Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149473 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pebriana Damaris
"Kejadian varises vena banyak terjadi pada profesi perawat. Salah satu faktor penyebabnya adalah akibat berdiri lama. Saat berdiri lama terjadi peningkatan tekanan vena dan disfungsi katup-katup vena yang dapat menimbulkan varises vena. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang melibatkan 92 perawat poliklinik sebagai responden. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang dimodifikasi dari kuesioner penelitian Tuchsen (2005) serta dilakukan pemeriksaan varises vena dengan Venous Clinical Severity Score (VCSS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70.7% responden menunjukkan aktivitas berdiri lama dan 72.8% responden mengalami varises vena. Hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan antara berdiri lama dengan kejadian varises vena dengan p value = 0.001 (OR= 9.051). Deteksi dini varises vena pada perawat perlu dilakukan untuk menekan peningkatan prevalensi varises vena.

Incidence of varicose veins often occurs on outpatient nurse. Prolonged standing at work is associated with a high prevalence of varicose veins. In the standing position, the venous and capillary pressures increases and damages function of venous valves can leads to incidence of varicose veins. This study was a cross-sectional study that used 92 outpatient nurses for the sample. The instrument of this research was a questionnaire modified from a Tuchsen’s questionnaire (2005) and lower extremity examination using Venous Clinical Severity Score (VCSS).
The result shows that 70.7% of respondents indicated a prolonged standing activity and 72.8% of respondents experienced varicose veins on the lower limbs. The results of chi-square test shows the relationship between prolonged standing and the incidence of varicose veins on the lower limbs with the p value = 0.001 (OR = 9,051). Early detection varicose veins on nurses needs to be done to decrease prevalence of varicose veins.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S57186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martio Elmidia Putri
"ABSTRAK
Latar Belakang
Penelitian ini membahas tentang hubungan antara posisi kerja berdiri dengan varises tungkai pada perawat perempuan. Kejadian varises tungkai diduga berkaitan dengan posisi kerja berdiri dan lebih sering terjadi pada perempuan (dalam populasi umumnya) serta berdampak cukup besar secara ekonomi pada perusahaan untuk pengobatan penyakit ini.
Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi varises tungki di kalangan perawat perempuan dan mengetahui hubungan antara posisi kerja berdiri dengan kejadian varises tungkai serta status demografi seperti umur, riwayat varises dalam keluarga, status gizi, penggunaan KB hormonal, jumlah anak dan lama kerja pada perawat perempuan di RS X.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode potong lintang. Data yang dikumpulkan pada bulan Maret-April 2016. Subyek penelitian 171 orang perawat perempuan di RS X yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi. Data dikumpulkan dengan wawancara, pemeriksaan fisik tungkai bawah dan observasi posisi kerja berdiri selama waktu bekerja.
Hasil
Prevalensi varises tungkai sebanyak 63,16%. Masa kerja (ORa=4,84 95%CI= 1,67-14,01), lokasi kerja (ORa=4,02 95%CI= 1,82-8,89) dan jumlah anak lebih dari satu (ORa=3,60 95%CI=1,13-11,43) merupakan faktor dominan terhadap kejadian varises tungkai.
Kesimpulan
Prevalensi varises tungkai pada perawat perempuan adalah 63,16%. Jumlah anak dan masa kerja menjadi faktor dominan terhadap kejadian varises tungkai. Bagi karyawan yang menderita varises tungkai disarankan melakukan modifikasi gaya hidup untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara melakukan elevasi tungkai pada saat beristirahat, mengurangi berat badan dengan diet tinggi serat dan olah raga teratur serta menghindari posisi berdiri statis yang terlalu lama. Pencegahan primer terhadap semua derajat varises dengan menggunakan stoking kompresi.

ABSTRACT
Background
This study discussed about correlation between standing work position and varicose veins in female nurses. Varicose veins was assumed to be associated with long standing work positions which risks in women are higher than men. Varicose veins also contributed in company budgeting for the treatment.
Purpose
Focus on this study was to know about prevalence of varicose veins in female nurses in hospital and correlation between standing work positions, ages, family history of varicose veins, nutrient, hormonal contraseptives, number of children, places of works and years of services.
Method
This study was held in one of hospital with design of study was cross sectional survey. Data were collected to 171 respondents from March to April 2016 which choosen by inclution criteria; by interviewed, leg physical examination and observation of standing work positions.
