Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felicia Mayasaphira Hakim
"Krisis Suriah tidak hanya melahirkan perpecahan secara domestik, tapi juga di tataran komunitas internasional. Ketika Amerika Serikat bersama dengan aliansinya menjadi pendukung utama pergerakan oposisi dalam menurunkan rezim Bashar al-Assad, Rusia justru berada di posisi yang berlawanan dengan mayoritas negara-negara di dunia.
Tujuan utama dari skripsi ini adalah memaparkan proses konstruksi dalam pembentukan kebijakan luar negeri Rusia di Suriah. Dengan meneliti proses konstruksi tersebut, skripsi ini mencoba untuk menemukan hubungan yang sebelumnya tidak terlihat antara norma dan identitas yang dipegang Rusia dengan kebijakan di dalam kasus Suriah.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keputusan Rusia untuk melindungi rezim al-Assad dikonstruksi oleh (1) struktur lingkungan dan aktor yang berada disekitar; (2) persepsi diri sebagai global power dan adanya keinginan untuk mendapat pengakuan dari pihak lain; dan (3) adanya kepentingan untuk melindungi negara eks-Soviet dengan mayoritas Muslim dari risiko kemunculan Islamic renaissance.

The Syrian crisis has not only torn the domestic society into pieces, but also the international community. United States and its allies are the main supporters of opposition movement in toppling Bashar al-Assad regime, while Russia stands on the opposite of the majority.
The primary aim of the thesis is to provide the constructive process within the formation of Russian foreign policy in Syria. By exploring the constructive process, the thesis seeks to uncover the unseen relations between Russia‟s norms and identity with its policy in Syria.
The results show that Russia's decision to defend al-Assad regime is constructed by (1) the structure of environment and actors surround the conflict; (2) self-perception as global power and how to get the recognition from others; and (3) an interest to protect the Muslim-majority ex-Soviet countries from the risk of Islamic renaissance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Maya Saphira
"Krisis Suriah tidak hanya melahirkan perpecahan secara domestik, tapi juga di tataran komunitas internasional. Ketika Amerika Serikat bersama dengan aliansinya menjadi pendukung utama pergerakan oposisi dalam menurunkan rezim Bashar al-Assad, Rusia justru berada di posisi yang berlawanan dengan mayoritas negara-negara di dunia. Tujuan utama dari skripsi ini adalah memaparkan proses konstruksi dalam pembentukan kebijakan luar negeri Rusia di Suriah. Dengan meneliti proses konstruksi tersebut, skripsi ini mencoba untuk menemukan hubungan yang sebelumnya tidak terlihat antara norma dan identitas yang dipegang Rusia dengan kebijakan di dalam kasus Suriah. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keputusan Rusia untuk melindungi rezim al-Assad dikonstruksi oleh (1) struktur lingkungan dan aktor yang berada disekitar; (2) persepsi diri sebagai global power dan adanya keinginan untuk mendapat pengakuan dari pihak lain; dan (3) adanya kepentingan untuk melindungi negara eks-Soviet dengan mayoritas Muslim dari risiko kemunculan Islamic renaissance.

The Syrian crisis has not only torn the domestic society into pieces, but also the international community. United States and its allies are the main supporters of opposition movement in toppling Bashar al-Assad regime, while Russia stands on the opposite of the majority. The primary aim of the thesis is to provide the constructive process within the formation of Russian foreign policy in Syria. By exploring the constructive process, the thesis seeks to uncover the unseen relations between Russia‟s norms and identity with its policy in Syria. The results show that Russia‟s decision to defend al-Assad regime is constructed by (1) the structure of environment and actors surround the conflict; (2) self-perception as global power and how to get the recognition from others; and (3) an interest to protect the Muslim-majority ex-Soviet countries from the risk of Islamic renaissance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Akbar Anshari
"Dalam benua Afrika pada wilayah Sahel tengah, yang mencakup negara-negara Burkina Faso, Mali, dan Niger. Terdapat tantangan besar pada wilayah Sahel adalah konflik bersenjata, ketidakamanan ekonomi, dan dampak buruk dari perubahan iklim adalah beberapa tantangan terbesar yang mempengaruhi kawasan ini. Negara-negara G5 Sahel yang terdiri dari, Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger telah menghadapi sejumlah besar tantangan yang kompleks, termasuk meningkatnya ancaman ekstremisme yang pada berujung kekerasan. Permasalahan mengenai terorisme yang akan menjadi fokus pada penelitian ini ialah pada permasalahan terorisme di wilayah Sahel dan sekarang mempengaruhi negara-negara yang sebelumnya terhindar meskipun strategi operasional nasional dan internasional diperbarui dan implementasi hukum humaniter dalam memberikan perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata organisasi G5 Sahel melawan terorisme skala regional. Penelitian ini bersifat normatif yang memiliki fokus pada peran organisasi regional yang bersifat militeristik dalam menangani masalah terorisme di wilayahnya serta pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan penduduk sipil dalam situasi konflik bersenjata yang dimana kelompok bersenjata non-negara yang menguasai wilayah tersebut. Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi pustaka. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, dan dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan.

