Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166754 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudhi Irviandi
"Para pakar ilmu hukum memberikan peristilahan berbeda-beda terhadap jaminan perorangan bagi kredit yang diterima oleh debitor dari kreditor dengan istilah "jaminan perorangan" yang berarti juga "penanggung hutang", "perjanjian jaminan" dan "penjaminan" atau "jaminan pribadi" (personal guarantee) sebagai terminologi untuk suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya seperti yang dimaksud dalam Pasal 1820 KUH Perdata.
Penelitian ini memilih fokus permasalahan tentang Peraturan Bank Indonesia terkait dengan pengendalian kredit bank terkait dengan tanggungjawab pemegang saham Perseroan Terbatas serta akibat hukum bagi pemegang saham pemberi Personal Guarantee. Metodanya menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menjadikan data skunder sebagai sumber utama yang dihubungkan dengan fakta pada data primer dengan tipe penelitian deskriptif explanatoir.
Disimpulkan, PBI No. 7/2/2005, PBI No. 8/2/2006 dan PBI No. 9/6/2007 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum guna mencegah macetnya penyaluran kredit bank dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Akibat hukum bagi pemegang saham yang memberikan jaminan pribadi adalah sebagai pemegang saham terbatas terhadap modal yang disertakannya tetapi pemberi jaminan dianggap sebagai pihak ketiga yang memberikan penanggungan terhadap kredit PT terhadap bank.

The expert in the law gives a different terminology depending on individual guarantees for credits received by the debtor from creditors with the term "personal assurance" which means also" for debts "," Security Agreement "and" guarantee "or" personal guarantee "(personal guarantee) as the term for an agreement by which a third party, in the debtor’s, thier agreement bind themselves to satisfy the debt, when the man himself does not fulfill as referred to in Article 1820 of the Civil Code.
This study chose to focus on issues related to the Bank Indonesia Regulation control of bank credit associated with the responsibility of the Company's shareholders as well as the legal consequences for Limited shareholders Personal Guarantee giver. Using the method makes research normative with secondary data as the primary source of which is connected with the facts on primary data with descriptive type explanatoir.
Concluded, PBI. 7/2/2005, PBI. 08.02.2006 and PBI. 09/06/2007 on Asset Quality of Commercial Banks in order to prevent the breakdown of bank loans in relation to the provisions of Article 3 paragraph (1) which states that shareholders are only responsible for payment of all shares and does not cover personal possessions. Legal consequences for shareholders who provide personal guarantees as a shareholder is limited to the inclusion of capital but the insurer considered as third parties who provide underwriting to credit to bank.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Sabela
"Tesis ini membahas mengenai perjanjian Jaminan Pribadi sebagai jaminan kredit bank yang dalam praktek perbankan lebih dikenal sebagai Personal Guarantee, adalah perjanjian penanggungan (borgtocth) antara kreditur dengan pihak ketiga. Jaminan pribadi merupakan janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur, apabila debitur cidera janji (wanprestasf) dikemudian hari (Pasal 1820 KUHPerdata). Jaminan pribadi yang diberikan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai penanggung/penjamin debitur dalam pelunasan hutang debitur merupakan salah satu alternatif sebagai iaminan kredit dan penyelesaian kredit macet pada bank manakala debitur cidera janji. Dalam tulisan ini dicoba untuk membahas, meneliti permasalahan - permasalahan upaya bank dalam menyelesaikan kredit macet yang menggunakan jaminan pribadi serta. Juga analisis atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.580/Pdt.G/2002 dan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.322/PDT/2003 untuk melakukan eksekusi jaminan pribadi apakah sudah tepat secara hukum. Metode penelitiannya adalah penelitian normatif melalui studi kepustakaan dengan menggunakan data sekunder, baik melalui studi dokumen maupun wawancara yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan dalam prakteknya eksekusi jaminan pribadi banyak kendala-kendala yang menyulitkan kreditur bank untuk melaksanakan eksekusi terhadap harta/ aset milik penjamin sehingga sering kali timbul masalah lain dalam pelaksanaan eksekusi terhadap penjamin pribadi, sehingga dalam perjanjian jaminan pribadi perlu dilakukan atau dibarengi dengan jaminan kebendaan atas harta/aset milik penanggung/penjamin sehingga kreditur bank dapat memperoleh kepastian hukum dalam meminta pertanggung jawaban penanggung / penjamin atas hutanghutang debitur. Namun demikian dalam pelaksanaan eksekusi Jaminan Pribadi tersebut tetap bergantung pada itikad baik penjamin.

