Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pasaribu, Nindya Miesye Agita
"Skripsi ini membahas mengenai konsep bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang diusung oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang diperbandingkan dengan konsep kekerasan seksual di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan konsep kesusilaan di dalam Rancangan KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, skripsi ini bertujuan untuk memberikan penilaian mengenai urgensi dari Komnas Perempuan untuk melahirkan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang memuat tentang 15 (lima belas) tindak pidana kekerasan seksual, yakni; Perkosaan, Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, Intimidasi, Ancaman dan Percobaan Perkosaan, Prostitusi Paksa, Pemaksaan Kehamilan, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan Perkawinan, Perdagangan perempuan untuk Tujuan Seksual, Kontrol Seksual seperti Pemaksaan Busana dan Diskriminasi Perempuan Lewat Aturan, Penghukuman Tidak Manusiawi dan Bernuansa Seksual, Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan Perempuan dan Pemaksaan Sterilisasi dengan memperbandingkan masing-masing konsep tindak pidana tersebut dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Rancangan KUHP. Skripsi ini berkesimpulan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana yang saat ini berlaku belum atau masih kurang dapat menanggulangi bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang diusung oleh Komnas Perempuan.

This thesis mainly discuss about the concept of forms of sexual violence in the draft Law on Sexual Violence promoted by the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), as compared with the concept of sexual violence in the laws and regulations in Indonesia and the concept of morality in the Draft Criminal Code. By using the method of literature research, this paper aims to provide an assessment of the urgency of the National Commission for Women to create the draft Law on Sexual Violence that includes about 15 (fifteen) criminal acts of sexual violence, which are; Rape, Sexual Abuse, Sexual Exploitation, Sexual Torture, Sexual Slavery, Intimidation, Threats and Attempted Rape, Forced Prostitution, Forced Pregnancy, Forced Abortion, Forced Marriage, Trafficking of Women for Sexual Purposes, Sexual Control such as Coercion and Discrimination of Women through Fashion Rules, Inhuman Punishment and Sexual Nuances, Shades Tradition of Sexual Practices that Harm Women and Forced Sterilization by comparing each concept with a criminal offense such legislation in Indonesia and the draft Criminal Code. This thesis concludes that the policy formulation of criminal law that is currently in effect yet or still less able to cope with other forms of sexual violence against women are pursued by the National Commission on Violence Against Women.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninik Rahayu
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2021
155.33 NIN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Dianita Prosperiani
"Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum. Salah satu bentuknya adalah hak untuk bebas dari ancaman dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun dalam konstruksi masyarakat Indonesia yang masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua, sehingga perempuan menjadi orang yang paling sering menjadi korban kekerasan seksual. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai hukum positif yang mengatur mengenai kekerasan seksual, khususnya delik perkosaan tidak lagi mampu memberikan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Dalam kondisi yang demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu melalui Putusan Nomor 410/Pid.B/2014/PN.Bgl dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu melalui Putusan Nomor 12/Pid/2015/PT.BGL melakukan penemuan hukum yang melindungi perempuan dengan perspektif feminist legal theory. Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kewenangan hakim dalam melakukan penemuan hukum melalui putusan serta metode penemuan hukum dan perspektif feminist legal theory yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara kekerasan seksual. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dari penelitian yang dilakukan didapati bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memberi kewenangan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum melalui putusan. Selain itu Majelis Hakim menggunakan metode penemuan hukum berupa interpretasi dan eksposisi, serta dalam menyusun pertimbangannya menggunakan perspektif feminist legal theory dengan memahami adanya relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku.