Result
There was 63,16% prevalence of varicose veins. Years of services (ORa=4,84 95%CI= 1,67-14,01), places of work (ORa=4,02 95%CI= 1,82-8,89) and has more than one children (ORa=3,60 95%CI=1,13-11,43) are dominant factors of varicose veins.
Conclusion
The prevalence of varicose veins in female nurses are 63,16%. Years of services, places of work and number of children are suggested to be dominant factors in varicose veins. Employees that have varicose veins are suggested to modified their life style to improved quality of life condition such as elevated leg at rest, reduce weight by consumpt high fiber diet, regularly exercise and avoid long standing position in long period. Primary prevention in all degree of varicose veins are using pressure stocking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Putra Asmoro
"Latar Belakang: Dalam diagnosis varises vena tungkai bawah (VVTB), venous clinical severity score (VCSS) merupakan alat bantu diagnosis VVTB yang praktis, cepat, dan dapat dikerjakan oleh semua tenaga kesehatan termasuk perawat. Hingga saat ini belum ada peneliti yang melakukan validasi eksterna penilaian VCSS yang dikerjakan oleh perawat di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui tingkat ketepatan metode skor VCSS oleh perawat dibandingkan dengan komponen klinis (C) klasifikasi clinical-etiology-anatomy-pathophysiology (CEAP) oleh dokter spesialis bedah vaskular.
Metode: Studi cross-sectional ini mengikutsertakan 63 orang perawat instalasi bedah pusat RS Dr. Cipto Mangunkusumo tanpa varises sebelum menjadi perawat sebagai sampel yang diambil secara consecutive Penilaian VCSS dilakukan dengan komponen klinis klasifikasi CEAP sebagai pembanding. Variabel dianalisis dengan uji Chi-square, dilanjutkan dengan uji nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), likelihood ratio dan akurasi skor diagnostik, termasuk analisis uji diagnostik menggunakan indeks Youden.
Hasil: Prevalensi VVTB pada studi ini berdasarkan skor VCSS adalah 9,5%. Korelasi antara klasifikasi CEAP dan VCSS ditemukan bermakna (p<0,05). Derajat VVTB antara klasifikasi CEAP dan VCSS berhubungan secara signifikan (p <0,05). Pada cut-offVCSS 2 didapatkan nilai sensitivitas 66,67%, spesifisitas 66,67 %, NDP 32,0%, NDN 89,47%, likelihood ratio (+) sebesar 2,00, likelihood ratio (-) sebesar 0,50, dan akurasi 66,67%.
Kesimpulan: Skor VCSS memiliki akurasi lemah terhadap komponen klinis (C) klasifikasi CEAP untuk menegakkan diagnosis VVTB.

Background: In the diagnosis of lower leg varicose veins (LLVV), the venous clinical severity score (VCSS) is practical, fast, and can be done by all health workers including nurses. Until now there has been no researcher who has conducted external validation of the VCSS assessment carried out by nurses in Indonesia.
Aim: To determine the accuracy of the VCSS scoring method by nurses compared to clinical component (C) of the clinical-etiology-anatomy-pathophysiology (CEAP) classification by vascular surgeons.
Method: This cross-sectional study included 63 nurses at the central surgical installation of Cipto Mangunkusumo Hospital without varicose veins before becoming a nurse as a consecutive sample. The VCSS assessment was carried out with the clinical component of CEAP classification as a comparison. Variables were analyzed by the Chi-square test. Followed by testing the value of sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), likelihood ratio, and accuracy of diagnostic scores, along with the ROC analysis using Youden Index.
Results and Discussion: The prevalence of LLVV in this study is 9,5%. Bivariate analysis of CEAP and VCSS has a significant correlation (p <0,05). The degree of LLVV with CEAP and VCSS is related significantly (p <0,05). With VCSS cut off at scores of 2, the sensitivity is 66.67%, the specificity is 66.67%, the PPV is 32,0%, the NPV is 89.47%, the positive and negative likelihood ratio are 2.00 and 0.50, and the accuracy value is 66.67%.
