Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209707 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Manurung, Emmi Frasiska
"Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikanNya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan hares diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penulisan tesis "Penegakan Hukum Lingkungan terhadap Illegal Logging dalam Upaya Perlindungan Hutan di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi", didasarkan karena hutan sebagai modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang, sehingga diperlukan suatu langkah dan upaya guna menanggulangi maraknya illegal logging di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi.
Bahwa para pelaku illegal logging di kabupaten Bungo yang tertangkap adalah masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan, dan para sopir-sopir truk yang mengangkut kayu hasil illegal logging tanpa disertai SKSHH, sementara para cukongnya tidak tertangkap seakan-akan tidak bias tersentuh oleh hukum.
Beberapa penyebab illegal logging semakin marak terjadi di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap illegal logging di karenakan : (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, kurangnya kapasitas dan integritas penegak hukum, serta minimnya jumlah aparat polisi kehutanan yang bertugas di lapangan dalam rangka melindungi hutan produksi di kabupaten Bungo yang tidak sebanding dengan luas hutan; (2) Rumusan sanksi pidana yang tidak mengatur batasan minimal masa hukuman pidana minimal bagi para pelaku illegal logging sehingga menimbulkan disparitas hukuman pidana yang dituntut oleh jaksa dengan masa hukuman yang diputus oleh hakim; (3) Tidak adanya pasal yang mengatur mengenai kerugian ekologis yang harus ditanggung oleh pelaku illegal logging karena kerugian yang dialami oleh pemerintah bukan saja kerugian secara ekonomi, namun juga kerugian ekologis yaitu rusaknya ekosistem hutan, punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, terjadinya bencana banjir dan erosi; (4) Bahwa pemerintah masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dengan memberikan kepada pengusaha-pengusaha untuk mengelola hutan produksi tanpa memperhatikan nasib masyarakat di sekitar hutan yang mengakibatkan masyarakat sekitar hutan tidak ragu-ragu melakukan illegal logging dan bahkan meskipun sudah tahu bahwa hutan produksi tersebut telah kembali pengelolaannya kepada pemerintah, mereka tetap melakukan penebangan bahkan melakukan perambahan; (5) keterbatasan sarana dan prasarana juga merupakan kendala bagi aparat hukum dalam menangkap pelaku-pelaku illegal logging karena hutan yang diawasai begitu lugs dan kondisi jalan yang juga tidak bisa dilalui oleh kendaraan; (6) keterbatasan dana; (7) Tidak adanya tindakan tegas oleh aparat penegak hokum terhadap sawmil-sawmil yang tidak resmi yang dibiarkan beroperasi dan siap menerima order untuk memotong-motong dan mengolah menjadi kayu meskipun diketahui dari hasil illegal logging.
Melihat betapa rumitnya permasalahan illegal logging yang terjadi di kabupaten Bungo upaya-upaya yang tegas dari pemerintah ( dinas kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) bekerjasama dengan aparat desa, LSM, pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuda-pemuda desa yaitu mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat lokal tentang pentingnya arti hutan, menyampaikan informasi kepada masyarakat lokal bahwa perbuatan illegal logging adalah perbuatan tindak pidana yang hukumannya lebih berat dari tindak pidana umum lainnya (melakukan pendekatan sosial budaya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dengan mengadakan kegiatan hutan kemasyarakatan, padat karya, hutan rakyat, HPH bina desa, atau dengan memberikan modal kerja (home industry) pembuatan batu bata, tahu, tempe dan kerajinan tangan lainnya, menjadikan pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan sebagai mata kuliah dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Langkah tindakan yang serupa juga dilakukan melalui penyuluhan dan ditujukan bagi masyarakat luas dengan menggunakan media cetak maupun media elektronik serta kunjungan ke lapangan. Upaya selanjutnya adalah perlu diberlakukannya Perpu Pemberantasan Illegal Logging, yang diharapkan masyarakat dapat melaporkan kejadian-kejadian illegal logging dengan data informasi, gambar foto, dan rekaman kepada LSM maupun Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo.
