Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179687 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joseph Prasetyo
"Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di negara berkembang termasuk Indonesia. Hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi anak balita yang stunting adalah 37,2% dan anak usia 5-12 tahun memiliki prevalensi 30,5%. Banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya stunting, salah satunya nutrisi. Salah satu komponen nutrisi yang penting dipenuhi untuk pertumbuhan anak adalah asupan protein.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik sosiodemografi, indikator TB/U, dan asupan protein serta mengetahui ada tidaknya korelasi antara asupan protein dan intikator TB/U.
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan data sekunder dari penelitian primer yang berjudul “The effect of Frisian Flag GUM 456 ((isomaltulose enriched and mineral and vitamin fortified) on cognitive performance parameters in young children (5-6 years old)”. Subjek penelitian yaitu anak usia 5-6 tahun yang berdomisili di Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Data asupan protein didapatkan dengan menggunakan instrumen semi-kuantitatif food frequency questionnaire (FFQ) dan data antropometri tinggi badan diukur dengan alat pengukur mikrotoise.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 20% subjek penelitian memiliki persentil TB/U kurang dari 5 (stunted) dan masih terdapat beberapa subjek (8,6%) yang memiliki asupan protein kurang dari AKG. Namun, tidak terdapat korelasi bermakna antara asupan protein dan indikator TB/U (p=0,903).

Stunting is one of serious health problems in developing country including Indonesia. Result from RISKESDAS 2013 shows that Indonesia has a prevalence of stunting toddlers 37.2% and prevalence of 5-12 years old stunting children 30.5%. There are many factors contributing to stunting, including nutrition. One of essential nutrients for children growth is protein.
The aim of this study is to know subject distribution based on characteristic of sociodemography, height-for-age index, protein intake and corelation between protein intake with height-for-age index of 5-6 years old children in Jakarta.
This study uses cross-sectional design of secondary data from primary study with title “The effect of Frisian Flag GUM 456 ((isomaltulose enriched and mineral and vitamin fortified) on cognitive performance parameters in young children (5-6 years old)”. Subject is 5-6 years old children who lives in Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Protein intake is measured by semi-quantitative instrument food frequency questionnaire (FFQ) and antropometric body height is measured by microtoise.
The results show that there are 20% subject who have height-for-age (H/A) index below 5th percentile and 8.6% subject have protein intake less than AKG. Nevertheless, there is no significant correlation between protein intake and height-for-age (H/A) index (p=0.903).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clements
"Masa-masa awal kehidupan adalah fase krusial dimana sedang terjadi proses pertumbuhan, dan ketika proses ini terganggu dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Salah satu bentuk gangguan pertumbuhan adalah stunting. Proses pertumbuhan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dan salah satunya adalah asupan nutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara asupan nutrisi yaitu kalsium dengan indikator tinggi badan terhadap usia (TB/U). Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Data didapat dari data sekunder penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 di beberapa RW di Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Metode pengambilan data menggunakan pengukuran antropometri untuk tinggi badan dan food-frequency questionaire untuk pola asupan kalsium. Data yang didapat dianalisis dengan uji spearman menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Dari penelitian ini didapatkan 15,7% subjek penelitian mengalami stunting, lebih dari 80% subjek penelitian memiliki asupan kalsium harian yang rendah, dan tidak ditemukan korelasi antara asupan kalsium dengan indikator TB/U.

