Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 241333 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihombing, Andreas Michael
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular memiliki kontribusi 30% terhadap total kematian semua umur di Indonesia pada tahun 2011. Dalam upaya revaskularisasi dalam penyakit jantung koroner, Bedah Pintas Arteri Koroner menjadi salah satu upaya utama. Namun, jumlah pasien hidup dalam 10 tahun pasca-BPAK hanya mencapai 77% dibandingkan populasi normal yang mencapai 86%.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara lama Aortic Cross-clamping dan Cardiopulmonary Bypass dengan kematian pascaoperasi BPAK pada pasien di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Metode: Dari seluruh pasien yang menjalani operasi BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2006, dilakukan studi kohort retrospektif dengan mempelajari rekam medis subyek dan menentukan faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor mortalitas (lama Aortic Cross-clamping dan Cardiopulmonary Bypass). Subyek penelitian (n=48) kemudian dihubungi untuk mencari tahu mortalitas subyek. Pada setiap variabel dilakukan Uji T Tidak Berpasangan atau Uji Mann-Whitney.
Hasil: Dari 48 subyek, 85,41% (n=41) hidup, dan sebesar 14,58% (n=7) meninggal setelah 6 tahun pascaoperasi BPAK. Untuk hubungan lama Artery Cross-clamping dengan kematian didapatkan p=0,265, dan untuk hubungan lama Cardiopulmonary Bypass dengan kematian didapatkan p=0,214.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara lama Aortic Cross-clamping dan Cardiopulmonary Bypass dengan kematian dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK pada pasien di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Background: Cardiovascular diseases contribute to 30% of deaths in all age in 2011. Cardiopulmonary Bypass Graft remains a choice in revascularization for patients with coronary heart disease. Nevertheless, 10-year survival in post-CABG patients (77%) pales in comparison with such in normal population (86%).
Aim: To find out whether Aortic Cross-clamping Time and Cardiopulmonary Bypass Time are associated with 6-year post-CABG mortality at Harapan Kita National Cardiovascular Center.
Methods: All patients who underwent CABG at Harapan Kita National Cardiovascular Center in 2006 was included in a retrospective cohort study. Medical records of such patients were studied, and factors predicting mortality (Aortic Cross-clamping Time and Cardiopulmonary Bypass Time) noted. Subjects (n=48) were then called in order to determine mortality of subjects. All variables were analyzed using Unpaired T-Test and Mann Whitney Test where appropriate.
Results: Of all 48 subjects, 85.41% (n=41) survived, and 14,58% (n=7) died within 6-year post-CABG. Of Artery Cross-clamping Time and mortality, p=0.265, and of Cardiopulmonary Bypass Time and mortality p=0.214.
Conclusions: There is no relation of Aortic Cross-clamping and Cardiopulmonary Bypass Time with 6-year Post-Coronary Artery Bypass Graft Mortality at Harapan Kita National Cardiovascular Center.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denys Putra Alim
"Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia Sensus nasional Indonesia tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskular termasuk penyakit jantung koroner PJK sebesar 26,4% Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor faktor yang memengaruhi kematian 6 tahun pasca bedah pintas arteri koroner BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Studi yang digunakan adalah kohort retrospektif pada pasien yang menjalani BPAK tahun 2006 di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan menggunakan total population sampling Hasilnya terdapat 308 tindakan BPAK di RS Harapan Kita tahun 2006 dengan eksklusi 5 subjek karena data rekam medis tidak lengkap 1 subjek karena BPAK dengan tindakan bedah lain 225 subjek karena tidak dapat dihubungi kembali Didapatkan 77 subjek penelitian dengan angka kematian sebesar 18,2% (14 dari 77 subjek). Faktor prediktor kematian oleh usia> 50 tahun didapatkan nilai p=0,725 faktor jenis kelamin nilai p=0,198 dan faktor fraksi ejeksi <40% nilai p=0,449 Kesimpulannya faktor usia jenis kelamin dan fraksi ejeksi tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kematian subjek dalam 6 tahun pasca operasi BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Cardiovascular disease is one of the leading causes of death worldwide Indonesian national census in 2001 