Within the African continent in the central Sahel region, which includes the countries of Burkina Faso, Mali and Niger. There are major challenges in the Sahel region as armed conflict, economic insecurity and the adverse impacts of climate change are some of the biggest challenges affecting the region. The G5 Sahel countries consisting of Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania and Niger have faced a number of complex challenges, including the growing threat of violent extremism. The problem regarding terrorism that will be the focus of this research is on the problem of terrorism in the Sahel region and now affects countries that were previously spared even though national and international operational strategies were updated and the implementation of humanitarian law in providing protection to civilians in the armed conflict of the G5 Sahel organization against regional terrorism. This research is normative which focuses on the role of militaristic regional organizations in dealing with the problem of terrorism in their territory and the implementation of the principles of protecting the civilian population in situations of armed conflict where non-state armed groups control the area. The analysis in this study uses a literature study data collection method. Literature study is a data collection method that is directed at searching for data and information through documents, both written documents and electronic documents that can support the writing process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Arif Wicaksono
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan masalah distinction principle dalam hukum humaniter internasional, berikut perkembangan dan kedudukannya serta penerapannya dalam dua bentuk konflik bersenjata yang terjadi, yakni konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan studi kasus atas perkara Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) dan perkara Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL). Dalam dua kasus tersebut, masing-masing pihak tergugat dituntut telah melakukan pelanggaran terhadap distinction principle, yaitu tindakan kekerasan dengan tujuan menyebarkan teror kepada penduduk sipil. Metode pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Pada akhirnya, skripsi ini berusaha menganalisis pentingnya perlindungan terhadap penduduk sipil saat konflik bersenjata terjadi dan bahwa segala bentuk serangan atau ancaman yang dilakukan terhadap penduduk sipil merupakan pelanggaran terhadap distinction principle karena tidak dilakukan pembedaan antara combatant dan penduduk sipil.

This thesis studies the provisions of distinction principle in international humanitarian law, including its development, influence, and application in the two forms of armed conflict, namely international and non-international armed conflict. The analysis will be conducted with regard to the case of Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) and Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL). On the two mentioned cases the accused are charged with a violation of distinction principle by acts of violence which is purposed in spreading terror to civilian populations. Qualitative approach is used to gather resources in writing this thesis. In conclusion, this thesis attempts to underline the importance of protection of civilians in armed conflict and any form of violence that harm civilians is considered a violation of distinction principle since it shows no distinction made between combatant and civilians.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S53011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brianna Ruth Audrey
"Konflik bersenjata adalah salah satu titik perubahan terpenting yang dapat ditemukan sepanjang sejarah umat manusia. Berbeda dengan konflik bersenjata di masa lalu yang bersifat simetris antar-negara, konflik bersenjata modern kini memiliki karakter yang lebih asimetris, mengikutsertakan aktor internasional non-negara, dan condong terhadap isu identitas. Terlepas dari transisi bentuk konflik tersebut, properti budaya selalu hadir dalam perang besar sehingga menandakan bahwa benda-benda bersejarah ini memiliki peran penting dalam konflik. Publikasi Konvensi Den Haag UNESCO 1954 juga mengkatalisasi rezim perlindungan properti budaya internasional yang kini terus menjadi bagian dari wacana perang modern. Dengan menganalisis 77 dokumen yang diakui Scopus menggunakan software VosViewer, paparan ini mengelompokkan empat tema inti yang ditemukan dalam perkembangan kajian Properti Budaya