Gangguan pendengaran pada umumnya dapat terjadi sejak lahir (tuli kongenital) atau di kemudian hari (tuli didapat). Kedua grup memiliki perbedaan karakteristik yang berdampak pada proses pengobatannya. Oleh karena itu, mengetahui kedua jenis penyakit tersebut terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke tindakan selanjutnya adalah sangat penting. Namun, saat ini di Indonesia masih belum ada program skrining yang berjalan untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada anak sejak dini. Menanggapi hal tersebut, penelitian ini bertujuan menganalisis data Diffusion Tensor Imaging (DTI) dari kedua jenis pasien tuli untuk dilanjutkan ke proses klasifikasi dan clustering supaya didapat model yang dapat membedakan kedua kondisi tersebut. Pengembangan model dilakukan melalui proses hyperparameter tuning serta percobaan terhadap dataset dengan dan tanpa fitur usia. Selanjutnya, diterapkan juga percobaan terhadap ada atau tidaknya data validasi terpisah. Performa model dianalisis berdasarkan beberapa metrik evaluasi seperti akurasi, presisi, spesifisitas, recall, confusion matrix, skor F1, area under the ROC curve (AUC-ROC), precision-recall curve, dan silhouette score. Hasil analisis secara keseluruhan menunjukkan bahwa performa model menggunakan fitur usia lebih baik, yaitu pada model klasifikasi diperoleh spesifisitas 89.89%, skor F1 91.93%, dan AUC-ROC 88.61%, dan pada model clustering diperoleh nilai silhouette sebesar 0.8524. Analisis tanpa fitur usia menunjukkan bahwa kedua kelompok dapat diklasifikasi, namun tidak berdasarkan kondisi maturasinya, sedangkan hasil clustering menunjukkan pengelompokkan kelas yang berbeda dari klasifikasi. Penelitian ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama jika kedua kelas memiliki rasio dataset yang seimbang.