Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Su Adah
"Skripsi ini membahas tentang kebijakan détente (peredaan ketegangan) pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon. Peredaan ketegangan dengan Uni Soviet ini dilatarbelakangi oleh kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dan krisis peluru kendali Kuba. Presiden Nixon bersama dengan Penasehat Keamanan Nasionalnya Henry Kissinger membentuk grand design (rencana besar) dan grand strategi (strategi besar) dengan mengubah kebijakan lebih mengarah kepada negosiasi dengan negara-negara Komunis seperti Uni Soviet dan Cina. Puncak negosiasi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dilaksanakan dalam Moscow Summit yang menghasilkan perjanjian SALT 1 mengenai pembatasan senjata nuklir bagi kedua negara.

This study focuses on détente policy during President Richard Nixon’s era. Reducing tension towards Sovyet was caused by United States’ loss in Vietnam War and missile crisis in Cuba. President Nixon, along with the National Security Adviser Henry Kissinger, established grand design and grand strategy by changing their policy about Communist states, such as Sovyet and China. This negotiation between United States and Sovyet reached its peak when Moscow Summit was held and resulted in SALT 1 Agreement on both states’ limiting nuclear weapon.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55644
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Su Adah
"Artikel ini membahas tentang kebijakan détente (peredaan ketegangan) pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa Nixon. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari kebijakan détente terhadap hubungan bilateral Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa pemerintahan Richard Nixon. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan mengunakan data-data yang bersumber dari data primer yang berupa dokumen resmi Foreign Relation of United States dan dokumen lain yang mendukung dan berkaitan dengan politik luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan Nixon dan kebijakan détente. Kebijakan détente ini dilatarbelakangi oleh terdesaknya Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dan krisis peluru kendali Kuba. Presiden Nixon bersama dengan penasehat keamanan nasionalnya, Henry Kissinger, membentuk grand design (rencana besar) dan grand strategy (strategi besar) dengan mengubah kebijakan lebih mengarah kepada negosiasi dengan negara-negara Komunis seperti Uni Soviet dan Cina. Puncak negosiasi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dilaksanakan dalam Moscow Summit yang menghasilkan perjanjian SALT 1 mengenai pembatasan senjata nuklir bagi kedua negara.

This article focuses on détente policy during President Richard Nixon's era. The background of this research is several changes in United States' foreign policy towards Sovyet Union during Richard Nixon's term. The aim of this research is to describe the effects of the détente policy to the relation between United States and Sovyet Union. This research used hitorical method and used officials documents such as Foreign Relation of United States and other related documents as primary sources. The détente policy was based on United States' loss in Vietnam War and missile crisis in Cuba. President Nixon, along with the National Security Adviser Henry Kissinger, established grand design and grand strategy by changing their policy about communist states, such as Soviet and China. The negotiation between United States and Sovyet reached its peak when Moscow Summit was held and resulted in SALT 1 Agreement on both states' limiting nuclear weapon.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Masitoh
"Penulisan skripsi dengan perbandingan pustaka ini tujuannya ialah untuk mengetahui kebijakan luar negeri AS terhadap Israel di bawah pemerintahan Nixon yang mendukung terlaksananya kepentingan- kepentingan AS di kawasan Timur Tengah, Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan dari berbagai sumber yaitu buku, artikel. dan dokumen yang diperoleh baik dari perpustakaan maupun hasil penelusuran melalui search engine di internet, Kebijakan luar negeri AS terhadap Israel di bawah pemerintahan Nixon cenderung menunjukkan hubungan khusus. Hal itu dapat dilihat dari tingginya bantuan yang diberikan AS kepada Israel seperti bantuan ekonomi, politik, dan militer, terhitung sejak AS mengakui berdirinya negara Israel tahun 1948. Kebijakan luar negeri AS terhadap Israel itu dilakukan untuk mendukung kepentingan- kepentingan AS klulsusnya di ka,vasan Timur Tengah. Israel, negara di kawasan Timur Tengah kala itu yang dinilai merupakan satu- satunya negara yang pro-AS dan Barat. AS harus mendapatkan akses utama minyak Timur Tengah yang persediaannya berlimpah, sementara negara- negara Timur Tengah seperti Mesir, Irak, Iran, banyak yang anti AS dan Barat. Selain itu AS memiliki misi untuk menyebarkan ideologinya; demokrasi, agar kepentingan- kepentingannya terlaksana. Namun demikian AS harus menghadapi kenyataan yang tidak semuanya manis, AS harus membayar dengan harga yang mahal atas kebijakan luar negerinya terhadap Israel. AS mendapat embargo minyak pada tahun 1973 di bawah pemerintahan Nixon sebagai bentuk protes negara- negara Arab yang mayoritas adalah negara anggota pengekspor minyak karena kebijakan luar negeri AS dinilai pro-Israel."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S12416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Damayanti
"

