestically and globally. Forests in Sumatra have degraded because of the conversion of forest lands to fulfill commercial needs. Local communities have not been involved in the protection of tigers and their habitat; while the role of NGOs is often hampered by the slow response from the government. Indonesia's commitment to CITES in 1973 should be strengthened so that Sumatran tigers are no longer in danger of extinction and the ecosystem around them is also conserved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Claudia
"Perbedaan hukum nasional masing – masing negara anggota terhadap penerapan aturan perjanjian internasional pada negaranya umumnya menghasilkan perbedaan jangka waktu terhadap implementasi perjanjian internasional. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan bagi para negara anggota untuk menyeragamkan aturan tersebut demi tercapainya maksud dan tujuan dalam perjanjian, khususnya aturan teknis yang memerlukan tanggapan cepat para negara anggota untuk segera mengimplementasikannya. Maka dari itu, beberapa perjanjian internasional serta organisasi internasional layaknya International Maritime Organization memperkenalkan sistem tacit acceptance atau penerimaan secara diam – diam sebagai salah mekanisme pilihan bagi negara untuk tunduk. Penggunaan mekanisme tacit acceptance kemudian menjadi salah satu opsi bagi para pihak dalam mempergunakan aturan perjanjian internasional pada saat yang mendesak dan instrumen penundukkan secara eksplisit tidak mungkin dilakukan. Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif dengan tujuan untuk melihat bagaimana implementasi tacit acceptance melalui beragam jenis tacit pada perjanjian internasional, serta bagaimana negara dan perjanjian internasional mendefinisikan dan mempergunakan tacit acceptance. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa mekanisme tacit pada umumnya dapat diberlakukan hanya kepada negara anggota ataupun para pihak yang dianggap layak oleh perjanjian internasional ataupun putusan pengadilan. Walaupun demikian, dapat ditemukan praktik oleh negara ketiga yang mempergunakan mekanisme tacit acceptance terhadap perjanjian internasional, misalnya Republik Kazakhstan terhadap Liability Convention 1972 melalui perjanjian bilateral 1994 Lease Agreement dengan Federasi Rusia mengenai Baikonur Cosmodrome. Adapun hal yang ditemukan adalah negara ketiga dapat memberlakukan mekanisme tacit berdasarkan pernyataan dalam bentuk tertulis, misalnya pada perjanjian yang terpisah. Terlihat bahwa mekanisme tacit memiliki implementasi dan parameter yang berbeda-beda dalam setiap peristiwa hukum, sehingga mekanisme ini dipergunakan dalam berbagai aspek dan tidak hanya terbatas pada lingkup lingkungan atau maritim saja.

The differences on the national laws of each member states regarding to the application of the international treaties provisions may result in the different timeline for the provision’s applicability. This, however, makes several member states has the difficulties to achieve the object and purpose of the treaty, especially technical provisions that requires contracting parties for a quick response by implement and enforce them immediately. Furthermore, several treaties and international organizations, such as the International Maritime Organization introduce a system that is called tacit acceptance as a mechanism of choice for member states to give their consent to be bound. The use of tacit acceptance becoming one of the options for parties to implement international agreements at the time of urgency and explicit instruments for showing consent is not possible for the time being. Based on the normative legal research method, it is concluded that tacit acceptance in general is applicable only to the member state or parties deemed appropriate by the treaty itself or court decisions. Nevertheless, it can also be found that third states are using tacit acceptance on treaties, such as Republic of Kazakhstan with Liability Convention 1972 through 1994 Lease Agreement with Russian Federation that regulates about Baikonur Cosmodrome. Third state, in fact, is able to apply tacit acceptance to show their consent through a written form in a separate agreement. Moreover, it can be seen that the tacit mechanism has different implementations and parameters for various legal affair. Having said that, tacit acceptance as a tool for showing one’s consent to be bound is utilized in various aspects and not limited to the environmental and/or maritime subjects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Febrianti Rachmadani
"Dengan adanya tujuan untuk menegaskan kembali komitmen untuk membentuk rezim perdagangan internasional yang liberal, fasilitatif, kompetitif serta dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi global, negara-negara anggota ASEAN bersama dengan Selandia Baru, Australia, China, Jepang dan Korea Selatan menandatangani perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tanggal 15 November 2019 secara virtual pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-36 yang diselenggarakan di Vietnam. Bersama dengan negara Filipina yang telah resmi bergabung menjadi anggota dan meratifikasi perjanjian RCEP pada tanggal 21 Februari 2023 lalu, perjanjian yang memuat pengaturan mengenai pengurangan pajak tarif kepabeanan ini diharapkan dapat merealisasikan intensi utamanya dalam mengurangi hambatan kegiatan transaksi perdagangan internasional. Keberhasilan eksistensi dari RCEP sangatlah berpangkal pada rincian substansi perjanjian yang ekstensif maupun fasilitatif dan aturan penyelesaian sengketa yang akan ditemui. Sedangkan berbeda dengan perjanjian perdagangan bebas multilateral pada umumnya, RCEP tidak memuat mekanisme penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tujuan investasi (host country). Sebagai perjanjian yang mencakup seperempat dari Foreign Direct Investment (FDI) dunia, pengaturan mengenai investasi asing menjadi penting dan perlu diperhatikan.

