Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65990 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riyan Permana Putra
"Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru, yang antara lain Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah belum begitu mendapatkan tempat yang semestinya seperti yang diamanatkan dalam Undang- Undang Dasar 1945. Tetapi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya direkduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini membawa angin segar bagi Dewan Perwakilan Daerah, yang mana selama ini Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi bayangbayang dominasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dominasi berlebihan yang dilakoni Dewan Perwakilan Rakyat ini mencederai sistem bicameral yang terbentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balances yang baik.

Amendments Act of 1945 has given rise to some new state institutions, which include the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia. Reality creation of legislation within the framework of the institutional relationship between the House of Representatives and the Regional Representative Council not quite get the appropriate places as indicated in the Constitution of 1945., But after the decision of the Constitutional Court No. 92/PUU-X/2012 has restored the authority of the Board of Representatives areas that were previously reduced by the Law no. 27 of 2009 on the MPR, DPR, DPD and DPRD and Law. 12 Year 2011 on the Establishment of legislation. It brings fresh air for the Regional Representatives Council, during which the DPD is only a shadow of the dominance of the House of Representatives. Excessive dominance of the House of Representatives acted this bicameral system formed injured for a good cause, namely the creation of a system of checks and balances is good.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55172
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

 

Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi


DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhli Akbar
"Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai tersebut akan dihasilkan melalui pembentukan aturan hukum yang melibatkan lembaga perwakilan rakyat yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat di pandang sebagai representative politik rakyat, sementara Dewan Perwakilan Daerah diilhami sebagai regional representative yang akan memperjuangkan kepentingan daerah dalam tataran nasional. Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai peran dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran. Akan tetapi, kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan prinsip check and balances antar kedua lembaga. Selama ini Dewan Perwakilan Daerah dijadikan sebagai co-legislator Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Daerah untuk terlibat dalam pembahasan rancangan undang-undang secara tripartit antara Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden. Keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan bersama rancangan undang-undang terbatas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam pembahasan rancangan undang-undang tertentu Dewan Perwakilan Daerah secara konstitusional tidak mempunyai hak untuk memberikan persetujuan, hanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang berwenang memberikan persetujuan atas setiap rancangan undang-undang.

Indonesia is a rechtstaat that upholds the values of the rule of law, justice, and legal expediency. In order to fight for these values will be generated through the establishment of the rule of law involving legislative branches that the Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia and the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia in view as the political representative of the society, while the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia was inspired as a regional representative who will fight for the interests of the region in the national level. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia and the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia has a role in carrying out the functions of legislation, oversight, and budgetary functions. However, these powers are not balanced with the principle of checks and balances between the two institutions. During the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia serve as co-legislator of Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, but after the issuance of the decision Mahkamah Konstitusi Republic Indonesia Number 92/PUU-X/2012 has interpreted the constitutional authority of the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia to be involved in the discussion of the draft law is tripartite between the Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, and the President. The involvement of the Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia in discussion with a bill limited to draft legislation relating to local autonomy, central and local relations, the establishment and expansion and merging of regions, management of natural resources and other economic resources, as well as relating to financial balance of central and local. In the discussion of a particular bill is constitutionally, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia doesn't have the right to give approval, only the Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia and the President that have authorized to give approval of any draft legislation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Fauzi
"Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cipta Kerja yang cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetapi masih memiliki daya laku dan daya ikat sebagai undang-undang. Uji formil itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 21 November 2021. Pembentukan dan pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan dibidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UJi formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Terdapat tiga masalah yang akan diuraikan dan dianalisis yaitu terkait dengan putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020, implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Undang-Undang, dan menguraikan terkait konsep ideal pembentukan undang-undang agar undang-undang tidak cacat formil. Hasil penelitian menunjukan cacat formil diputuskan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 karena telah melanggar Peraturan Pembentukan Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yaitu terkait penggunaan metode omnibus law, asas keterbukaan dengan tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat, dan terdapat perubahan terhadap substansi rancangan undang-undang setelah disetujui. Dalam implementasinya putusan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang sehingga mengakibatkan muncul permasalahan baru dalam bidang legislasi. Hal itu terjadi akibat tidak konkritnya norma hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang memberi tafsiran baru terhadap inkonstitusional bersyarat dengan menyatakan undang-undang tetap berlaku sampai syarat dipenuhi.