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran pada periode pemerintahan Obama. Amerika Serikat lebih terbuka untuk berdiplomasi dengan Iran, tetapi masih mempertahankan pendekatan koersifnya. Guna memahami perubahan tersebut, penelitian ini menggunakan konsep perubahan kebijakan luar negeri oleh Jakob Gustavsson. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tujuh perubahan kebijakan luar negeri yang merupakan konsekuensi dari empat hal. Pertama, pelemahan power militer Amerika Serikat dan perubahan fokus wilayah Amerika Serikat ke Asia. Kedua, polarisasi politik domestik dan penguatan perekonomian Amerika Serikat. Ketiga, keinginan Obama untuk membatasi penggunaan militer di luar negeri dan menyelesaikan isu nuklir Iran melalui diplomasi. Keempat, dinamika pengambilan keputusan di Gedung Putih. Maka dari itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa keempat faktor ini berkontribusi terhadap tujuh perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran pada periode pemerintahan Obama. 


This research aims to answer how United States foreign policy towards Irans Nuclear Program change during the Obamas administration. United States is more open to diplomacy with Iran yet still maintain its coercive postures. In order to understand this problem, this research uses the concept of foreign policy change by Jakob Gustavsson. The methodology used on this research is a qualitative approach with descriptive analysis. This research shows there are seven foreign policy changes that are the results of four factors. First, United States declining military power and the shift of United States regional focus to Asia. Second, the polarized domestic politic situation and United States strengthening economic power. Third, Obamas personal preference in limiting the use of United States military power abroad and solve the Iran nuclear issue through diplomacy. Fourth, the decision-making process at the White House. Therefore, this research concludes that these four factors contribute to the seven changes of United States foreign policy towards Irans nuclear program. 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Riyadi
"Watergate merupakan Skandal yang melibatkan Richard M. Nixon sebagai Presiden Amerika. Terungkapnya Skandal ini berawal dari gagalnya usaha penyadapan oleh lima orang di kantor Partai Demokrat. Dalam persidangan terdakwa mengakui bahwa secara tidak langsung ada keterlibatan Presiden Nixon. Pengunduran diri Richard M. Nixon sebagai Presiden Amerika serikat ke 37 bukan karena dampak dari Skandal Watergate. Namun pengunduran tersebut karena alasan pribadi, seperti gagalnya lobbi yang dilakukan staf gedung putih terhadap FBI dan CIA, pemberitaan media yang mengarah terhadap impeachment, tidak adanya dukungan dari Partai Republik dan pengunduran dua Staf terbaik Gedung Putih yakni Elhrilchman dan Haldeman yang terlibat dalam skandal Watergate. Akibat merasa ditinggalkan sendirian dalam menghadapi masalah Watergate, akhirnya pada tanggal 8 Agustus 1974 Richard M. Nixon mengundurkan diri sebagai Presiden Amerika ke 37. Sesuai konstitusi di Amerika maka Wakil Presiden Ford menggantikan Presiden Nixon sebagai Presiden Amerika ke 38 pada tanggal 9 Agustus 1974. Presiden Ford dengan kekuatan konstitusi Pasal 2 ayat 2 memberikan pengampunan terhadap Nixon atas segala kesalahan dan tindakan pelanggaran hukum selama dia menjabat sebagai Presiden Amerika.