Conclusion: The VCSS score has weak level of accuracy against the clinical component (C)  of CEAP classification for diagnosing VVTB.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devvy Chaesya Amni Melakasi
"Industri manufaktur, termasuk industri sepatu, memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun seringkali pekerja perempuan di sektor ini menghadapi risiko kesehatan yang tinggi, termasuk risiko kejadian abortus spontan. Adapun kematian ibu di Indonesia juga masih didominasi oleh beberapa penyebab, termasuk abortus spontan. Postur kerja yang tidak ergonomis, seperti berdiri atau duduk lama, adalah salah satu faktor yang dapat memengaruhi kesehatan reproduksi pekerja buruh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara posisi kerja berdiri dan duduk lama dengan kejadian abortus spontan pada pekerja buruh di PT XY Kota Tangerang. Adapun metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan kuantitatif dengan desain cross sectional. Data primer menggunakan purposive random sampling diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh para pekerja buruh di PT XY, sedangkan data sekunder diperoleh dari poliklinik perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi berdiri dan duduk lama memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian abortus spontan pada pekerja buruh di PT XY Kota Tangerang. Oleh karena itu, perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor ini dalam upaya menjaga kesehatan reproduksi pekerjanya.

The manufacturing industry, including the footwear sector, plays a pivotal role in economic growth. However, female workers in this field often face elevated health risks, notably the threat of spontaneous abortion. Indonesia's maternal mortality rates are still predominantly driven by various factors, with spontaneous abortion being one of them. Among these factors, unergonomic work postures, such as prolonged standing or sitting, have a significant impact on the reproductive health of laborers. This study is aimed at examining the correlation between extended periods of standing and sitting during work and the incidence of spontaneous abortion among laborers at PT XY in Tangerang City. The research employs a quantitative approach with a cross-sectional design. Primary data was collected using purposive random sampling, involving questionnaires administered to laborers at PT XY, while secondary data was sourced from the company's polyclinic. The findings underscore the substantial influence of prolonged standing and sitting on the occurrence of spontaneous abortion among laborers at PT XY in Tangerang City. Consequently, companies must address these factors to protect the reproductive health of their employees."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lila Amaliah
"Setiap tahunnya, 585.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, dan hampir 99% dari kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Pada tahun 1995, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia di perkirakan sekitar 373 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan negara ASEAN.
Persalinan lama atau macet merupakan salah satu dari lima penyebab kematian ibu di negara berkembang. Berdasarkan hasil SKRT 1995, persalinan lama juga merupakan komplikasi persalinan yang paling sering dikeluhkan oleh ibu. Persalinan lama atau macet merupakan satu-satunya komplikasi persalinan yang mengakibatkan begitu banyak morbiditas kronis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penolong persalinan dengan kejadian persalinan lama, faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan lama dan untuk mengetahui informasi mengenai kebijakan dan program penatalaksanaan persalinan lama di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
Penelitian ini memadukan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan data Studi Morbiditas dan Mortalitas SKRT 1995 di Jawa Barat, sedangkan metode kualitatif menggunakan wawancara mendalam dan studi kasus di Kabupaten Tangerang.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa angka kejadian persalinan lama di Jawa Barat sebesar 6,4%. Analisis data multivariat menemukan bahwa penolong persalinan dan tempat tinggal berhubungan dengan persalinan lama. Ibu yang tinggal di desa berpeluang mengalami persalinan lama 2,7 kali dibandingkan ibu yang tinggal di kota setelah dikontrol variabel penolong persalinan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa asuhan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dapat menurunkan risiko komplikasi persalinan. Persalinan lama sering terlambat dirujuk karena dukun tidak mampu menilai kemajuan persalinan dan tidak mengetahui tanda-tanda atau penyebab ketika persalinan lama terjadi.
Program pencegahan persalinan lama harus ditujukan untuk meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, menyediakan kartu sehat bagi kelurga tidak mampu, memperbaiki sistem transportasi, menunda pernikahan melalui program wajib belajar sembilan tahun serta meningkatkan status gizi dan kondisi lingkungan anak perempuan sehingga mereka dapat mencapai tinggi badan yang optimal.

Relationship between Birth Attendant and the Occurance of Prolonged Labor in West JavaAt least 585,000 women die each year from the complications of pregnancy and childbirth, and almost 99% of these deaths occur in developing countries. In 1995, Maternal Mortality Ratio (MMR) in Indonesia is estimated 373 per 100,000 live births. This figure is relatively high when compares to ASEAN countries.
Prolonged or obstructed labor is one of the five major causes of maternal mortality in developing countries. Based on the 1995 Household Health Survey, prolonged labor is also the most common reported obstetric complication. No other complication of delivery is associated with as much chronic morbidity as prolonged or obstructed labor.
The purposes of this research are to examine the relations between birth attendant and prolonged labor, to examine factors that might affects the occurance of prolonged labor and to review the policies and programs on the management of prolonged labor at primary and referral health services.