The State has a responsibility to provide legal protection. One of it is the right to be free from threats and violence, including sexual violence. Within the construction of the Indonesian people who still use the patriarchal paradigm, women are placed as the second sex, which often makes them become the victim of sexual violence. While the Criminal Code as a positive law governing sexual offences, specifically the rape crime, is no longer able to provide protection to women victim of violence. In such conditions the Judges of the Bengkulu Distric Court through Decicion Number 410/Pid.B/2014/PN.Bgl and the Judges of Bengkulu Higher Court through Decicion Number 12/Pid/2015/PT.BGL conducted lawmaking that protects women in feminist legal theory perspective. This study was made to examine the judge`s authority in making law through decicions, the method that judges use to make the law, and the feminist legal theory perspective that used by the judges in deciding sexual offence. This research conducted by collecting data through examining library materials or secondary data. From the research conducted, it was found that Article 5 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 authorizes judges to do judicial lawmaking through decicions. In addition, the Judges used interpretation and exposition methods in making law, and produce their considerations using the feminist legal theory perspective by understanding the existence of imbalance power relation between victim and perpretator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Ayu Faraswati
"Dalam penulisan tesis ini, Penulis mengeksplorasi tanggung jawab platform media sosial dalam mengatasi kekerasan seksual berbasis elektronik di Indonesia. Bagi sebagian orang khususnya perempuan, media sosial merupakan tempat yang berbahaya karena memuat gambar, video, dan informasi lain yang tidak boleh diposting. Internet telah melahirkan jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama kekerasan siber (KSBE), yang memiliki bentuk dan implikasi yang lebih kompleks. Konten, termasuk pernyataan korban, foto, dan video, dapat lebih mudah dibagikan dan dilihat oleh lebih banyak orang di dunia digital. Berdasarkan fakta tersebut, jelas bahwa upaya hukum terkait penerapan upaya hukum dan tanggung jawab jaringan sosial terhadap kekerasan elektronik masih menjadi permasalahan di Indonesia. Konsep baru tanggung jawab korporasi didasarkan pada pandangan realis terhadap korporasi, yang menyatakan bahwa korporasi adalah individu yang mempunyai kepentingan, bukan berdasarkan tindakan konsumennya. Mengingat pertumbuhan konsep perusahaan dan kekuatannya yang belum pernah terjadi sebelumnya, fokus pada pertanggungjawaban korporasi merupakan hal untuk menetapkan tanggung jawab atas risiko yang terkait dengan penyelenggara sistem elektronik. Permasalahan kewenangan penyelenggara sistem elektronik berupa user-generated content yang dibagikan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah informasi elektronik yang dibuat oleh orang lain hanya dapat dihapus jika informasi elektronik tersebut memuat laporan. Jika penyelenggara sistem elektronik bertindak sebagai distributor, mereka tidak bertanggung jawab untuk menghapus atau mengubah informasi elektronik yang dibuat oleh pengguna. Apabila penyelenggara sistem elektronik bertindak sebagai penerbit, ia bertanggung jawab untuk menghapus (memusnahkan) dan mengelola informasi elektronik yang dibuat oleh pengguna. Pertama, apabila penyelenggara sistem elektronik tidak dapat mencegah, menghapus (menghancurkan) informasi elektronik yang dibatasi sesuai petunjuk, maka mereka dapat melakukan pengendalian. Kedua, apabila penyelenggara sistem elektronik tidak melaksanakan tugasnya mengirimkan pesan-pesan elektronik yang dilarang sehingga menimbulkan kematian atau gangguan kepada masyarakat, maka penyelenggara sistem elektronik dikenakan tanggung jawab hukum dan tindak pidana, yang mana mungkin melibatkan hukuman pidana. Tanggung jawab pidana korporasi atas penyebaran konten KSBE dan penghasutan terhadap komunitas pengguna media sosial dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik sebagai pelaku komersial. Sedangkan dalam pengaturan UU TPKS dan UU ITE mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan, khususnya yang melakukan tindak kekerasan pencurian elektronik, masih bermasalah dalam penerapannya dan belum memiliki landasan yang kuat dalam penerapannya.