Watergate is a scandal that involves Richard Nixon as the president of America. The scandal was revealed when five people from Republic failed to tap Democrat office. In the trial, the suspect confessed that president Nixon was involved inderictly. The resignation of Richard Nixon as the 37th president of USA was not because of the Watergate Scandal. Instead the resignation is because of private reaseon such as the failure of lobbying by white house staff to FBI and CIA, the news wich tends to view as impeachment, the absence of support from republican and the resignation of two of the best staff in white house and they are Elhrilchman and Haldeman which involved in the Watergate Scandal, Richard M. Nixon eventually resigned on the 8th of August 1974 as the 37th of America President. According to the contitution, vice presdident replaced President Nixon as the 38th President of the United States on the 9th of August 1974. President Ford with the power of constitution article 2 section 2 gave remission to Nixon for every mistakes and offense that he had done since he became president.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Satrio Wibowo
"Tesis ini membahas mengenai politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah pada masa pemerintahan Barack Obama tahun 2009-2014. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan mengambil studi terhadap penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah pada masa pemerintahan Barack Obama mengalami perubahan pendekatan dari hard power ke smart power. Tesis ini menemukan bahwa ada empat faktor yang membuat Amerika Serikat akan menarik pasukannya dari Afghanistan, yaitu : kematian Osama Bin Laden, tuntutan politik dalam negeri, kondisi ekonomi dalam negeri, dan konstelasi internasional.

This thesis discusses about U.S. foreign policy in the Middle East during the Barack Obama administration years 2009-2014. This study is a qualitative research by taking study of the withdrawal U.S. forces from Afghanistan. The results of this study indicate that U.S. foreign policy in the Middle East during the reign of Barack Obama is change from the hard power approach to the smart power approach. This thesis found that there are four factors that make the U.S. will withdraw its forces from Afghanistan, namely : the death of Osama Bin Laden, the demands of domestic politics, economic conditions in the country, and the international constellation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Furqon
"Saat masa Perang Dingin, Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden Harry S. Truman berusaha untuk membendung pengaruh komunisme Uni Soviet. Salah satu upaya Pemerintahan Truman saat itu adalah mengadakan hubungan politik luar negeri dengan Kuomintang dan mendamaikan pemerintahan tersebut dengan Partai Komunis Cina untuk mewujudkan unifikasi Cina. Meskipun demikian, upaya tersebut berujung pada kegagalan yang ditandai dengan dikuasainya Cina oleh PKC dan terusirnya Kuomintang ke Taiwan. Penelitian tugas akhir ini akan mengkaji kebijakan politik luar negeri yang diambil oleh Presiden Truman saat melakukan hubungan politik luar negeri dengan Pemerintah  Republik Cina selama masa jabatannya dari 1945 hingga 1953 yang dikaji melalui metode sejarah dan pendekatan politik internasional. Hasil dari penelitian adalah bahwasannya Presiden Truman berusaha untuk memperkuat kedudukan Kuomintang melalui bantuan luar negeri dan mendamaikan Kuomintang dengan PKC. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak berhasil dan berujung pada jatuhnya Cina ke tangan komunis pada musim gugur 1949 dan terusirnya Kuomintang ke Taiwan. Selain itu, Pemerintahan Truman juga mendapat kritikan dari rakyat AS atas kegagalannya di Cina. Meskipun demikian, Pemerintahan Truman tetap melanjutkan upaya untuk melindungi Pemerintah Republik Cina dari pengaruh komunisme yang berkembang saat terjadinya Perang Korea dan intervensi Republik Rakyat Cina.