Childhood is a crucial phase of life where the process of growth is ongoing, and when this process is interrupted, the end result will be a growth disorder. Stunting is an example of such a condition. The process of growth is influenced by numerous factors and one of them is nutrient intake. This research aimed to find out the correlation between the level of nutrient intake and height-for-age indicator. The nutrient discussed in this research is calcium. This research used a cross-sectional research design. Data of this research used a secondary data from a research conducted in 2011 in several RW on Jalan Kimia, Central Jakarta. The primary research used anthropometric measurements to obatain height data and food frequency questionaire to obtain the calcium intake patterns. Data that have been obtained then were analyzed with the Spearman test using SPSS version 20 software. This research conclude that 15.7% of the research subjects are stunted, over 80% of the research subjects had a low daily calcium intake and no correlation is found between daily calcium intake and the indicator of height-for-age.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arvianto Rahmat Nugroho
"Status gizi kurang masih merupakan permasalahan serius pada anak di Indonesia. Salah satu dampaknya adalah terjadi stunting. Stunting adalah gangguan pertumbuhan linier. Prevalensi stunting yang diukur menggunakan indikator tinggi badan menurut usia (TB/U) pada anak usia pra sekolah (4-6 tahun) di Indonesia mencapai 35,7%. Faktor yang dapat menyebabkan stunting adalah terjadinya malnutrisi kronik. Malnutrisi dapat terjadi karena kurangnya asupan makronutrien maupun mikronutrien. Salah satu kebutuhan mikronutrien yang harus dipenuhi adalah asupan zink. Zink berperan dalam memproduksi hormon pertumbuhan, sehingga kekurangan zink dapat berpengaruh terhadap kejadian stunting.
Penelitian ini ingin mencari korelasi antara asupan zink dengan indikator TB/U pada anak usia 5-6 tahun di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional dengan menggunakan data sekunder yang didapatkan melalui pengukuran antropometri dan food frequency questionaire dari sebuah penelitian di beberapa RW di Jalan Kimia pada tahun 2011. Dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 37,1% subyek penelitian dengan asupan zink kurang dan sebanyak 18,6% mengalami stunting. Tidak ditemukan adanya korelasi antara asupan zink dengan indikator TB/U.

Low nutritional status is still a major problem for children in Indonesia. Low nutritional status could lead to stunting in children. Stunting is a linear growth problem. The prevalence of stunting, measured by height for age indicator, in pre-school children (age 4-6 years) in Indonesia is 35.7%. One of the factor that can cause stunting is chronic malnutrition. Low intake of macronutrient or micronutrient can cause malnutrition in children. Zinc is one of the important micronutrient essential for children. Zinc have a role in producing growth hormones. Inadequate intake of zinc possibly could lead to stunting.
The goal of this research is to find a correlation between zinc intake and height for age indicator in children aged 5-6 years in Jakarta. This research used a cross-sectional method, using secondary data that contains anthropometric measurements and food frequency questionaire data from a research conducted in several RW‟s on Jalan Kimia in 2011. The results showed that 37.1% of the research subject have inadequate zinc intake and 18.6% is stunted. No correlation is found between zinc intake and height for age indicator.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Stunting merupakan suatu masalah kesehatan yang banyak ditemui pada balita Indonesia, yang ditetapkan oleh WHO sebagai rasio tinggi badan terhadap usia (TB/U) dibawah persentil 5. Persentase stunting balita Indonesia adalah sebesar 37,2% dan terklasifikasi sebagai high severity stunting oleh WHO. Stunting menjadi suatu isu penting karena memiliki dampak buruk yang bersifat inter-generasi. Stunting bersifat kronik dan memiliki penyebab yang bersifat multifaktorial, dengan defisiensi nutrisi sebagai penyebab utama.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara asupan asam folat dengan indikator TB/U. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari penelitian yang dilakukan pada Mei 2011 dengan subjek anak 5-6 tahun yang berdomisili di beberapa RW di Jalan Kimia, Jakarta Pusat.
Metode penelitian menggunakan pengukuran antropometri terstandar untuk memperoleh tinggi badan subjek serta ­food-frequency questionnaire (FFQ) untuk mengetahui asupan asam folat subjek. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan piranti lunak SPSS 11.5 lalu dianalisis dengan uji Spearman dan uji Chi-Square. Didapatkan bahwa persentase subjek stunted adalah sebesar 20% dan lebih dari 70% subjek memiliki asupan asam folat harian rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya korelasi antara asupan asam folat dengan indikator TB/U.