In writing this thesis, the author explores the responsibility of social media platforms in overcoming electronic-based sexual violence in Indonesia. For some people, especially women, social media is a dangerous place because it contains images, videos and other information that should not be posted. The internet has given birth to a new type of crime known as cyber violence (KSBE), which has more complex forms and implications. Content, including victim statements, photos and videos, can be more easily shared and seen by more people in the digital world. Based on these facts, it is clear that legal remedies related to the implementation of legal remedies and social network responsibility for electronic violence are still a problem in Indonesia. The new concept of corporate responsibility is based on a realist view of corporations, which states that corporations are individuals who have interests, not based on the actions of their consumers. Given the unprecedented growth of the corporate concept and its power, a focus on corporate responsibility is essential for assigning responsibility for the risks associated with electronic systems providers. Problems with the authority of electronic system administrators include:user-generated content What is shared by electronic system operators is that electronic information created by other people can only be deleted if the electronic information contains a report. If electronic system operators act as distributors, they are not responsible for deleting or changing electronic information created by users. If the electronic system operator acts as a publisher, he is responsible for deleting (destroying) and managing electronic information created by the user. First, if electronic system administrators cannot prevent or delete (destroy) restricted electronic information according to instructions, then they can exercise control. Second, if the electronic system operator does not carry out its duties in sending prohibited electronic messages, thereby causing death or disturbance to the public, then the electronic system operator is subject to legal responsibility and criminal action, which may involve criminal penalties. Corporate criminal responsibility for the dissemination of KSBE content and incitement against the social media user community can be carried out by electronic system operators as commercial actors. Meanwhile, the provisions of the TPKS Law and ITE Law regarding criminal liability of companies, especially those that commit violent acts of electronic theft, are still problematic in their implementation and do not yet have a strong foundation in their implementation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Jakarta: Ind-Hill, 1997
364.153 2 TOP s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunsaribu, Risna Desimory
"Artikel ini merupakan bentuk interpretasi filosofis berdasarkan teori feminis radikal atas persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia. Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2019, angka laporan atas tindak kekerasan seksual semakin bertambah.  Akar dari kekerasan seksual datang dari perbedaan biologis perempuan dan laki-laki yang bergeser pemaknaan secara konstruktif dalam masyarakat. Laki-laki dianggap memiliki dominasi seksual atas perempuan. Adanya politik seksual yang dilanggengkan negara menjadikan perempuan terenggut otoritasnya di wilayah privat dan publik. Negara pernah melakukan politisasi seksual perempuan dengan simbol `Iboe Negara`. Simbol ini melanggengkan budaya patriarkal di Indonesia. Menggunakan metode pendekatan feminis praxis, artikel ini mengolah data temuan dari Komnas Perempuan terutama terkait kasus kekerasan seksual. Analisis dan kritik atas politik seksual pada artikel ini juga menyorot Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal ini menjadi kesimpulan akhir dari artikel sebagai bentuk jaminan negara Indonesia terlibat untuk melindungi perempuan dari kasus kekerasan seksual.

This article is using a philosophical interpretation based on radical feminist theory to analyse the issue of sexual violence against women in Indonesia. Based on data from Komnas perempuan in 2019, the number of victims of sexual violence is increasing. The root of sexual violence comes from the biological differences between women and men that has been constructed in society. Men are considered to have sexual dominance on women. The existence of sexual politics which is maintained by the state makes women taken away by their authority in the private and public areas. In history, the state has carried out the sexual politicization of women with the symbol "Iboe Negara". This symbol preserve patriarchal culture in Indonesia. Using the praxis feminist approach, this article process the data research  from Komnas Perempuan, especially related to cases of sexual violence. The analysis and criticism of sexual politics in this article also highlights the Draft Law on the Elimination of Sexual Violence. The final conclusion of the article as a form of guarantee that the Indonesian state is involved in protecting women from cases of sexual violence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Equanjana Fatah Sedono
"ABSTRAK
Skripsi ini menjelaskan bentuk representasi politik perempuan antara anggota legislatif perempuan di Baleg DPR-RI dengan kelompok perempuan menggunakan studi kasus proses pengusulan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pada tahun 2014-2016. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data primer dan sekunder. Temuan penelitian memperlihatkan adanya hambatan anggota legislatif perempuan di Baleg DPR-RI dalam mewakili kepentingan kelompok perempuan. Hambatan tersebut berasal dari paradigma anggota legislatif perempuan yang belum sadar kesataan gender maupun terbentur dengan kepentingan partai politik. Anggota legislatif perempuan di Baleg DPR-RI lebih mewakili kepentingan partai politik daripada kepentingan kelompok perempuan.

