Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221943 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fairuz Rista Ismah
"Skripsi ini membahas mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu tata cara pengumpulan data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan terkait. Penelitian didasarkan pada Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perbedaan antara kedua Undang-Undang tersebut. Undang-Undang Perkawinan menyerahkan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda pada agama masing-masing calon mempelai sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengakui perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda melalui putusan pengadilan. Hasil penelitian menyarankan bahwa harus terdapat kejelasan mengenai pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dengan mengamandemen undang-undang yang telah ada.

This thesis discusses on interfaith marriages in Indonesia. The research for this thesis is normative juridicial, which involves the collection of data from literary sources and associated legal ordinances. This research is based on Marriage Laws and Population Administration Laws. Based on the findings of the research, it is discovered that there exists certain inconsistencies between both Laws. The Marriage Laws provides that interfaith marriages are subject to the religion of each partner, while the Population Administration Laws states that interfaith marriages have to obtain an affirmative decision of the court. The results of the research propose further clarification of the regulations relating to interfaith marriages by amending the existing laws.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56739
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Suwasiswahyuni
"Perkawinan berbeda agama di Indonesia tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, oleh sebab itu banyak pasangan berbeda agama yang hendak menikah melakukan pernikahannya di Luar Negeri lalu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Indonesia ketika mereka kembali ke Tanah Air. Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan kemudahan bagi para pasangan berbeda agama ini dalam mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan beda agama ini hanya diakui oleh negara bahwa benar mereka adalah pasangan suami istri, tapi tidak sah menurut Agama.
Disini akan di bahas tentang bagaimana keabsahan perkawinan beda agama di Indonesia dan tentang pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pengadilan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan termasuk penelitian kepustakaan, data dan informasi diperoleh melalui dokumen-dokumen hukum dan juga dari hasil wawancara kepada Kepala Sub Dinas Kantor Catatan Sipil Jakarta.
Pada kasus yang akan di bahas disini, pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri hanya untuk memenuhi syarat pada pasal 56 Undang-Undang Administrasi Kependudukan, bukan menentukan sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Undang-Undang Administrasi Kependudukan juga tidak mengatur mengenai tata cara melangsungkan perkawinan beda agama itu sehingga masih mengacu pada Undang-Undang Perkawinan yang berlaku. Undang-Undang Administrasi Kependudukan masih memerlukan penyempurnaan agar tidak bertentangan dengan pasal 2 Undang-Undang Perkawinan.

Marriage of different religions in Indonesia are not regulated in the Marriage Law in force in Indonesia, so many couples of different religions who want to get married are held marriage in other State and listed in the Civil Indonesia when they returned to the country. Population Administration Act provides convenience for couples of different religions to register their marriages at the Registry Office. Recording of interfaith marriage is only recognized by the state that they are properly married couples, but not valid according to religion.
Here will be discussed about how the validity of the marriage of different religions in Indonesia and on consideration of the judge in giving the verdict the court before and after the enactment of Law number 23 year 2006 about Population Administration. This study is normative and juridical research including library research, data and information obtained through legal documents and also from interviews to the Head of Sub Office of Civil Registry Office in Jakarta.