Stunting is a health issue commonly found in Indonesian children of 0-5 years old, whose height-for-age is lower than the 5th percentile standard set by WHO. Having 37,2% of its 0-5 years old population to be stunted (2013), Indonesia claims a high severity stunting level from WHO. Stunting rises as an important issue because of its inter-generation lasting poor effect. Stunting is a chronic and multifactorial condition in which nutrient deficiency holds the main etiology.
This research aims to determine whether a correlation between folic acid intake and height-for-age indicator exists. Running a cross-sectional study design, this research uses secondary data from a former research conducted in May 2011 with children of 5-6 years old living in some RWs located at Kimia Street, Central Jakarta as its subjects.
The research method comprised a standardized anthropometric measurement and the usage of food-frequency questionnaire (FFQ) to obtain subject's height and folic acid intake respectively. Using SPSS 11.5 software, data is then analyzed by Spearman and Chi-Square test, resulting 20% of subjects being stunted and more than 70% of subjects receiving under-par folic acid intake. This research shows that no correlation could be found between folic acid intake and height-for-age indicator.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Moses Hanky J.T.
"Stunting adalah suatu keadaan dimana tinggi badan seorang anak terhadap umurnya (TB/U) berada dibawah persentil lima kurva pertumbuhan WHO atau CDC. Terjadinya stunting dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk faktor asupan nutrisi. Energi atau kalori merupakan salah satu makronutrien yang berperan penting untuk mencukupi kebutuhan aktivitas vital tubuh, aktivitas sehari-hari, dan pertumbuhan jaringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara asupan kalori dengan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U) khususnya pada anak usia 5-6 tahun. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan sampel sebanyak 70 sampel yang merupakan data sekunder dari penelitian primer yang dilakukan pada anak berusia 5-6 tahun di beberapa RW di Jalan Kimia, Jakarta Pusat pada bulan Mei 2011. Data asupan kalori didapatkan dengan menggunakan metode food frequency questionnaire. Pengolahan data dilakukan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji Spearman's dengan software SPSS versi 20 Mac OSX. Dari penelitian didapatkan sebanyak 15.7 % subjek mengalami stunting dan lebih dari 50 % subjek tidak mencapai Angka Kecukupan Energi harian. Namun, tidak ditemukan korelasi bermakna antara asupan kalori dan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U) (p=0.402). Dapat disimpulkan bahwa belum dapat dibuktikan adanya korelasi antara asupan kalori dan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U).

Stunting is defined as a condition where the length per age of child is below fifth percentile of the standardized international growth curve from WHO or CDC. Many factors contribute to stunting, including nutrition. Energy or calorie is one of the macronutrients needed for vital activities of the human body, daily activities and tissue growth. This research is being held to find out the correlation between calorie intake and the height/age indicator, specifically in children in 5 to 6 years of age. This is a cross sectional research with 70 samples gathered from secondary data by the primary research done to several children 5-6 years in Jalan Kimia, Central Jakarta in May 2011. The calorie intake data is acquired using the food frequency questionnaire. The data is analyzed using Kolmogorov-Smirnov and Spearman's test in SPSS for Mac OSX version 20 software. It is found that 15.7 % of the subjects are stunted and more than 50 % of the subject didn't meet the national minimum daily energy intake. Therefore, no correlation is found between calorie intake and height/age indicator value of the subjects (p=0.402). It is concluded that there is no correlation found between calorie intake and height/age indicator value in this."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rama Sulaiman
"Stunting merupakan kegagalan pertumbuah liner yang dilihat dari indikator tinggi badan terhadap usia jatuh dibawah persentil 5 (WHO). Prevalensi stunting di Indonesia (30,7%) tergolong dalam kategori High Severity (WHO). Stunting sebagai masalah gizi kronis dan multifaktorial memiliki banyak dampak antara lain peningkatan morbiditas, peningkatan mortalitas, gangguan fungsi metabolisme, komplikasi obstetrik saat hamil, gangguan perkembangan, dan penurunan produktivitas sosioekonomi. Salah satu yang menjadi faktor risiko adalah asupan nutrisi. Zat besi merupakan mikronutrien yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh manusia termasuk dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asupan zat besi yang tidak adekuat dapat menyebabkan anemia defisiensi zaat besi, peningkatan risiko infeksi, gangguan perkembangan kognitif, dan gangguan perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dengan tujuan untuk mencari korelasi antara asupan zat besi dan indikator tinggi badan terhadap usia (TB/U). Penelitian ini menggunakan data sekunder (usia, tinggi badan dan asupan zat besi) dari penelitian primer pada anak usia 5-6 tahun yang tinggal di Jl. Kimia, Jakarta. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah tidak ada korelasi bermakna antara asupan zat besi dan indikator TB/U (p=0,964). Namun tidak ada hubungan bermakna antara kecukupan asupan zat besi harian (AKG 2012) dan angka kejadian stunting (p=0,719).

