Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186967 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widio Wize Ananda Zen
"Skripsi ini membahas kebijakan sosial kedua negara di masa krisis ekonomi melalui studi perbandingan yang terjadi di Finlandia tahun 1990-1993 dan Indonesia tahun 1997-1998. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yang menggunakan metode kualitatif melalui studi dokumen. Penelitian menggunakan konsep boom-bust cycle, teori Negara Kesejahteraan, konsep kebijakan sosial, dan kebijakan sebagai politik (policy as politics). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan sosial yang diterapkan Finlandia pada masa krisis ekonomi lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia. Hasil ini didasarkan pada kebijakan sosial Finlandia yang mampu memberikan respon dengan baik terhadap dampak krisis yang terjadi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang negatif, pengangguran, dan tingkat kemiskinan yang meningkat. Keunggulan dari kebijakan sosial yang diterapkan Finlandia tidak terlepas dari perencanaan kebijakan yang lebih terkoordinasi dan implementasi Negara Kesejahteraan yang sudah mapan.

This thesis discusses about social policies between the two countries in the economic crisis by a comparative study that took place in Finland in 1990-1993 and Indonesia 1997-1998. This study is an explanatory research that used qualitative methods through the study of documents. The study uses boom-bust cycle concept, welfare state theory, social policy concept, and policy as politics. The implementation of Finland’s social policies during the economic crisis are more institutionalized than Indonesia. Finland social policies were able to respond the impacts of the crisis properly, such as negative economic growth, unemployment, and rising poverty levels. The advantages of social policies applied in Finland cannot be separated from the established of the welfare state implementation and a well coordinated policy planning"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brammeswara Habib Prasetya
"Skripsi ini berisi tentang strategi kebijakan tata kelola modal asing Indonesia dan Tiongkok dalam pemulihan ekonomi setelah krisis di tahun 1997-1998 hingga 2012. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana strategi kebijakan tata kelola investasi asing Indonesia dan Tiongkok dalam pemulihan ekonomi pasca krisis tahun 1997-1998 hingga 2012. Penelitian ini adalah eksplanatif yang menggunakan metode kualitatif. Pendekatan menggunakan ekonomi-politik Keynesian, teori otonomi relatif negara (Bob Jessop), dan konsep makroekonomi dan mikroekonomi.
Hasilnya ialah posisi dan peran modal asing mengalami pasang-surut dalam kontribusi terhadap pemulihan dan pembangunan ekonomi di kedua negara. Lalu, karakteristik Indonesia lebih mengarahkan modal asing di sektor ekstraktif sedangkan Tiongkok lebih mengarahkan modal asing untuk masuk sektor manufaktur dan pengembangan teknologi. Hasil penelitian skripsi menunjukkan Tiongkok berdasarkan indikator makroekonomi lebih berhasil mengelola modal asing dibandingkan Indonesia. Namun berdasarkan indikator mikroekonomi, kedua negara tersebut masih mengalami masalah dalam tata kelola modal asing yakni meningkatnya kesenjangan kekayaan serta masalah kerusakan lingkungan.

This thesis examines policy strategies to govern foreign capital of the Republic of Indonesia in comparison with that of the People Republic of China (PRC) during economy recovery after crisis in 1997-1998 until 2012. Problems studied in this thesis are how the two states govern foreign investment during economic recovery between 1997-1998 and 2012. This research is an explanatory research using qualitative methods. This research employs Keynesian political economy approach, the theory of the relative autonomy of the state (Bob Jessop), and the concept of macroeconomics and microeconomics in explaining both state’s foreign capital governance.
