Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168579 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teuku Zulkifli Jacoeb
Jakarta: Universitas Indonesia, [date of publication not identified]
R 618.14 TEU f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Zulkifli Jacoeb
"Fertililas pada seorang wanita selain dipengaruhi oleh usia, juga bergantung pada keseimbangan dan keserasian kerja aneka faktor intrinsik di dalam organ tubuhnya. Gangguan pada salah satu atau beberapa faktor tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya infertilitas.
Sebagian besar faktor telah dapat dijelaskan sebagai penyebab dari infertilitas pada wanita. Secara khusus, faktor peritoneum menunjukkan angka yang cukup tinggi (35-60%). Sedangkan sekitar 10-25%,meski dengan usaha pemeriksaan yang intensif dan penanganan yang sungguh-sungguh, masih merupakan faktor penyebab yang belum dikelahui (idiopalik) dan perlu digali lebih jauh.
Seringkali dijumpai bahwa seorang wanita tidak berhasil hamil padahal faktor peritoneumnya normal dan bagian-bagian lain genitalia secara fungsional juga normal. Namun sebaliknya meski faktor peritoneumnya abnormal, tetapi fertilisasi dan kehamilan normal dapat terjadi.
Dipikirkan bahwa dalam hal ini sesungguhnya ada faktor lain yang berperan, antara lain faktor lingkungan-mikro di dalam rongga peritoneum yang diwakili oleh zalir peritoneal.
Faktor peritoneum dalam infertilitas wanita mencakup infeksi, perlekatan, dan endometriosis, baik secara tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi. Keadaan patologis tersebut dapat mcngganggu suasana yang serasi di dalam zalir peritoneal. Pada keadaan dengan faktor-faktor untuk terjadinya fertilisasi itu normal, termasuk faktor ovulasi dan juga faktor suami, maka gangguan oleh faktor peritoneum ini dapat menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya penyebab gagalnya fertilisasi.
Kegagalan dan keberhasilan fertilisasi mungkin berhubungan dengan beberapa faktor, seperti perubahan-perubahan tertentu pada fase dini dari endometriosis, gangguan ovulasi, dan infeksi pelvik subklinis. Hasil pemeriksaan dasar infertilitas, analisis hormonal serum dan bahkan endoskopi pelvik yang normal sekalipun belum seluruhnya dapat menyingkirkan kemungkinan adanya patologi pada fase dini tersebut. Sehingga tetap disalah-tafsirkan sebagai infertilitas idiopatik.
Pada dasarnya setiap penyebab infertilitas memang harus dicari dan ditemukan, karena faktor-faktor yang sudah nyata itu akan memberikan arahan penanganan dan pengobatan yang lebih jelas. Untuk itu berbagai cara pendekatan perlu dipilih guna mempelajari faktor-faktor yang terlibat.
Teknik diagnostik terhadap faktor peritoneum dahulu digunakan histerosalpingografi (HSG), tetapi ternyata nilainya masih terbatas. Kini laparoskopi telah lebih menambah fungsi diagnostik makroskopik terhadap faktor peritoneum itu. Namun keunggulan diagnostik yang dimiliki oleh laparoskopi inipun ternyata masih mempunyai keterbatasan karena masih dijumpai kesenjangan antara temuan laparoskopik dan kemungkinan fertilisasi.
Menjadi pemikiran bahwa dengan mengikutsertakan penilaian lingkungan-mikro zalir peritoneal dalam pemeriksaan infertilitas wanita, nilai diagnostik klinis dari pemeriksaan itu akan ditingkatkan. Dengan demikian ketimpangan yang ditemukan itu akan dapat diterangkan.
Perubahan di dalam lingkungan-mikro zalir peritoneal tidak dapat diketahui dengan teknik pemeriksaan yang sederhana. Dengan demikian diperlukan beberapa cara pendekatan objektif yang lebih maju dan telah ditunjukkan bermanfaat oleh para peneliti, seperti teknik teraradioimunologik (TRI), teraimunoenzimatik (TIE), dan pemeriksaan sitologis.
2. Perubahan Berbagai Komponen Biokimiawi, Imunologis Dan Seluler Di Dalam Lingkungan-Mikro Zalir Peritoneal Berhubungan Dengan Gangguan Ovulasi, Endometrlosis Dan Infeksi Subklinis Sehingga Berpengaruh Terhadap Fisioiogi Reproduksi.
Fertilisasi alamiah memerlukan suasana, lingkungan-mikro serta medium yang sesuai dan normal pula. Medium tersebut merupakan hasil sekresi alamiah zalir tubuh dari saluran maupun organ reproduksi wanita, terutama ovarium (folikel matang), tuba, dan peritoneum.