Di samping usaha-usaha yang disebut di atas, guna menegakkan hukum yang seadil-adilnya dan menumpas habis para pelaku illegal logging, perlu adanya kesatuan pandangan pars jaksa penuntut umum yang melakukan tuntutan hukuman pidana terhadap terdakwa pelaku-pelaku illegal logging dan hakim yang memberi putusan berupa hukuman pidana, sehingga masa hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlalu jauh rendahnya dengan pidana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum. Walaupun diakui, masing-masing instansi memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman pidana (tuntutan pidana bagi kejaksaan dan putusan pidana bagi hakim) namun dasar menetapkan hukuman pidana tersebut adalah sama yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang salah satu pasalnya mangatur tentang sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku illegal logging."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslihudin Sharbinie
"Sumberdaya alam termasuk didalamnya sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang rentan terhadap konflik mengingat sumberdaya alam terikat dalam suatu lingkungan yang saling terkait. Suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap lingkungan baik lingkungan sendiri atau lingkungan di luar dimana ia berada; sumberdaya alam terikat dalam suatu ruang sosial dimana hubungan yang komplek dan tidak seimbang terjalin yaitu antara berbagai aktor sosial seperti eksportir hasil bumi; petani, etnis minoritas maupun pemerintah; sumberdaya alam yang tersedia cenderung berkurang karena adanya perubahan-perubahan lingkungan yang pesat, permintaan yang cenderung meningkat dan distribusi yang tidak merata ; pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dalam cara-cara yang berbeda dan merupakan suatu simbol tertentu.
Karena faktor-faktor tersebut, konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang banyak ditemukan. Keadaan seperti itu terlebih lagi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konflik dalam negara (intra-state conflict) terutama di negara-negara berkembang cenderung meningkat. Berbagai isu konflik muncul ke permukaan termasuk konflik yang berkenaan dengan isu lingkungan seperti konflik pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi konflik di Kabupaten Lampung Barat adalah dengan melakukan kerjasama dengan salah satu INGOs yaitu the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Sejak tahun 2000 ICRAF telah melakukan mediasi dalam upaya mencari pemecahan konflik. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebagai aktor non-state INGOs memiliki peranan yang signifikan. Mediasi sebagai salah satu pendekatan pemecahan konflik memiliki potensi terhadap perubahan pada aktor-aktor yang terlibat konflik maupun pada kebijakan yang berlaku. Pertanyaannya adalah bagaimana peta konflik pengelolaan sumberdaya tersebut, apa dampak mediasi ICRAF terhadap kebijakan yang berlaku dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat di masa yang akan datang.
Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena dampak mediasi ICRAF terhadap aktor-aktor yang terlibat konflik dan kebijakan pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Untuk mengkaji fenomena tersebut digunakan perspektif pluralisme. Sebagai sebuah pendekatan pluralisme memandang bahwa gambaran hubungan internasional didasarkan pada empat asumsi pokok yaitu: Pertama, aktor non-negara, merupakan entitas yang penting dalam politik dunia. Organisasi internasional termasuk di dalamnya Non-Governmental Organisations (NGDs) misalnya dalam isu tertentu merupakan aktor yang independen. Mereka bukan hanya merupakan sebuah forum dimana negara-negara berlomba dan bekerjasama satu sama lain dengannya. Dalam organisasi internasional tertentu mereka memiliki kapasitas dalam hal menentukan agenda dan menyediakan informasi yang mampu mempengaruhi bagaimana suatu negara menentukan arah kebijakan tertentu. Kedua, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor uniter. Negara merupakan aktor yang terdiri dari individu, kelompok kepentingan dan birokrat. Dalam pandangan pluralis, sebuah keputusan yang dibuat oleh suatu negara pada dasarnya merupakan sebuah keputusan yang sebenarnya dibuat oleh koalisi pemerintah, birokrat dan bahkan individu. Ketiga, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor rasional. Pandangan ini bertentangan dengan asuinsi realis yang memandang bahwa negara merupakan aktor rasional. Keempat, bagi pluralis agenda politik internasional bersifat luas (ekstensif). Disamping isu keamanan negara isu-isu ekonomi, sosial, ekologi, perdagangan. moneter, energi, kelaparan dan degredasi lingkungan bagi pluralisme merupakan agenda internasional dan memerlukan pemecahan secara global.