With the sole purpose as to reaffirm their commitment to form a liberal, facilitative, and competitive international trade regime that can furthermore contribute in the interest of global economic growth and development, ASEAN member countries along with New Zealand, Australia, China, Japan and South Korea through its delegates signed the Regional Comprehensive Economic Partnership agreement on November 1th 2019 virtually at the 36th ASEAN Summit hosted by Vietnam. Together with the Philippines which has officially joined as a member and ratified the RCEP agreement that covers provisions concerning the reduction of customs tax rates on February 21st 2023, RCEP is expected to achieve its main objective in reducing barriers to international trade. The default of the existence of RCEP is very much based on the details of the substance of the provisions in terms to provide an extensive and facilitative substance of the agreement, as well as the dispute resolution mechanism that will be encountered in the future. Whereas, in contrast to multilateral free trade agreements in general, RCEP does not include a dispute resolution mechanism between investors and host country. As an agreement that covers a quarter of the world’s Foreign Direct Investment (FDI), regulations regarding foreign investment are essential and need to be paid attention to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilim Mario Zega
"Implementasi perjanjian perdagangan dapat mempengaruhi perdagangan melalui dua efek yaitu trade creation dan trade diversion. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek trade creation dan trade diversion dari implementasi ASEAN +1 FTA terhadap perdagangan bilateral Indonesia dengan 25 negara mitra dagangnya pada periode 2000-2019 yang mana perdagangan bilateral ini menggunakan data ekspor dan impor Indonesia. Metode estimasi menggunakan model gravitasi dengan menambahkan dummy anggota dan bukan anggota. Dengan menggunakan fixed effect time, hasil penelitian ini menemukan adanya trade creation, dan tidak ditemukan trade diversion. Pengaruh implementasi ASEAN +1 FTA ternyata sama-sama meningkatkan ekspor dan impor Indonesia dengan negara anggota dan bukan anggota.

Free Trade Agreement implementation can affect trade through two effects: trade creation and trade diversion. This study aims to analyze the effects of trade creation and trade diversion from the implementation of the ASEAN+1 FTA on Indonesia's bilateral trade with 25 of its trading partner countries in the 2000–2019 period, where this bilateral trade uses Indonesian export and import data. The estimation method uses a gravity model by adding dummy members and non-members. By using the fixed effect time, the results of this study found trade creation and no trade diversion. The effect of implementing the ASEAN +1 FTA turned out to be that both member and non-member countries increased Indonesia's exports and imports."
Depok: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Hasanah
"Tesis ini membahas mengenai beberapa klausul spesifik dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma dengan menggunakan asas proporsionalitas sebagai landasan utama untuk menilai apakah perjanjian tersebut telah mengakomodir kepentingan para pihak secara fair. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris dengan menggunakan metode yuridis-normatif, dimana dari data sekunder yang ada dilakukan analisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam hubungan kemitraan inti-plasma ini para pihak berada dalam 'posisi tawar' yang tidak seimbang, sehingga pada tahap pra kontrak asas proporsional tidak terpenuhi, sedangkan pada tahap pembentukan kontrak terdapat klausul yang memenuhi asas proporsionalitas, namun ada pula yang tidak memenuhi asas proporsionalitas. Pada akhirnya penulis menyarankan bahwa, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengefektifkan program kemitraan inti-plasma ini, selain itu perlu adanya pembekalan wawasan akan aspek-aspek hukum kontrak serta konsekueansinya bagi para peternak/petani plasma, serta perlu dibentuk suatu organisasi peternak/petani plasma sebagai wadah advokasi/pendampingan para anggotanya.