During the Cold War, the United States under the leadership of President Harry S. Truman tried to stem the influence of Soviet communism. One of the efforts of the Truman Administration at that time was to establish foreign policy relations with the Kuomintang and reconcile the government with the Chinese Communist Party to achieve Chinese unification. Even so, these efforts ended in failure which was marked by the control of China by the CCP and the expulsion of the Kuomintang to Taiwan. This final project research will examine the foreign policy policies taken by President Truman when carrying out foreign policy relations with the Government of the Republic of China during his tenure from 1945 to 1953 which are studied through historical methods and international political approaches. The result of the research is that President Truman tried to strengthen the position of the Kuomintang through foreign aid and reconcile the Kuomintang with the CCP. However, these attempts were unsuccessful and led to the fall of China to the communists in the fall of 1949 and the expulsion of the Kuomintang to Taiwan. In addition, the Truman Administration also received criticism from the US people for its failures in China. Nonetheless, the Truman Administration continued its efforts to protect the Government of the Republic of China from the influence of communism that developed during the Korean War and the intervention of the People's Republic of China."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Ayu Adani
"Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan imigrasi zero tolerance di masa Pemerintahan Donald Trump pada bulan Mei – Juni 2018. Kebijakan ini merupakan penegakan program Operation Streamline yang diinisiasikan oleh Department of Homeland Security (DHS) dan Department of Justice (DOJ) pada tahun 2005. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksplanatif. Penulis menggunakan teori kebijakan publik dan implementasi kebijakan untuk menganalisis secara mendalam langkah-langkah yang diambil pemerintahan Donald Trump dalam implementasi kebijakan ini. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ini berhasil menekan jumlah imigran gelap yang menyeberang melalui perbatasan Meksiko- Amerika Serikat, yang berarti bahwa kebijakan ini mencapai tujuan dan sasarannya. Dalam implementasinya, kebijakan ini menuai banyak kontra dari berbagai pihak, baik dari internal Partai Republik sebagai partai pengusung Trump, masyarakat Amerika Serikat, organisasi serta asosiasi di Amerika Serikat, dan tokoh-tokoh internasional. Kebijakan ini pada akhirnya justru memiliki dampak negatif berupa terpisahnya anak dari orang tua imigran serta bengkaknya dana yang dikeluarkan untuk implementasi kebijakan. Karenanya, kebijakan ini pada akhirnya dibatalkan oleh Presiden Donald Trump dua bulan setelah kebijakan ini diimplementasikan.

This study discusses the implementation of the zero tolerance immigration policy in May to June 2018 during the Donald Trump Administration. This policy is an enforcement of the Operation Streamline program initiated by the Department of Homeland Security (DHS) and the Department of Justice (DOJ) back in 2005. This study uses qualitative method. This research uses public policy and implementation of public policies theories to analyse the steps taken by the Donald Trump Administration to implement this policy. This study finds that the zero tolerance immigration policy managed to suppress the number of illegal immigrants who tried to cross the Mexico- United States border unlawfully, which means that this policy met its goals and objectives. In its implementation, this policy received pushbacks from various parties, both from within the Republican Party, the American public, various organizations and associations in United States, and international figures. This policy ultimately had negative impacts, in the form of separating children from immigrant parents and increasing the funds spent on implementing the policy. As a result, the policy was eventually overturned by the then-President Donald Trump only two months after it was implemented."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Ayu Adani
"Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan imigrasi zero tolerance di masa Pemerintahan Donald Trump pada bulan Mei – Juni 2018. Kebijakan ini merupakan penegakan program Operation Streamline yang diinisiasikan oleh Department of Homeland Security (DHS) dan Department of Justice (DOJ) pada tahun 2005. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksplanatif. Penulis menggunakan teori kebijakan publik dan implementasi kebijakan untuk menganalisis secara mendalam langkah-langkah yang diambil pemerintahan Donald Trump dalam implementasi kebijakan ini. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ini berhasil menekan jumlah imigran gelap yang menyeberang melalui perbatasan Meksiko-Amerika Serikat, yang berarti bahwa kebijakan ini mencapai tujuan dan sasarannya. Dalam implementasinya, kebijakan ini menuai banyak kontra dari berbagai pihak, baik dari internal Partai Republik sebagai partai pengusung Trump, masyarakat Amerika Serikat, organisasi serta asosiasi di Amerika Serikat, dan tokoh-tokoh internasional. Kebijakan ini pada akhirnya justru memiliki dampak negatif berupa terpisahnya anak dari orang tua imigran serta bengkaknya dana yang dikeluarkan untuk implementasi kebijakan. Karenanya, kebijakan ini pada akhirnya dibatalkan oleh Presiden Donald Trump dua bulan setelah kebijakan ini diimplementasikan.