This research combined quantitative and qualitative method. The quantitative method used the Maternal Morbidity and Mortality data from the 1995 Household Health Survey in West Java, and qualitative method used in-depth interview and case study in the District of Tangerang_The result showed that the prevalence of prolonged labor in West Java was 6.4%. The multivariate logistic regression analysis found that the birth attendant and the residence were associated with the occurance of prolonged labor. Women who lived in the rural area are 2.7 times as likely to experience prolonged labor than those who lived in the urban area, controlled by birth attendant.
This study revealed that delivery care by trained health care provider could reduce the risks of prolonged labor. Prolonged labour were often referred too late because the traditional birth attendant (TBA) could not be able to assess the progress of labor, they did not know the symptoms and the causes when prolonged labour occur.
Intervention programs should be directed to increase the coverage of delivery attended by trained health care provider, provide health card for poor family, improve transportation system, delay marriage until women have reached full physical maturity through compulsory universal education and improve nutrition status and living conditions for girls to prevent stunded growth.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husain Haikal
"Latar Belakang : Implantasi Alat Pacu Jantung Permanen APJP terusmengalami peningkatan. Kejadian Fibrilasi Atrium FA pada pasien pascapemasangan APJP dengan pemacuan dasar ventrikel dikarenakan adanyadisfungsi diastolik ventrikel kanan yang diikuti oleh disfungsi diastolik ventrikelkiri dan disinkroni ventrikel karena adanya Blok Berkas Cabang Kiri BBCKi .Kedua hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiridiikuti dengan gangguan pada atrium kiri dan timbul FA. Banyak prediktor yangdapat digunakan untuk menilai kejadian FA namun belum ada penelitian yangmenghubungkan pemeriksaan Elektrokardiogram EKG 12 sadapan yaitu denganinterval QT corrected QTc pacu menggunakan rumus Framingham dengankejadian FA pada pasien dengan APJP.
Tujuan : Mengetahui hubungan interval QTc pacu dengan kejadian FA danmenentukan nilai potong dari interval QTc pacu.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan diRumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK padasubyek yang menjalani pemasangan APJP pemacuan dasar ventrikel pada Januari2013 hingga Agustus 2014. Dilakukan perhitungan interval QTc pacumenggunakan rumus Framingham pada EKG 12 sadapan yang dilakukan satubulan setelah implantasi APJP.
Hasil Penelitian : Terdapat 75 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimana 15subjek mengalami FA 20 . Interval QTc pacu menggunakan rumusFramingham berkorelasi baik dengan kejadian FA. Nilai potong dari interval QTcpacu yang didapat adalah ge; 451,5 mdet, dimana nilai potong ini mempunyai risiko4,3 kali lipat kejadian FA.
Kesimpulan : Interval QTc pacu menggunakan rumus Framingham dapatdigunakan sebagai prediktor kejadian FA pada pasien yang menggunakan APJPdengan pemacuan dasar ventrikel.

Background : Implantation of Permanent Pacemaker PPM increasing in the lastdecades. Atrial fibrillation AF in patient using PPM with right ventricular basepacing developed because of the diastolic dysfunction of the right ventricle thatimpact the left ventricle and also ventricular dissynchrony in left ventricle due toLeft Bundle Branch Block LBBB . This abnormalities will impact to the leftatrial and induced atrial fibrillation. There are many predictors for AF but wehaven't found any study that correlate paced QT corrected paced QTc usingFramingham formula with the the risk of AF in patients implanted doublechamber or single chamber PPM under ventricular based pacing.
Aim : To determine the correlation between paced QTc with AF in patientimplanted PPM and determine cutoff value.
Methods : This is a case control study that was conducted in NationalCardiovascular Centre Harapan Kita Hospital Jakarta with subjeks implantedPPM using double chamber or single chamber with ventricular based pacing fromJanuary 2013 until August 2014. The calculation of Paced QTc using framinghammethod.
Results : There are total 75 subyek in this study, 15 subject developed AF 20 .The Paced QTc using Framingham method was correlated well with AF. Thecutoff value of Paced QTc was ge 451.5 msec and the risk to develop AF was 4.3times.
