Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167534 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pratiwi Setiawati
"Pandji Masjarakat adalah sebuah majalah Islam yang berhaluan modernis. Majalah ini diasuh oleh tokoh-tokoh Muhaminadiyah dan Masyumi, dan diprakarsai oleh seseorang yang dikenal sebagai sastrawan dan pemikir Islam, H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka. Pada 1959, ia bersama teman-temannya menerbitkan Pandji Masjarakat sebagai upaya dakwah dan penyebaran Islam. Yang menjadi konsentrasi bagi majalah ini adalah bidang pengetahuan dan modernisasi Islam. Saat perjalanan Pandji Masjarakat memasuki tahun kedua, situasi politik Indonesia tengah mengalami sebuah peristiwa penting yang sampai sekarang terus tercatat dalam sejarah, yaitu berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin, Pandji Masjarakat yang memposisikan diri sebagai oposisi terhadap penguasa Orde Lama-Soekarno semakin terjepit, sejak Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan aturan ketat terhadap segala aktivitas individu maupun organisasi yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Sebagai imbas dari ketegangan politik yang terjadi, pemerintah menjadi semakin sensitif terhadap munculnya gejolak di masyarakat. Puncaknya adalah Pandji Masjarakat harus mengalami pembredelan, karena keterkaitan pengasuh majalah tersebut dengan Liga Demokrasi dan Masyumi. Di era Orde Baru, iklim semakin membaik bagi kebebasan media masa. Tekad pemerintah untuk memberantas komunisme dan seluruh organnya menjadi tambahan peluang bagi berkembangnya demokratisasi di Indonesia. Sejak saat itu, Pandji Masjarakat lebih leluasa menjalankan visi-misinya. Selama rentang 1966-1974 penelitian ini, Pandji Masjarakat menjadi majalah yang berusaha rnenyebarkan ide-ide pembaharuan Islam. Berusaha meluruskan tradisi yang salah dan membenahi penyimpangan-penyimpangan aqidah yang terjadi di masyarakat. Pandji Masjarakat mengajak memperbaharui cara pandang set,ap muslim terhadap agamanya, dan bukan memperbaharui agama itu sendiri. Perjuangan Pandji Masjarakat ini terlihat dari isinya, yang 75% mengulas tentang pelurusan aqidah Islam. Selain itu, Pandji Masjarakat juga keras dalam menyikapi pemikiran_pemikiran yang salah menafsirkan Islam. Di era Soeharto, hubungan antara Pandji Masjarakat dengan pemerintah membaik. Di satu sisi, pemerintah masih membutuhkan dukungan rakyat, sehingga tidak berani bertindak ceroboh yang dapat menyebabkan merosotnya dukungan tersebut. Di sisi lain, Pandji Masjarakat-seperti juga media rnassa lain merasa jasa Orde Baru sangat besar karena telah memberantas komunisme, sesuatu yang mengkhawatirkan banyak pihak. Hubungan baik ini terus berlangsung karena Pandji Masjarakat tidak lagi bersikap oposisi terhadap pemerintah, sebagaimana di era Orde Lama. Sikap kritis yang ditunjukkan Pandji Masjarakat hanya menyangkut beberapa hal yang dianggap serius berkaitan dengan umat Islam, seperti isu tentang Parmusi. Hal-hal yang menjadi perhatian Pandji Masjarakat di era 70-an beralih kepada berkembangnya arus aliran kebatinan dan kristenisasi. Hal ini berlangsung sampai dengan berakhirnya studi ini. Di tahun 1974, Pandji Masjarakat mengubah motto majalahnya menjadi penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk dakwah dan pembangunan umat. Perubahan ini dimaksudkan agar majalah ini lebih baik keikutsertaannya dalam pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Prasetyo
"Pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an, sastra Indonesia erat kaitannya dengan pengaruh kontestasi politik masa itu. Berbagai organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan partai atau kelompok politik tertentu bermunculan. Organisasi kebudayaan atau kelompok tertentu ini memiliki media massa (koran atau majalah) tersendiri sebagai bentuk aspirasi budaya dan politiknya. Tidak jarang, media massa tersebut juga memuat karya sastra yang memiliki suara yang sama dengan organisasi afiliasi dari media tersebut. Tidak terkecuali media (majalah) Islam pada masa itu, seperti Pandji Masjarakat dan Gema Islam. Pandji Masjarakat dan Gema Islam merupakan media yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, MASJUMI, dan HSBI. Majalah ini turut menerbitkan karya sastra, khususnya puisi, yang memiliki orientasi yang sama dengan visi majalah dan afiliasinya. Puisi dalam kedua majalah tersebut merupakan karya yang sangat menonjol dan mewakili suara