Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36496 dokumen yang sesuai dengan query
cover
KAJ 6(3-4) 2001
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Barton, Greg
Jakarta: Saufa, IRCiSoD, LKIS, 2016
923.1 BAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Retia Sari Sofiani
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S13349
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
cover
Maisyaroh
"Gagasan dernokrasi merupakan hal yang senantiasa aktual unmk diperbincangkan. Penghargaannya atas prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan, dianggap memiliki nilai universal dan relevan dengan hakikat kehidupan umat manusia. Di Indonesia, tumbangnya rezim Orde Baru menghidupkan kembali ide-ide demokrasi. Sistem politik pun berangsur-angsur berubah. Demokrasi menjadi slogan utama dan tema di setiap pembicaraan sosial dan politik, bahkan demokrasi pun dikaitkan dengan realitas dan tradisi keagamaan.
Para pemikir, cendikiawan dan pengamat demokrasi tak henti-hentinya mengusung gagasan demokrasi yang relevan dengan konteks kehidupan bangsa Indonesia. Tentu saja, nilai-nilai tradisi sosial dan keagamaan tidak lepas dari pertimbangan. Dalam konteks inilah, pemikiran Gus Dur memiliki kontribusi yang sangat panting. Tesis ini hendak menjelaskan pemikirannya tentang demokrasi, sejauh mana pemikiran keagamaan membentuk pemikiran Gus Dur dan menyesuaikannya dengan gagasan demokrasi dan implikasi pemikirannya bagi pcrkembangan demokrasi di Indonesia.
Pemikiran Gus Dur ditelaah berdasarkan teori dan konsep tentang demokrasi, demokratisasi, civil society dan sosialisasi politik. Dari uraian gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Proses menuju terciptanya suasana demokratis diperjuangkan olehnya lewat berbagai peran sosial dan politik yang ia jalani. Latar belakang kultur agama yang kuat turut memperkuat dukungannya terhadap konsep demokrasinya. Bahkan ia berani, tegas dan teguh menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Islam memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan demokrasi.
Sikap kritis terhadap pemerintah menunjukkan penghargaan atas kedaulatan rakyat. Konsep masyarakat sipil terwujud jika kedaulatan berada di Iangan rakyat. Sentuhan pemikiran Islam dan Barat dalam karir intelektualnya turut mempengaruhi sikap toleransi yang ia miliki. Karena itu pula, pemikirannya seringkali dianggap sebagai representasi dari kehendak rakyat pada level bawah. Meski demikian, ia juga sosok yang unik dan kontroversial. Dalam keteguhan pendirian, terkadang ia harus berbenturan dengan berbagai pihak. Baginya, hal ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi.
Implikasi teori dari penelitian ini menunjuldcan bahwa pada umumnya pemikiran Gus Dur tentang demokrasi relevan dengan demolcrasi itu sendiri khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai pluralisme. Hal ini sekaligus mendukung teori demokrasi sebagai salah satu sistem politik yang paling relevan bagi kehidupan sosial-politik yang sangat majemuk di Indonesia.

Democracy is always actual idea to be discussed. Its appreciation of freedom and equal principles is assumed to have a universal value. They are also relevant with the substance of human life. In Indonesia, the fall of New Order has generated the idea of democracy. Democracy becomes main topic and slogan in every social and political discussion, and it is also tried to be linked with religious tradition and reality.
Thinkers, scholars, and academicians always support the idea of democracy which is said as relevant with the life of Indonesia. Of course, socio-religious traditional values are still considered. In that context, the idea of Gus Dur has an important contribution. This thesis tries to explain the idea on democracy; the role of religious values which is shaped GuDur ideas on democracy and adjust it with democracy; and its implication on democracy in Indonesia.
The idea of Gus Dur is examined with theory and concept of democracy, democratization, civil society, and political socialization. From the description of his ideas and thoughts, it seems that Gus Dur supports the values of democracy. Process in realizing democratic situation in fought by him through his social and political role. His strong background on religious culture strengthens his support on his concept of democracy. Even he is brave, assertive, and tough to state that Islam is compatible with democracy. Islam has significant contribution for the advancement of democracy.
His critical perception toward the government shows his appreciation on peop|e's sovereignty. The concept of civil society will be realized if the people have the sovereignty. His experience with Islamic and Westem ideas contributes to his tolerance attitude. Because of that , his ideas represent people's aspiration. Even tough, sometimes he is also unique and controversial because he must oppose other's opinion.
Theoretical implication of the research is that generally the ideas of Gus Dur on democracy relevant with democracy it selĀ£ especially pluralism. It is relevant with theory of democracy as a political system with plural social and political life of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 2000
923.1 GIL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik H.
"Persoalan hubungan sipil-militer selama masa reformasi yang paling penting dan patut untuk dijadikan kajian maupun bahan penelitian adalah di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang berlangsung tidak-lebih dari 20 bulan, dari bulan Nopember 1999 hingga Juli 2001. Bukan saja karena terdapatnya sejumlah kebliakan penting yang dihasilkan dalam rangka penegakan supremasi sipil, keberhasilan militer Indonesia melakukan konsolidasi lnternal, ataupun hubungan sipil (Presiden Abdurrahman Wahid) dengan militer yang dipenuhi dengan 'ketegangan'. Lebih dari itu, militer indonesia memiiiki peranan yang cukup signifikan bagi naik dan turunnya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan Rl ke-4.
Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI. Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai Presiden Rl ke-4 hasil Pemilu 1999. Sejumlah kebijakan penting ilu diantaranya, penggantian jabatan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementerian Pertahanan, penempatan orang sipil sebagai Menhan, realisasi pemisahan Polri dari TNI, penghapusan Bakorstanas dan Litsus, dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, beberapa mutasi di tubuh militer misalnya penempatan Laksamana Widodo AS (AL) sebagai Pangab TNI, pergantian posisi Pangkostrad dan beberapa perwira tinggi lainnya yang dinilai sebagai upaya "dewirantoisasi', dihapusnya posisi Wakil Pangab, serta kebijakan yang belum terealisasi, yakni keinginan mengganti jabatan Panglima TNI dengan Kepala Staf Gabungan dan meletakkan TNI dibawah Menhan. Kedua, militer (TNI) ternyata melakukan respon balik bahkan ?perlawanan' atas beberapa kebijakan Abdurrahaman Wahid di atas, terutama yang berkaitan dengan seiumlah mutasi para perwira, yang dibuktikan dengan penolakan mereka atas Maklumat Presiden (Dekrit) dan dukungan mereka atas Sl MPR 2001.
Dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dengan para pelaku (tokoh) penting di sipil maupun militer selama Abdurrahman Wahid menjabal Presiden Rl dan studi pustaka, dikumpulkan dan diverifikasi data-data itu, kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana pola hubungan sipil-militer di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, sejauhmana reposisi militer berlangsung di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan apakah pemerintahan Abdurrahman Wahid mampu membuat hubungan sipil-militer yang betul-betul mencerminkan adanya reposisi militer dari domain politik dan terbentuknya supremasi sipil yang akan mendukung demokratisasi di Indonesia ?.
Untuk itu, kerangka teori yang penulis gunakan dalam melihat hubungan sipil-militer di masa pemerintahan Abdurrahaman Wahid, pertama, bisa dijelaskan dengan teorinya Perimuller (1980), Huntington (1959) dan Welch (1970) yang melihat faktor eksternal militer menjadi penyebab munculnya intervensi. Sedangkan Finer (1988) dan Nordlinger (1994) melihal faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer ke domain sipil. Kedua, Alfred Stepan (1998) tentang pengurangan hak istimewa militer dan otorilas politik militer serta Sundhaussen (1985) tentang alasan dan syarat penarikan diri militer dari wilayah politik. Ketiga, Perlmutler (1980) dengan teori fusionist (peleburan)-nya menjelaskan tentang model-model hubungan sipil-militer di dunia ketiga. Keempat, berkaitan dengan variasi dominasi militer banyak dilakukan oleh Huntington (1959), Monis Janowilz (1964), Claude E. Welch (1970), David E. Albright (1980), Qrouch (1985) dan Nordlinger (1994), yang menjelaskan model dominasi militer dalam pemerintahan sipil sesuai dengan posisi dan peran mililer di dunia ketiga.
Berdasarkan metode penelitian dan kerangka teoritik di atas, beberapa temuan penting hasil studi, analisis dan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, posisi militer pasca Orde Baru masih kuat, Kedua, militer pasca Orde Baru telah melakukan beberapa perubahan internal yang merupakan jawaban atas tuntutan dan tekanan publik. Ketiga, inkonsistensi reposisi militer dari politik praktis juga dilakukan oleh kekuatan sipil. Keempat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memang lelah menandai adanya upaya untuk mereposisi militer dan keinginan untuk memprofesionalkan tentara. Kelima, Hubungan Abdurrahman Wahid-militer awalnya harmonis, namun tidak berlangsung Iama, sebab Abdurrahman Wahid terlalu mengakomodasi ?kelompok moderal? TNI yang menghendaki terciptanya militer profesional dan meninggalkan kelompok yang masih memperlahanlkan status quo dimana TNI tidak hanya berfungsi sebagai ?pemadam kebakaran? saja, tetapi sekaligus menolak prinsip supremasi sipil. Presiden dianggap lerlalu jauh melakukan intervensi ke tubuh TNI, sehingga kelompok konservatif mampu mengkonsolidasikan kekuatannya bekerja sama dengan kelompok sipil (Iawan polilik Abdurrahman Wahid) menolak Maklumat Presiden dan menggelar Sl-MPR.
Keenam, cita-cita penegakan prinsip supremasi sipil pada era kepemimpinanan Abdurrahman Wahid dapat disimpulkan gagal. Hal ini disebabkan oleh dua hal ; (1) presiden, parlemen dan para elite partai polilik menjadi titik lerlemahnya. Konflik yang berujung pada fragmentasi di antara kekuatan sipil telah membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan militer ini ditunjukkan melalui dukungannya lterhadap penyelenggaraan Sl MPR dan, (2) secara ideologis, militer belum sepenuhnya bersedia menarik diri dari domain polilik praktis. Karena, secara substansi, doktrin dan keyakinan anggola mililer belum berubah. Selain itu, keengganan militer unltuk back to barrack karena pemerintah belum sepenuhnya mampu memenuhi anggaran, kesejahteraan dan fasilitas untuk menjadikan militer yang profesional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T12239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>