Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123036 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhli Akbar
"Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai tersebut akan dihasilkan melalui pembentukan aturan hukum yang melibatkan lembaga perwakilan rakyat yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat di pandang sebagai representative politik rakyat, sementara Dewan Perwakilan Daerah diilhami sebagai regional representative yang akan memperjuangkan kepentingan daerah dalam tataran nasional. Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai peran dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran. Akan tetapi, kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan prinsip check and balances antar kedua lembaga. Selama ini Dewan Perwakilan Daerah dijadikan sebagai co-legislator Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Daerah untuk terlibat dalam pembahasan rancangan undang-undang secara tripartit antara Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden. Keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan bersama rancangan undang-undang terbatas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam pembahasan rancangan undang-undang tertentu Dewan Perwakilan Daerah secara konstitusional tidak mempunyai hak untuk memberikan persetujuan, hanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang berwenang memberikan persetujuan atas setiap rancangan undang-undang.

Indonesia is a rechtstaat that upholds the values of the rule of law, justice, and legal expediency. In order to fight for these values will be generated through the establishment of the rule of law involving legislative branches that the Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia and the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia in view as the political representative of the society, while the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia was inspired as a regional representative who will fight for the interests of the region in the national level. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia and the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia has a role in carrying out the functions of legislation, oversight, and budgetary functions. However, these powers are not balanced with the principle of checks and balances between the two institutions. During the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia serve as co-legislator of Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, but after the issuance of the decision Mahkamah Konstitusi Republic Indonesia Number 92/PUU-X/2012 has interpreted the constitutional authority of the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia to be involved in the discussion of the draft law is tripartite between the Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, and the President. The involvement of the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia in discussion with a bill limited to draft legislation relating to local autonomy, central and local relations, the establishment and expansion and merging of regions, management of natural resources and other economic resources, as well as relating to financial balance of central and local. In the discussion of a particular bill is constitutionally, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia doesn't have the right to give approval, only the Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia and the President that have authorized to give approval of any draft legislation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyan Permana Putra
"Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru, yang antara lain Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah belum begitu mendapatkan tempat yang semestinya seperti yang diamanatkan dalam Undang- Undang Dasar 1945. Tetapi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya direkduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini membawa angin segar bagi Dewan Perwakilan Daerah, yang mana selama ini Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi bayangbayang dominasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dominasi berlebihan yang dilakoni Dewan Perwakilan Rakyat ini mencederai sistem bicameral yang terbentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balances yang baik.

Amendments Act of 1945 has given rise to some new state institutions, which include the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia. Reality creation of legislation within the framework of the institutional relationship between the House of Representatives and the Regional Representative Council not quite get the appropriate places as indicated in the Constitution of 1945., But after the decision of the Constitutional Court No. 92/PUU-X/2012 has restored the authority of the Board of Representatives areas that were previously reduced by the Law no. 27 of 2009 on the MPR, DPR, DPD and DPRD and Law. 12 Year 2011 on the Establishment of legislation. It brings fresh air for the Regional Representatives Council, during which the DPD is only a shadow of the dominance of the House of Representatives. Excessive dominance of the House of Representatives acted this bicameral system formed injured for a good cause, namely the creation of a system of checks and balances is good.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55172
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

 

Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi


DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gitta Nur Wulan
"Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi merupakan salah satu urusan pemerintahan konkuren yang didapatkan secara atribusi dengan bersumber pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Atas dasar hal tersebut, Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang Transportasi pada pelaksanaannya dapat dibagi dalam kewenangan perencanaan; kewenangan penyelenggaraan dan kewenangan evaluasi. Dalam perkembangannya, permasalahan transportasi Jakarta yang kompleks dan terhubung dengan daerah sekitarnya membutuhkan penanganan yang terpadu dan komprehensif, sehingga pemerintah pusat membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) melalui Perpres No. 103 Tahun 2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. BPTJ melaksanakan tugas dengan mengacu pada Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Oleh karena kewenangan BPTJ yang lintas daerah dalam wilayah Jabodetabek, maka kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi tidak mengalami perubahan secara substansial, melainkan hanya terdapat perubahan terkait koordinasi pelaksanaan kewenangan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap berwenang dalam pengelolaan transportasi di lingkup wilayahnya yang didasarkan atas kewenangan atributif dari pembagian urusan pemerintahan di bidang perhubungan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan jenis eksplanatoris, sehingga akan menghasilkan suatu penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan secara mendalam terkait suatu gejala atau permasalahan dengan menggunakan data sekunder berupa norma hukum tertulis. Dalam praktik pelaksanaannya masih terdapat potensi tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan BPTJ, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas mengenai hubungan kerja dan pembagian urusan di bidang transportasi antara pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek dengan BPTJ yang mengacu pada RITJ.
Jakarta Provincial Government Authority in the field of transportation is one of the concurrent authority obtained by attribution, referring to The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. On that basis, Jakarta Provincial Government Authority in the field of Transport on its implementation can be divided into the planning authority; organizing authority and the authority of the evaluation. In its development, the transportation problems in Jakarta was complex and connected with the surrounding area in need of an integrated and comprehensive treatment, so that the central government established the Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ) through Presidential Regulation Number 103 of 2015 concerning Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ). BPTJ duties referred to the Transportation Master Plan for Jabodetabek (RITJ). Therefore BPTJ authority which cross the area in Greater Jakarta, the Jakarta Provincial Government authorities in the field of transport did not change substantially, but there are only related to changes in coordinating the implementation of the authority. In this case, Jakarta Provincial Government retains authority in the management of transport in the scope of its area are based on the attributive authority of the division of government affairs in the sector of transportation in The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. The method used in this research is normative juridical with the kind of explanatory, so it will produce a study that depicts or describes in depth related to a problem with using secondary data in the form of a written legal norms. In practical implementation, there is still potential overlapping authority between the Government of Jakarta with BPTJ, so that the necessary legislation clearly regulating the relationship and the division of affairs in the field of transport between local authorities in the Greater Jakarta area with BPTJ which refers to RITJ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novita
"Skripsi ini membahas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sengketa kewenangan tersebut kerap kali terjadi ketika suatu lembaga merasa kewenangannya telah diambil alih secara tidak sah oleh lembaga lainnya. Namun, lembaga negara yang dapat beracara dalam sidang Mahkamah Konstitusi hanya lembaga negara yang kewenangannya lahir atas Undang Undang Dasar. Penelitian ini mengambil rumusan masalah apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan antara KPI dengan Presiden q.q Menkominfo dan bagaimana implikasi putusan MK No.30/SKLN-IV/2006 terhadap kedua lembaga tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil Penelitian menunjukkan Hakim Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa kewenangan KPI tidak lahir dari UUD sehingga Mahkamah Konstitusi memenangkan Menkominfo. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berarti hilangnya kewenangan KPI dalam hal pemberian ijin frekuensi siaran. Sedangkan bagi dunia penyiaran, putusan tersebut berdampak pada sentralisasi perijinan yang sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan KPI menjadi suatu lembaga negara yang prematur nyaris tanpa kewenangan. Dilain pihak Menkominfo memiliki kewenangan mutlak atas dunia penyiaran tanpa adanya kontrol dari lembaga lainnya.
This thesis discusses about the authority of the Constitutional Court in constitutional disputes of state institutions with the decision of the Constitutional Court. Dispute of Authority the frequent times rill happened when an institute feel its have been taken over illegally by other institute. But, institute State able to attend legal procedure in Constitution court only State institute which its born of Elementary Inviter. This research take formula of what is problem of hitting, what becoming base consideration of Judge of Counstitutional Court in breaking dispute of authority between Broadcasting Commission of Indonesia with Minister of Communication and Information and how decision implication of Constitutional Court No.30/SKLNIV/ 2006 to both of institutions. This research used the method used approach based on the juridical normative, secondary data are presented analyzed descriptively or Juridical.
The Result of research, Judge of Constitutional Court of opinion are Broadcasting Commission of Indonesia authority does not born from UUD so that Constitutional Court win Minister of Communication and Information. Decision Court Constitution mean the loss of Broadcasting Commission of Indonesia authority in the case of giving of broadcast frequency permission. While to broadcasting world, the decision affect at central licensing which is fully mastered by central government. Decision Constitutional Court of Broadcasting Commission of Indonesia caused become a premature State institute almost without authority. Other of Minister of Communication and Information (Government) has absolute authority of broadcasting world without existence of control of other institute.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43860
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mayang Devi Azhara
"Kewenangan Presiden dalam hal menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan haknya dalam kekuasaan legislasi. Kewenangan tersebut diberikan secara langsung oleh Konstitusi dalam hal terjadi keadaan genting yang memaksa. Adanya kewenangan tersebut ditakutkan melampaui kewenangan Lembaga Legislatif sebagai lembaga utama yang memiliki kekuasaan legislasi. Mengenai hal tersebut, diperlukan suatu batasan bagi Presiden dalam hal menetapkan sebuah Perppu. Limitasi tersebut dapat berupa materi muatan dengan disandarkan pada 3 syarat parameter kegentingan yang memaksa dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu: adanya keadaan hukum mendesak; kekosongan hukum; dan proses legislasi biasa memakan waktu yang lama. Dengan demikian, diperlukan suatu perubahan dalam Konstitusi ataupun Undang-Undang yang mengatur mengenai kewenangan tersebut. Tulisan ini bersifat evaluatif yang menilai pengaturan mengenai kewenangan Presiden dalam menetapkan Perppu dengan melakukan perbandingan pengaturan mengenai Constitutional Decree Authority dengan beberapa negara, yakni Brazil, Argentina, Ekuador, Filipina, dan Turki.