The study finds that position and role of foreign capital have ups and downs in contributing to economic recovery and development in both countries. Indonesia emphasized more on direct foreign investment in the extractive sector, while China more on manufacturing sector and investment on high technology. In the end, based on macroeconomic indicators, China is more successful in managing foreign capital than Indonesia. However, based on microeconomic indicators, both countries are still experiencing problems in governing foreign capital in order to reduce economic gap and cope with environmental degradation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55187
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhifa Ayudhia
"ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peran Bank Dunia dalam perkembangan sektor perlindungan sosial di Indonesia dengan menggunakan kerangka berpikir neo-gramscianism yang dikemukakan oleh Robert Cox. Tulisan ini mengkategorikan perkembangan sistem perlindungan sosial di Indonesia ke dalam lima periode, yaitu i periode sebelum Krisis Finansial Asia 1997, ii periode diperkenalkannya program Jaring Pengaman Sosial JPS tahun 1997-2001, iii periode transisi program temporer menjadi program reguler terinstitusionalisasi tahun 2002-2004, iv periode pembentukan sistem jaminan sosial nasional tahun 2005-2011, dan v periode pengintegrasian institusi jaminan sosial tahun 2012 hingga saat ini. Dari hasil analisis yang dilakukan, tulisan ini berkesimpulan bahwa terdapat peranan Bank Dunia yang penting di dalam proses perkembangan program perlindungan sosial di Indonesia ditinjau dari sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pendanaan. Tulisan ini berargumen bahwa keterlibatan aktif Bank Dunia tersebut merupakan manifestasi dari fungsi Bank Dunia sebagai organisasi internasional untuk melanggengkan hegemoni norma neoliberalisme. Pada akhirnya, tulisan ini menyimpulkan bahwa agenda untuk mengembangkan sistem perlindungan sosial merupakan suatu langkah yang harus ditempuh Bank Dunia untuk melanggengkan sistem hegemoni neoliberalisme yang ada.

ABSTRAK
This paper aims to analyze the role of the World Bank in the development of social protection policy in Indonesia using the neo gramscianism framework proposed by Robert Cox. This paper categorized the development of social protection system in Indonesia into five periods, namely i i the period before the 1997 Asian Financial Crisis, ii the introduction period of the Social Safety Net SSN 1997 2001, iii temporary transitional program period into an institutionalized program 2002 2004, iv the period of establishment of the national social security system in 2005 2011, v the period of integration of social security institutions in 2012 to the present. The result of the analysis concludes that, there is an important role of the Bank in the development process of social protection programmes in Indonesia, in terms of planning, implementation, supervision, and funding. This research argues that the World Bank rsquo s active involvement is a form of manifestation of the World Bank rsquo s function as an international organization to perpetuate the hegemony of neoliberalism values. Ultimately, this research concludes that the World Bank as the manifestation of the existing system of neoliberal hegemony in which the agenda to develop social protection system is an essential step to take to perpetuate the current system."
2017
S68675
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Khairi Ahmad
Jakarta : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1993,
R 610.711 Uni l
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mohammad Riezky Pahlevi
"ABSTRAK
Pada tahun 1997, terjadi krisis finansial / moneter di negara-negara di kawasan Asia. Krisis finansial / moneter yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah fenomena domino effect, yang menjalar dari suatu negara ke negara lain hingga hampir melanda semua negara di Kawasan Asia. Untuk mencegah krisis ini, Pemerintah Indonesia kemudian meminta bantuan IMF. Dalam pemberian pinjamannya, IMF memiliki sejumlah syarat yang harus dijalankan oleh negara yang menerima pinjaman. Penetapan persyaratan tertentu bagi negara yang bersangkutan ini dikenal sebagai kondisionalitas. Persyaratan ini termuat dalam dokumen yang disebut Letter Of Intent (LoI), diantaranya tentang penutupan 16 bank. LoI ini tertuang di LoI tanggal 31 Oktober 1997, LoI tentang penutupan 16 Bank di tahun 1997. Tesis ini menjelaskan tentang bagaimana adanya keterlibatan IMF terhadap likuidasi 16 bank di tahun 1997, yang di dalamnya ada kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Selain itu ada juga yang namanya bantuan ekonomi dari IMF yang dinamakan SAP (Structural Adjustment Program). Sementara itu, hipotesa dari penelitian ini adalah langkah penutupan 16 bank justru memperburuk kondisi perekonomian Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah deskriptif. Dalam menganalisis kerangka pemikiran yang digunakan adalah pluralisme dan liberalisme. Penutupan / likuidasi 16 bank ini menimbulkan dampaknya kepada masyarakat yaitu penarikan dana besar-besaran dari bank yang disimpan oleh masyarakat dan menimbulkan suatu efek kepanikan di masyarakat. Selain itu adanya permasalahan BLBI yang makin menambah kondisi peekonomian Indonesia tidak stabil. Pada akhirnya, tesis ini memberikan kesimpulan adanya keterlibatan IMF dalam memberikan bantuan dananya untuk pemulihan perekonomian Indonesia, ternyata membawa dampak yang buruk dan negatif bagi pemulihan perekonomian Indonesia.