dalam Konflik Bersenjata menggunakan metode taksonomi. Tema-tema inti tersebut adalah (1) definisi properti budaya lintas budaya; (2) peran dan makna properti budaya dalam konflik bersenjata; (3) norma properti budaya dan etika perang lintas zaman, dan (4) tanggapan aktor internasional. Studi ini menunjukkan bahwa properti budaya sungguh memiliki nilai dan peran berlapis dalam konflik bersenjata, dan bahwa perlindungannya sangat penting di hadapan hak asasi manusia. Sayangnya, perbincangan tentang properti budaya dari masa kolonial, serta tulisan-tulisan dari negara jajahan dan source countries, masih tertutup oleh akademisi Barat. Terlepas dari semua terobosan signifikan dalam hukum properti budaya internasional, masih terdapat banyak hal yang dapat dikembangkan oleh rezim ini dalam menanggapi konflik bersenjata modern dan aktor-aktornya yang relevan. Penting bagi wacana ini untuk berkembang secara mandiri di luar kasus-kasus konflik bersenjata empiris.

Armed conflicts are one of society’s most defining points that can be found throughout history. Different with conflicts in the past that were more symmetric in nature and fought between nations, modern armed conflicts are now more asymmetric manner with the addition of non-state international actors and issues regarding identity. Despite this change, cultural property seems to always be present in big wars, hence signalling that these historical objects play an essential role in conflicts. The publication of UNESCO's 1954 Convention of Den Haag also catalysed the international cultural property protection regime that is now constantly part of the modern warfare discourse. By analysing 77 documents acknowledged by Scopus using a software called VosViewer, this exposé taxonomically identifies the four core themes found in the development of the Cultural Property in Armed Conflict study, namely: (1) the definition of cultural property crossculture; (2) the role and value of cultural property in armed conflicts; (3) cultural property norms and warfare ethics cross-periods, and (4) responses from international actors. This study shows that cultural property truly has multi-layered values and roles in armed conflicts, and that its protection is essential in the eyes of human rights. Unfortunately, conversations regarding cultural properties from the colonial eras, as well as writings from colonies and source countries, are still overshadowed by Western academicians. Despite all the significant breakthroughs in international cultural property law, there are still many ways that this regime can be further developed in responding to modern armed conflicts and their relevant actors. It is vital for this discourse to develop independently outside of the empirical armed conflict cases."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Nur Kamrullah
"ABSTRAK
Peran aktor non-negara di dalam politik dunia kontemporer semakin penting bagi dinamika politik global. Pasca peristiwa 9/11, perhatian para akademisi maupun praktisi dalam bidang studi-studi keamanan internasional tertuju pada aktor non-negara yang sering diklasifikasikan sebagai kelompok atau organisasi teroris. Karakter penggunaan kekerasan yang erat kaitannya dengan aktor ini membuat mereka dapat di klasifikasikan sebagai violent non-state actor VNSA . Tak dapat dipungkiri, bahwa aktor ini juga mampu berperan membentuk kebijakan keamanan aktor negara dan memprovokasi negara untuk berperang. Oleh karena itu, artikel ini akan menjadikan kasus keterlibatan Jabhat al Nusra; salah satu aktor non-negara yang berafiliasi dengan Al Qaeda; pada konflik sipil bersenjata di Suriah, sebagai salah satu fenomena yang menggambarkan peran dan pengaruh aktor non-negara yang berkekerasan dalam mempengaruhi sikap atau perilaku negara. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan faktor-faktor apa saja yang memungkinkan Jabhat al Nusra mampu menjadi aktor penting dalam pusaran konflik bersenjata di Suriah sehingga mempengaruhi dinamika kebijakan luar negeri aktor negara; khusunya intervensi Amerika Serikat dalam konflik tersebut. Artikel ini berargumen bahwa kondisi lingkungan kenegaraan di Suriah yang rentan fragile statehood dan karakter dari aktor non-negara itu sendiri yang memiliki potensi politik global global actorness , merupakkan faktor-faktor yang menjadikan Jabhat al Nusra mampu berkembang menjadi aktor yang utama di dalam jajaran pemberontak, sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap strategi Amerika Serikat mendukung gerakan oposisi terhadap pemerintahan Bashar al Assad di Suriah.