Conclusion : Paced QTc can be used as a predictor of AF in patient with doublechamber or single chamber PPM with ventricular based pacing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55634
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwik Antaroza
"Kualitas tidur yang buruk dapat memengaruhi kejadian Excessive Daytime Sleepiness. Kejadian EDS merupakan kantuk yang berlebihan pada siang hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya hubungan hubungan antara kualitas tidur dan kejadian Excessive Daytime Sleepiness pada perawat. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain analitik korelasional cross sectional menggunakan sampel perawat yang bekerja di salah satu rumah sakit di Kota Depok sebanyak 174 responden. Responden dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi, yaitu perawat yang melaksanakan dinas kerja shift. Kualitas tidur diukur dengan instrumen Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan kejadian EDS diukur menggunakan instrumen Epworth Sleepiness Scale (ESS). Uji hipotesis menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa prevalensi kualitas tidur yang buruk cukup tinggi terjadi pada perawat dan prevalensi yang cukup rendah pada perawat yang mengalami kejadian EDS. Sebanyak 98 perawat (56,3%) memiliki kualitas tidur yang buruk dan 24 perawat (13,8%) mengalami EDS. Sebanyak 13,4% perawat yang mengendarai kendaraan sendiri mengalami kejadian EDS. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas tidur dan kejadian EDS (p = 0,015). Perawat yang kualitas tidurnya buruk sebanyak 3,4 kali untuk mengalami EDS (95%CI 1,2; 9,6; OR = 3,4). Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan gadget dan kejadian EDS (OR = 6,2; p = 0,05). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka perlunya dilakukan manajemen untuk mengatasi kualitas tidur yang buruk dan meningkatkan kualitas tidur perawat yang sudah baik serta menangani masalah atau gangguan tidur dengan mengoptimalkan kesejahteraan perawat sehingga tidak mengalami kejadian EDS yang berisiko terhadap kecelakaan saat berkendara.

Poor sleep quality can affect the incidence of Excessive Daytime Sleepiness. EDS is excessive sleepiness during the day. This study aims to identify the relationship between sleep quality and the incidence of Excessive Daytime Sleepiness in nurses. This study is a quantitative study with a cross sectional correlational analytic design using a sample of nurses working in one of the hospitals in Depok City as many as 174 respondents. Respondents were selected using purposive sampling technique with inclusion criteria, namely nurses who carry out shift work services. Sleep quality was measured using the Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI) instrument and the incidence of EDS was measured using the Epworth Sleepiness Scale (ESS) instrument. Hypothesis testing using the Chi-Square test showed that the prevalence of poor sleep quality was quite high among nurses and a fairly low prevalence among nurses who experienced EDS events. A total of 98 nurses (56.3%) had poor sleep quality and 24 nurses (13.8%) experienced EDS. A total of 13.4% of nurses who drove their own vehicles experienced EDS. There is a significant relationship between sleep quality and the incidence of EDS (p = 0.015). Nurses with poor sleep quality were 3.4 times more likely to experience EDS (95%CI (95%CI 1,2; 9,6; OR = 3.4). There is a significant relationship between gadget use and the incidence of EDS (OR = 6.2; p = 0.05). Based on the results of this study, it is necessary to carry out management to overcome poor sleep quality and improve the quality of sleep of nurses who are already good and deal with problems or sleep disorders by optimizing the welfare of nurses so that they do not experience EDS events that are at risk of driving accidents."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calysta Salma Nabilla
"Latar Belakang: Fertilisasi in vitro merupakan salah satu metode teknologi reproduksi berbantu dengan rasio keberhasilan yang rendah yang kian menurun seiring dengan bertambahnya usia pasien. Kegagalan fertilisasi in vitro disebabkan oleh beberapa etiologi, salah satunya adalah kejadian aneuploidi pada embrio pasien. Aneuploidi embrio terjadi akibat kelainan pada faktor paternal maupun maternal. Pada faktor paternal, diketahui bahwa usia tua pada ayah dapat menurunkan kualitas sperma, yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko terjadinya aneuploidi embrio. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui apakah kualitas sperma, yang dinilai berdasarkan konsentrasi serta motilitas progresifnya, dapat mempengaruhi kejadian aneuploidi embrio secara langsung. Tujuan: Mengetahui korelasi antara konsentrasi dan motilitas progresif sperma dengan kejadian aneuploidi embrio. Metode: Dikumpulkan 18 data profil sperma dari buku rekam medis pasien fertilisasi in vitro Klinik Yasmin RSCM Kencana serta 64 data hasil preimplantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A). Kedua data dinyatakan sebagai variabel numerik. Hasil: Mean persentase aneuploidi embrio adalah sebesar 64,64% (0,00—100,00%). Uji korelasi Pearson menunjukkan nilai p = 0,065 untuk konsentrasi sperma, dengan median konsentrasi sebesar 28,00 (0,20–119,00) × 106 spermatozoa/ml, dan p = 0,642 untuk motilitas progresif sperma, dengan mean persentase motilitas progresif sebesar 53,24% (14,29–86,21%). Kesimpulan: Konsentrasi dan motilitas progresif sperma tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian aneuploidi embrio.