Tetapi tak semua zalir itu sesuai sebagai medium fertilisasi maupun untuk perkembangan dini embrio. Untuk itu perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pH, viskositas, unsur-unsur nutrien, suhu, bebas kuman, dan tak mengandung zat-zat yang bersifat toksik terhadap garnet maupun embrio dini. Keunggulan zalir peritoneal dibandingkan dengan zalir tubuh lainnya ialah mengandung unsur hormon yang cukup besar. Unsur ini dibutuhkan untuk memelihara maturasi ovum segera setelah ovulasi eksternal.
Hingga kini sebagian besar ahli masih beranggapan bahwa fertilisasi in vivo yang normal terjadi di ampula tuba Falloppii. Tetapi akhir-akhir ini, dipertanyakan di manakah tempat yang sebenarnya dari proses fertilisasi itu : di ampula tuba, di bagian distal tuba, ataukah di rongga/zalir peritoneal. Hal ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan klinis dari kehamilan yang terjadi maupun pada bukti-bukti laboratoris pada hewan percobaan.
Percobaan fertilisasi dan biakan embrio di dalam kamar mikrodifusi yang dilakukan oleh Jewgenow pada tahun 1984 misalnya, telah membuktikan bahwa zalir peritoneal berperan sebagai medium yang penting untuk fertilisasi.
Beberapa peneliti lain telah mengungkapkan pula betapa pentingnya peran zalir peritoneal dalam fertililas dan proses fertilisasi. Di sini sekurang-kurangnya lingkungan-mikro zalir peritoneal berfungsi sebagai medium hantaran awal gamet maupun sebagai medium fertilisasi dan pembelahan, baik ketika di rongga peritoneal (kavum Douglas) maupun ketika telah terisap ke dalam tuba Falloppii. Dengan demikian peranan zalir peritoneal dalam kegagalan fertilisasi perlu mendapat perhatian yang lebih bcsar.
Zalir peritoneal merupakan lingkungan-mikro yang senantiasa membasahi tuba maupun ovarium dan mengandung aneka unsur biologis. Dengan demikian zalir ini bertindak sebagai zona dinamik dari interaksi garnet. Dikarenakan sifatnya yang peka, maka setiap pengaruh patologis mampu memberikan dampak negatif terhadap proses reproduksi. Pengaruh patologis tersebut adalah gangguan ovulasi, infeksi dan endometriosis. Pada keadaan ini terjadi perubahan fisis, biokimiawi, imunologis, dan seluler lingkungan-mikro zalir peritoneal. Pengaruhnya tampil sebagai: (a) perubahan volume zalir peritoneal sepanjang siklus haid pada pasien-pasien dengan dan tanpa endometriosis; (b) perubahan konsentrasi steroid seks ovarium misalnya 17β-estradiol dan progesteron, steroid adrenal (kortisol dan DHEAs), hormon lain seperti (6-k-PGF1 dan TxB, (c) pengaruh endometriosis terhadap berjenis senyawa tersebut; (d)perubahan dari unsur-unsur seluler, beberapa imunoreaktan, enzim, pelanda keganasan, beberapa protein spesifik, elektrolit, serta (e) gangguan migrasi spermatozoa ke rongga peritoneal.
Perubahan kadar beberapa hormon zalir peritoneal juga dipengaruhi oleh siklus haid dan ada atau tiadanya ovulasi.24 Seringkali gangguan ovulasi yang ditetapkan dengan pemeriksaan kadar progesteron serum lase luteal madya, tidak sesuai dengan kenyataan yang ditemukan secara laparoskopis. Sedangkan temuan bintik ovulasi per laparoskopi pun tidak lagi dapat dipakai sebagai pegangan tunggal untuk memastikan ovulasi yang disertai dengan terbebasnya ovum keluar dari folikel yang malang.
Pada sindroma LUF (Lureinized Unruptured Follicle Syndrome), misalnya, dapat dijumpai ovulasi secara klinis dan laboratoris serta korpus luteum pada laparoskopi. Tetapi perubahan hormonal di dalam zalir peritonealnya memperlihatkan adanya ovulasi yang diikuti dengan terperangkapnya ovum diantara sel-sel granulosa. Sindroma LUF yang terjadi berulang-ulang merupakan pencetus timbulnya endometriosis pelvik akibat memburuknya suasana di dalam zalir peritoneal.
Lebih lanjut, sekalipun lesinya sangat minimal, adanya endometriosis akan meningkatkan kadar prostaglandin dan prostanoid zalir peritoneal sehingga meninggikan motilitas tuba. Hipermotilitas tuba yang terjadi itu dapat mengganggu migrasi spermatozoa maupun pengangkutan ovum atau zigot.