This thesis discusses about some specific clause in the 'Inti-Plasma' Partnership Agreement using 'the proportionality principle in commercial contract' as the primary basis for asessing whether the agreement has accommadate the interests of the parties fairly. This research is an explanatory research which use 'juridical-normative' format were collected the data from the seccondary data which analysed by qualitative methods. The conclusion from this study is, in the 'inti-plasma' relationship the parties are in a unbalance bargaining position,so that in the stage of 'pre-contract' , that principle are not met, while at the stage of 'formation of contracts' there are some clauses that met and does not met with that principle. In the end, the researcher suggest that government intervention is needed to streamline the 'inti-plasma partnership program' eficienly, in addition to the need for debriefing the ranchers/farmers about any aspects of contract law and its consequences for their bussiness relation, beside that it's need to set up an organization of ranchers/farmers as a forum to accommodate the inspirations and the interests of its member, so that through these forum can provide safeguards provisions for a fair contract although the contract was made in the standard agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29636;T29636
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diaz Rahmah Irhani
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak ACFTA terhadap industri perikanan di Indonesia. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima negara di ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam sebelum dan sesudah ACFTA dalam kurun waktu 5 tahun sebelum dan 10 tahun sesudah ACFTA yaitu, tahun 2004 – 2019. Teknik analisis yang digunakan adalah uji beda dengan uji Mann Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekspor Perikanan Indonesia mengalami kemajuan setelah penerapan ACFTA dan Berdasarkan hasil analisis uji beda diketahui bahwa ekspor sektor perikanan Indonesia lebih baik dari Thailand. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata peringkat Indonesia sebesar 17,94, lebih tinggi dari Thailand yang sebesar 15,06. Disarankan agar industri perikanan Indonesia mengembangkan teknologi perikanan untuk mempromosikan ekspor dengan menggunakan teknologi informasi untuk memperluas jaringan pemasaran produk baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

This study aims to analyze the impact of ACFTA on the fishing industry in Indonesia. The samples used in this study were five countries in ASEAN, namely Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand and Vietnam before and after ACFTA in 2004 – 2019. The analysis technique used was a different test with the Mann Whitney test. The results of this study indicate that Indonesian Fishery Exports have progressed after the implementation of the ACFTA and Based on the results of different test analyses, it is known that Indonesia's fisheries sector exports are better than Thailand's. This can be seen from the mean value of Indonesia's rank of 17.94, which is higher than Thailand's 15.06. It is recommended that the Indonesian fishery industry develop fishery technology to promote exports using information technology to expand the product marketing network both domestically and overseas."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Ricardo Putra
"Tiap jenis perjanjian mempunyai persyaratan yang berbeda yang dapat melahirkan perjanjian tersebut. Perjanjian yang dicapai dengan kata sepakat yang disampaikan dengan sikap diam dapat menimbulkan akibat hukum pada masing-masing pihak. Akibat-akibat yang ditimbulkan ini beragam tergantung jenis perjanjian apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Skripsi ini membahas tentang putusan hukum di tingkat Kasasi Mahkamah Agung antara PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia yang melakukan Perjanjian Distributor secara diam-diam. Penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui kedudukan perjanjian secara diam-diam dalam hukum Indonesia. Metode penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian distributor merupakan perjanjian konsensual yang dapat dilahirkan melalui perjanjian diam-diam. Dengan demikian PT. Dwi Damai dan PT. Philips Indonesia telah terikat oleh perjanjian distributor yang dilakukan secara diam-diam.