majalah. Dalam puisi-puisi tersebut, terlihat kecenderungan yang menarik dalam merespons pemerintahan Soekarno sebelum dan setelah 1965, dengan cara merepresentasikannya. Oleh karena itu, tesis ini akan melihat kecenderungan representasi Soekarno dalam kedua majalah tersebut, sebelum dan setelah 1965. Untuk menelaah representasi Soekarno dalam puisi-puisi tersebut, digunakan konsep representasi sebagai pijakan analisis. Dalam penelaahan representasi Soekarno dan makna di balik representasi Soekarno tersebut, akan digunakan teori puisi dan pendekatan sosiologi sastra. Dari penelaahan tersebut, diketahui bahwa sebelum 1965 Soekarno direpresentasi secara ambivalen (baik dan buruk), sedangkan setelah 1965 Soekarno direpresentasikan sebagai pemimpin negara yang buruk. Perepresentasian tersebut erat kaitannya dengan kepentingan dan sikap politis majalah dan afiliasinya di tengah kondisi social-politik zaman.

In the late 1950s and early 1960s, Indonesian literature was closely related to the influence of political contestation of the time. Cultural organizations affiliated with specific political parties or groups emerged. This particular cultural or group organization has its own mass media (newspaper or magazine) as a form of its cultural and political aspirations. Not infrequently, the mass media also contains literary works that have the same voice as the affiliate organizations of the media. No exception to the media (magazine) Islam at that time, such as Pandji Masjarakat and Gema Islam. Pandji Masjarakat and Gema Islam is a media affiliated with Muhammadiyah, MASJUMI, and HSBI. It also publishes literary works, especially poetry, which have the same orientation as the vision of magazines and affiliates. Poetry in both magazines is a very prominent work and represents the magazine's voice. In these poems, there is an interesting tendency in responding to the Soekarno government before and after 1965, by representing it. Therefore, this thesis will see the tendency of Soekarno's representation in both magazines, before and after 1965. To examine Sukarno's representation in these poems, the concept of representation is used as an analytical footing. In the review of Soekarno's representation and the meaning behind Soekarno's representation, the poetic theory and the sociology literature approach will be used. From the review, it is known that before 1965 Soekarno was ambivalently represented (good and bad), whereas after 1965 Sukarno was represented as a bad country leader. The representation is closely related to the interests and political attitudes of magazines and affiliates in the midst of social-political conditions of the time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T52055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Letriana Cesaria
"Sastra Melayu Tionghoa adalah karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1950-an, kebanyakan karya mereka dimuat dalam tiga majalah yaitu Star Weekly, Liberal, dan Pantjawarna. Penelitian ini melihat bagaimana nilai konfusianisme memengaruhi identitas Tionghoa Indonesia melalui teks dalam majalah tahun 1950-an. Tahun 1950-an awal merupakan tahun-tahun ketika Indonesia sudah mendapatkan kedaulatannya sebagai bangsa, tetapi Indonesia pada saat itu baru mulai untuk hidup bernegara. Pencarian identitas sebagaimana disebutkan tersebut menyebabkan konsep Indonesia pun dibangun dengan mendapatkan ̳masukan‘ dari berbagai hal yang ada di luar. Hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya berbagai bentuk dan berbagai hal yang berbeda dari apa yang ada sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang di antaranya adalah nilai-nilai dalam sebuah keluarga, mengingat keluarga adalah bentuk terkecil dan bentuk inti masyarakat. Penelitian ini secara khusus menumpukan perhatian pada karya cerpen yang dibahas dalam majalah-majalah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan deskriptif dengan menggunakan sumber data dari majalah Star Weekly, Liberal, dan Pantjawarna tahun 1950—1959. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majalah Star Weekly, Pantjawarna, dan Liberal menjadi wahana untuk mempertahankan identitas ketionghoaan. Bentuk-bentuk pemertahanan identitas dapat dilihat dari 6 aspek yaitu nama diri, tradisi/adat, pendidikan, keagamaan, nilai bakti, dan status ekonomi. Nama diri, nilai bakti, dan status ekonomi merupakan tiga aspek yang paling banyak ditemukan dalam 11 cerpen tersebut.