Stunting is linear growth failure that defined by WHO with low height for age indicator (percentile 5). Stunting prevalence in Indonesia (30,7%) categorized as High Severity (WHO). Stunting as chronic multifactorial nutritional problem has many effect such as increase the risk of morbidity, increase the risk of mortality, impaired metabolism function, obstetric complication in pregnant women, developmental disorder, and decrease in socioeconomic productivity. Stunting has many risk factor, and one of them is nutrional intake. Iron is micronutrient that has many function in human body such as in child growth and development. Inadequte iron intake can cause iron deficiency anemia, increase in risk of infection, cognitive development disorder, and behavioural disorder. This research use cross-sectional design with purpose to find correlation between iron intake and high for age indictator. This research use secondary data (age, height, iron intake) from primary research on child age 5-6 years that live in Kimia St., Jakarta. Result of this research is there is no significant correlation between iron intake and height for age indicator (p=0,964). This research also found out that there is no significant correlation between inadequate iron intake (AKG 2012) and stunting incidence (p= 0,719).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Menganti Harum Putrinata
"Kegemukan dan obesitas pada anak sekolah dasar usia 7-12 tahun di Indonesia masih tinggi dari waktu ke waktu dan serat pangan terbukti memiliki fungsi baik pada tubuh dengan cara mengontrol berat badan serta mencegah penyakit tidak menular. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik subjek, menentukan serat pangan harian subjek, mengetahui skor persentil IMT menurut umur subjek, dan menganalisis hubungan antara serat pangan dengan skor persentil IMT menurut umur sebagai tujuan utama. Subyek yang terpilih sebanyak 153 orang yang mengikuti penelitian SEANUTS II melalui simple random sampling. Penelitian ini menggunakan analisis data sekunder melalui metode cross sectional. Korelasi antara asupan serat pangan terhadap skor persentil IMT menurut umur diharapkan untuk terjadi, sehingga kegemukan, obesitas, dan penyakit tidak menular dapat dicegah pada usia mendatang, akan tetapi faktor lain juga dianalisis terhadap skor persentil IMT untuk usia. Faktor lain terdiri dari umur, jenis kelamin, skor aktivitas fisik, asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak), dan energi. Analisis statistik pada penelitian ini menggunakan uji korelasi one-tailed spearman dengan nilai signifikansi p < 0.05 untuk analisis bivariat, dilanjutkan ke analisis multivariat dengan p < 0.2. Uji Mann-Whitney juga digunakan untuk membandingkan variabel kategorik dan numerik dalam analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara asupan serat makanan dan skor persentil BMI-untuk-usia pada anak SD usia 7-12 tahun, namun asupan karbohidrat dan jenis kelamin subjek menunjukkan korelasi terhadap skor persentil IMT-untuk-usia pada anak.