showed that deaths due to cardiovascular disease including coronary artery disease CAD by 26 4 This study aims to find factors that influence the 6 year mortality post coronary artery bypass surgery CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita The study design is retrospective cohort study in patients undergoing CABG in 2006 at the National Cardiovascular Center Harapan Kita by using total population sampling There were 308 CABG procedures at National Cardiovascular Center Harapan Kita in 2006 which were excluded 5 subjects with incomplete medical records 1 subject with other cardiovascular surgery procedure 225 subjects lost to follow up There were 77 eligible research subjects with a mortality rate of 18 2 14 of 77 subjects Predictor factors of mortality by age 50 years p 0 725 sex p 0 198 and ejection fraction 40 p 0 449 Therefore there were no significant correlation among age sex and ejection fraction to the 6 years mortality outcome for patients undergo CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Montolalu, Gabriela
"ABSTRAK
Penyakit Jantung Koroner (PJK) memegang urutan pertama penyebab kematian dini pada laki-laki dengan usia menengah. Salah satu operasi tersering yang sering dilakukan sebagai intervensi terhadap PJK adalah Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kematian pasien dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK di RS Pusat Jantung Harapan Kita (RSPJNHK) pada tahun 2006. Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien yang menjalani operasi BPAK di RSPJNHK pada tahun 2006 menggunakan rekam medis subyek untuk menentukan apakah kadar kreatinin dan diabetes melitus dapat menjadi prediktor kematian. Pada setiap variabel dilakukan uji chi-square. Dari 75 subyek untuk variabel kadar kreatinin, 18,66% (n=14) meninggal setelah 6 tahun pascaoperasi BPAK (p=0,007). Dari 79 subyek untuk variabel diabetes melitus didapatkan 18,98% (n=15) subyek meninggal setelah 6 tahun pascaoperasi BPAK (p=0,55). Kematian pasien dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK di RSPJNHK pada tahun 2006 menunjukkan adanya hubungan dengan kadar kreatinin preoperasi namun tidak berhubungan dengan status diabetes melitus subyek."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Adi Parmana
"Penyakit jantung koroner (PJK) menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan metabolik miokard dalam melakukan fungsi sirkulasi dan homeostasis. Baku emas terapi PJK adalah bedah pintas arteri koroner (BPAK). Prosedur BPAK dengan mesin pintas jantung paru (PJP) dapat mencetuskan cedera miokard tingkat selular sehingga memerlukan aplikasi proteksi miokard. Glutamin adalah asam amino conditionally essential yang berperan dalam proteksi miokard dengan membentuk energi selama periode iskemia, tetapi belum teruji penggunaannya pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah. Padahal, pasien fraksi ejeksi (EF) rendah lebih rentan terhadap cedera miokard, sehingga glutamin diharapkan dapat memberi proteksi. Penelitian menggunakan desain double blind randomized controlled trial di Instalasi Bedah Jantung Dewasa RSJPDHK Jakarta pada bulan Januari–Agustus 2021 dengan subjek penelitian 60 pasien sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Alokasi random subjek untuk memilih 30 pasien mendapatkan 500 mL glutamin 0,5 g/kg dalam NaCl 0,9% sebagai kelompok intervensi (glutamin), dan 30 pasien mendapatkan NaCl 0,9% sebanyak 500 mL sebagai kelompok kontrol selama 24 jam pertama. Pengukuran yang dilakukan meliputi kadar glutamin plasma, kadar α-KG, myocardial injury score, indeks apoptosis, ekspresi anti-kardiak troponin I, kadar troponin I, EF, indeks jantung dan kadar laktat. Dua subjek drop out sehingga analisis dilakukan terhadap 58 subjek. Efek proteksi miokard glutamin terlihat pada kadar troponin I, laktat plasma, dan myocardical injury score yang lebih rendah pada kelompok glutamin, serta ekspresi anti-kardiak troponin I jaringan apendiks atrium kanan jantung setelah mesin PJP dilepas lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tidak didapatkan perbedaan bermakna indeks apoptosis jaringan apendiks atrium kanan, fraksi ejeksi pasca-operasi, penggunaan vasoaktif dan inotropik pasca-operasi, durasi penggunaan ventilator dan durasi perawatan intensif pasca-operasi pada kedua kelompok. Simpulan: Pemberian preoperatif glutamin 0,5 g/kg secara intravena dalam 24 jam pertama memiliki efek proteksi miokard pada pasien BPAK elektif dengan EF rendah yang menggunakan mesin PJP.

