Ditemukan 170315 dokumen yang sesuai dengan query
Ardy Wirawan
"Skripsi ini membahas bagaimana suatu perbuatan yang dianggap patut dipidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, dapat dipidana dengan hukum pidana nasional. Dalam hal ini hukum yang hidup adalah hukum adat. Dasar hukum yang mengatur mengenai instrumen hukum yang mendasari tindakan penghukuman berdasarkan hukum adat tadi adalah UU No. 1 Darurat Tahun 1951 dan Rancangan KUHP. Penelitian ini berfokus pada kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang berdasarkan hukum adat dapat dihukum pidana. Pemidanaan tersebut kemudian dikaitkan dengan konsep asas legalitas yang hidup dalam sistem hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa konsep asas legalitas yang terkandung dalam KUHP dan Rancangan KUHP itu berbeda dan tidak dapat saling diperbandingkan, dan mengenai konsep pidana adat yang lebih baik adalah konsep pidana adat yang ada di dalam Rancangan KUHP.
This thesis discusses how an act is convicted under the living law in a society, in this case is adat law. The legal basis for regulating the legal instruments underlying the act of punishing based on adat law, which is the law No. 1 Emergency in 1951 and The Draft Criminal Code. This research focuses on the criteria have to be fulfilled that somebody based on adat law punishable by criminal punishment. Convictions was then associated with the principles of legality concept living in criminal law system of Indonesia. This thesis is using literature research method. Results of this research is the concept of the principle of legality are contained in the Criminal Code and the Draft Criminal Code was different and cannot be compared to each other, and regarding the concept criminal customary better is the concept of criminal customary that is in The Draft Criminal Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56142
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nilma Suryani
Depok: Rajawali Press, 2022
345 NIL p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Narendra Dirgantara
"Penelitian ini membahas penerapan asas legalitas dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, khususnya melalui analisis terhadap Rancangan Undangan-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang dibahas dalam rapat DPR antara tahun 1979 hingga 1981 dan putusan praperadilan Angin Prayitno. Asas legalitas, yang berfungsi melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi fundamental dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disahkan pada tahun 1981. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal untuk menelusuri proses legislasi RUU HAP dan relevansinya dengan pemikiran hukum barat. Penelitian ini menyoroti asas legalitas dalam Pembahasan RUU HAP yang sejatinya merupakan suatu asas yang membatasi aparat penegak hukum untuk melaksanakan hukum acara pidana untuk bertindak sesuai dengan undang-undang. Asas legalitas ini merupakan suatu pemenuhan unsur
rule of law serta perancangan kodifikasi dan unifikasi hukum sebagai upaya pemenuhan HAM. Melalui studi kasus putusan praperadilan Angin Prayitno, ditemukan bahwa hakim gagal menerapkan asas legalitas secara tepat dalam menentukan status pemohon. Dalam putusan Nomor 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel yang penulis teliti, Hakim tidak memberikan dasar hukum apapun dalam menentukan status Angin Prayitno sebagai Aparat Penegak Hukum yang mana tidak sesuai dengan konsep asas legalitas. Hakim juga tidak tepat dalam melakukan perluasan maka Penyelenggara Negara yang mana dalam Undang-Undang sejatinya sudah dibatasi. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan asas legalitas dalam KUHAP masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam praktik peradilan. Penulis merekomendasikan perlunya peningkatan pemahaman agar penerapan asas legalitas dapat dilaksanakan dengan baik untuk memastikan perlindungan HAM dan keadilan dalam sistem hukum pidana di Indonesia serta tercapainya cita-cita Rule of Law
This research discusses the application of the principle of legality in the context of criminal procedure law in Indonesia, specifically through an analysis of the Draft Law on Criminal Procedure (RUU HAP) discussed in DPR meetings between 1979 and 1981 and the pretrial decision of Angin Prayitno. The principle of legality, which serves to protect human rights, became fundamental in the Criminal Procedure Code (KUHAP) passed in 1981. This research uses a doctrinal method to trace the legislative process of the Criminal Procedure Bill and its relevance to western legal thought. This research highlights the principle of legality in the discussion of the Draft Law on Criminal Procedure, which is actually a principle that limits law enforcement officials to implement criminal procedure law to act in accordance with the law. This principle of legality is a fulfillment of the elements of the rule of law and the design of legal codification and unification as an effort to fulfill human rights. Through a case study of Angin Prayitno's pretrial