Overweight and obesity in elementary school children aged 7-12 years in Indonesia still remain high from time to time and dietary fiber is proven to have positive functions by controlling weight and preventing non-communicable diseases. The purpose of this study is to describe characteristics of selected subjects, determining daily dietary fiber of subjects, knowing the BMI-for-age percentile score of subjects, and analyzing the correlation between dietary fiber and BMI-for-age percentile score as the main objective. The selected subjects were 153 children who participated in the SEANUTS II study through simple-random sampling. The study used secondary data analysis through a cross sectional method. A correlation between dietary fiber intake towards BMI-for-age percentile score is expected so that overweight, obese, and further non-communicable diseases can be prevented in future time, however other factors are also analysed for BMI- for-age percentile score. Other factors include age, gender, physical activity score, macronutrients intake (carbohydrate, protein, fat), and energy. Statistical analysis used one-tailed Spearman correlation test with significance value p < 0.05 for bivariate analysis, proceeding to multivariate analysis using p < 0.2. Mann-Whitney test is also used to compare categoric and numeric variables in bivariate analysis. Our research shows no correlation between dietary fiber intake and BMI-for-age percentile score in elementary children aged 7-12 years, however carbohydrate intake and gender of subjects showed a significance towards BMI-for-age percentile score. "
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darrin Ananda Nugraha
"Latar belakang: Tingginya angka kegemukan pada anak di DKI Jakarta dapat menggambarkan angka kebugaran fisik yang rendah pada anak. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan asupan energi yang cukup berpengaruh positif terhadap kekuatan genggaman tangan sebagai indikator kebugaran tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara aktivitas fisik dan asupan energi dengan kebugaran tubuh pada anak.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara aktivitas fisik dan asupan energi dengan kebugaran fisik pada anak usia 7-12 tahun di DKI Jakarta pada tahun 2019.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitan potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian SEANUTS II Indonesia. Terdapat 67 sampel yang terpilih secara acak. Kekuatan genggaman tangan yang diukur dengan dinamometer telah terbukti akurat untuk menggambarkan kebugaran tubuh manusia. Aktivitas fisik diukur menggunakan kuisioer PAQ-C, sedangkan asupan energi diukur menggunakan kuesioner asupan 24 jam. Data dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman dengan batas kemaknaan p<0,05.
Hasil: Rata- rata asupan energi adalah 1430,01 ± 539,82 kcal/hari, dan rata-rata skor aktivitas fisik adalah 2,26 ± 0,65. Sedangkan, median kebugaran fisik adalah 10,6 (5-22,7) Kg. Secara statistik tidak ditemukan korelasi yang bermakna, baik antara aktivitas fisik dengan kebugaran fisik (p=0,638 r=-0,07) serta antara asupan energi dengan kebugaran fisik (p=0,572 r=-0,058).
Simpulan: Tidak ditemukan korelasi antara aktivitas fisik dan asupan energi dengan kebugaran fisik anak usia 7-12 tahun di DKI Jakarta.

Background: The high rate of obesity in children in DKI Jakarta can describe the low level of physical fitness in children. Research shows that adequate physical activity and energy intake have a positive effect on handgrip strength as an indicator of body fitness. This study was conducted to determine the correlation between physical activity and energy intake with physical fitness in children.
Aim: To find out the correlation physical activity and energy intake with physical fitness in children aged 7-12 at Jakarta year 2019.
Methods: This is a cross-sectional study using secondary data from SEANUTS II research in Indonesia. There are 67 samples selected by random sampling. The use of a dynamometer to measure handgrip strength has been shown to accurately describe the level of physical fitness in the human body. Physical activity was measured using the PAQ-C questionnaire, while energy intake was measured using a 24-hour food recall questionnaire. Data were analyzed using Spearman correlation methods with cut- off p-value <0.05.
Results: The average of energy intake and physical activity score is 1430.01 ± 539.82 kcal/day and 2.26 ± 0.65 respectively. Meanwhile, the median physical fitness was 10.6 (5-22.7) Kg. Statistically, there is no significant correlation between physical activity and physical fitness (p=0.638 r=-0.07), and also between energy intake and physical fitness (p=0.572 r=-0.058).
Conclusion: There is no correlation between physical activity and energy intake with the physical fitness of children aged 7-12 years in DKI Jakarta.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Kristi Triastari
"

Latar belakang: Prevalensi anemia pada balita di Indonesia masih tinggi. Etiologi tersering adalah anemia defisiensi besi. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan perkembangan saraf buruk dan gangguan respon imun. Selain malnutrisi zat besi, malnutrisi protein juga dapat menyebabkan anemia. Anemia lebih banyak ditemukan pada kelompok usia 6-23 bulan, disebabkan oleh kebutuhan meningkat. Hubungan zat besi dan protein dengan kadar hemoglobin masih menunjukkan hasil beragam serta belum ada penelitian yang membandingkan hubungan antar kelompok usia.  