Chinese Malay literature is a literary work produced by authors of Chinese descent in Indonesia. In the 1950s, most of their works were published in three magazines, namely Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna. This study looks at how Confucian values influence Indonesian Chinese identity through texts in magazines in the 1950s. The early 1950s were the years when Indonesia had gained its sovereignty as a nation, but at that time Indonesia was just starting to live as a state. The search for identity as mentioned above causes the concept of Indonesia to be built by getting 'input' from various things outside. This of course will result in various forms and various things that are different from what existed before, including social values which include values in a family, considering that the family is the smallest form and the core form of society. This research focuses specifically on the short stories discussed in these magazines. The method used is a qualitative and descriptive method using data sources from the magazines Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna 1950-1959. The results showed that Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna magazines became vehicles to maintain Chinese identity. The forms of identity defense can be seen from 6 aspects, namely self-name, tradition/custom. education, religion, devotional value, and economic status. Names, values of devotion, and economic status are the three most common aspects found in the 11 short stories."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
"ABSTRAK
Peristiwa krisis nasional yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 merupakan salah satu Iembaran kelam dalam sejarah Indonesia. Oleh pemerintah Orde Baru, lembaran kelam tersebut dikenal dengan Peristiwa G30S/PKI, mengapa demikian? Karena Pemerintahan Soeharto yang mewakili bagian dari Angkatan Darat (AD) yang pada waktu itu 1960-1965 merupakan musuh politik dari Partai Komunis Indonesia yang justru mengalami masa puncaknya dan berhasil membuat Presiden Soekarno memuji PKI sebagai kekuatan revolusi anti neokolonialisme yang didengung-dengungkan Soekarno. Pihak AD sebagai musuh politik PKI dan pada akhirnya juga menjadikan Soekarno sebagai target yang harus diganti karena dianggap terlalu melindungi PKI. PKI sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Cina, PKI memiliki basis massa yang cukup besar di Indonesia.
Peristiwa Krisis Nasional 1965 menempatkan PKI dan juga pendukungnya sebagai pihak yang kemudian mengalami penghancuran baik oleh pihak aparat keamanan yang mendukung pihak AD dan juga dari musuh-musuh politik PKI di kalangan organisasi Islam yang selama tahun 1960-an mengalami penggayangan oleh PKI. Akibatnya banyak anggota dan simpatisan PKI yang terbunuh dalam konflik vertikal dan horizontal tersebut.
