Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145920 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : Sekretariat Jenderal Dewan Kelautan Indonesia , 2008
341.45 IND e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tristam Pascal M.
"Dengan berlaku dan mengikatnya Konvensi Hukum Laut 1982, kewajiban tiap negara penandatangan adalah, antara lain, mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum positif yang terkandung di dalamnya, termasuk ke dalamnya kewajiban untuk menyelaraskan hukum nasional laut mereka dengan prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan hukum laut.
Berkenaan dengan ini dapat kita sebutkan satu bagian dari Konvensi Hukum Laut 1982 yang sangat relevan bagi Indonesia, yakni ketentuan tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Zona ini pada awal mulanya berkembang dari klaim-klaim sepihak negara pantai dalam rangka memperlebar yurisdiksi mereka atas sumber kekayaan alam (khususnya hayati) yang terletak di luar jalur laut teritorial di mana berlaku kedaulatan mutlak (full and complete sovereignty) oleh karena itu pula, selanjutnya untuk membedakannya dari kedaulatan di laut teritorial, disebutkan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat (sovereign right) untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hayati yang terletak di wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya yang merupakan jalur laut selebar 200-350 mil laut diukur dari garis pangkal.
Satu hal yang mencolok adalah perhatian Konvensi Hukum Laut 1982 pada soal pemanfaatan berkelanjutan sumber daya lautan dan aspek keadilan pemanfaatan tersebut, terutama bagi negara tidak berpantai atau yang memiliki letak geografis kurang menguntungkan. Di sini kata kunci adalah Maximum Sustainable Yield, yaitu untuk menghitung Total Allowable Catch: penghitungan tangkapan total yang diperbolehkan untuk satu musim tangkapan, sedemikian sehingga masih tetap memungkinkan sumber daya hayati meregenerasi diri demi pemanfaatannya secara berkesinambungan.
Jelas bahwa untuk mengimplementasikan hal di atas disyaratkan adanya kemampuan teknologi kelautan yang canggih dan kontrol atau pengawasan yang ketat. Untuk yang pertama disebut, harus diakui Indonesia masih jauh tertinggal di banding negara-negara maritim lain. Ini dapat dilihat dari kekuatan armada perikanannya. Adapun untuk yang terkemudian ke dalamnya terkait soal tingkat investasi ke dalam industri perikanan yang dipengaruhi faktor rumitnya mekanisme perizinan serta tingkat pengawasan dan keamanan usaha perikanan laut. Untuk itupun harus diakui rumitnya perizinan tidak mendukung kemunculan iklim usaha yang sehat dan menarik untuk mengembangkan industri perikanan laut. Terpikirkan di sini untuk mengajukan usulan melakukan deregulasi-debirokratisasi juga dalam bidang industri perikanan laut. Sekalipun harus diimbangi dengan peningkatan kekuatan Angkatan Laut sebagai pihak paling kompeten untuk menjaga dan memelihara keamanan-ketertiban seluruh wilayah perikanan Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handy Kurniawan
"Penentuan jenis kedaulatan suatu negara atas perairannya sangat penting. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana hak dan kewajiban yang dimiliki serta mekanisme apa yang dapat diterapkan untuk melaksanakan penegakan hukum. Dalam UNCLOS 1982 telah ada konsensus umum tentang jenis dan, kewenangan dalam ruang lingkup zona maritim yurisdiksi negara pantai. Sementara dalam beberapa kasus ruang maritim bersama klaim maritim yang tumpang tindih juga telah menimbulkan perselisihan maritim antara negara-negara pantai. Begitu pula dengan Indonesia masih menyisakan sengketa batas maritim dengan Malaysia di Laut Sulawesi yang sampai saat ini belum terselesaikan terkait delitimasi/penetapan garis batas maritim di Laut Teritorial, ZEE dan Landas Kontinen.