This study discusses the implementation of the zero tolerance immigration policy in May to June 2018 during the Donald Trump Administration. This policy is an enforcement of the Operation Streamline program initiated by the Department of Homeland Security (DHS) and the Department of Justice (DOJ) back in 2005. This study uses qualitative method. This research uses public policy and implementation of public policies theories to analyse the steps taken by the Donald Trump Administration to implement this policy. This study finds that the zero tolerance immigration policy managed to suppress the number of illegal immigrants who tried to cross the Mexico-United States border unlawfully, which means that this policy met its goals and objectives. In its implementation, this policy received pushbacks from various parties, both from within the Republican Party, the American public, various organizations and associations in United States, and international figures. This policy ultimately had negative impacts, in the form of separating children from immigrant parents and increasing the funds spent on implementing the policy. As a result, the policy was eventually overturned by the then-President Donald Trump only two months after it was implemented."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Nurul Izza
"Animasi secara umum digunakan sebagai media hiburan. Akan tetapi, Uni Soviet menggunakan animasi sebagai media propaganda yang memadukan produksi citra visual, narasi, dan suara untuk membangun framing musuh dan menggiring persepsi publik terhadap Amerika Serikat pada era Perang Dingin. Penelitian ini membahas representasi Amerika Serikat dalam film animasi ?????????/Millioner/Jutawan yang dibuat oleh Uni Soviet sebagai bentuk propaganda. Artikel ini bertujuan menunjukkan cara Uni Soviet merepresentasikan Amerika Serikat sebagai hal yang negatif dalam upaya melakukan propaganda. Teori representasi Stuart Hall menunjukkan bahwa makna diproduksi oleh bahasa. Berdasarkan pemaparan representasi Amerika Serikat dalam animasi/Millioner/Jutawan diketahui bahwa animasi tersebut memiliki peran sebagai alat propaganda Uni Soviet untuk mengkritik imperialisme Amerika Serikat dan membentuk opini publik terhadap penggambaran Amerika ke arah yang lebih negatif. Amerika Serikat digambarkan sebagai negara kaum borjuis yang antagonis, kapitalis, industrialis, ceroboh, dan serakah.

Animation is generally used as a medium of entertainment. However, the Soviet Union used animation as a propaganda medium that combined the production of visual images, narration, and sound to build enemy framing and lead public perception of the United States during the Cold War era. This research discusses the representation of the United States in the animated film /Millioner/The Millionaire made by the Soviet Union as a form of propaganda. This article aims to show how the Soviet Union represented the United States as negative things in an effort to carry out propaganda. Stuart Hall’s representational theory suggests that meaning is produced by language. Based on the presentation of the representation of the United States in the animation ?????????/Millioner/The Millionaire it is known that the animation has a role as a propaganda tool for the Soviet Union to criticize US imperialism and shape public opinion towards a more negative depiction of America. The United States is portrayed as a country of antagonistic, capitalist, industrialist, careless, and greedy bourgeoisie."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>