ABSTRACT
This skripsi explains of womens political representation forms of women legislative members in Baleg DPR-RI and womens groups in the legislation process of Elimination of Sexual Violence bill during 2014-2016. This study used qualitative method with primary and secondary data. The research findings showed that there were obstacles for women legislators in theBalegDPR-RI to represent the interests of womens groups. These barriers stem from the paradigm of women legislators who either have not been aware of gender equality or have collided with the interests of political parties. Womens legislative members in the BalegDPR-RI are more representative for the interests of political parties than the interests of women's groups."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Gracia Putri, auhtor
"Skripsi ini membahas tentang penerapan ketentuan aborsi dalam UU Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya bagi anak korban kekerasan seksual. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini akan menjelaskan pengaturan aborsi di Indonesia, mulai dari ketentuan dalam KUHP yang secara mutlak melarang praktik aborsi, hingga ketentuan dalam Undang-Undang Kesehatan yang memberikan pengecualian terhadap aborsi, khususnya bagi korban aborsi. kekerasan seksual. Penelitian ini juga membahas penerapan pengaturan dalam UU Kesehatan terhadap anak korban kekerasan seksual, berdasarkan kasus aborsi anak korban perkosaan dalam putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian No. 5/Pid.Sus -Anak/2018/Pn. Mbn. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa meskipun UU Kesehatan telah memberikan pengecualian terhadap aborsi yang dilakukan karena perkosaan, namun ketentuannya tidak dapat memberikan perlindungan bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual karena ketentuan tersebut terlalu membatasi. UU Kesehatan juga tidak dapat melindungi anak dari aborsi yang tidak aman. (aborsi tidak aman), dan ketentuannya tidak dapat memenuhi hak atas kesehatan reproduksi anak, yaitu dalam hal kemudahan akses aborsi aman. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembenahan dan penyempurnaan ketentuan aborsi dalam UU Kesehatan agar lebih berperspektif korban, memberikan perlindungan bagi anak dan memberikan akses yang lebih besar kepada korban anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.
This thesis discusses the application of abortion provisions in the Health Law and its implementing regulations for child victims of sexual violence. By using normative juridical research methods, this study will explain the regulation of abortion in Indonesia, starting from the provisions in the Criminal Code which absolutely prohibits the practice of abortion, to the provisions in the Health Law that provide exceptions to abortion, especially for abortion victims. sexual violence. This study also discusses the application of the regulations in the Health Law on children who are victims of sexual violence, based on the case of abortion of children who are rape victims in the decision of the Muara Bulian District Court No. 5/Pid.Sus -Anak/2018/Pn. Mbn. The results of this study state that although the Health Law has provided an exception for abortions carried out due to rape, its provisions cannot provide protection for children who are victims of sexual violence because the provisions are too restrictive. The Health Act also cannot protect children from unsafe abortions. (unsafe abortion), and its provisions cannot fulfill the right to reproductive health of children, namely in terms of easy access to safe abortion. Therefore, it is necessary to revamp and improve the abortion provisions in the Health Law to have a more victim perspective, provide protection for children and provide greater access to child victims to obtain reproductive health services."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalar Gramsia Budiman
"Pengalaman kekerasan terhadap perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas belum banyak didokumentasikan dalam penelitian sosial. Alih-alih mendapatkan dukungan karena sudah mendampingi korban/penyintas kekerasan seksual, para perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual ini justru mengalami kekerasan, yang salah satunya dilakukan oleh institusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor, pengalaman, dan dampak dari kekerasan yang dialami perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas dengan menggunakan teori feminis radikal. Penelitian ini merupakan penelitian feminis naratif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap enam perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di Universitas Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa nilai-nilai patriarki dan neoliberal di universitas menciptakan kondisi yang menindas perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual. Ancaman, intimidasi, rumor, hingga kekerasan fisik yang dialami oleh partisipan penelitian ini merupakan upaya kontrol yang dilakukan oleh laki-laki yang merasa terancam oleh perlawanan perempuan pendamping. Selain itu, universitas yang memprioritaskan reputasi demi keuntungan finansial juga melakukan kekerasan sebagai upaya kontrol untuk menghindari risiko publikasi negatif yang akan memengaruhi keuntungan finansial. Penelitian ini melihat bahwa pada dasarnya kekerasan yang dialami oleh perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual merupakan bentuk kontrol yang dilakukan oleh laki-laki, baik secara individu maupun secara institusi. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan yang dialami perempuan pendamping perempuan korban/penyintas kekerasan seksual menimbulkan dampak berupa perlukaan, seperti rasa takut, khawatir, dan ingin menyerah. Meski begitu, kekerasan yang mereka alami juga menumbuhkan amarah dan resistensi yang semakin menguatkan perlawanan mereka.