Kegagalan fertilisasi dapat pula ditimbulkan oleh perubahan seluler dalam lingkungan-mikro zalir peritoneal. Pada keadaan normal zalir peritoneal?."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
D154
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naivah Harharah
"Membandingkan dan menentukan rerata kadar AMH serum pada wanita infertil dengan tanpa endometriosis serta mengetahui rerata kadar AMH serum pada masing-masing derajat endometriosis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional). Enam puluh delapan subjek yang menjalani laparoskopi, yang masuk dalam kriteria penerimaan dibagi menjadi dua kelompok sama besar, yakni kelompok endometriosis dan tanpa endometriosis secara konsekutif (consecutive sampling). Masing-masing subjek diambil percontoh dari darah sebelum dilakukan laparoskopi kemudian diukur kadar AMH serum. Rerata masing-masing kelompok diuji statistik dengan uji Mann-Whitney.
Hasil: Rerata kadar AMH serum pada kelompok endometriosis lebih rendah dibandingkan dengan tanpa endometriosis dan secara statistik berbeda bermakna (2,30+1,8 ng/ml vs 3,75+2,13 ng/ml; p=0,005). Dengan uji Kruskal-Wallis, didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada subjek kelompok endometriosis berdasarkan derajat endometriosis (p=0,005). Bila dilakukan pengelompokkan kelompok endometriosis minimal-ringan dan kelompok endometriosis sedang-berat dibandingkan dengan kelompok tanpa endometriosis, maka hasilnya menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kadar AMH serum pada kelompok endometriosis minimal-ringan dengan kelompok tanpa endometriosis (p=0,34), sedangkan pada kelompok endometriosis sedang-berat dengan kelompok tanpa endometriosis terdapat hubungan yang bermakna (p<0,005).

To compare and to determine the differences in levels of serum AMH in infertile women with and without endometriosis, and also to determine the mean levels of serum AMH in every grade of endometriosis.
Methods: This study is a cross-sectional study. Sixty-eight subjects who have undergone laparoscopy fulfilled the inclusion criteria are included and divided into two groups, i.e groups of endometriosis and without endometriosis consecutively (consecutive sampling). Blood samples are taken from each subject before laparoscopy which is then measured the levels of serum AMH. The mean levels of each group are tested with an Mann-Whitney test.
Results: The mean levels of serum AMH were lower in the endometriosis group than that group without endometriosis and it was statistically significance ( 2,30+1,8 ng/ml vs 3,75+2,13 ng/ml; p=0,005). With Kruskal-Wallis test, it was found that there was statistically significant difference among endometriosis group based on grading. There was no different at the mean levels of serum AMH between the minimal-mild endometriosis group and without endometriosis group (p=0,34), but the mean levels of serum AMH was lower in the moderate-severe endometriosis compare to the group without endometriosis and it was statistically significance (p<0,005).
Conclusions: The mean levels of serum AMH in infertile women with endometriosis were lower than that group without endometriosis and were statistically significantly different. There was no different between the mean levels of serum AMH in minimal-mild endometriosis group and that group without endometriosis, while in moderate-severe endometriosis group, it was lower than without endometriosis and it was statistically significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adya Firmansha Dilmy
"Tujuan: Menilai keberadaan reseptor PPARγ serta membandingkan tampilan reseptor PPARγ pada endometrium eutopik dan ektopik pada penderita endometriosis Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional). Sepuluh subjek penderita endometriosis yang menjalani laparoskopi atau laparotomi, yang masuk dalam kriteria penerimaan (consecutive sampling) diambil dua percontoh, yakni endometrium eutopik dan endometrium ektopik yang berasal dari dinding kista endometriosis saat dilakukan pembedahan kemudian dilihat tampilan reseptor PPARγ dengan two-step RT-qPCR. Tampilan masing-masing percontoh diuji statistik dengan uji tes-t berpasangan dan tes korelasi Pearson.
Hasil: Didapatkan tampilan reseptor PPARγ pada endometrium eutopik dan endometrium ektopik penderita endometriosis dengan metode RT-qPCR. Tampilan resptor PPARγ endometrium eutopik dan ektopik didapatkan secara statistik tidak berbeda bermakna (1.16 lipatan relatif vs 1.25 lipatan relatif; p=0.26). Pada uji korelasi Pesrson didapatkakan korelasi positif lemah antara tampilan PPARγ endometrium eutopik dan ektopik (r=0.16).
Kesimpulan: Tampilan reseptor PPARγ pada endometrium eutopik dan ektopik penderita endometriosis didapatkan dengan metode two-step RT-qPCR. Dengan semikuantifikasi tampilan reseptor PPARγ tidak didapatkan perbedaan antara tampilan reseptor PPARγ pada endometrium eutopik dan ektopik pada penderita endometriosis. Terdapat korelasi positif lemah antara tampilan reseptor PPARγ pada endometrium eutopik dan ektopik pada penderita endometriosis.