Peristiwa tersebut kemudian dijadikan oleh para sastrawan Indonesia yang mengalami sendiri jaman itu menuliskannya secara imajinatif dalam tulisan cerita-cerita pendek mereka yang dimuat dalam majalah Sastra dan Horizon antara tahun 1966-1974. Dengan demikian peristiwa­-peristiwa kemanusiaan yang muncul sebagai akibat peristiwa krisis nasional 1965 dijadikan sebagai latarbelakang dalam penulisan karya kreatif mereka. Dengan caranya sendiri mereka para sastrawan tersebut membuat jalinan kisah-kisah kemanusiaan yang kadang dapat dibaca sebagai 'kenyataan' yang membuat para pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan dan kemanusiaan terkait dengan lembaran kelam yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
Untuk melihat bagaimana hubungan peristiwa Sejarah seperti krisis nasional pada 1965 dikaitkan dengan penciptaan karya sastra, dalam hal ini adalah penciptaan karya pendek maka perlu disampaikan pandangan seorang Sejarawan dalam melihat hubungan sastra dan sejarah. Menurut Prof. Dr. Taufik Abdulllah, sangat penting melihat hubungan timbal balik diantara keduanya. Karena banyak sejarawan atau sastrawan yang melupakan aspek-aspek bahwa karya sastra tidak hanya sebagai pengungkapan dirinya (an sich), tetapi karya sastra juga merupakan hasil dari masanya atau jamannya. Seperti halnya periode balai Pustaka tahun 1920-an, periode Pujangga baru tahun 1930-an, Angkatan '45, "Angkatan '66" dan seterusnya. Banyak dari para penulis sastra Indonesia modern yang melihat rentetan peristiwa tersebut hanya mewakili peristiwa sastra dan belum dilihat dalam kaitan timbal baliknya dengan seluruh situasi sejarah. Hal ini berarti bahwa sebuah karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya apabila dipisahkan dengan lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya, karena pada dasarnya setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural dan ini berarti karya sastra bukanlah gejala yang berdiri sendiri. ("Sastra dan Ilmu Sejarah di Indonesia", Budaya Jaya, No. 102, Nopember 1976, hal. 653)"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Faisal
"Skripsi ini membahas persoalan kritik sosial dalam sejumlah cerpen rubrik Lentera dalam surat kabar Bintang Timur pada tahun 1960-an. Persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pertentangan ideologi politik yang terjadi pada paruh awal dasawarsa 1960-an. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra.
Hasil penelitian membuktikan bahwa kritik sosial dalam sejumlah cerpen Lentera erat kaitannya dengan propaganda politik PKI pada tahun 1960-an. Kritik sosial tersebut dilatarbelakangi kedekatan pengarang cerpen Lentera dengan PKI/Lekra.

This undergraduate thesis discusses the issue of social criticism in a number of short stories in the rubric Lentera of Bintang Timur newspaper in the 1960s. These issues cannot be separated from the political ideological conflict which occurred in the early half of the 1960s. This research was conducted with qualitative methods and the sociology of literature approach.
Research shows that social criticism in a number of short stories published in Lentera closely related to political propaganda of PKI in the 1960s. That social criticism motivated by the proximity of the authors of the short stories in Lentera with PKI/Lekra.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57583
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Sukma Nugraha
"Di dalam kesusastraan Mesir, dua sastrawan periode modern, Yusuf As-Sibai dan Taufiq Al-Hakim menciptakan karya-karya kontroversial. Dalam novelnya, Nâ’ib ‘Izrâ’îl, As-Sibai menjadikan Malaikat Izrail sebagai tokoh utama dengan konflik utamanya berupa kesalahan Izrail dalam mencabut nyawa manusia sehingga menimbulkan berbagai masalah di akhirat. Adapun Al-Hakim menulis beberapa karya, seperti drama Asy-Syaithân Fî Khuthr, cerpen Asy-Syahîd, dan cerpen Imra’ah Ghalabat Asy-Syaithân yang menghadirkan setan yang berbeda dari konvensi keagamaan, misalnya setan cinta damai, setan ingin bertobat, dan setan yang merasa jengkel karena dikelabui oleh seorang perempuan.
Kontradiksi antara penggambaran setan dan malaikat dalam karya-karya tersebut dengan konvensi keagamaan sehingga menimbulkan kontroversi menjadi masalah penelitian yang diangkat dalam penelitian ini. Cara As-Sibai dan Al-Hakim yang menyingkirkan hierarki sosial dan konvensi keagamaan dalam karya-karya mereka tersebut sejalan dengan konsep carnivalesque yang digagas Mikhail Bakhtin. Carnivalesque merupakan suatu cara yang menangguhkan segala macam aturan dan hierarki sosial dalam kehidupan riil.
Carnivalesque yang ditampilkan dalam korpus menjadi strategi naratif As-Sibai dan Al-Hakim untuk menyuarakan ideologi mereka terkait wacana sosial politik Mesir masa monarki (1922-1956). Dalam konteks latar belakang setiap korpus, wacana tersebut terkait erat dengan kondisi sosial politik Mesir yang menyebabkan para sastrawan perlu memilih strategi khusus untuk menyampaikan kritik. Di antara kondisi yang dikritik adalah otoritarianisme raja dan pemerintah Mesir, diamnya para kelompok intelektual Mesir, dan masifnya kampanye nasionalisme yang disuarakan masyarakat Mesir.