Coronary heart disease (CHD) causes a myocardial metabolic supply and demand imbalance in performing circulatory and homeostatic functions. The gold standard treatment of CHD is coronary artery bypass graft (CABG). The CABG procedure with a cardiopulmonary bypass (CPB) machine can trigger myocardial injury at cellular level due to ischemia and reperfusion. Glutamine is a conditionally essential amino acid in the human body which has a role as myocardial protector through energy production during myocardial ischemia. However, its application has not been tested in low ejection fraction (EF) patients. Meanwhile, patients with low EF are more vulnerable to myocardial injury. Thus, glutamine administration was expected to provide myocardial protection. The study was a double-blind, randomized controlled trial design and was performed at the Adult Cardiac Surgery Installation of the National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta from January to August 2021 with a sample size of 60 patients meeting the inclusion and exclusion criteria. Subjects were randomly allocated into intervention (glutamine): 30 patients were administered a solution of glutamine 0.5 g/kg dissolved in 0.9% NaCl up to 500 mL in total volume and control group; 30 patients were administered 500 mL of 0.9% NaCl, both over a period of the first 24 hours. Parameters measured include plasma glutamine levels, α-KG levels, myocardial injury scores, apoptotic index, anti-cardiac troponin I expression, troponin I levels, EF, cardiac index and lactate levels. Two samples were dropped out; hence 58 patients were analyzed in this study. Myocardial protective effects of glutamine are observed in plasma troponin I, lactate levels, and myocardial injury score of right atrial appendage tissue, which were significantly lower in the glutamine group and higher anti-cardiac troponin I expression of right atrial appendage tissue in the glutamine group. Apoptotic index of right atrial appendage tissue, postoperative ejection fraction, postoperative use of vasoactive and inotropic, ventilator time, and duration of intensive care showed no significant differences in both groups. Conclusion: Preoperative administration of intravenous glutamine 0.5 g/kg in the first 24 hours has a cardioprotective effect in low EF patients underwent elective on-pump CABG."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas ndonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochelle De Mello Wahyudi
"Latar Belakang
Penggunaan cardiopulmonary bypass (CPB) dalam bedah jantung bidirectional cavopulmonary shunt (BCPS) pada anak dapat memicu low cardiac output syndrome (LCOS). Pasien dengan LCOS berhubungan dengan lama rawat intensive care unit (ICU) yang berkepanjangan, sehingga berisiko tinggi mengalami komplikasi penyerta. Meskipun faktor CPB dan LCOS berpotensi memengaruhi lama rawat ICU, belum ada penelitian serupa di Indonesia yang mengevaluasi hubungan ini pada pasien BCPS. Metode
Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan sampel 109 pasien (63 laki-laki, 44 perempuan) yang menjalani operasi BCPS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2019 hingga Juni 2024. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara penggunaan CPB dan faktor lainnya terhadap kejadian LCOS serta lama rawat ICU.
Hasil
Pasien yang menjalani BCPS tanpa CPB memiliki penurunan risiko mengalami LCOS (aOR = 0,29, CI 95% 0,11 – 0,77, p < 0,05). Namun, CPB bukan faktor prediktor independen yang signifikan terhadap lama rawat ICU (p > 0,05). Lama rawat ICU lebih dipengaruhi oleh adanya LCOS (p < 0,001), terlepas dari penggunaan CPB. Faktor usia dan berat badan tidak berhubungan signifikan dengan kejadian LCOS maupun lama rawat ICU (semua p > 0,05).
Kesimpulan
Penggunaan CPB dalam operasi BCPS berhubungan dengan peningkatan risiko LCOS, yang kemudian memperpanjang lama rawat ICU. Namun, lama rawat ICU pada pasien BCPS lebih ditentukan oleh adanya LCOS, bukan oleh penggunaan CPB itu sendiri.