The research was conducted with the aim of describing and analyzing the problems in the Process of law making of Law Number 11 Concerning Job Creation which was formally flawed and declared conditionally unconstitutional but still has enforceable and binding power as a law. This judicial review of legislative process or due process of law making was decided by the Constitutional Court through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on November 21, 2021. The process of law making and the due process of law making are mutually continuous processes in the principle of checks and balances. The formal test conducted by the Constitutional Court is a control over the process of law making which is the authority of powers in the field of legislation by the judicial institution, namely an effort to control the law making of law in the Indonesian constitutional system. The formal examination of the law is a process of examining the legality of the formation of the law. The process was carried out based on an application submitted by the public to the Constitutional Court against a law deemed to have violated the regulations for its law making. There are three problems that will be described and analyzed, namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision 91/PUU-XVIII/2020 on the process of law making, and elaborate on the ideal concept of forming a law. law so that the law is not formally flawed. The results of the research show that the Constitutional Court decided on a formal defect against Law 11 of 2020 because it had violated the Regulations for Forming a Law stipulated in Law Number 12 of 2011 in conjunction with Law Number 15 of 2019, namely related to the use of the omnibus law method, the principle of openness with the non-fulfillment of public participation, and there are changes to the substance of the draft law after it is approved. In its implementation, the decision can be interpreted differently by legislators and law enforcers, resulting in new problems in the field of legislation. This happened due to the lack of concrete legal norms in the decision of the Constitutional Court, which gave a new interpretation of conditional unconstitutionality by stating that the law remains in force until the conditions are met."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abraham Dastin
"Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia: Undang-undang No.42 Tahun 1999 sudah menggunakan istilah fidusia. Dengan demikian, istilah fidusia sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang untuk fidusia ini dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah penyerahan hak milik secara kepercayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 lahir karena adanya permohonan pengujian undang-undang (Judicial Review) yang diajukan oleh pasangan suami-istri, Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo, terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam perkembangannya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18 /PUU-XVII/2019 mengakibatkan kekuatan eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 berimplikasi secara langsung dan memberikan 2 (dua) syarat terhadap titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam penulisan ini metode Penelitian jurnal ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian hukum. dengan melakukan pengelolaan data-datanya yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan. Penelitian kepustakaan ini untuk mengumpulkan dan mengelola data-data sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum.

Fiducia is a term that has long been known in the Indonesian language: Law No.42 of 1999 already uses the term fiduciary. Thus, the term fiduciary is already an official term of law. However, for this fiduciary meaning in Indonesian is also referred to as the transfer of property rights by trust. The Decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 18/PUU-XVII/2019 dated January 6, 2020 was issued initiated by a petition for judicial review submitted by spouse named Apriliani Dewi and Suri Agung Prabowo, related to the Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Transfer of Ownership. In its development after the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 results in the executorial power as referred to in Article 15 paragraph (2) has no binding power as long as there is no agreement in terms of default (default statement) and the debtor objected to voluntarily hand over the object of warranty which. The decision of the Constitutional Court No.18/PUU-XVII/2019 has direct implications and provides 2 (two) conditions for the executorial title as referred to in Article 15 paragraph (2) of Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Transfer of Ownership. In this thesis, the research method is conducted using literature based research. By managing the data which comes from books and other literatures. This literature research is meaning to collect and manage data which derived from legal sources and other law materials."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Khaira
"Penelitian ini didasarkan pada bentuk badan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia terlebih khusus Badan Hukum Pendidikan yang diatur dalam UU No.9 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126- 136/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang membatalkan UU tersebut beserta implikasinya terhadap status hukum Universitas Indonesia.
Penelitian ini membahas dua permasalahan utama. Pertama, status perguruan Tinggi di Indonesia setelah lahirnya UU BHP. Kedua, implikasi dari keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126- 136/PUU-VII/2009 yang memutus tentang pembatalan UU BHP terhadap status hukum Universitas Indonesia (UI).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perguruan tinggi di Indonesia setelah lahirnya UU BHP terhadap perguruan tinggi berbadan hukum milik negara (PT BHMN) siap bertransformasi menjadi perguruan tinggi berbadan hukum pendidikan (PT BHP), sedangkan perguruan tinggi bersistem pengelolaan keuangan badan layanan umum (PT PK-BLU) tidak terpengaruh dengan adanya UU BHP ini. UU BHP telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan pengujian.
Hasil dari pengujian tersebut adalah pembatalan UU BHP yang kemudian berimplikasi terhadap status hukum UI. Status UI pasca pembatalan UU BHP tetap PT BHMN namun bersistem pengelolaan keuangan badan layanan umum (PK-BLU) sebagaimana diamanatkan PP No.66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