Each type of agreement has its requirements that create the agreement itself. The agreement that based on silent agreement could have many legal consequences toward the parties. This legal consequences appear based on the type of agreement the parties perform. This study discusses Indonesian High Court Decision between PT. Dwi Damai and PT. Philips Indonesia that perform Distributor Agreement by silent agreement. The purpose of this study is to discover silent agreement legal standing based on Indonesian law system. The study will employ normative-juridical method. The result of this study show that distributor agreement is a consensual agreement which can created by silent agreement. Therefore PT. Dwi Damai and PT. Philips Indonesia have been attached by distributor agreement made by silent agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60624
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frisca Cristi
"Tesis ini khusus membahas pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 dan akibatnya terhadap PSC. Dengan menggunakan metode interpretasi gramatikal, historis, antisipatif dan komparatif maka kita dapat memahami makna dari pasal 31 ini. Penelitian ini adalah penelitian perskriptif deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini sudah jelas bahwa perjanjian wajib dalam bahasa Indonesia dengan batasan khusus terhadap perjanjian dengan tujuan tertentu di Indonesia. Pasal 31 ini sebagai alasan yuridis terhadap PSC yang dilaksanakan di Indonesia diwajibkan dibuat juga dalam bahasa Indonesia.

This thesis specifically discusses article 31 of Law Number 24 of 2009 and its implication on the PSC. To understand the meaning of Article 31 the author uses the method of gramatikal, historis, antisipatif and komparatif interpretation. This study uses a prescriptive-descriptive design. The results stated that the meaning of the article is clear that the agreement shall be made in the Indonesian language which is only for the agreement with certain purposes in Indonesia. Article 31 is the juridical reason why a PSC in Indonesia must be made in the Indonesian language."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27892
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Rahmadavita
"Seiring dengan perkembangan dunia perdagangan global, merek semakin memiliki peran penting dalam suatu bisnis, bukan hanya sebagai tanda pembeda barang atau jasa sejenis yang diperdagangkan, tetapi juga sebagai strategi bisnis. Sehingga banyak pengusaha-pengusaha baik dari Indonesia maupun luar negeri yang ingin mereknya mendapatkan pelindungan di banyak negara. Sebelum tahun 1891, agar suatu merek mendapatkan pelindungan, pemohon harus mengajukan permohonan pendaftaran merek secara langsung ke negara-negara tempat pelindungan diinginkan. Kemudian pada tahun 1891 upaya untuk mempermudah proses pendaftaran merek secara internasional dimulai dengan lahirnya Madrid Agreement Concerning The International Registration of Marks (Persetujuan Madrid) dan diikuti dengan Protocol Relating to The Madrid Agreement Concerning The International Registration of Marks (Protokol Madrid) pada tahun 1989. Pada tanggal 2 Oktober 2017 lalu, Indonesia resmi menjadi anggota Protokol Madrid, dan telah berlaku efektif di Indonesia mulai tanggal 2 Januari 2018. Oleh karena itu dalam skripsi ini akah dibahas lebih lanjut mengenai ketentuan pendaftaran merek internasional dengan Sistem Madrid serta pengaruhnya terhadap pendaftaran merek di Indonesia.

Along with the significant growth of global trade, marks increasingly has an important role in a business, not only to differentiate similar traded goods or services but also as a business strategy. Thus, many local and foreign businesses seek for protection of marks in many countries. Prior to 1891, for a mark to be protected, applicants must file for a registration of marks directly to the countries where the protection sought. In 1891 attempts to facilitate the process of international registration of marks began with the signing of Madrid Agreement Concerning The International Registration of Marks and followed by Protocol Relating to The Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (Protocol Madrid) in 1989. On 2 October 2017, Indonesia officially became a member of the Madrid Protocol and has come to effect in Indonesia since January 2, 2018. This thesis will further discuss about the international registration of marks using provisions in Madrid Protocol as well as its impact on the registration of marks in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>