Introduction
The use of cardiopulmonary bypass (CPB) in bidirectional cavopulmonary shunt (BCPS) surgery in children can trigger low cardiac output syndrome (LCOS). Patients with LCOS are associated with prolonged intensive care unit (ICU) stays, placing them at higher risk of associated complications. Although CPB and LCOS factors have the potential to affect ICU stays, there has been no similar study in Indonesia evaluating this relationship in BCPS patients.
Method
This study utilized a retrospective cohort design with a sample of 109 patients (63 males, 44 females) who underwent BCPS surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to June 2024. Bivariate and multivariate analyses were used to evaluate the relationship between CPB use and other factors on the incidence of LCOS and ICU length of stay.
Results
Patients who underwent BCPS without CPB had a reduced risk of developing LCOS (aOR = 0.29, 95% CI 0.11–0.77, p < 0.05). However, CPB was not a significant independent predictor of ICU length of stay (p > 0.05). ICU length of stay was more affected by the presence of LCOS (p < 0.001), regardless of CPB use. Age and weight factors were not significantly associated with either LCOS incidence or ICU length of stay (all p > 0.05).
Conclusion
The use of CPB in BCPS surgery is associated with an increased risk of LCOS, which subsequently prolongs ICU stay. However, the length of ICU stay in BCPS patients is more determined by the presence of LCOS, rather than CPB use itself.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Auliani
"Latar Belakang: Penggunaan cardiopulmonary bypass dalam bedah jantung terbuka pada anak yang berkepanjangan dapat memicu koagulopati dan hemodilusi, serta menyebabkan perdarahan pasca operasi. Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko lebih tinggi karena sistem koagulasi darah mereka yang imatur. Meskipun demikian, tidak ada penelitian serupa yang betujuan untuk menilai hubungan antara keduanya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi jantung terbuka pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Metode: Penelitian ini bersifat descriptive-analytical dengan metode cross- sectional. Rekam medis 100 pasien anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2016 sampai dengan Maret 2018 digunakan sebagai sampel. Pasien anak berusia 0 sampai 17 tahun dengan penyakit jantung bawaan sianotik, yang telah melalui bedah jantung terbuka elektif digunakan sebagai sampel. Korelasi Spearman digunakan untuk meneliti hubungan antara CPB time dengan perdarahan pasca operasi.
Hasil: Dari 100 data yang diperoleh, tidak terdapat korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi (p = 0.087). Median dari CPB time adalah 87 menit (29 – 230). Perdarahan pasca operasi pasien memiliki median 15.3/kgBB dalam 24 jam (3.0 – 105.6).
Konklusi: Tidak ada hubungan antara CPB time dan post-operative bleeding pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Faktor lain dapat mempengaruhi kedua variabel diteliti, termasuk dari pasien sendiri dan dari tindakan operasi, seperti kemampuan operator menangani perdarahan serta jenis prosedur operasi. Maka dari itu, CPB time tidak dapat dianggap sebagai faktor tunggal yang dapat mempengaruhi perdarahan pasca operasi.

Background: Prolonged use of cardiopulmonary bypass during open heart surgery can induce coagulopathy and hemodilution, contributing towards post-operative bleeding. Pediatric patients with cyanotic congenital heart disease are susceptible due to presence of immature coagulation system. However, no similar studies have been done to assess the relationship between the two.
Aim: This study aims to assess correlation between CPB time and post-operative bleeding in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease undergoing open heart surgery.
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Medical records of 100 pediatric patients from Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2016 to March 2018 were used. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, who underwent elective open heart surgery were included as sample. Spearman’s correlation was used to determine correlation between CPB time and post-operative bleeding.
Result: Data from 100 patients were obtained. No correlation was observed between CPB time and post-operative bleeding (p = 0.087). Patients’ CPB time has a median of 87 minutes (29 – 230). Patients’ post-operative bleeding has a median of 15.3 ml/kgBW in 24 hours (3.0 – 105.6).