decision, it was found that the judge failed to properly apply the principle of legality in determining the status of the applicant. In the decision Number 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel that enuilt researched, the judge did not provide any legal basis in determining Angin Prayitno's status as a law enforcement officer, which is not in accordance with the concept of the principle of legality. The judge is also incorrect in expanding the State Organizer which in the Act has actually been limited. The conclusion of this research shows that the application of the principle of legality in KUHAP still faces various challenges, especially in judicial practice. The author recommends the need for increased understanding so that the application of the principle of legality can be implemented properly to ensure the protection of human rights and justice in the criminal law system in Indonesia and the achievement of the ideals of the Rule of Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Narendra Dirgantara
"Penelitian ini membahas penerapan asas legalitas dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, khususnya melalui analisis terhadap Rancangan Undangan-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang dibahas dalam rapat DPR antara tahun 1979 hingga 1981 dan putusan praperadilan Angin Prayitno. Asas legalitas, yang berfungsi melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi fundamental dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disahkan pada tahun 1981. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal untuk menelusuri proses legislasi RUU HAP dan relevansinya dengan pemikiran hukum barat. Penelitian ini menyoroti asas legalitas dalam Pembahasan RUU HAP yang sejatinya merupakan suatu asas yang membatasi aparat penegak hukum untuk melaksanakan hukum acara pidana untuk bertindak sesuai dengan undang-undang. Asas legalitas ini merupakan suatu pemenuhan unsur
rule of law serta perancangan kodifikasi dan unifikasi hukum sebagai upaya pemenuhan HAM. Melalui studi kasus putusan praperadilan Angin Prayitno, ditemukan bahwa hakim gagal menerapkan asas legalitas secara tepat dalam menentukan status pemohon. Dalam putusan Nomor 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel yang penulis teliti, Hakim tidak memberikan dasar hukum apapun dalam menentukan status Angin Prayitno sebagai Aparat Penegak Hukum yang mana tidak sesuai dengan konsep asas legalitas. Hakim juga tidak tepat dalam melakukan perluasan maka Penyelenggara Negara yang mana dalam Undang-Undang sejatinya sudah dibatasi. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan asas legalitas dalam KUHAP masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam praktik peradilan. Penulis merekomendasikan perlunya peningkatan pemahaman agar penerapan asas legalitas dapat dilaksanakan dengan baik untuk memastikan perlindungan HAM dan keadilan dalam sistem hukum pidana di Indonesia serta tercapainya cita-cita Rule of Law
This research discusses the application of the principle of legality in the context of criminal procedure law in Indonesia, specifically through an analysis of the Draft Law on Criminal Procedure (RUU HAP) discussed in DPR meetings between 1979 and 1981 and the pretrial decision of Angin Prayitno. The principle of legality, which serves to protect human rights, became fundamental in the Criminal Procedure Code (KUHAP) passed in 1981. This research uses a doctrinal method to trace the legislative process of the Criminal Procedure Bill and its relevance to western legal thought. This research highlights the principle of legality in the discussion of the Draft Law on Criminal Procedure, which is actually a principle that limits law enforcement officials to implement criminal procedure law to act in accordance with the law. This principle of legality is a fulfillment of the elements of the rule of law and the design of legal codification and unification as an effort to fulfill human rights. Through a case study of Angin Prayitno's pretrial decision, it was found that the judge failed to properly apply the principle of legality in determining the status of the applicant. In the decision Number 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel that enuilt researched, the judge did not provide any legal basis in determining Angin Prayitno's status as a law enforcement officer, which is not in accordance with the concept of the principle of legality. The judge is also incorrect in expanding the State Organizer which in the Act has actually been limited. The conclusion of this research shows that the application of the principle of legality in KUHAP still faces various challenges, especially in judicial practice. The author recommends the need for increased understanding so that the application of the principle of legality can be implemented properly to ensure the protection of human rights and justice in the criminal law system in Indonesia and the achievement of the ideals of the Rule of Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Haveman, Roelof H.