Determination of the type of sovereignty of a country over its waters is very important. This is to find out the extent to which rights and obligations are owned and what mechanisms can be applied to implement law enforcement. In UNCLOS 1982 there was a general consensus on types and, authorities within the scope of the coastal jurisdiction of coastal states. While in some cases the maritime space together with overlapping maritime claims has also led to maritime disputes between coastal countries. Likewise, Indonesia still leaves a maritime boundary dispute with Malaysia in the Sulawesi Sea which has yet to be resolved regarding the determination / determination of maritime boundaries in the Territorial Sea, EEZ and Continental Shelf."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T519233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Mangisi
"Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dalam UNCLOS 1982 telah diatur mengenai pembagianpembagian wilayah laut dan penggunaanya bagi masyarakat internasional, seperti halnya laut lepas yang telah dinyatakan sebagai wilayah laut yang tidak boleh berada dikedaulatan negara manapun termasuk digunakan untuk keperluan pribadi negara, seperti halnya Cina yang membangun Pangkalan Militernya di wilayah Laut Cina Selatan yang merupakan laut lepas. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian adalah penelitian yuridis-normatif dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan (Library Reasearch) yang berupa Perundang-undangan , buku-buku, serta jurnal maupun internet yang berkaitan dangan pokok permasalahan dalam peneilitian ini, serta menggunakan analisis data kualitatif. Cina menggunakan klaim historisnya yang dikenal dengan “Nine Dash Line”,dengan klaim ini Cina mengakui bahwa Laut Cina Selatan merupakan bagian dari yurisdiksinya dan Cina memiliki kehendak untuk melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut, untuk itu Cina melakukan pembangunan Pangkalan Militernya di Laut China Selatan tepatnya di Mischief Reef yang merupakan bagian dari Laut lepas bahkan hanya berjarak 250 mil dari Filipina dan jarak yang dimiliki dengan negara Cina cukuplah jauh, berdasarkan UNCLOS 1982 bahwa tindakan yang dilakukan oleh Cina tersebut telah bertentangan dengan UNCLOS 1982."
Jakarta: Seskoal Press, 2022
023.1 JMI 10:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntoro
"ABSTRAK
Suatu tahap yang perlu dicatat dalam sejarah Hukum Internasional, khususnya Hukum Laut International, terutama bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah adanya perkembangan Hukum Laut International dewasa ini, yaitu hasil Konferensi Hukum Laut-III/PBB yang membawa makna dan kegunaan yang jauh lebih memadai bila dibandingkan dengan hasil-hasil konferensi Hukum Laut sebelumnya dalam usaha menciptakan suatu tata kehidupan ekonomi international yang baru (New International Economic Order) yang berimbang dalam pemanfaatan laut bagi kepentingan umat manusia.
Hasil Konferensi Hukum Laut-III/PBB tersebut di atas belum lama berselang telah ditandatangani di Jamaica pada akhir tahun 1982, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara peserta konferensi,yang dituangkan dalam "United Nations Convention on the Law of the Sea".
Walaupun untuk berlaku efektif, Konvensi tersebut masih memerlukan ratifikasi dari sekurang-kurangnya enam puluh negara (Article 308 sub 1), namun Konvensi tersebut telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara pantai maupun negara kepulauan guna mempersiapkan pengaturan secara nasional berkenaan dengan pemanfaatan laut bagi kepentingan negara yang bersangkutan.
Arti dan kegunaan yang sangat penting dan Konvensi tersebut bagi Indonesia yang menganut Wawasan Nusantara adalah diterimanya konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State concept),yang berarti menunjang Wawasan Nusantara kita, yang dalam GBHN ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai tujuan Pembangunan Nasional (lihat BAB II.E GBHN). Hal tersebut dapat dilihat dengan dicantumkannya satu bab tersendiri mengenai pengaturan negara kepulauan di dalam Konvensi, yaitu Part IV tentang "Archipelagic States".
Konferensi Hukum Laut-III/PBB yang menghasilkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) tersebut di atas mempunyai corak khusus yang berbeda dengan konferensi-konferensi Hukum Laut Internasional sebelumnya, antara lain:
1.Masalah yang dibicarakan sifatnya menyeluruh yang berkenaan dengan Hukum Laut dan menyangkut kepentingan seluruh negara. Hal tersebut ternyata dari tujuan Konferensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Majelis Umum PBB; "to adopt a convention dealing with all matters relating to the Law of the Sea, bearing in mind that the problem of ocean space are closely interrelated and need to be considered as a whole".
2.Negara-negara berkembang yang tergabung dalam "Kelompok 77" merupakan mayoritas yaitu 2/3 dari seluruh peserta. Karena itu penyelesaian masalahnya lebih ditekankan pada penyelesaian yang bersifat politis dan kompromistis."