Tesis ini membuktikan bahwa, mediasi ICRAF dalam pengelolaan konflik Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat berdampak terhadap aktor dan kebijakan-kebijakan yang berlaku. Terbentuknya kelembagaan yang memiliki kapasitas dalam mengkaji potensi sumberdaya alam dan memiliki wewenang dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan telah memungkinkan aktor terkait sebagai bagian yang turut menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Kepemilikan lahan (land tenure) dalam bentuk ijin HKm. (Hutan Kemasyarakatan) yang diberikan oleh pemerintah kepada petani merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada petani dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Adanya jaminan kepemilikan lahan, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan konflik dan peningkatan teknologi pengelolaan sumberdaya tersebut akan memungkinkan terbentuknya satu sistem pengelolaan sumberdaya Hutan. Lindung yang sesuai dengan perspektif pandangan aktor-aktor terkait. Dengan demikian visi pembangunan kehutanan Kabupaten Lampung Barat yaitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari akan lebih mudah tercapai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, M. Sabam
"Dalam rangka merealisasikan pelaksanaan pembangunan khususnya pembangunan bidang ekonomi di Indonesia, salah satu upaya yang ditempuh pemerintah adalah menyebarkan penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang masih kekurangan penduduk melalui transmigrasi dan pemukiman perambah hutan. Diharapkan dengan upaya ini akan dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat yang bertransmigrasi sebagaimana tersirat dalam Pancasila dan UUD 1945. Penyelenggaraan transmigrasi dan pemukiman perambah hutan diserahkan pemerintah pada Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) sesuai dengan kedudukan, tugas dan fungsinya dalam Kabinet Pembangunan V. Jumlah penduduk yang dapat disebarkan/dipindahkan selama (Repelita V/Pelita V) sebanyak 227.808 KK dari target 550.000 KK.
Pada periode yang sama jumlah penduduk yang dapat disebarkan/ dipindahkan khusus di wilayah Propinsi Sumatera Selatan sebanyak 28.951 KK dari target 30.197 KK. Dalam rangka merealisasikan pemindahan tersebut jumlah anggaran pembangunan yang diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan PPH di Propinsi Sumatera Selatan dalam DUP sebesar Rp.287.909.950.000,-tetapi realisasi yang dialokasikan pemerintah dalam DIP hanya sebesar Rp.198.466.310.000.
Anggaran pembangunan yang dapat dialokasikan oleh pemerintah pada Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan PPH Propinsi Sumatera Selatan dalam DIP sebenarnya dapat lebih besar, namun karena adanya masalah dalam penyusunan anggaran pembangunan maka jumlah anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah hanya sebesar jumlah tersebut.
Hal ini mendorong penulis untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Anggaran Pembangunan Pada Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan PPH di Propinsi Sumatera Selatan, dengan metode penelitian deskriptif analisis dan berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui :
  1. Bagaimana penyusunan anggaran pembangunan di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan PPH di Propinsi Sumatera Selatan dilakukan ;
  2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyusunan anggaran pembangunan tersebut.
Hasil penelitian dituangkan dalam beberapa butir kesimpulan diikuti dengan saran-saran sebagai bahan untuk memperbaiki penyusunan anggaran pembangunan pada Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan PPH di Propinsi Sumatera Selatan, sehingga jumlah anggaran dalam DIP yang selama ini selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah anggaran yang diusulkan dalam DUP dapat dihindari atau ditekan seminimal mungkin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Hasan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
TA3637
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 1994
TA3712
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siti Nurhayati
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
TA3840
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>