In a case that will be discussed here, the recording of marriages conducted in foreign countries only to meet the requirements in article 56 of Law on Population Administration, instead of determining whether or not the marriage is legitimate. Population Administration Act does not establish ordinances regulating the marriage of different religions, so it still refers to the Marriage Law. Population Administration Act still requires refinement in order not to conflict with Article 2 of the Marriage Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21820
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Olviani Shahnara
"Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat adat yang memiliki kepercayaan asli dari nenek moyang. Hingga dewasa ini, masih banyak masyarakat yang tetap memegang teguh kepercayaan asli tersebut dan mereka disebut Penghayat Kepercayaan. Namun, kepercayaan yang mereka yakini masih dipandang sebelah mata karena dianggap bukanlah suatu agama. Oleh karena itu, banyak kendala yang dihadapi oleh para Penghayat Kepercayaan terkait kedudukan status hukum mereka di mata negara, terutama mengenai masalah pencatatan perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan Penghayat Kepercayaan. Akibatnya, pada saat itu para Penghayat Kepercayaan kerap mendapatkan penolakan pencatatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil setempat. Demi memenuhi rasa keadilan dan hak asasi setiap manusia, pemerintah Negara Republik Indonesia pada tahun 2006 kemudian memberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang Administrasi Kependudukan tersebut yang kemudian dapat dijadikan landasan hukum mengenai pencatatan perkawinan Penghayat Kepercayaan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Penghayat Kepercayaan kini telah dapat mencatatkan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Indonesian society comprises of a traditional society (with adat cultures and values) who preserves their ancestors? beliefs. Until recently, few people still maintain to deem these traditional beliefs and classified as 'Penghayat Kepercayaan'. Their beliefs, however, are still underestimated since these beliefs are not classified as religions. Obstacles are familiar to the people of "Penghayat Kepercayaan", in regards to the legal status according to Indonesian Law, especially relating to issues of marriage's registration. Indonesian Law No. 1 Year 1974 regarding Marriage does not regulate the marriage of "Penghayat Kepercayaan" people. As a result, people of "Penghayat Kepercayaan" received several rejections of marriage records from the local Civil Registry Office. In order to fulfill values of justice and human rights of the people, Government of Republic of Indonesia enacted Law No. 23 Year 2006 regarding Population Administration. That law could be used as the legal basis in regards to the marriage records for the 'Penghayat Kepercayaan 'people where they are able to file their marriage in the Civil Registry Office. As for the methodology used in conducting this study is a normative juridical research through literature materials, documents and literature."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1189
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adillah Yuswanti
"Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 Pasal tersebut jo Pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, maka administrasi kependudukan yang di dalamnya mengatur mengenai pencatatan sipil diharapkan dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berhubungan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin siri, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.
Metode yang digunakan adalah yuridis empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena mengakibatkan disahkan atau tidak perkawinan oleh Para Pihal yang melakukan perkawinan beda agama. Dalam kasus yang telah ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Bogor, terdapat dua penetapan yang berbeda mengenai permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
Berdasarkan penelitian dari kedua putusan hakim, diperoleh hasil bahwa Penulis lebih menyetujui Penetapan Hakim Nomor 111/Pdt.P/PN.Bgr, karena UU 1/1974 tidak secara tegas mengatur perkawinan beda agama, Pasal 35 huruf a dapat dijadikan sebagai pemenuhan secara administratif dalam hal pencatatan perkawinan.

Marriage not registered is marriage has materially complied with in accordance with the intent of Article 2 paragraph 1 of Marriage Act, but does not meet the provisions of paragraph 2 of that Article in conjunction with Article 10, paragraph 3 PP No. 9 of 1975. With the enactment of Law No. 23 of 2006, the population administration in which governs the civil registry is expected to provide the fulfillment of administrative rights as well as the protection of public services related to civil documents without discrimination. In the context of the registration of marriages, many terms used to designate a marriage that is not listed, there is a mention under the hand marriage, marriage siri, married muezzin, and often also called marriage Kyai.
The method used is empirical juridical, is a study in addition to seeing the positive aspects of the law also look at the implementation or practice in the field. A lot of debate about that because lead was passed or not marriage by the pihal who perform interfaith marriage. In cases that have been set by District Court Judge Bogor, there are two different determination regarding listing application interfaith marriage.
The data analysis technique used is descriptive qualitative, ie after the data collected is then poured in the form of a logical and systematic description, then analyzed to obtain clarity problem solving, then the conclusions drawn deductively, from things that are common to the things that are special.
Based on the research of both the judge's ruling, the result that the author is approved Determination Judge No. 111 / Pdt.P / PN.Bgr, because the Law 1/1974 does not expressly regulate interfaith marriage, Article 35 letter a can be used as an administrative compliance in terms of registration of marriages.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42908
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla rifda
"Perkawinan beda agama di Indonesia masih menuai pro dan kontra yang dibuktikan dengan Putusan Pengadilan Nomor 333/Pdt.P/2018/PN.Skt dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1977K/Pdt/2017. Sehingga, sering kali pasangan yang memiliki perbedaan agama mencari ‘jalan pintas’ dengan melakukan perkawinannya di Australia karena dinilai lebih efisien atau peraturannya cenderung lebih mudah bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama jika dibandingkan dengan peraturan di Indonesia. Lalu, dalam hal pencatatan sipil, pasangan yang menikah di luar negeri selalu dapat mencatatkan perkawinannya disebabkan oleh asas universalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan Hukum perkawinan antara Indonesia dengan Australia, serta sudut pandang dari Hukum Perdata Internasional Indonesia. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu dikarenakan ketidak pastian hukum di Indonesia, masyarakat kerap melakukan penyelundupan hukum dengan melakukan perkawinan di Australia. Bentuk penelitian yang penulis gunakan dalam karya tulis ini adalah yuridis-normatif, yaitu melihat dan memahami norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.