1984
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman S. Prabata
Depok: Universitas Indonesia, 1984
S25567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Anthony Darmawan Mulya
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan Rezim Hukum Negara Kepulauan Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tantangan dan hambatannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian normatif. Penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan ketentuan-ketentuan yang menyangkut implementasi rezim negara kepulauan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sesuai secara keseluruhan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, sehingga perlu direvisi. disamping itu perlu pengaturan hak hak dan kewajiban kapal perang, kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan komersial (niaga) dan tujuan bukan komersial ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Lebih lanjut Pembangunan bidang hukum rezim hukum negara kepulauan Indonesia hendaknya merupakan upaya untuk mengintegrasikan kebijakan-kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut, khususnya sumber daya ikan, penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan.

This thesis is reviewing Archipelagic States Regime of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea and Its Implementation in Indonesia. This research uses a qualitative approach with normative methodology. The outcome of this research shows that he results of this study indicate that Indonesia has had legislation in accordance with the overall 1982 Law of the Sea Convention. However, some provisions in the legislation have not deal the provisions of Convention on Law of the Sea 1982, so it needs to be revised. besides that necessary arrangements rights and obligations of warships, foreign governments operated for commercial purposes (commercial) and non-commercial purposes in the legislation Indonesia. Further development of the legal regime of the Indonesian archipelagic state should be an effort to integrate policies on defense and security, management and utilization of marine resources, especially fish resources, scientific research and transfer of marine technology."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Retno Tri Wardhani
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S25598
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Anwar
"Indonesia mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 dan kemudian mengatur Zona Ekonomi Eksklusif tersebut dengan menungundangkannya di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 ( Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44). Pada waktu Indonesia mengumumkan ZEEI tahun 1980 telah terdapat sejumlah 73 negara-negara yang telah melakukan hal yang sama yaitu mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif mereka , sebagai pengaruh dari perkembangan Konperensi Hukum Laut PBB ke-III yang telah menyetujui Informal Composite Negotiating Text. Saat dikeluarkannya pengumuman Indonesia tentang ZEEI tersebut diatas, Zona Ekonomi Eksklusif telah berkristalisasi menjadi hukum kebiasaan internasional karena konsep ZEE belah memperoleh dukungan yang besar baik dari negara -negara maritim utama, maupun negara-negara berkembang serta Zona Ekonomi Eksklusif telah merupakan bagian dari praktek hukum internasional.
Bertambah banyak negara-negara yang memakai sistim joint venture dan atau perizinan sebagai dasar hukum pemberian izin bagi kapal perikanan asing pada ZEE mereka. Indonesia melaksanakan sistim joint venture bidang perikanan berdasarkan Undang-Undang PMA dan pemberian SIPI ( Surat Izin Penangkapan Ikan ) bagi pihak asing diatur oleh Peraturan pemerintah Nomor 15 Tahun 1984. Sistim terakhir yang berlaku ialah, sistim sewa kapal perikanan asing yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomar 816/Kpts/IK.120/11/90 tanggal 1 Nopember 1990.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengadakan peninjauan atas perundang-undangan yang berkaitan dengan konsep pemanfaatan penuh sumberdaya alam hayati perIkanan JTB , kapasitas tangkapan dan akses atas surplus perikanan, yang hal ini berkaitan dengan pengaturan partisipasi pihak asing dalam perikanan ZEE baik di dalam konteks hukum internasional dan hukum nasional.
2. Sesuai dengan karakteristik hukum dari ZEE menurut KHL 1982, mengadakan tinjauan terhadap pelbagai hak dan kewajiban negara kepulauan Indonesia sebagai negara pantai di dalam menangani masalah pengaturan partisipasi perikanan pihak asing di ZEEI menurut perundang-undangan nasional dan menurut hukum internasional.
3. Mengadakan perbandingan antara praktek negara-negara terutama di Asia Pasifik di dalam menerapkan berbagai perjanjian bilateral dan multilateral perikanan serta seberapa jauh praktek pengaturan- negafa-negara tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982.
4. Mengadakan tinjauan terhadap ketentuan perundang-undangan yang memberi peluang kepada berbagai interpretasi atas hak negara pantai yang dengan demikian tidak mendukung kepastian hukum.
5. Mengadakan peninjauan terhadap implementasi dari hasil-hasil perjuangan Indonesia di dalam forum UNCLOS III, khususnya dalam rejim negara kepulauan dan rejim ZEE."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
D1051
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>