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional menggunakan data sekunder. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Data yang digunakan berasal dari kuesioner sosiodemografis, 24-hour food recall, dan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Analisis data dilakukan menggunakan SPSS. Normalitas data didapatkan melalui Kolmogorov-Smirnov. Analisis bivariat dilakukan menggunakan Pearson (bila distribusi data normal) atau Spearman (bila distribusi data tidak normal). Signifikansi didapatkan bila p <0,05.

Hasil: Terdapat 97 subjek untuk kelompok usia 6-23 bulan dan 82 untuk usia 24-36 bulan. Tidak ada perbedaan bermakna karakteristik demografi antara kelompok usia, kecuali untuk kekerapan sakit (p=0,003). Asupan protein dan zat besi lebih tinggi pada kelompok usia 24-36 bulan dibandingkan 6-23 bulan. Asupan protein berkorelasi positif secara signifikan dengan kadar hemoglobin pada kelompok usia 6-23 bulan (r=0,428) dan usia 24-36 bulan (r=0,262). Asupan zat besi berkorelasi positif secara signifikan dengan kadar hemoglobin pada kelompok usia 6-23 bulan (r=0,555) dan usia 24-36 bulan (r=0,253). Perbedaannya bermakna secara statistik.

Kesimpulan: Koefisien korelasi antara asupan zat besi dan Hb serta asupan protein dan Hb pada kelompok usia 6-23 bulan lebih kuat dibandingkan kelompok usia 24-36 bulan. Dibutuhkan intervensi pemberian MPASI yang adekuat dan fokus pemenuhan nutrisi pada anak usia 6-36 bulan, terutama pada kelompok usia 6-23 bulan.


Introduction: Anemia prevalence among toddlers in Indonesia is still high. The most frequent etiology is iron deficiency anemia. Iron deficiency may cause restrictions in nerve development and immune problems. Other than iron deficiency, protein malnutrition may also cause anemia. The prevalence is higher in 6-23 months age group due to the increase need. However, the correlation between iron and protein intake with hemoglobin levels is still showing different results and the researches do not compare the correlation between different age groups.

Methods: This is an analytic-observational research using secondary data. The research was conducted using cross-sectional method with total sampling technique. The data used were obtained from sociodemographic questionnaire, 24-hour food recall, and Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). The data was analyzed using SPSS. Normal distribution of data was assessed using Kolmogorov-Smirnov. Bivariate analysis was done using Pearson (if the data is distributed normally) or Spearman (data not distributed normally). Significance level is established at p<0,05.

Results: A total of 97 subjects for 6-23 months age group and 82 subjects for 24-36 months age group was recruited. No significant statistical difference was found for the demographic criteria, except for sick frequency (p= 0,003). The protein and iron intake are higher in 24-36 months age group. Protein intake correlates positively with hemoglobin levels in 6-23 months age group (r=0,428) and 24-36 months age group (r=0,262) and the statistical difference is significant. Iron intake correlates positively with hemoglobin levels in 6-23 months age group (r=0,555) and 24-36 months age group (r=0,253) and the statistical difference is significant.

Conclusion: Correlation coefficient between iron intake with hemoglobin levels and protein intake with hemoglobin levels is higher in the 6-23 months age group than 24-36 months age group. Adequate complementary feeding intervention is needed and nutrition fulfilment must be given in children age 6-36 months, especially 6-23 months age group.