ABSTRACT
The role of non state actor in contemporary world politics is increasingly important. After 9 11, scholars of security study and security practitioners begin to concern about the non state actors which usually called as terrorist group or terrorist organization. The use of violence by those actors makes them can be classified as Violent Non state Actor VNSA . It cannot be denied that VNSAs activity can affect the state security policy and provoke state to war against them. Therefore, this paper will examine Jabhat al Nusra mdash as an actor with tied to Al Qaeda mdash involvement in the Syrian armed conflict, as a phenomenon that illustrates the role and influence of VNSA in affecting state behavior. This paper will try to show any factors that allow Jabhat al Nusra capabilities to be an important actor on the conflict dynamics. This paper argue that statehood condition in Syria mdash which is encourage the development of VNSA mdash and VNSA global politics potential character, were the factors that made Jabhat al Nusra can grow to be a main actor in the rebel ranks and affecting the United States policy to support the opposition in the Syrian armed conflict. "
2017
T49609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qonita Syahfitri Meizarini Zulkarnaini
"Skripsi ini membahas mengenai tinjauan hukum internasional atas konflik bersenjata, dengan studi kasus konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina. Piagam PBB melalui Pasal 2 ayat (4) mengatur bahwa seluruh negara dilarang untuk mengancam atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan negara lain atau dengan cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan dari PBB. Dalam hukum internasional larangan tersebut tidak bersifat mutlak dan dikecualikan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pada tanggal 24 Februari 2022, Presiden Rusia mengumumkan ‘special military operation’ di Ukraina dan memerintahkan pasukan militer Rusia untuk memasuki wilayah Ukraina. Tindakan yang dilakukan oleh Rusia telah melibatkan penggunaan kekuatan sebagaimana dilarang dalam Piagam PBB. Penggunaan kekuatan oleh Rusia dapat sah apabila tindakan tersebut sesuai dengan bentuk pengecualian atas larangan penggunaan kekuatan dalam hukum internasional. Dengan mengacu pada berbagai sumber hukum internasional, penelitian skripsi ini akan membahas bagaimana hukum internasional mengatur larangan penggunaan kekuatan, bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam kasus operasi militer khusus Rusia di Ukraina, serta bagaimana legalitas dari operasi militer khusus oleh Rusia di Ukraina menurut hukum internasional. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa penggunaan kekuatan oleh Rusia di Ukraina dalam bentuk operasi militer khusus tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional dan Rusia telah melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.