Interfaith marriage in Indonesia still reaps pros and cons as evidenced by Court Decision Number 333/Pdt.P/2018/PN.Skt and Supreme Court Decision Number 1977K/Pdt/2017. Thus, many couples who have different religions look for 'shortcuts' by getting married in Australia because it is considered more efficient or the regulations tend to be easier for those who want to hold interfaith marriages when compared to regulations in Indonesia. Then, in the case of civil registration, couples who marry abroad can always register their marriages due to the principle of universality. This study was conducted to determine the comparison of marriage law between Indonesia and Australia, as well as the point of view of Indonesian Private International Law. The conclusion obtained from this study is that due to legal uncertainty in Indonesia, people often carry out legal smuggling by marrying in Australia. The form of research that the author uses in this paper is juridical-normative, namely seeing and understanding legal norms contained in laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Herma Desfira
"Perkawinan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi, perkawinan tidak hanya sekedar suatu hubungan badan, melainkan pula merupakan suatu hubungan perikatan antara suami dan isteri. Dengan adanya hubungan perjanjian perikatan tersebut, maka perkawinan menimbulkan segala akibat hukum di dalamnya. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, melainkan sebagai kewajiban administratif. Meskipun pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, tetapi kedudukan pencatatan perkawinan di sini memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan kejelasan pada peristiwa perkawinan yang terjadi. Selain itu, pencatatan perkawinan tersebut juga berfungsi sebagai alat pembuktian yang sempurna di hadapan pengadilan. Undang-undang kita memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan tertentu. Berdasarkan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada penelitian ini, Penulis hendak meneliti apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dapat dijadikan dasar pengajuan permohonan pembatalan perkawinan. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis-normatif dengan jenis data sekunder. Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah bahan hukum primer, yaitu KUH Perdata, UU Perkawinan, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait; dan bahan hukum sekunder, yaitu bukubuku hukum, serta jurnal ilmiah.

Marriage is one way for humans to continue their offspring. However, marriage is not just a physical relationship, but also an engagement relationship between husband and wife. With the engagement agreement, the marriage has all the legal consequences in it. According to article 2 paragraph (1) of Law no. 1, a marriage is valid if it is carried out according to the laws of their respective religions and beliefs. Then, in Article 2 paragraph (2) of Law no. 1 of 1974, it is determined that each of these marriages must be registered in accordance with the applicable laws and regulations. According to the Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010, marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, but as an administrative obligation. Although marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, marriage registration has a very important role in determining a marriage event that occurs. In addition, the registration of the marriage also serves as a perfect means of proof before the court. Our law supports marriage for certain reasons. Based on Article 22 of Law no. 1 of 1974, a marriage can be annulled if the parties do not meet the requirements to enter into a marriage. In this study, the author wants to examine whether unregistered marriages can be used as the basis for submitting a marriage application. The research method used is juridical-normative with secondary data types. The types of secondary data used in this study are primary legal materials, namely the Civil Code, Marriage Law, and several related laws and regulations; and secondary legal materials, namely books
law, and scientific journals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryan Topan
"Pendaftaran perjanjian perkawinan kepada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlakuan perjanjian perkawinan bagi para pihak yang membuat perjanjian perkawinan serta pihak ketiga diluar para pihak khususnya dalam hal pembagian harta perkawinan ketika perkawinan berakhir dengan perceraian. Hal ini bertujuan agar pembagian harta perkawinan pasca perceraian dapat dibagi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kawin, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) Pasal 29 serta Pasal 35. Tulisan ini mengambil studi kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0502/PDT.G/2013/PA JS. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder.