Jakarta: Tatanusa, 2002
340.57 HAV l
Buku Teks Universitas Indonesia Library
H. Soerjanatamihardja
"Buku ini berisi undang-undang darurat tahun 1951, antara lain berisi tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan ; menaikkan jumlah maximun porto dan bea ; mengubah dan menambah peraturan dalam Stbl. 1916/47 ; tambahan UUD no.37/1950 tentang perubahan ordonansi pajak peralihan 1944 ..."
Djakarta: G. C. T. van Drop & Co, 1953
K 340.5 SOE p
Buku Klasik Universitas Indonesia Library
Nasution, Habi Afpandi
"Asas Legalitas adalah asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Asas legalitas lahir sebagai jaminan atas hak-hak individu untuk diperlakukan secara patut dihadapan hukum dan asas legalitas juga lahir untuk memberikan batasan kepada penguasa dalam menggunakan kekuasaannya agar tidak sewenang-wenang. Namun melalui sudut pandang lain asas legalitas dianggap begitu absolut dalam membatasi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menjadi dilema tersendiri mengingat Indonesia sebagai Negara yang beradat dan berbudaya. Salah satu contohnya adalah penerapan Syari’at Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat di wilayah Provinsi Aceh.. Melalui penelitian yang menggunakan metodologi yuridis normatif, diperoleh beberapa temuan. Pertama, penerapan syari’at Islam didasarkan pada Qanun yang secara hirarki peraturan perundang-undangannya dipersamakan dengan peraturan daerah yang berada dibawah Undang-Undang. Selanjutnya yang kedua, penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat di Aceh memberikan dampak terhadap berlakunya Sistem Peradilan Pidana. Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayat pada akhirnya dapat melahirkan beberapa tindak pidana baru yang tidak diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketiga, penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum materil, melainkan menggunakan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yang pada akhirnya melahirkan sub-sistem baru yaitu Polisi Wilayatul Hisbat sebagai PPNS dan Mahkamah Syariat yang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran terhadap hukum yang hidup ini.
Kata Kunci: Asas Legalitas, Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Sistem Peradilan Pidana
The Principle of legality is a fundamental principle in the application of Indonesian criminal law. The legality principle was born as a guarantee of the rights of individuals to be treated properly before the law and the legality principle was also born to provide the limits to the authoties when they use their power. But in other point of view the legality principle is considered so absolute in limiting the application of the living law. This has become a dilemma considering that Indonesia is a cultured state. The one of the exemple of the limitation is the application of Islamic Sharia as a living law in Aceh Province. The type of this research used was a normative juridical. Than in other side, the application of Islamic sharia is based on Qanun which in the hierarcyof the laws and regulation is equated with regional regulation that is under the law. So that becomes an irregularity when applying Islamic sharia as a living law based on regulations that is under the law. The application of the living law has a new impact on the implementation of criminal justice system. Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat finally can give birth to seceral criminal offense that are not regulated in criminal code then even more in the application of living law does not follow the criminal procedure code as material law but instead uses Qanun Number 7 of 2013 concerning Jinayat procedure law which gave birth a now sub-system of criminal justice system namely Wilayatul Hisbat Police as a investigator or PPNS and Mahkamah Syariah that examined and tried cases of violations of this living law.Keywords: Legality Principle, Living Law, Criminal Justice System."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Bimantara Wisnu Aji Mahendra
"Masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang tetap dan teratur telah berkembang secara internasional hal ini di dukung dengan adanya pembentukan United Nations Declaration on the rights of Indigenous People (UNDRIP) yang telah disahkan oleh PBB pada tahun 2007. Di Indonesia ketentuan mengenai masyarakat hukum adat telah tertuang pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dengan menganalisis bagaiman a pembentukan Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat berpengaruh terhadap upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat. Rencana pembentukan RUU tentang masyarakat hukum adat tersebut telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun 2016 hingga 2018 RUU tersebut sudah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di dalam DPR. Namun hingga saat ini RUU tersebut belum juga dilakukan pengesahan oleh pemerintah. Senyatanya pembentukan RUU tersebut sudah ada masuk dalam tahap urgensi seperti banyak kasus perampasan wilayah yang menimpa masyarakat hukum adat, pelanggaran hak atas free, prior, dan informed consent (FPIC) yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat terhadap pernyataan persetujuan atas suatu agenda, pelanggaran terhadap hak konstitusional termasuk hak politik, serta perempuan adat yang sering dihadapkan terhadap permasalahan diskriminasi. Dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat yang saat ini masuk dalam tahap pembahasan DPR juga tak luput dari permasalahan, beberapa pasal menimbulkan kerancuan dalam implementasinya misalkan Pasal 11 hingga Pasal 17 yang memuat mengenai proses identifikasi dan verifikasi, Pasal 6 terhadap ketentuan persyaratan, Pasal 22 terhadap ketentuan perlindungan, dan Pasal 20 terhadap ketentuan evaluasi. Beberapa pasal dan ketentuan tersebut belum mencerminkan tujuan utama pembentukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, namun secara nyata hal tersebut justru banyak mengurangi hak yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pengesahan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi hal yang penting disahkan untuk melakukan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat.