ABSTRAK
In 1997, financial crisis occur in Regional Asia. Monetary/financial crisis which occur in Indonesia was a domino effect phenomenon, which was taking place from one country to another until near all Asian Countries. To prevent this crisis, The Indonesia Government afterwards asking assistance / aid IMF. In gift a loan, IMF possess as much as condition / prerequirement that must be followed by the government. Decision prerequirement certain for that country is known as conditionality. This prerequirement was including in the document called Letter Of Intent (LoI) which was consist of closing 16 banks. This Letter Of Intent (LoI) was including on LoI October 31, 1997, Letter Of Intent above closing 16 banks in 1997. This thesis explain above how see involment IMF front liquidation in 1997, that inside there is liberalization, deregulation and privatization. Another that, see that economic assistance / aid from IMF in the name is SAP (Structura Adjustment Program). While this, the hypothesis apply in this research is : Stride closing 16 Bank exactly / make worse condition Indonesian Economy.
Research method use in this thesis is descriptive. In analyze the thinking process, they are Pluralism And Liberalism. Closing / liquidation this cause impact to society that is draw large fund for bank store because of society and cause a certain panic effect in society. Another that there is problem BLBI which increasingly add to condition Indonesian Economy not stable. In conclusion, this thesis summarized is there is involvement IMF on take assistance / aid fund for recovery Indonesian economy apparently involve impact which worn out and negative for recovery Indonesian Economy.
"
2007
T22906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, A. Prabu S.M.
"Dalam teori diketahui bahwa besar money supply dibentuk dari besar monetary base dan nilai money multiplier, di mana nilai money multiplier disusun dari nilai currency ratio dan reserve ratio. Perubahan monetary base, perubahan currency ratio, dan perubahan reserve ratio dapat membuat perubahan pada money supply. Mengetahui bahwa M1 dan M2 di Indonesia meningkat selama krisis 1997-1998, maka fokus penelitian ini adalah untuk mencari tahu perubahan pada variabel manakah (di antara ketiga variabel tersebut) yang menjadi sumber terbesar peningkatan M1 dan M2 di Indonesia selama krisis. Mengikuti model perhitungan matematika yang pernah dipakai Friedman dan Schwartz (1963) dan Stauffer (2006) ketika meneliti kasus Great Depression di Amerika Serikat, penulis mendapatkan jawaban bahwa perubahan monetary base di Indonesia selama krisis 1997-1998 merupakan penyebab terbesar peningkatan M1 dan M2 saat itu. Hasil ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan di literatur-literatur.

It is theoretically known that money supply is made from monetary base and its money multiplier process, where money multiplier is composed by currency ratio and reserve ratio. The change of monetary base, currency ratio, and reserve ratio therefore could make the change in money supply. Knowing that M1 and M2 in Indonesia is increasing during 1997-1998 crisis, then this research aim to find out which one of those three factors that becomes the biggest source of change of M1 and M2 in Indonesia during that crisis. By applying mathematical equation models used by Friedman and Schwartz (1963) and Stauffer (2006) in analyzing Great Depression in United States, the author found that the change of monetary base in Indonesia during 1997-1998 crisis has become the biggest source of increasing M1 and M2 in that period. This result is consistent with the statements in other literatures."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S46177
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ratih Ummi Rosyadi
"Skripsi ini membahas tentang respon negara tetangga yang terkena dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Pada penelitian sebelumnya, banyaknya kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada masa Orde Baru disebabkan oleh pengelolaan hutan yang mengedepankan pembangunan ekonomi. Untuk kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997-1998 hanya dijelaskan mengenai dampak berupa kerugian ekonomi dan ekologis. Sementara dalam penelitian ini, akan berfokus pada dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997-1998 berupa pencemaran kabut asap lintas batas mengganggu aktivitas negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura. Hasil dari penelitian ini didapat bahwa permasalahan kebakaran hutan dan lahan Indonesia tahun 1997-1998 menjadi satu bencana nasional yang sulit dituntaskan oleh Indonesia sendiri. Singapura dan Malaysia sebagai negara tetangga yang terkena dampak dari kabut asap memberikan respon agar masalah ini dapat ditangani dalam skala regional, sehingga kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 menjadi salah satu awal mula kesadaran Asia Tenggara untuk menetapkan regulasi baru atas satu permasalahan pencemaran lingkungan lintas batas, khususnya pada pencemaran udara. Pada penulisan artikel ini, penulis menggunakan metode sejarah. Artikel ini menggunakan data yang diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen pemerintah, koran, buku, dan publikasi jurnal.