This study is based on the implementation of higher education entity in Indonesia; especially Law for Educational Entity (BHP) regulated by Law Number 9 year 2009 and the Constitutional Court decision Number 11-14-21-126- 136/PUU-VII/2009 on judicial review which invalidated the Law for Educational Legal Entity (UU BHP) as well as its implication on the legal status of University of Indonesia.
This study discusses two main problems; first, the legal status of Higher Educations in Indonesia after the issuance of the Law for Educational Legal Entity; second, the implications of the Constitutional Court decision Number 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 on the invalidation of the law for Educational Legal Entity on the legal status of University of Indonesia (UI).
The method of this study is normative legal research using two secondary data and comparative approach. The findings show that the status of higher education in Indonesia after the issuance of the Law for Educational Legal Entity for the State Owned Legal Enterprises (PT BHMN) university is the transformation of the university into Educational Legal Entity (PT BHP) University. Meanwhile, the university with the system of Financial Management of General Service Agency (PT PK-BLU) is not influenced by the Law for Educational Legal Entity. This law has been proposed to the Constitutional Court to conduct judicial review.
The result of the judicial review is the invalidation of the Law for Educational Entity which gives impact on the legal status of UI. The status of UI after the invalidation is PT BHMN with the system of Financial Management of General Service Agency (PK-BLU) as mandated by PP Number 66 year 20120 on the amendment of PP Number 17 year 20120 on the Management and Education Implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43767
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gitta Nur Wulan
"Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi merupakan salah satu urusan pemerintahan konkuren yang didapatkan secara atribusi dengan bersumber pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Atas dasar hal tersebut, Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang Transportasi pada pelaksanaannya dapat dibagi dalam kewenangan perencanaan; kewenangan penyelenggaraan dan kewenangan evaluasi. Dalam perkembangannya, permasalahan transportasi Jakarta yang kompleks dan terhubung dengan daerah sekitarnya membutuhkan penanganan yang terpadu dan komprehensif, sehingga pemerintah pusat membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) melalui Perpres No. 103 Tahun 2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. BPTJ melaksanakan tugas dengan mengacu pada Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Oleh karena kewenangan BPTJ yang lintas daerah dalam wilayah Jabodetabek, maka kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi tidak mengalami perubahan secara substansial, melainkan hanya terdapat perubahan terkait koordinasi pelaksanaan kewenangan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap berwenang dalam pengelolaan transportasi di lingkup wilayahnya yang didasarkan atas kewenangan atributif dari pembagian urusan pemerintahan di bidang perhubungan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan jenis eksplanatoris, sehingga akan menghasilkan suatu penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan secara mendalam terkait suatu gejala atau permasalahan dengan menggunakan data sekunder berupa norma hukum tertulis. Dalam praktik pelaksanaannya masih terdapat potensi tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan BPTJ, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas mengenai hubungan kerja dan pembagian urusan di bidang transportasi antara pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek dengan BPTJ yang mengacu pada RITJ.
Jakarta Provincial Government Authority in the field of transportation is one of the concurrent authority obtained by attribution, referring to The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. On that basis, Jakarta Provincial Government Authority in the field of Transport on its implementation can be divided into the planning authority; organizing authority and the authority of the evaluation. In its development, the transportation problems in Jakarta was complex and connected with the surrounding area in need of an integrated and comprehensive treatment, so that the central government established the Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ) through Presidential Regulation Number 103 of 2015 concerning Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ). BPTJ duties referred to the Transportation Master Plan for Jabodetabek (RITJ). Therefore BPTJ authority which cross the area in Greater Jakarta, the Jakarta Provincial Government authorities in the field of transport did not change substantially, but there are only related to changes in coordinating the implementation of the authority. In this case, Jakarta Provincial Government retains authority in the management of transport in the scope of its area are based on the attributive authority of the division of government affairs in the sector of transportation in The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. The method used in this research is normative juridical with the kind of explanatory, so it will produce a study that depicts or describes in depth related to a problem with using secondary data in the form of a written legal norms. In practical implementation, there is still potential overlapping authority between the Government of Jakarta with BPTJ, so that the necessary legislation clearly regulating the relationship and the division of affairs in the field of transport between local authorities in the Greater Jakarta area with BPTJ which refers to RITJ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Sudrajat
"Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi di Indonesia. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan yang menggabungkan teori pemisahan kekuasaan, fiilosofi pembentukan peradilan konstitusi, konsep negara hukum dengan proses legislasi di Indonesia. Putusan No. 10/PUU-VI/2008 menunjukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah berperan sebagai positive legislator (pemuat norma) yang menimbulkan banyak perdebatan secara akademis. Hal ini sejalan dengan perkembangan di beberapa negara yang memungkinkan adanya peran peradilan konstitusinya sebagai positive legislator dalam menjamin hak-hak warga negara. Selain itu, dapat dilihat bagaimana implikasi dari tindakan Mahkamah Konstitusi yang mencantumkan syarat domisili calon anggota DPD terhadap proses legislasi yang dipegang oleh DPR dan Presiden (termasuk DPD).