The President's authority in determining a Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) is his right in the legislative power. This authority is granted directly by the Constitution in the event of a compelling emergency. The existence of such authority is feared to exceed the authority of the Legislative Institution as the main institution that has legislative power. Regarding this, a limit is needed for the President in terms of enacting a Perppu. The limitation can be in the form of the content of the Perppu based on the 3 conditions of the compelling urgency parameter in the Constitutional Court Decision Number 138/PUU-VII/2009, namely: urgent legal situation; legal vacuum; and the usual legislative process takes a long time. Thus, it is necessary to make a change in the Constitution or the Law that regulates this authority. This paper is evaluative the regulation regarding the President's authority in stipulating a Perppu by comparing the regulations regarding the Constitutional Decree Authority with Brazil, Argentina, Ecuador, the Philippines, and Turkey.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Dian Onita
"Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah sebagai perwujudan representasi kepentingan seluruh rakyat dan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar bicameral. Dengan struktur dua kamar itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem 'double check' yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat. Kewenangan DPD yang sangat terbatas di dalam konstitusi dan peraturan perundangan membuat DPD mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi melalui Perkara Nomor 92 PUU X 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis data deskriptif kualitatif dan komparatif. Putusan 92 PUU X 2012 telah mengembalikan kewenangan legislasi DPD yang setara dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan rancangan undang undang. Namun hingga saat ini belum ada realisasi dari putusan tersebut. Termasuk saat revisi Undang Undang 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tanpa mengadopsi usulan DPD dalam hal penguatan fungsi legislasinya. Bahkan hingga revisi tersebut disahkan tetap saja usulan DPD tersebut diabaikan. Penelitian ini memaparkan upaya penguatan fungsi legislasi DPD Pasca Putusan MK Nomor 92 PUU X 2012 yaitu melalui amandemen kelima konstitusi dan operasional penataan lembaga serta meningkatkan kemampuan para anggota Perbandingan dengan Negara Afganistan, Aljazair, Filipina, Mauritania, Myanmar dan Tajikistan serta bagaimana hubungan yang ideal antara kedua kamar tersebut dalam melaksanakan fungsi legislasi terlihat bahwa tidak ada kamar kedua yang mengesahkan RUU dan tidak ada kamar yang dibatasi dalam hal mengajukan RUU tertentu kecuali Indonesia namun apabila terdapat perbedaan pendapat antara kedua kamar maka terdapat mekanisme forum penyelesaiannya.