This paper discusses the response of neighboring countries affected by haze due to forest and land fires that occurred Indonesia in 1997-1998. In previous studies, the number of cases of forest and land fires that occurred during the New Order was caused by forest management which prioritized economic development. For forest and land fires 1997-1998 only explained the impact of economic and ecological losses. While in this study will focus on the impact of forest and land fires 1997-1998 in the form of cross-border smoke pollution disrupting the activities of neighboring countries, such as Singapore and Malaysia. The results of this study found that the problems of Indonesian forest and land fires in 1997-1998 became a national disaster that was difficult to solve by Indonesia itself. Singapore and Malaysia as neighboring countries affected by the haze responded to this problem in a regional scale, so that forest and land fires in 1997-1998 became one of the beginnings of Southeast Asian awareness to establish new regulations on a cross-environmental pollution problem, especially on air pollution. This article uses historical methods and data obtained through literature studies from newspapers, books, and journal publications. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adissa Saufika Weldyani
"Sebagai salah satu cabang dari industri hiburan yang berkembang dengan pesat, pertunjukan musik semakin marak diselenggarakan dengan banyak peminat. Saat membeli tiket, konsumen tentu memiliki harapan bahwa pertunjukan musik akan diselenggarakan dengan kualitas yang maksimal, berfasilitas layak, dan sesuai dengan yang telah dijanjikan sebelumnya. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan pertunjukan musik sering kali diwarnai dengan berbagai permasalahan mengenai kualitas, seperti buruknya sistem tata suara, penataan tempat duduk yang tidak sesuai, dan lain sebagainya. Penelitian ini dilaksanakan untuk menelaah lebih lanjut mengenai bagaimana pelindungan hukum yang diberikan terhadap ketidakpuasan konsumen atas kualitas penyelenggaraan pertunjukan musik, pertanggungjawaban pelaku usaha sebagai penyelenggara, serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, dengan merujuk langsung kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, sekaligus membandingkannya dengan peraturan-peraturan hukum yang ada dalam negara Finlandia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan tipe penelitian deskriptif analitis, hasil penelitian menunjukkan bahwa pelindungan hukum terhadap hak-hak konsumen saat pertunjukan musik berlangsung di Indonesia dalam praktiknya belum terlaksana dengan maksimal dan masih tergolong lemah. Atas kerugian yang dialaminya, konsumen pertunjukan musik dapat menempuh upaya hukum dengan jalur di luar pengadilan, melalui lembaga terkait yakni BPSK di Indonesia atau Consumer Disputes Board di Finlandia, maupun dengan jalur litigasi melalui pengadilan. Bentuk pertanggungjawaban yang diberikan oleh penyelenggara umumnya berupa pengembalian dana atau refund. Berbeda dengan lembaga penyelesaian sengketa Finlandia yang telah memiliki terobosan hukum dalam memberikan pelindungan secara lebih kepada konsumen pertunjukan musik terkait masalah kualitas, lemahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya dan kurangnya tanggung jawab dari penyelenggara pertunjukan musik menyebabkan banyak dari kasus-kasus buruknya kualitas pertunjukan musik di Indonesia belum berakhir dengan menguntungkan konsumen.