The experiences of violence faced by women supporting victims/survivors of sexual violence in university settings have not been extensively documented in social research. Rather than receiving support for advocating victims/survivors, these women often become targets of violence themselves, some of which is perpetrated by the institution itself. This study examines the factors, experiences, and impacts of violence encountered by women advocates for sexual violence victims/survivors in universities, using radical feminist theory as its framework. The research adopts a feminist narrative approach, conducting in-depth interviews with six women advocating victims/survivors of sexual violence at Universitas Indonesia. The findings reveal that patriarchal and neoliberal values within universities create oppressive conditions for these women. Threats, intimidation, rumors, and even physical violence experienced by participants are strategies of control employed by men who feel threatened by the resistance of these women. Furthermore, universities, driven by a desire to protect their reputation for financial gain, also engage in violence as a form of control to avoid the risk of negative publicity that could affect their profitability. The study highlights that the violence experienced by women advocates of victims/survivors of sexual violence is fundamentally a form of control exercised by men, both individually and institutionally. This violence results in harm, including feelings of fear, anxiety, and the desire to give up. However, it also fuels anger and resistance, ultimately strengthening their determination to continue their fight against injustice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Maharani
"

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pasal-pasal terkait pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Rangkaian regulasi tersebut secara tekstual mengalienasi hak-hak perempuan lajang atas pemenuhan HKSR mereka, karena hanya perempuan menikah saja yang berhak atas kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sosio-legal, dengan menganalisis implikasi dari pasak-pasal dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah: 1. Rangkaian regulasi kesehatan seksual dan reproduksi yang berlaku berpotensi menjadi justifikasi untuk menolak perempuan lajang yang ingin mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi; 2. Rangkaian regulasi yang ada berperan dalam penegakan stigma negatif yang menyelubungi pemenuhan HKSR bagi perempuan lajang; dan 3. Perlunya rangkaian regulasi yang sensitif dengan isu gender dan harusz inklusif bagi semua perempuan dan tidak hanya merujuk kepada pengalaman perempuan berstatus menikah.

 


This research aims to analyze the laws around Sexual and Reproductive Health Rights (SRHR) in Law on Health (Law No. 36/2009), Government Regulation on Reproductive Health (Government Regulation No. 61/2014) and Minister of Health Regulation on Health Services during Pre-Pregnancy, Pregnancy, Childbirth and Post-Childbirth, Contraceptive Services and Sexual Health Services (Minister of Health Regulation No. 97/2014). These laws and regulations textually alienate unmarried women and their sexual and reproductive health rights since the laws only recognizes sexual and reproductive health rights for married women. The method used to conduct this research is socio-legal method, which analyzes the implication that comes from the aforementioned laws and regulations through qualitative approach. This research finds: 1. The laws and regulations on sexual and reproductive health has the potential to justify any medical facility to reject unmarried women that wanted to access sexual and reproductive healthcare; 2. The existing set of law and regulations has a role in upholding the negative stigma surrounding SRHR for unmarried women; and 3. There is a need for a set of laws and regulations that are sensitive to gender issues and that it should be inclusive to all women and not only centered around the experience of married women.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>