The establishment of the House of Regional Representative People's Dewan Perwakilan Daerah representation of interests to arrange the Indonesian parliament are two chambers bicameral. The two chambers legislative process on a double check system which represent the interests of the people DPD's limited authorities which enshrined the constitution and the law are grounds for to DPD filed judicial review to the Constitutional Court which registered in the Case Number 92 PUU X 2012. This research adopts normative juridical approach with qualitative descriptive data analysis. The ruling No 92 PUU X 2012 allow DPD to have legislative power equal to the House of Representatives and the President on submission of bill However hitherto no implementation been done regarding the ruling Not even the current amandement on Law 17 of 2014 on Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah include the DPD's proposed to strengthening its legislative function. Even until the law taken passed the proposal still ignored. This essay describes the efforts to strengthen the legislative function of the DPD following the Court is Ruling No 92 PUU X 2012 by means of the fifth amendment of the constitution operational structuring institutions and improve the ability of the members Comparic the system in State of Afghanistan, Algeria, Philippines, Mauritania, Myanmar and Tajikistan to tind best practists on relation of the two chambers in implement its legislative function was seen that there isn't second chamber which pass the bill and there is no chambers are limited in terms of a particular bill submitted except Indonesia, but if there is a difference of opinion between the two chambers so there are mechanism completion forum.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azri Athirah Puteri Gathmir
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan prosedur hukum yang memberikan hak untuk mengajukan rencana perdamaian kepada debitor yang tidak dapat memperkirakan kelanjutan pembayaran utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga debitor dapat merestrukturisasi utang-utangnya. Dalam praktiknya, debitor yang awalnya dimohonkan PKPU oleh kreditornya dapat juga dipailitkan. Kepailitan yang dialami debitor ini tidak sesuai dengan tujuan awal PKPU, yakni untuk memberikan kesempatan kepada debitor dalam melanjutkan usahanya. Awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK & PKPU), debitor yang dipailitkan atas putusan PKPU tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun. Hal ini menyebabkan adanya perlindungan hukum yang tidak seimbang untuk debitor karena tujuan kreditor mengajukan permohonan PKPU terhadap debitornya dianggap bukan untuk melanjutkan usaha debitor, melainkan untuk mendapatkan pembayaran utang yang lebih cepat. Dengan demikian, akhirnya dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang mana pada amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 235 ayat (1) UUK & PKPU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Pada dasarnya, dengan dikeluarkannya putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan adanya upaya hukum kasasi terbatas terhadap putusan PKPU. Namun, akibat dikeluarkannya putusan tersebut malah akan menyebabkan siklus utang yang tidak sehat baik untuk debitor maupun untuk kreditor.

Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) is a legal procedure that gives the right to submit a settlement plan to debtors who cannot predict the continuation of payment of their debts that are past due and collectible, so that debtors can restructure their debts. In practice, the debtor whose PKPU was originally requested by the creditor can also be bankrupt. The bankruptcy experienced by the debtor is not in accordance with PKPU's original purpose, namely to provide opportunities for debtors to continue their business. Initially, according to Statute Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU (UUK & PKPU), debtors who are bankrupt by PKPU decision cannot submit any legal remedies. This causes an unequal legal protection for debtors because the purpose of creditors submitting PKPU requests to their debtors is considered not to continue the debtor's business, but to obtain faster debt payments. Thus, finally the Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 was issued, which in its ruling stated that Article 235 paragraph (1) UUK & PKPU contradicted the 1945 Constitution and did not have binding legal force, as long as it was not interpreted as the permissibility of cassation against the decision on Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) submitted by the creditor and the rejection of the debtor's offer of composition plan. Basically, with the issuance of this decision, the Constitutional Court allowed limited cassation efforts against the PKPU decision. However, the result of the issuance of this decision will actually lead to unhealthy debt cycles for both debtors and creditors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik menyangkut substansi atau materi muatan Undang-Undang, maupun aspek prosedur pembentukan undang-undang. Dalam [erspektif pembentukan hukum, maka kewenangan MK merupakan suatu negative legislation, karena membatalkan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat final dan binding. Dengan sifatnya yang demikian, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk megoreksi putusan MK.
Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut adalah positive legislation yang merupakan kekuasaan yang dimiliki DPR bersama-sama dengan Presiden. Permasalahan yang muncul adalah bahwa ternyata putusan MK tidak secara langsung mendapat respons lanjutan oleh DPR untuk melakukan amandemen atau penyesuaian dengan hasil putusan MK. Dalam praktek atau implementasinya, DPR tidak langsung menindaklanjuti putusan MK, sehingga eksekusi putusan MK ternyata tidak mudah. Ada dua faktor penting yang akan mempengaruhi sikap DPR untuk melakukan legislative review, yaitu pertama adalah berkaitan dengan substansi putusan MK yang kontroversial. Kedua adalah berkaitan mekanisme dan sistem pengajuan RUU di DPR yang terencana dan terpadu dalam instrumen program legislasi nasional."
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>