As a branch of the rapidly growing entertainment industry, live music performances are increasingly being held with many enthusiasts. When agreeing to buy tickets, consumers certainly have the expectation that music performances will be held with maximum quality, proper facilities, and most importantly–in accordance with what has been promised before. However, the reality shows that the implementation of live music performances is often marked by various quality problems, such as poor sound systems, unsuitable seating arrangements, and so on. This research was conducted to further examine how legal protection is provided against consumer dissatisfaction with the quality of live music performances, the responsibility of business actors as organizers, as well as legal remedies that can be taken by consumers who suffer losses, by referring directly to Law No. 8 of 1999 Concerning Consumer Protection in Indonesia, as well as comparing it with existing legal regulations in Finland. By using normative juridical research method and descriptive-analytical research type, the results of this research showed that practically, the legal protection of consumer rights on live music performances in Indonesia has not been implemented optimally and is still relatively weak. For the losses suffered, consumers of live music performances may legally pursue the organizers through related institutions outside the court, namely the BPSK in Indonesia or the Consumer Disputes Board in Finland, or by filing a lawsuit through the Court. The form of liability provided by the organizers is generally in the form of a refund. In contrast to the Finnish dispute resolution institution which has had a legal breakthrough in providing more protection to music performance consumers regarding quality issues, the weak awareness of consumers about their rights and the lack of responsibility of music show organizers have resulted in many cases of poor quality music performances in Indonesia not ending up benefiting consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Ramadhanya Elwinne Huzaima
"Keterwakilan perempuan di parlemen merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan kesetaraan gender di sebuah negara. Per pemilihan anggota parlemen 2019, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) baru mencapai 21.4%. Angka tersebut berada jauh di bawah Timor-Leste dan Finlandia yang masing-masing memiliki 40% dan 47% keterwakilan perempuan di parlemen nasionalnya. Dalam rangka meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen, terdapat sebuah konsep yang disebut dengan kuota pemilihan perempuan. Untuk itu, penelitian ini mencoba membandingkan bagaimana kuota pemilihan perempuan diatur di Indonesia, Timor-Leste, dan Finlandia. Selain itu, penelitian ini juga meninjau kondisi keterwakilan perempuan di parlemen ketiga negara. Tujuannya adalah untuk melihat faktor-faktor yang dimiliki oleh Timor-Leste dan Finlandia, namun tidak dimiliki oleh Indonesia, yang menyebabkan kedua negara tersebut mampu memiliki keterwakilan perempuan di parlemen yang mumpuni. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan wawancara dalam pengumpulan data. Kemudian, teori utama yang digunakan untuk analisis adalah Teori Keterwakilan yang dicetuskan oleh Hanna Pitkin, secara spesifik mengenai keterwakilan deskriptif dan substantif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi keterwakilan deskriptif, Indonesia kekurangan karena kuota pemilihan perempuan dalam bentuk nomor urut tidak berjalan dengan maksimal; serta partisipasi politik perempuan yang kurang, terutama karena partai politik di Indonesia tidak menerapkan party quotas. Sementara, dari segi keterwakilan substantif, Timor-Leste dan Finlandia sama-sama unggul disebabkan oleh berjalannya komunikasi dengan masyarakat sipil dan kuatnya peran kaukus perempuan parlemen. Dari sana, dirumuskan beberapa strategi dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI, yakni peningkatan partisipasi politik perempuan, pembenahan kuota pemilihan perempuan berupa nomor urut, pembukaan ruang komunikasi yang besar antara anggota parlemen perempuan dengan masyarakat sipil, dan penguatan peran kaukus perempuan parlemen di dalam DPR RI. Terakhir, strategi yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan edukasi politik terhadap perempuan di seluruh negeri.

Women’s representation in parliament is an important aspect in improving gender equality in a country. As of the 2019 parliamentary elections, women’s representation in the Parliament of the Republic of Indonesia (DPR RI) has only reached 21.4%. This figure is far below Timor-Leste and Finland, which respectively have 40% and 47% representation of women in their national parliaments. In order to increase the number of women’s representation in parliament, there is a concept called women's electoral quota. For this reason, this study attempts to compare how women’s electoral quotas are regulated in Indonesia, Timor-Leste and Finland. In addition, this study also reviews the condition of women’s representation in the parliaments of the three countries. The aim is to look at the factors that are owned by Timor-Leste and Finland, but not owned by Indonesia, which causes these two countries to be able to have adequate women’s representation in parliament. This research uses literature study and interview methods in collecting data. Then, the main theory used for analysis is the Representative Theory initiated by Hanna Pitkin, specifically regarding descriptive and substantive representation. The results of this study indicate that in terms of descriptive representation, Indonesia is lacking because the women’s electoral quota in the form of serial numbers does not work optimally; and women’s less political participation, especially because political parties in Indonesia do not apply party quotas. Meanwhile, in terms of substantive representation, Timor-Leste and Finland are both superior due to ongoing communication with civil society and the strong role of the women’s parliamentary caucus. From there, several strategies were formulated in the context of increasing women’s representation in the DPR RI, namely increasing women’s political participation, reforming women’s election quotas in the form of serial numbers, opening large communication spaces between women parliamentarians and civil society, and strengthening the role of women’s parliamentary caucus in DPR RI. Finally, an equally important strategy is to provide political education to women throughout the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>