This thesis discusses the review of international law on armed conflict, with a case study of the armed conflict between Russia and Ukraine. The UN Charter through Article 2 paragraph (4) stipulates that all countries are prohibited from threatening or using force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations. Under international law, this prohibition is not absolute and is excluded in certain circumstances. On February 24, 2022, the President of Russia announced a ‘special military operation’ in Ukraine and ordered Russian military forces to enter Ukrainian territory. The actions taken by Russia have involved the use of force as prohibited in the UN Charter. The use of force by Russia can be legal if the action is in accordance with the exceptions to the prohibition on the use of force in international law. With reference to various sources of international law, this thesis research will discuss how international law regulates the prohibition of the use of force, how these rules are applied in the case of a special Russian military operation in Ukraine, and how the legality of a special military operation by Russia in Ukraine according to international law. Based on the normative legal research conducted, it was concluded that the use of force by Russia in Ukraine in the form of a special military operation was not in accordance with the provisions of international law and Russia had violated the provisions of Article 2 paragraph (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fajar
"Aplikasi drone di dalam konflik bersenjata merupakan hasil dari perkembangan teknologi militer modern, sekaligus perwujudan dari keinginan untuk menghindari korban jiwa kombatan maupun penduduk sipil. Secara fungsinya, drone tampil sebagai platform pengintaian dan platform serang. Legalitas dari penggunaan drone di medan pertempuran tersebut dapat ditelaah menggunakan Teori Perang Adil dan prinsip-prinsip dalam hukum humaniter internasional, baik dari keputusan untuk menggunakan drone sebagai alat militer maupun dari unsur-unsur yang ada pada diri drone. Aspek hukum drone juga dibahas dari sudut pandang praktik negara Amerika Serikat sebagai pihak utama yang mengembangkan teknologi drone militer dan mengoperasikan drone di dalam konflik bersenjata modern. Salah satu aplikasi drone di medan pertempuran dilakukan dalam bentuk operasi targeted killing, dimana drone secara aktif dioperasikan untuk memburu dan membunuh individu tertentu di medan pertempuran. Setidaknya sejak tahun 2002 Amerika Serikat, baik melalui angkatan bersenjata maupun lembaga intelijen CIA, telah mempraktikkan targeted killing dalam operasi kontraterorisme dalam kerangka "Perang Melawan Teror" di berbagai wilayah negara asing di Timur Tengah terhadap sejumlah aktor bukan negara seperti al-Qaeda, Taliban, dan ISIS. Israel juga diketahui telah mempraktikkan targeted killing dalam konteks kontraterorisme di wilayah Palestina terhadap teroris Hamas, utamanya di wilayah Jalur Gaza. Kedua negara menghadapi sejumlah persoalan hukum dalam menangani penggunaan drone dalam operasi targeted killing, baik hukum internasional maupun hukum domestik masing-masing.

The application of drones in armed conflict are the result of the advancement of modern military technology, as well as manifestation of the need to avoid casualties of both combatants as well as civilians on the battlefield. Function-wise, drones are used as intelligence, surveillance, and reconnaissance platform and as a more offensive-oriented, weapon platform. The lawfulness of drones on the battlefield can be studied through Just War Theory and the principles of international humanitarian law. State practice also play a role in deciding their lawfulness, for American practice in developing military drone technology and applying them in the battlefield. One of their application involved targeted killing, in which particular individuals were to be hunted down and killed. At least since 2002, American armed forces as well as the Central Intelligence Agency engaged in targeted killing operation against non-state actors in various states in the Middle East, i.e. al-Qaeda, Taliban, and ISIS. Meanwhile, Israeli forces are also known to use targeted killing as counterterrorism method against Hamas and other Palestinian terrorists in Palestinian territory. Both states faced legal issues regarding the decision to employ drone in targeted killing operation, both in international law as well as their respective domestic law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Kusumaswijaya
"Peran Qatar sebagai mediator regional merupakan langkah untuk menciptakan persona politik yang independen. Sebagai mediator, Qatar menunjukkan kebijakan politik luar negeri yang terbuka. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan hubungan diplomatik dengan aktor non-negara dan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Afghanistan. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk menelaah kebijakan luar negeri yang diimplementasikan Qatar dengan negara-negara maupun aktor non-negara yang terlibat dalam konflik Afghanistan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Qatar menjadi mediator dalam konflik Afghanistan guna memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan meningkatkan pengaruh maupun posisi di tingkat regional dan global. Berdasarkan teori realisme, dalam mencapai tujuannya Qatar melakukan mediasi konflik terhadap negara-negara yang berpotensi memberikan ancaman terhadap keamanan nasional, regional dan global. Dari penelitian juga terlihat bahwa Qatar sangat rasional dalam proses pengambilan kebijakan. Pengambilan kebijakan luar negeri tersebut mempertimbangkan manfaat, biaya dan keuntungan yang maksimal. Bentuk implementasi dari kebijakan luar negeri yang diambil Qatar tercermin di era Hamad bin Khalifa al Thani maupun Tamim bin Hamad Khalifa al Thani. Kedua tokoh tersebut menggunakan diplomasi dari sisi sosial, ekonomi dan politik, serta budaya dalam menghilangkan konflik di Afghanistan. Kebijakan luar negeri Qatar di bawah kepemimpinan Hamad bin Al Thani dan Tamim bin Hamad Al Thani telah membawa perubahan. Hal ini tentunya dilakukan untuk mengantisipasi potensi ancaman yang dapat mengganggu keamanan nasional dan instabilitas kawasan. 