This thesis specifically, discuss personal guarantee agreement as credit bank guarantee, with bank's effort in settling bad debt using personal agreement and execution Acton personal property/assets on bearer/guarantor. Personal guarantee in banking practice is an agreement of the bearer (borgtocth) between creditor with third party. Personal Guarantee is an agreement of capability of third party to fulfill debtor’s duty, if then debtor miss fulfill (wanprestasi). (np 1820 KUH Perdata). Personal Guarantee which is given by third party acts as guarantor to debtor in debt settlement considered as alternative credit guarantee and bad debt settlement to bank if debtor miss promised. The bearer agreement is accessories, in meaning always hooked with main agreement, so can be meaning no bearer without legal main debt. In personal guarantee agreement no personal property of debtor attached, what is attached is the capability of third party to settle debtor’s debt, so in personal guarantee agreement will apply terms as in common guarantee which is born by Law and given equal degree among creditors, as only concurrent. The survey method is normative by appendix studies using secondary data, by documents study and qualified analytic interviews. The result comply in practice execution on personal guarantee occurs obstacles that hustle bank creditors to execute assets/treasures of guarantor, so other problem occurs , therefore in personal guarantee agreement needs to be added property guarantee on assets/treasures of guarantor, then bank creditor have legal demanding guarantor responsibility debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T36957
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hadimba Regina Hosana
"Dalam memperoleh modal kerja untuk kegiatan usaha, perusahaan penyedia jasa tenaga kerja outsourcing, PT Hidup Anugerah Rejeki melakukan peminjaman melalui perjanjian kredit kepada PT Bank CIMB Niaga, Tbk. Kredit diberikan sesuai dengan Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dengan jaminan berupa invoice yaitu tagihan atas nama dengan nominal tertentu. Invoice merupakan bagian dari benda yang dapat diikat dengan pembebanan jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 4 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Terhadap jaminan invoice perlu diperhatikan mengenai kedudukannya dalam proses pengikatan jaminan dan asumsi dilakukan eksekusi dalam hal terjadi wanprestasi.

In obtaining working capital for business, outsourcing provider company, PT Hidup Anugerah Rejeki borrows through a credit agreement with PT Bank CIMB Niaga Tbk. Loans granted in accordance with Article 6 point b of Law Number 10 Year 1998 about Banking bail invoice form the bill on behalf of a particular nominal. Invoice is part of the object that is bound to the imposition of fiduciary due o the provisions of Article 1 paragraph 4 jo. Article 9 of Law No. 42 Year 1999 about Fiduciary. The guarantee of invoices need to be considered regarding its position in the binding process execution guarantees and assumptions made in the event of default."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Felix
"ABSTRAK
Dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas kredit
pemilikan rumah antara pengembang dengan bank biasanya
selalu diatur mengenai klausul Buy Back Guarantee, yang
merupakan jaminan dari pengembang kepada bank untuk membeli
kembali rumah yang dibeli konsumen dari pengembang yang
merupakan agunan kredit pemilikan rumah di bank, selama
sertipikat atas rumah dimaksud belum selesai dibalik nama
ke atas nama konsumen dan belum dipasang hak tanggungan.
Pengaturan dan pelaksanaan Buy Back Guarantee antara
pengembang dengan bank dilakukan dengan penandatanganan
akta subrogasi tanpa melibatkan dan diinformasikan kepada
konsumen. Konsumen menolak Buy Back Guarantee karena merasa
dirugikan, di mana harga yang dikeluarkan oleh pengembang
kepada bank tidak sepadan dengan harga rumah yang sudah
dibeli dari pengembang. Pada akhirnya penolakan dari
konsumen tersebut menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaan eksekusi pengosongan dan penjualan atas rumah
yang diajukan pengembang. Permasalahan yang timbul tersebut
adalah merupakan dampak atau akibat dari pelaksanaan Buy
Back Guarantee dalam perjanjian kredit pemilikan rumah."