Conclusion: CPB time and post-operative bleeding has no correlation in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease. Presence of various factors can influence both variables, including from the patients or operative factors, including dexterity of operator and applied procedure. Thus, CPB time cannot be held responsible as a single determining factor for post-operative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hosea, Fransiscus Nikodemus
"Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak, yang dapat dialami oleh baik laki-laki ataupun perempuan. Salah satu tata laksana yang dapat dilakukan untuk kondisi ini adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara lama rawat, jumlah pembuluh arteri koroner yang tersumbat, dan hipertensi terhadap kematian pasien CABG di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Desain penelitian yang dipilih adalah restrospective cohort. Data penelitian ini diperoleh dari rekam medik pasien yang tercatat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Data pada penelitian ini melibatkan 66 subjek penelitian. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan Chi-square dan Fisher untuk menentukan nilai probabilitas (p).Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara mortalitas dengan lama rawat (RR=1,57 IK95%=0,60-4,08 p=0,35), jumlah pembuluh arteri koroner yang tersumbat (RR=0,90 IK95%=0,25-3,27 p=1,00), dan riwayat hipertensi (RR=1,59 IK95%=0,41-6,21 p=0,72). Faktor lama rawat, jumlah pembuluh darah arteri koroner yang tersumbat, dan riwayat hipertensi tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap mortalitas subjek penelitian dalam waktu 6 tahun pasca tindakan coronary artery bypass graft.

Coronary artery disease is one of the most common cause of death, that can be found both in men and women. This condition can be treated with some surgical intervention such as Coronary Artery Bypass Graft (CABG). The purpose of this study is to determine the association between length of stay, the number of diseased coronary artery vessel, and hypertension with mortality in post-CABG patients after 6 years in National Cardiovascular Center Harapan Kita. This study uses retrospective cohort as its design. Data used in this study involving 66 subjects. The data is then tested using Chi-square and Fisher to see the value of probability (p).Based on data analysis, it is found that there is no significant association between mortality with length of stay (RR=1.57 95%CI=0,60-4,08 p=0.346), the number of diseased coronary artery vessel (RR=0.90 95%CI=0.25- 3.27 p=1.000), and hypertension (RR=1.59 95%CI=0.41-6.21 p=0.716). Length of stay, the number of diseased coronary artery vessel, and hypertension are not associated with the mortality of post-coronary artery bypass graft patients after 6 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
"Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih.
Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru.
Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014.
Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm.
Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.

Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill.
Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass.
Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014.
Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm.
Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thiara Maharani Brunner
"Latar Belakang: Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko perdarah pasca-operasi cardiopulmonary bypass (CPB) yang tinggi .Pada CPB, heparin digunakan sebagai antioagulan, dikembalikan dengan protamine sulfat dan diukur menggunakan activated clotting time (ACT). Heparin dapat menginduksi perdarahan dan protamine sulfat berlebih dapat berperan sebagai antikoagulan. Penelitian mengenai hubungan antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi belum diteliti pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Tujuan: Untuk menilai korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian descriptive-analytical, dengan metode cross-sectional. Pasien berusia 0 hingga 17 tahun, memiliki penyakit jantung bawaan sianotik, dan menjalani operasi jantung terbuka elektif disertakan dalam penelitian ini. Sebanyak 100 rekam medis dari Januari 2016 hingga Maret 2018 di CMGH digunakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mencari korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca-pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi.
Hasil: Terdapat korelasi positif antara dosis awal heparin dengan perdarahan pasca-operasi (p=0,011). Korelasi antara ACT pasca pemberian protamine dengan perdarahan pasca-operasi adalah p=0,257. Perdarahan pasca-operasi yang dialami pasien adalah 15,3 mL/kgBB (3,0 – 105,6 mL/kgBB).
Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dosis awal heparin dan perdarahan pasca-operasi; dosis tinggi menghasilkan perdarahan yang lebih banyak pada pasien anak yang sianotik di CMGH. Selanjutnya, tidak ditemukan adanya korelasi antara nilai ACT pasca-protamine dan perdarahan pasca-operasi.

. Background: Pediatric cyanotic CHD patients have an increased risk of post-operative bleeding following cardiopulmonary bypass (CPB). In CPB, heparin is used as an anticoagulant, reversed by protamine sulphate and measured using activated clotting time (ACT). Heparin can induce bleeding and excess protamine sulphate can act as an anticoagulant. No studies of the same kind has been done to assess the relationship between the initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease cases in CMGH.