The purpose of this thesis is to explain and analyse the role of Constitutional Court as Positive Legislator and its implications toward the legislation process in Indonesia. The writer uses the juridical-normative research method alongside bibliographic study which mixes separation of power theory, the forming of constitutional tribunal philosophy, the state of law concept with the legislation process in Indonesia. From the Judgment No.10/PUU-VI/2008, it can be concluded that the Indonesian Constitutional Court has its role as a positive legislator. This is consistent with the developments among some States which permit the existence of a role of a positive legislator from a constitutional tribunal in guaranteeing the rights of citizens. Besides, this thesis will bring into focus the implications from the acts of Constitutional Court which has the domicile requirements written down for the candidates of DPD to the legislation process which is held by DPR and the President (including the DPD)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42534
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Adhitama Sukma
"Kehadiran Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memberikan ketidakpastian hukum. Di satu sisi Pemerintah telah menentukan jangka waktu secara rigid jangka waktu bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah sebagai Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, khususnya dalam pengaturan Perizinan Bangunan Gedung dalam jangka waktu 2 (dua) bulan dan Persetujuan Bangunan Gedung dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peraturan pemerintah terkait disahkan. Namun pasca dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 yang amarnya tidak membenarkan dibentuknya peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, Menteri Dalam Negeri justru menginstruksikan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk tetap melaksanakan pembentukan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja yang telah lebih dahulu dibentuk.

The presence of the Instruction of the Minister of Home Affairs Number 68 of 2021 regarding the Follow-up to the Decision of the Constitutional Court Number: 91/PUU-XVIII/2020 concerning the Review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation has created legal uncertainty. On the one hand, the Government expressly stipulates a period of time for Regional Governments to form Regional Regulations as Implementing Regulations for the Job Creation Law, especially in the regulation of Building Permits within a period of 2 (two) months and Building Approval within 6 (six) months after the relevant government regulations are ratified. However, after the issuance of Constitutional Court Decision Number: 91/PUU-XVIII/2020 which did not justify the stipulation of implementing regulations for the Job Creation Law, the Minister of Home Affairs instructed the Governor, Regent, and Mayor to continue implementing the stipulation of implementing regulations for the Job Creation Law and Implementing Regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>