Qatar's role as a regional mediator is a step towards creating an independent political persona. As a mediator, Qatar showing an open foreign policy. This is done to develop diplomatic relations with non-state actors and countries in the Middle East, including Afghanistan. This research is using a case study approach to examine the foreign policy implemented by Qatar with countries and non-state actors involved in the Afghanistan conflict. The results of this study indicate that Qatar became a mediator in the Afghanistan conflict in order to fight for their national interests and increase influence and position at the regional and global levels. Based on the theory of realism, in achieving its goals Qatar mediates conflicts against countries that have the potential to pose a threat to national, regional and global security. The research also shows that Qatar is very rational in the policy-making process. This foreign policy decision considers maximum benefits, costs and profits. The form of implementation of foreign policy adopted by Qatar is reflected in the era of Hamad bin Khalifa al Thani and Tamim bin Hamad Khalifa al Thani. The two figures used diplomacy from a social, economic and political perspective, as well as culture in eliminating conflict in Afghanistan. Qatar's foreign policy under the leadership of Hamad bin Al Thani and Tamim bin Hamad Al Thani has brought about a change. This is done to anticipate all potential threats that could disrupt national security and regional instability."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Azhar Zhafira
"Konfrontasi adalah peristiwa konflik bersenjata yang melibatkan Indonesia dan Malaysia pada 1963-1966. Konflik antar negara (interstate conflict) adalah konflik antara dua negara atau lebih dengan adanya persengketaan bersenjata. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu bentuk konflik antar negara, yakni konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konflik ini juga melibatkan beberapa negara lain, yakni Inggris, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang, Uni Soviet, dan Tiongkok. Peristiwa Konfrontasi terjadi akibat rencana pembentukan Federasi Malaysia dengan menggabungkan Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak yang kemudian mendapat penolakan dari Filipina dan Indonesia atas tuduhan usaha neo-kolonialisme oleh Inggris. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia berdasarkan 23 literatur yang telah penulis kumpulkan. Terdapat tiga tema utama yang penulis temukan, yakni tinjauan historis Konfrontasi Indonesia Malaysia, keterlibatan aktor eksternal dalam Konfrontasi Indonesia Malaysia, dan penggunaan propaganda dalam Konfrontasi Indonesia Malaysia. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk memaparkan konsensus, perdebatan dan kesenjangan dalam litarut mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Melalui tulisan ini, penulis menemukan adanya tren penyebaran literatur pada negara-negara yang terlibat dalam Konfrontasi, terutama Inggris dan Australia. Penulis juga menggarisbawahi kesenjangan minimnya penggunaan kerangka teori dalam literatur-literatur mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Konfrontasi was an armed conflict involving Indonesia and Malaysia in 1963-1966. Interstate conflict is a conflict between two or more countries with armed disputes. Konfrontasi Indonesia-Malaysia is a form of conflict between countries, namely the conflict between Indonesia and Malaysia. This conflict also involved several other countries, namely England, the United States, Australia, New Zealand, Japan, the Soviet Union and China. Konfrontasi occurred as a result of plans to form a Malaysian Federation by combining Malaya, Singapore, Sabah and Sarawak which received rejection from the Philippines and Indonesia due to accusations of Britain’s neo-colonialism. This article aims to review the development of literature regarding the Indonesia-Malaysia Confrontation based on 23 pieces of literature that the author has collected. There are three main themes that the author found, namely a historical overview of the Indonesia-Malaysia Confrontation, the involvement of external actors in the Indonesia-Malaysia Confrontation, and the use of propaganda in the Indonesia-Malaysia Confrontation. This literature review aims to explain the consensus, debate and gaps in the literature regarding Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Through this article, the author finds a trend in the distribution of literature in countries involved in the Konfrontasi, especially England and Australia. The author also highlights the gap in the minimal use of theoretical frameworks in the literature about Konfrontasi Indonesia-Malaysia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>