Pada akhirnya, As-Sibai dan Al-Hakim menggunakan carnivalesque sebagai strategi naratif untuk menyuarakan wacana sosial politik Mesir pada era monarki. Keduanya menggunakan tokoh setan dan malaikat yang digambarkan secara kontradiktif dengan konvensi agama Islam. Hal itu menunjukkan bahwa represifnya monarki dan pemerintah Mesir pada saat itu, termasuk kepada sastrawan, dapat disiasati dengan teknik naratif bernuansa agama meskipun menghadirkan kontroversi bagi masyarakat Islamis dan pemuka agama. Selain itu, hal tersebut menunjukkan bahwa kedua pengarang memiliki pandangan keagamaan Islam yang progresif yang memandang estetika sastra adalah sesuatu yang terpisah dari pemikiran keagamaan.

In Egyptian literature, two writers of the modern period, Yusuf As-Sibai and Taufiq Al-Hakim, created controversial works. In his novel, Nâ'ib 'Izrâ'îl, As-Sibai makes the Angel of Izrail the main character, with the main conflict being Izrail's mistake in taking human life to cause various problems in the afterlife. Al-Hakim wrote several works, such as the play Ash-Shaithn Fî Khuthr, the short story Ash-Shahîd, and the short story Imra'ah Ghalabat Ash-Shaithân which presented demons that were different from religious conventions, such as the peace-loving demon, the devil wanting to repent, and the devil who felt annoyed because a woman deceived him.
The contradiction between the depiction of demons and angels in these works and religious conventions that caused controversy became a research problem raised in this study. The way As-Sibai and Al-Hakim got rid of social hierarchy and religious conventions in their works was in line with the carnivalesque concept initiated by Mikhail Bakhtin. Carnivalesque is a way of suspending all kinds of rules and social hierarchies in real life.
The carnivalesque featured in the corpus became the narrative strategy of As-Sibai and Al-Hakim to voice their ideology regarding the socio-political discourse of Egypt during the monarchy (1922-1956). In the context of the background of each corpus, the discourse is closely related to Egypt's socio-political conditions, which causes literati to choose a specific strategy to convey criticism. Among the conditions criticized were the authoritarianism of the Egyptian king and government, the silence of Egyptian intellectual groups, and the massive campaign of nationalism voiced by the Egyptian people.
Ultimately, As-Sibai and Al-Hakim used carnivalesque as a narrative strategy to voice Egypt's socio-political discourse during the monarchy era. Both use demonic and angelic figures depicted in contradiction to Islamic religious conventions. It shows that the repression of the Egyptian monarchy and government at that time, including literature, can be circumvented with religiously nuanced narrative techniques despite presenting controversy for the Islamist community and religious leaders. Moreover, it shows that both authors have a progressive Islamic religious view that views literary aesthetics as separate from religious thought.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yuanda Zara
"This study examines previously unexplored visual representations of the natural world published in Pandji Masjarakat magazine in 1960. Known at the time as the most popular Islamic magazine in Indonesia, this publication not only discussed Islamic teachings as hitherto understood, but also provided ample space for the publication of drawings, paintings, and photographs of the natural world. This study argues that the visualizations of the natural world in Pandji Masjarakat were aimed at providing its Muslim readers all over Indonesia and in the wider Malay world with guidance on how to see the natural world and people’s place in it in proper perspective, namely beautiful nature is Allah’s creation and people are welcome to use it taking full responsibility and expressing proper gratitude for it. This study sheds light on the changing attitude of Muslims to the portrayal of living things by presenting how progressive Muslims represented the natural world visually amid the throes of the rapid physical development in increasingly modernized Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
909 UI-WACANA 23:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raden Mas Ngabei Poerbatjaraka
Djakarta: Gunung Agung, 1968
899.221 POE t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sayekti
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa , 1998
899.232 SRI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>