Aim: To assess the correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease patients in CMGH
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, undergoing elective open heart surgery were included. A total of 100 medical records from January 2016 to March 2018 in CMGH were used. The correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding was analyzed.
Result: Initial heparin dose and post-operative bleeding showed a positive correlation (p=0.011). The correlation between post-protamine ACT value and post-operative bleeding is p=0.257. Post-operative bleeding experienced by the patients is 15.3 mL/kgBW (3.0 – 105.6 mL/kgBW).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Rahmania
"Penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit arteri koroner (Coronary Artery Disease/CAD), merupakan salah satu penyebab utama kematian global. Bedah pintas arteri koroner (Coronary Artery Bypass Graft/CABG) merupakan salah satu intervensi utama untuk CAD yang bertujuan mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun, perawatan intensif yang berkepanjangan pasca CABG dapat berdampak negatif terhadap luaran kondisi pasien dan beban sumber daya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan pasien pasca bedah pintas arteri koroner (CABG) untuk keluar dari ICU dalam waktu ≤48 jam dan mengembangkan model skoring prediksi lama rawat intensif. Studi menggunakan desain kohort retrospektif dengan data sekunder dari registri bedah jantung dewasa di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita periode Januari 2019 – Agustus 2024. Analisis mencakup univariat, bivariat (log-rank dan uji Cox proportional hazard), serta multivariat untuk memperoleh model prediksi terbaik. Hasil menunjukkan bahwa faktor faktor usia (adjHR 1.22; 95% CI 1.12-1.32), stroke (adjHR 1.29), gangguan fungsi ginjal berat (adjHR 1.51); gangguan fungsi ginjal sedang (adjHR 1.89), fungsi jantung normal (adjHR 1.80), kondisi kritis pre-operasi (adjHR 3.37), disfungsi jantung sedang (adjHR 1.85), disfungsi jantung ringan (adjHR 2.51), fungsi jantung normal (adjHR 3.03); mengalami infark miokard >21 hari pre-operasi (adjHR 1.35); tidak pernah mengalami infark miokard (adjHR 1.36); dan status prosedur elektif (adjHR 1.36) sebagai prediktor signifikan perawatan ICU ≤48 jam. Model skoring yang dikembangkan memiliki nilai AUC 68,87%, dengan titik potong skor ≥14 menunjukkan prediksi keberhasilan pasien menyelesaikan perawatan ICU dalam waktu ≤48 jam pasca operasi CABG.

Cardiovascular diseases, particularly coronary artery disease (CAD), are among the leading causes of global mortality. Coronary Artery Bypass Graft (CABG) surgery is one of the primary interventions for CAD, aimed at reducing morbidity and improving patients' quality of life. However, prolonged intensive care post-CABG can negatively impact patient outcomes and place a burden on healthcare resources. This study aims to analyze factors influencing the survival of post-CABG patients to leave the ICU within ≤48 hours and to develop a scoring model for predicting intensive care length of stay. The study employed a retrospective cohort design using secondary data from the adult cardiac surgery registry at RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita from January 2019 to August 2024. The analysis included univariate, bivariate (log-rank and Cox proportional hazards tests), and multivariate approaches to obtain the best predictive model. Results identified are age (adjHR 1.22; 95% CI 1.12–1.32), stroke (adjHR 1.29), severe renal dysfunction (adjHR 1.51), moderate renal dysfunction (adjHR 1.89), normal cardiac function (adjHR 1.80), critical preoperative condition (adjHR 3.37), moderate cardiac dysfunction (adjHR 1.85), mild cardiac dysfunction (adjHR 2.51), normal cardiac function (adjHR 3.03), myocardial infarction >21 days preoperatively (adjHR 1.35), no history of myocardial infarction (adjHR 1.36), and elective procedure status (adjHR 1.36) as significant predictors for ICU stays ≤48 hours. The developed scoring model achieved an AUC of 68.87%, with a cutoff score of ≥14 indicating successful prediction of ICU discharge within ≤48 hours post-CABG surgery."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>