Penelitian ini menyimpulkan Tidak didaftarkannya suatu perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung berakibat tidak berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga, lebih dari itu terdapat pakar yang menyatakan apabila tidak didaftarkan perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut batal, mengingat ketentuan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 menyatakan suatu perjanjian perkawinan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0502/Pdt.G/2013/PA JS seharusnya dinyatakan tidak sah karena memuat pengaturan dalam Pasal 1 nya yang melanggar ketentuan dalam asas keseimbangan dalam perjanjian. Pembagian harta perkawinan dalam kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0502/Pdt.G/2013/PA JS seharusnya dibagi berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan Jis Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
Saran yang dapat disampaikan adalah Pembuatan Perjanjian Perkawinan harus mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta isi dari perjanjian perkawinan harus berdasarkan asas-asas umum perjanjian dan peraturan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan.

The registration of marital agreement at the office of religion affairs or the office of civil registry is required to provide legal certainty and ensure the validity of the marital agreement for the parties involved and third parties outside of the parties, especially in terms of the division of marital assets when the marriage ended by divorce. It is intended that the division of marital assets after divorce can be divided in accordance with the provisions stipulated in the marital agreement, Article 29 and Article 35 Law No. 1 year 1974 on Marriage. The object of this research is a case study of South Jakarta Religion Court Decision No. 0502/PDT.G/2013/PA JS. The method used in this research is normative juridical research using secondary data.
This research concluded that any registration of a marital agreement after the marriage resulting invalidity of the marital agreement for the third parties, beyond that there are experts who claim that if the marital agreement has not been registered, the marital agreement become void,given the requirment of law No. 1 of 1974 on marriage Article 29, that states a marriage settlement must be approved by the office regilion affairs officer, after has it registration, it will "apply" to the third party.The marital agreement contained in the case of South Jakarta Religion Court Decision No. 0502/ PDT.G/ 2013/ PA JS should be declared invalid due to the Article 1 of its agreement which is violate the provisions of the balance principle in the agreement. The division of marital assets in the case of South Jakarta Religion Court Decision Nomor 0502/PDT.G/2013/PA JS should be shared based on Article 35 of the Marriage Act Jis Article 96 and Article 97 of the Compilation of Islamic Law.
Suggestions for this case are the prosces of establishing a marital agreement must comply with the provisions on Law No. 1 of 1974 on Marriage Article 29 and also The Indonesian Book of the Civil Law and the contents in the marital agreement should be based on the general principles of agreement and regulation concerning the marital agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dani Dwisaraswati
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan hukum antara Indonesia dan Belanda yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan. Perbandingan hukum ini di khususkan untuk membandingkan peraturan Perjanjian Perkawinan di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan peraturan Belanda yang didasarkan pada Nieuw Burgerlijk Wetboek. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penulis akan membahas teori-teori dasar dari kedua negara, seperti latar belakang pembuatan perjanjian perkawinan, syarat sah, tujuan, larangan-larangan dalam membuat perjanjian perkaiwnan, serta praktek di kedua negara. Penulis juga akan membahas tentang anatomi perjanjian perkawinan dari kedua negara sesuai dengan contoh yang dilampirkan. Kemudian setelah membahas teori-teori dasar dari Indonesia dan Belanda, penulis akan membandingkan keduanya dengan beberapa faktor pembanding yang akan dijelaskan dengan tabel. Perbandingan tersebut akan didasarkan pada hal-hal yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku dari kedua negara, yaitu Indonesia dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Belanda dengan Nieuw Burgerlijk Wetboek.

This undergraduate thesis will emphasize on a comparisson between Indonesian and Dutch law concerning prenuptial agreement. This comparative law will be focused on the comparison between Indonesian law based on Law Number 1 Year 1974 about Marriage and Dutch law based on Nieuw Burgelijk Wetboek. The method used in this thesis is juridist-normative. There will be an explanation about the basic theories from both countries, such as the background of making prenuptial agreement, the legitimate requirements, objectives, restrictions in making prenuptial agreement, as well as the practice in the two countries. There will also be an explanation on the anatomy of the agreement based on the attach example in this thesis. Then, after explaining the basic theories of Indonesia and the Netherlands, the author will compare them with some of the factors that will be explained with a comparison table. The comparison will be based on things that have been set in the regulations of the two countries, namely Indonesia by Law Number 1 Year 1974 about Marriage and the Netherlands with the Nieuw Burgelijk Wetboek.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56885
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Peter Dameian
"Skripsi ini membahas tentang pengaturan dan keabsahan perkawinan beda agama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 Codex Iuris Canonici. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan dan perbandingan keabsahan perkawinan beda agama pada putusan Putusan Nomor: 26/Pdt.G2014/PN.GRT. menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 Codex Iuris Canonici. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan tipe penelitian deskriptif-analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama, tetapi Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 Codex Iuris Canonici mengaturnya. Selain itu, perkawinan beda agama sah apabila dilaksanakan menurut salah satu hukum agama calon mempelai dengan memerhatikan hukum agama kedua belah pihak dan dilakukan pencatatan perkawinan.