Indigenous Peoples, as stable and organized societies, have developed internationally, supported by the establishment of the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), which was ratified by the UN in 2007. In Indonesia, provisions concerning indigenous peoples are outlined in Article 18B, Paragraph (2) of the 1945 Constitution. This paper is composed using doctrinal research methods. It analyses how the drafting of the Draft Law on Indigenous Peoples impacts efforts to fulfill and protect human rights for indigenous legal communities. The plan to establish the Draft Law on Indigenous Peoples has been in place since 2004, and from 2016 to 2018, the draft law was included in the National Legislation Program (Prolegnas) within the House of Representatives (DPR). However, to date, the draft law has not yet been enacted by the government. In fact, the drafting of this draft law has reached an urgent stage due to numerous cases of territorial seizures affecting indigenous legal communities, violations of the right to free, prior, and informed consent (FPIC) regarding their approval of certain agendas, violations of constitutional rights including political rights, and indigenous women often facing issues of discrimination. The Draft Law on Indigenous Peoples currently under discussion in the DPR is not without problems. Several articles cause confusion in their implementation, such as Articles 11 to 17, which cover the processes of identification and verification. Article 6, which pertains to the requirements. Article 22, which concerns protection provisions. And Article 20, which deals with evaluation provisions. These articles and provisions do not yet reflect the main objectives of forming the Draft Law on Indigenous Peoples. In fact, they often diminish the rights that should be granted to the communities. This underscores the importance of enacting the Draft Law on Indigenous Peoples to ensure the fulfillment and protection of human rights for Indigenous Peoples."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Septian Dwi Cahya, S.Tr.K.
"Kasus pidana harus ditangani di pengadilan berdasarkan hukum positif Indonesia. Namun dalam beberapa situasi, kesepakatan di luar pengadilan dapat dicapai, salah satunya yang dilakukan oleh lembaga adat, khususnya melalui Pelibatan Kerapatan Adat Nagari, sebagai alternatif litigasi di bidang hukum pidana dalam penerapan hukum adat. Berikut ini adalah tujuan dari penelitian ini: Pertama, mengetahui dan menganalisa pelibatan kerapatan adat nagari dalam penyelesaian perkara dilihat dari perspektif democratic policing; kedua, menemukan dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan pelibatan kerapatan adat nagari dalam penyelesaian perkara dilihat dari perspektif democratic policing. Bentuk penelitian yang akan dilakukan di Polda Sumatera Barat adalah penelitian Kualitatif Field Research. Pelibatan Kerapatan Adat Nagari Dalam Penyelesaian Perkara dinilai berhasil jika mencakup cita-cita pemolisian yang demokratis dan perpolisian masyarakat yang melibatkan aparat kepolisian di wilayah Sumatera Barat, demikian temuan penelitian ini.
Under the Indonesian positive law, a criminal case must be addressed in a court. In some situations, however, an out-of-court agreement can be a way to solve a case. One of the ways to reach such agreement is through a customary institutions, particularly what it is called local wisdom. Most of Indonesian local areas have their own local wisdoms. One of the local wisdom is Kerapatan Adat Nagari as an alternative to litigation in the sphere of criminal law in customary law applications. The study aims to (i) identify and analyse the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases based on democratic policing perspective; (ii) find and analyse the factors that influence the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases based on democratic policing perspective. The research employs the qualitative research and field research method and is conducted at West Sumatera Province. The results of the research reveal that the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases is deemed successful if it includes the ideals of democratic policing and community policing that involves police officers in West Sumatera Province."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
KAJ 16(1-4)2011
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library