2003
T36955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kefin Luthfan Fariz
"Pembangunan infrastruktur segala bidang sedang masifnya dilakukan di negara Republik Indonesia, salah satunya di bidang telekomunikasi. Dikarenakan kondisi geografis negara Republik Indonesia, teknologi di bidang telekomunikasi yang paling memungkinkan adalah satelit. Guna untuk memenuhi kebutuhan satelit nasional, perusahaan operator satelit membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam proyek pengadaan satelit. Bisnis satelit juga memerlukan pembiayaan dari perbankan. Maka dari itu, dalam pembiayaan proyek pengadaan satelit tentunya bank selaku kreditur akan meminta satelit tersebut menjadi objek jaminan. Satelit termasuk ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda bergerak. Oleh karena itu, jenis jaminan yang dapat dibebani pada objek satelit adalah jaminan fidusia. Bank selaku kreditur perlu mencermati eksekusi objek jaminan fidusia atas satelit karena perizinan operasional satelit yang cukup kompleks. Perizinan operasional satelit tersebut adalah izin Hak Penggunaan Filing (“HPF”) agar satelit dapat menempati slot orbit di ruang angkasa. Berdasarkan Pasal 32 Permenkominfo No. 21 Tahun 2014 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Untuk Dinas Satelit Dan Orbit Satelit, disebutkan bahwa perusahaan operator satelit dilarang mengalihkan izin HPF. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Jenis data yang akan digunakan penulis adalah data sekunder. Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode analisa data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tetap dimungkinkan bagi kreditur untuk dapat melakukan eksekusi objek jaminan fidusia atas satelit dengan cara penjualan bawah tangan sepanjang calon pihak pembeli dapat memenuhi ketentuan Perizinan Operasional Satelit dan Perizinan Perusahaan Operator Satelit. Dalam pembiayaan untuk proyek pengadaan satelit, mekanisme pemberian kredit yang diterapkan oleh kreditur dengan cara sindikasi kredit. Selain itu, yang membuat bank selaku kreditur bersedia untuk menerima satelit sebagai objek jaminan fidusia adalah karena dalam pengikatan jaminan atas satelit tersebut terdapat dokumen-dokumen jaminan antara kreditur dengan debitur yang berkaitan dengan slot orbit dan aspek-aspek komersial.

Infrastructure development in all fields is being massively carried out in the Republic of Indonesia, one of which is in the telecommunications sector. Due to the geographical conditions of the Republic of Indonesia, the most feasible technology in the telecommunications sector is satellite. In order to meet the needs of national satellites, satellite operator companies require quite high costs in satellite procurement projects. The satellite business also requires financing from banks. Therefore, in financing the satellite procurement project, of course, the bank as the creditor will ask for the satellite to be the object of security. Satellites are included in the classification of tangible objects and moving objects. Therefore, the type of security that can be imposed on a satellite object is a fiducia security. Banks as creditors need to pay close attention to the execution of fiducia security objects on satellites because satellite operational licensing is quite complex. The operational license for the satellite is a Filing Right of Use (“HPF”) license so that the satellite can occupy an orbital slot in space. Based on Article 32 of Regulation of Minister of Communication and Informatics No. 21 of 2014 concerning the Use of Radio Frequency Spectrum for the Satellite Service and Satellite Orbit, it is stated that satellite operator companies are prohibited from transferring HPF licenses. This research is descriptive analytical. The type of data that will be used by the author is secondary data. The author in this study used qualitative data analysis methods. The results of the study indicate that it is still possible for creditors to be able to execute objects of fiduciary guarantees on satellites by means of underhand sales as long as the prospective buyer can fulfill the provisions of the Satellite Operational Licensing and Satellite Operator Company Licensing. In financing for the satellite procurement project, the financing mechanism implemented by creditors by means of loan syndication. In addition, what makes banks as creditors willing to accept satellites as objects of fiducia security is because in the binding of security for the satellites there are security documents between creditors and debtors related to orbital slots and commercial aspects."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Rista Q.