This thesis discusses about the regulation and the legitimacy of interfaith marriage according to Act Number 1 of 1974 About Marriage with Code of Canon Law of 1983 Codex Iuris Canonici. The issue on this thesis is how the regulation and comparison of interfaith marriage legitimacy in Verdict of Garut District Court Number 26 Pdt.G 2014 PN.GRT. according to Act Number 1 of 1974 About Marriage With Code of Canon Law of 1983 Codex Iuris Canonici. The research method that is used for this research is descriptive analytical research type.
The results are Act Number 1 of 1974 About Marriage does not regulate interfaith marriage, but Code of Canon Law of 1983 Codex Iuris Canonici regulates it. Besides that, interfaith marriage is legitime if it is held according to one of the religion law of the bride by focusing on both of religion law of the brides and it is registered.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gideon Mario Tjandra
"[Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat, dapat diajukan
permohonan pembatalan ke Pengadilan. Permasalaharmya adalah bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan tersebut terhadap status hukum anak. Dengan metode penelitian kepustakaan, penulis berusaha menguraikan dan menganalisanya. Pembatalan perkawinan yang dilakukan melalui Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 090/Pdt.G/2005/PA.JP yang kemudian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 76/Pdt.G/2005/PTA.JK, menurut hemat penulis adalah sudah tepat karena terdapat syarat perkawinan yang tidak dipenuhi. Namun pada Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 87/Pdt.P/2006/PN.Jak.Sel terdapat kekeliruan, yakni hakim menetapkan bahwa si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya dan tidak berhak menyandang nama ayahnya atau keluarga ayahnya. Sayangnya, kekeliruan tersebut berlanjut hingga proses
perlawanan sang ibu (terhadap penetapan tersebut) pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sesungguhnya, baik menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 maupun Kompilasi Hukum Islam Pasal 75 dan 76, pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang telah lahir dalam perkawinan;A marriage which doesn't fulfill the conditions, can be filed for annulment to the court. The question is how the legal consequences of the marriage annulment affect the legal status of a child. Using the method of library research, writer tries to elaborate and analyze them. Marriage annulment that has been determined by the verdict of Central Jakarta Religious Court No. 090/Pdt.G/2005/PAJP was upheld by the verdict of High Religious Court of Jakarta No. 76/Pdt.G/2005/PTA.JK, according to writer, the verdict is absolutely right because of the unfulfilled marriage conditions. However, in the decision of South Jakarta State Court No. 87/Pdt.P/2006/PN.Jak.Sel has some errors, such as the Judge determined that a child did not own a legal relation with his father and
did not have a right to carry neither his father's name nor his family.
Unfortunately, the error continues until the resistance process of the mother (towards the decision) at the South Jakarta State Court which is binding and legally forceable. Actually, either the Act 1/74 in article 28 or The Compilation of Islamic Law in article 75 and 76, marriage annulment is not retrospective for a child that were born in a marriage., A marriage which doesn't fulfill the conditions, can be filed for annulment to
the court. The question is how the legal consequences of the marriage
annulment affect the legal status of a child. Using the method of library research,
writer tries to elaborate and analyze them. Marriage annulment that has been
determined by the verdict of Central Jakarta Religious Court No.
090/Pdt.G/2005/PAJP was upheld by the verdict of High Religious Court of
Jakarta No. 76/Pdt.G/2005/PTA.JK, according to writer, the verdict is absolutely
right because of the unfulfilled marriage conditions. However, in the decision of
South Jakarta State Court No. 87/Pdt.P/2006/PN.Jak.Sel has some errors, such as
the Judge determined that a child did not own a legal relation with his father and
did not have a right to carry neither his father's name nor his family.
Unfortunately, the error continues until the resistance process of the mother
(towards the decision) at the South Jakarta State Court which is binding and
legally forceable. Actually, either the Act 1/74 in article 28 or The Compilation of
Islamic Law in article 75 and 76, marriage annulment is not retrospective for a
child that were born in a marriage.]"
Universitas Indonesia, 2015
T44750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>