 

"
Lengkap +
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabiola Cathleen
"Stunting merupakan masalah kesehatan global yang dimiliki oleh 150,8 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Anak stunting diindikasikan dengan tinggi badan menurut usia di bawah minus dua deviasi standar dari World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. Jika terjadi dalam 1000 hari kehidupan pertama seorang anak, stunting cenderung bersifat irreversible, dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan, mulai dari penurunan kemampuan kognitif, peningkatan risiko atas penyakit metabolik, dan penurunan pendapatan dan kesejahteraan hidup di masa depan. Korelasi vitamin D dan kalsium masih terhadap stunting masih kurang dieksplorasi, padahal beberapa studi menunjukkan dampak positif melalui fungsi mineralisasi tulang dan insulin-like growth factor axis. Dengan begitu, penelitian ini dilakukan untuk mencari korelasi antara asupan kalsium dan vitamin D terhadap indikator stunting (HAZ) pada anak usia 6-24 bulan sebagai usia yang telah mendapatkan MPASI, dan di Jakarta Timur sebagai wilayah dengan prevalensi stunting kedua tertinggi di antara wilayah DKI Jakarta lainnya. Metode: Metode yang digunakan adalah metode potong lintang, dengan total 62 sampel, yaitu anak usia 6-24 bulan yang bertempat tinggal di Jakarta Timur dan mengikuti penelitian Departemen Gizi FKUI 2014, sesuai kriteria inklusi tanpa kriteria eksklusi, kemudian terpilih melalui simple random sampling. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 for Mac. Hasil: Hasil yang ditemukan adalah anak usia 12-24 bulan berhubungan positif dan signifikan secara statistik terhadap asupan kalsium kurang dari AKG (OR= 16,611; p<0,001). Sebaran asupan vitamin D dan status stunting berdasarkan seluruh karakteristik subjek tidak memiliki hubungan signifikan secara statistik. Sementara itu, asupan kalsium dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,324; p=0,005; p<0,01), begitu pula dengan asupan vitamin D dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,279; p=0,014, p<0,05). Hubungan status asupan kalsium dan vitamin D terhadap status stunting tidak bersifat signifikan secara statistik, namun penting secara klinis. Pembahasan: Usia 12-24 bulan lebih berisiko untuk memiliki asupan kalsium yang lebih rendah karena frekuensi minum ASI yang semakin berkurang tidak diimbangi dengan asupan gizi MPASI. Korelasi signifikan antara asupan kalsium dan asupan vitamin D terhadap HAZ mendukung studi sebelumnya bahwa kalsium dan vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi IGF-1 plasma, dan bahwa kalsium dan vitamin D bekerja berdampingan.

Stunting is a global health issue, with approximately 150.8 million children are affected worldwide, including Indonesia. Children with stunting are indicated with a Height-for-Age Z Score of less than-2 standard deviation based the World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. If it occurs in the first 1000 days of life, stunting tends to be irreversible and cause impaired development, from cognitive impairment and increased risk of metabolic diseases, to lower income and welfare in the future. Correlation between vitamin D and calcium intake towards stunting have yet to be explored thoroughly even though several studies suggest their positive impacts through bone mineralisation and insulin-like growth factor axis. Thus, this research is done in order to discover the correlation between calcium and vitamin D toward stunting indicators (HAZ) on children aged 6-24 months, as they are currently given complementary foods, and located in East Jakarta, which has the second highest stunting prevalence compared to other regions in DKI Jakarta. Method: This study uses a cross-sectional method with a total of 62 samples, which are children aged 6-24 months that live in East Jakarta and took part in FKUI's Nutrition Department's Research in 2014, passing inclusion criterias without exclusion criterias, then selected through simple random sampling. Data processing and analysis are conducted with SPSS 20 for Mac software. Results: Results have found children age 12-24 months significantly and positively correlated with calcium intake less then AKG (OR=16.611; p<0.001). Vitamin D intake and stunting status distribution based on all subject characteristics are statistically insignificant On the other hand, calcium intake and HAZ have a positive and unidirectional correlation of (r=0.324; p=0.005; p<0.01), similar with vitamin D intake and HAZ with a positive and unidirectional correlation (r=0.279; p=0.014, p<0.05). Meanwhile, relationships of calcium and vitamin D intake status towards stunting status are not statistically significant, however clinically important. Discussion: Age group 12-24 months has higher risk to have lower calcium intake because reduced breastfeeding frequency is not balanced with adequate complementary food. Significant correlation between calcium and vitamin D intake towards stunting indicator supports the theory where calcium and vitamin D increases plasma IGF-1 concentration, and that both calcium and vitamin D works side-by-side.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>