"Peran aktif lembaga perbankan menyalurkan dana masyarakat (kredit) sangat dibutuhkan dalam upaya memacu partisipasi sektor swasta menopang pertumbuhan ekonomi negara, Namun karena adanya paket peraturan likuiditas bank dari otoritas moneter, maka bankbank harus bekerja sama membentuk sindikasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan sejumlah besardana usaha. Sehubungan dengan hal itu, UU Perbankan 1992 antara lain menegaskan larangan bagi bank untuk member! kredit kepada siapapun yang tidak diyakininya mampu dan sanggup melunasi pada waktu yang diperjanjikan. Meskipun keyakinan bank dalam menyalurkan kredit tidak lagi semata-mata ditolokukurkan pada aspek jaminan, tetapi dalam praktik aspek ini masih cukup dominan pengaruh dan peranannya. Bahkan dalam kredit sindikasi, aspek jaminan sering disyaratkan secara luas oleh kreditur, mencakup jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (personal guarantee atau borghtoch). Hal ini dimaksudkan bank-bank pada umumnya untuk membentuk keyakinan yang lebih hakiki, selain tentunya untuk lebih memantapkan proteksi atas kepentingan bank di dalam pelaksanaan perjanjian kredit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memahami tentang: (a) pengaturan jaminan perorangan dalam hukum perdata dan kredit sindikasi, (b) pihak-pihak yang dapat menjadi penjamin kredit sindikasi dan syarat-syaratnya, dan (c) praktik jaminan perorangan dalam kredit sindikasi di Indonesia. Untuk meneliti objek permasalahan digunakan metode normatif dengan pengungkapan masalah secara deskriptif-analltis berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dari studi kepustakaan dan studi lapangan. Seluruh data diolah dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian dan analisis masalah diketahui bahwa: (a) orang dapat menjadi pen jamin perorangan dalam kredit sindikasi jika memenuhi syarat yuridis, sosiologis, ekonomis dan teritorial; (b) konsekuensi yuridis dari sifat asesoir perjanjian jaminan adalah pada diri penjamin hanya melekat unsur kewajiban setelah debitur wanprestasi; (c) kedudukan hukum dari penjamin dan kreditur dalam praktik kredit sindikasi senantiasa tidak setara; (d) syarat kausa halai perjanjian menurut ketentuan pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata wajib dipenuhi kreditur dan debitur sebelum petjanjian dibuat dan atau ditandatangani hingga perjanjian itu berakhir; (e) hanya lead manager (bank agen) dalam kredit sindikasi bentuk umum yang dimungkinkan untuk mengeksekusi kekayaan penjamin apabila debitur wan prestasi; serta (f) praktik peradilan bidang perdata di Indonesia relatif kurang mellndungi hak-hak atau kepentingan kreditur kredit (sindikasi) dengan jaminan (perorangan) dalam pelaksanaan eksekusi atas kekayaan penjamin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20675
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fajrianto Rahmansyah
"Kredit macet merupakan salah satu masalah yang masih terjadi dalam sektor jasa keuangan, terutama perbankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan informasi perkreditan nasabah debitur untuk mengenal calon nasabah terlebih dahulu dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan jasa kredit. Penyediaan informasi perkreditan di Indonesia sendiri dalam praktiknya dilakukan oleh OJK sebagai pemerintah dan LPIP sebagai swasta. Adapun kegiatan pertukaran informasi perkreditan melalui LPIP rentan terhadap penyalahgunaan, oleh karena itu penelitian ini membahas mengenai perlindungan terhadap nasabah perbankan dalam kegiatan tersebut. Penulisan ini mengkhususkan pembahasan untuk mencari tahu bagaimana pengaturan perlindungan nasabah perbankan dalam kegiatan pertukaran informasi perkreditan melalui LPIP, serta bagaimana implementasi kewajiban perlindungan informasi perkreditan nasabah perbankan oleh PT. Pefindo Biro Kredit sebagai LPIP menurut peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif-evaluatif. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pertama, pengaturan perlindungan nasabah perbankan dalam kegiatan pertukaran infomasi perkreditan melalui LPIP tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, dengan pengaturan utama terdapat di dalam Pasal 32 UU Bank Indonesia yang kemudian diatur lebih lanjut dalam POJK No. 42/POJK.03/2019 tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan yang kemudian mengacu kepada ketentuan perundangan informasi dan transaksi elektronik, kemudian dalam Undang-Undang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bentuk perlindungan yang diatur berupa kewajiban, larangan, kebolehan, serta sanksi bagi LPIP dalam melakukan pengelolaan terhadap informasi perkreditan. Kewajiban LPIP tersebut terkait dengan pengelolaan data, meliputi serta kegiatan lainnya. Kedua, PT. Pefindo Biro Kredit sebagai LPIP telah memenuhi kewajibannya terkait perlindungan informasi perkreditan menurut peraturan perundang-undangan.