Background: In vitro fertilization (IVF) is an example of assisted reproductive technology (ART) with a low success rate which decreases even more as patients’ age increases. Failure in IVF can be caused by embryonic aneuploidy incidence, which occurs due to abnormalities in paternal or maternal factors. Paternally, the increase in age can reduce sperm quality, which in turn can increase the risk of embryonic aneuploidy. Aim: To determine the direct relationship between sperm concentration and sperm progressive motility on the incidence of embryonic aneuploidy. Methods: The author gathered 18 sperm profile recordings from the medical record book of Klinik Yasmin RSCM Kencana patients along with 64 PGT-A results. Both data were expressed as numeric variables. Results: The mean percentage of embryonic aneuploidy was 64.64% (0.00-100.00%). Pearson's correlation test showed p = 0.065 for sperm concentration, with a median concentration of 28.00 (0.20–119.00) × 106 spermatozoa/ ml, and p = 0.642 for sperm progressive motility, with a mean percentage of progressive motility of 53.24% (14.29–86.21%). Conclusion: Sperm concentration and sperm progressive motility is not associated with the incidence of aneuploidy in embryo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentina Marwisitaningrum
"Dokter bedah dan PPDS bedah merupakan kelompok profesi yang berisiko tinggi mengalami nyeri muskuloskeletal akibat berbagai pajanan saat melakukan pekerjaan. Nyeri muskuloskeletal dapat memengaruhi kualitas kerja dan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keselarasan postur berdiri serta adanya nyeri muskuloskeletal pada PPDS Bedah di RSCM. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang pada tiga puluh tujuh subjek yang berpartisipasi sesuai dengan kriteria inklusi. Luaran dari penelitian ini adalah abnormalitas postur berdiri bidang sagital yang dinilai dari foto postur berdiri dan ada tidaknya nyeri muskuloskeletal yang dinilai dengan kuesioner Nordic terstandar. Dari penilaian postur didapatkan sebanyak 72,97% subjek mengalami abnormalitas postur berdiri pada bidang sagital. Sebanyak 46% subjek mengeluhkan adanya nyeri muskuloskeletal terkait pekerjaan. Tidak terdapat hubungan bermakna antara abnormalitas postur berdiri bidang sagital dengan nyeri muskuloskeletal (p=0,46). Dari analisis multivariat didapatkan bahwa faktor berupa status nutrisi (p=0,22), rerata durasi operasi (p=0,21), dan rerata durasi operasi per minggu (p=0,17) turut memengaruhi terjadinya abnormalitas postur berdiri bidang sagital. Faktor kebiasaan berolahraga (p=0,059), kebiasaan merokok (p=0,092), dan lama bekerja di kamar operasi (p=0,081) memengaruhi terjadinya nyeri muskuloskeletal pada subjek. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menambah cakupan subjek. Sebagai tambahan, sebaiknya juga dilanjutkan dengan analisis kamar operasi dan pemeriksaan postur selama melakukan berbagai tindakan operasi.
Surgeons and surgery residents are professional groups that are high risk of experiencing musculoskeletal pain due to various exposures while doing work. The study determined the alignment of sagittal standing posture and the presence of musculoskeletal pain in surgery resident at RSCM. This study was a cross-sectional study in thirty-seven subjects according to inclusion criteria. The outcome was the abnormality of sagittal standing posture by photographs and the presence of musculoskeletal pain as assessed by Nordic standardized questionnaire. It was found that 72.97% of the subjects experienced abnormalities in sagittal plane of standing posture. Approximately 46% of the subjects complained of work-related musculoskeletal pain. There was no relationship between abnormal standing posture in the sagittal plane and musculoskeletal pain (p=0.46). From multivariate analysis, it was found that nutritional status (p=0.22), mean duration of surgery (p=0.21), and average duration of surgery per week (p=0.17) influenced the occurrence of abnormal standing posture in the sagittal plane. The factors of exercise habits (p=0.059), smoking habits (p=0.092), and length of work in the operating room (p=0.081) influenced the occurrence of musculoskeletal pain. Further research is needed by increasing scope of the subject. In addition, it is advisable to continue with operating room analysis and posture checks during various operations.  "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>