Non-performing loan is one of the problems that still occur in the financial services sector, especially banking sector. One thing that can be done to prevent that problem is by using debtor credit information to know more about the customers and apply the precautionary principle in providing credit services. The provision of credit information in Indonesia itself in practice is carried out by the OJK as government representative and the LPIP as the private sector. The activity of credit information exchange through LPIP is vulnerable to abuse, therefore this study discusses about the protection of banking customers in that exchange. This thesis focuses on finding out how the regulation of banking customer protection are held in credit information exchange activities through LPIP, and how the implementation of banking customer credit information protection obligations by PT. Pefindo Credit Bureau as LPIP according to statutory regulations. This study uses normative juridical approach with descriptive evaluative research methods. The conclusions of this study are first, the regulations of banking customer protection in credit information exchange activities through the LPIP are scattered in several laws and regulations, with the main regulation contained in Article 32 UU Bank Indonesia and further regulated in POJK No. 42/POJK.03/2019 about Credit Information Management Institutions which then refers to the statutory regulations about information and electronic transactions, then in the Banking Law as amended by Law No. 10 of 1998, and Consumer Protection Law No. 8 of 1999. The protection that is regulated are in the form of obligations, prohibitions, permissions, and sanctions for LPIP in managing credit information. The LPIP obligations are related to data management, including the collection, processing and distribution of data, as well as other activities. Second, PT. Pefindo Credit Bureau as LPIP has fulfilled its obligations related to the protection of credit information according to statutory regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Anisaa
"Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Dalam perjanjian penangungan utang terdapat tiga definisi, yaitu kreditor, debitor, dan pihak ketiga. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitor kepada kreditor, pada saat debitor tidak memenuhi prestasinya. Perjanjian penanggungan tidak dapat melebihi perikatanperikatan dalam perjanjian pokok. Pelepasan hak-hak istimewa yang ada dalam perjanjian penanggungan kerap menjadi dasar kreditor untuk mengajukan permohonan pailit terhadap guarantor. Seorang personal guarantor yang telah melepaskan hak-hak isitimewanya secara tegas dan syarat kepailitan telah terpenuhi, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap guarantor, baik secara bersama-sama dengan debitor maupun tanpa menyertakan debitor di pengadilan niaga. Pelepasan hak istimewa inilah yang merugikan personal guarantor.

Guaranty statements are regulated in Article no. 1820 ? 1850 of Indonesian Civil Code. There are three parties involved in a guaranty statement: the creditor, the debtor, and the third party. The third Party has a role of being the personal guarantor in case that the debtor failed to fulfill its obligation (breach of contract). The guarantor has the privileges. If the priviliges has been released by the guarantor and the requirements for bankruptcy petition have been fulfilled, the creditor can sue the guarantor simultaneously with, or exclude the debtor to be declared bankrupt in the commercial court. Personal guarantor can have an inflicted loss because his privilege relinquishment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syadhillah Anzana Hazairin
"ABSTRACT
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas kredit yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk membeli rumah, dengan Jaminan Hak Tanggungan di tanah dan bangunan yang dibeli. Namun, dalam jual beli rumah tanah dan bangunan masih dalam proses penyelesaian sertipikat serta pembangunan, sehingga belum dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Disetujui, bank tidak dapat memberikan fasilitas kredit kepada konsumen tersebut. Di sisi lain, pihak pengembang membutuhkan dana dari konsumen untuk melanjutkan proses pembangunan. Untuk mengatasi risiko kredit, pihak pengembang dan bank pun melakukan kerjasama mengenai pemberian jaminan pembelian kembali
oleh pengembang. Akan tetapi, ketentuan tentang ketentuan garansi pembelian kembali sebagai Jaminan belum disetujui di Indonesia. Maka dari itu, skripsi ini membahas tentang kedudukan lembaga jaminan pembelian kembali ditinjau dari hukum Jaminan, yang disetujui dengan perjanjian jual beli rumah inden dengan fasilitas KPR antara PT. X, Y, dan Bank Z. Metode penelitian pada skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga membeli kembali jaminan muncul karena adanya kebutuhan praktik penjaminan di lembaga perbankan untuk mengisi kekosongan hukum. Jaminan pembelian kembali lembaga tidak dapat dikonfirmasi
menyetujui baik sebagai Jaminan kebendaan, atau Jaminan perorangan
Diharapkan telah diakui dalam hukum Jaminan. Meskipun demikian, beli kembali jaminan diterima tetap sebagai alternatif lembaga penjaminan.
Membeli kembali jaminan sebagai alternatif penjaminan.

ABSTRACT
Home Ownership Credit (KPR) is a credit facility that can be used by the community to buy a house, with a Mortgage Guarantee on the land and building purchased. However, in the sale and purchase of land and buildings the house is still in the process of completing the certificate and development, so it cannot be encumbered with Mortgage Rights. Approved, banks cannot provide credit facilities to these consumers. On the other hand, the developer requires funds from consumers to continue the development process. To overcome the credit risk, the developer and the bank also collaborated on providing repurchase guarantees
by the developer. However, the provisions regarding the conditions of the repurchase guarantee as a Guarantee have not yet been approved in Indonesia. Therefore, this thesis discusses the position of repurchase guarantee institutions in terms of the Collateral law, which is agreed to with the indent sale and purchase agreement with KPR facilities between PT. X, Y, and Bank Z. The research method in this thesis is juridical-normative research, and uses library materials such as primary, secondary and tertiary legal materials. The results of the study showed that institutions to repurchase guarantees arose because of the need for guarantee practices in banking institutions to fill legal vacuum. Agency repurchase guarantees cannot be confirmed
agree either as a material guarantee, or an individual guarantee
Expected to be recognized in the Guaranteed law. Nevertheless, the repurchase guarantee is accepted as an alternative guarantee institution.
Buy back guarantees as an alternative guarantee.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chekky Kurniasari Dewi
"Pada Pelaksanaan Penyaluran Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah dapat terjadi Permasalahan. Ketika terjadi permasalahan tersebut, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui eksekusi jaminan. Melalui penelitian yang bersifat yurudis normatif, dapat diketahui bahwa Bank Syariah selain dapat melakukan eksekusi jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dapat pula membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela dari pemilik agunan dan agunan yang dibeli oleh Bank Syariah tersebut wajib dicairkan dalam waktu 1 (satu) tahun atau yang dikenal dengan Agunan Yang Diambil Alih.

In the implementation of cost distribution of Islamic Banking, could be having problem. When the problem is happened, the solution could be taken is guarantee execution. Based on the normative juridical research, it can be understand that Islamic Bank could conduct the guarantee execution that under regulation of Law Number 4 Year 1996 about Mortgage and Law Number 42 Year 1999 about Guarantee of Fiduciary, but also this Islamic Bank could buy a part or the entire bond with or without auction, based on the free given from the guarantee owner and the guarantee that is already bought by the Islamic Bank have to pay in the period time of 1 (one) year that called the over taken guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29241
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>