Objective: To evaluate the expression of the PPARγ receptor and to compare its expression in the eutopic and ectopic endometrium in women with endometriosis Method: This is a cross sectional study. Ten female subjects with endometriosis that underwent laparoscopy or laparotomy that fulfilled the inclusion criteria were recruited by consecutive sampling. Two samples were taken, eutopic endometrium and ectopic endometrium from endometriosis cyst wall during surgery of each subject, PPARγ expression was examined by two-step RT-qPCR. Each sample was statistically examined using the paired t-test and Pearson’s corelation test.
Result: PPARγ was found to be expressed in the eutopic and ectopic endometrium of women with endometriosis using the RT-qPCR method. The expression of PPARγ was not statistically different in eutopic and ectopic endometrium (1.16 relative fold vs 1.25 relative fold:p=0.26). By Pearson’s corelation there was a weak positive corelation between PPARγ expression of the eutopic and ectopic endometrium (r=0.16).
Conclusion: PPARγ was detected by two-step RT-qPCR in eutopic and ectopic endometrium of women with endometriosis. Semiquantification of PPARγ expression showed that there was no significant difference betweenits expression in the eutopic and ectopic endometrium of women with endometriosis. There was a weak postive corelation of PPARγ expression between the eutopic and ectopic endometrium of women with endometriosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Essy Octavia
"Latar Belakang: Kejadian infertilitas di Indonesia 10-15 dari 39,8 juta wanita usia subur. Infertilitas dapat memberi masalah fisik, mental, sosial hingga perceraian. Sekitar 25 -50 perempuan infertil disertai endometriosis dan laparoskopi telah menjadi salah satu pilihan tatalaksananya. Dalam menjalani suatu metode, ahli bedah dan pasangan selalu ingin mengetahui peluang keberhasilan mereka baik dari data praoperasi ataupun intraoperasi. Lee dkk menyatakan keberhasilan kehamilan alamiah pasca laparoskopi secara keseluruhan adalah 41,9 dan tidak berhubungan dengan derajat endometriosis atau temuan laparoskopi atau jenis operasi. Di Indonesia, belum ada studi yang membahas faktor yang paling mempengaruhi keberhasilan kehamilan alamiah pada perempuan yang menjalani metode laparoskopi operatif.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan kehamilan alamiah pasca laparoskopi operatif.Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Dengan total sampling, data diambil dari catatan pasien yang menjalani operasi laparoskopi karena infertilitas dengan endometriosis di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Yayasan Pemeliharaan Kesehatan YPK di Jakarta, Indonesia. Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 untuk mengetahui hubungan antara usia, durasi infertilitas, jenis infertilitas, kadar CA-125, ukuran dan bilateralitas endometrioma, perlekatan organ genitalia interna, nodul endometriosis dan patologi tuba dengan keberhasilan kehamilan alamiah dalam 1 tahun pasca laparoskopi operatif.Hasil: Terdapat 70 subjek yang dianalisis. Sebanyak 32 subjek 45,7 hamil dalam satu tahun pasca laparoskopi. Lama infertilitas menggunakan titik potong
Background and aims The incidence of infertility in Indonesia is 10 15 of the 39.8 million women of childbearing age. It can give physical, mental, social and divorce problems. Approximately 25 50 of infertile women cause by endometriosis. Laparoscopy operative LO has become one of its treatments. In choosing a method, surgeon and couples always want to know the chances of their success either from preoperative or intraoperative data. In Indonesia, there are no studies that address the factors influence the success of natural pregnancy in women undergoing LO methods. This study aims to determine what factors affect the success of natural pregnancy postoperative laparoscopy.Methods This study used a retrospective cohort design. With total sampling, the data were taken from the patient records who underwent laparoscopic operative due to infertility with endometriosis at RS Cipto Mangunkusumo and the Health Care Foundation Foundation YPK in Jakarta, Indonesia. Data analysis was performed with SPSS 20 software to determine the relationship between age, duration of infertility, type of infertility, ca 125 levels, size and bilaterality of endometrioma, internal genital adhesion, endometriosis nodules and tubal pathology with successful natural pregnancy in 1 year after laparoscopic operative.Result There were 70 subjects analyzed. A total of 32 subjects 45.7 were pregnant within one year after laparoscopy. The length of infertility using a "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yassin Yanuar Mohammad
"Pengantar: Endometriosis merupakan salah satu penyebab infertilitas dan menjadi indikasi fertilisasi in vitro (FIV). Laju apoptosis dan stress oksidatif yang tinggi pada pasien endometriosis diyakini menimbulkan efek negatif terhadap peluang keberhasilan FIV. Namun, pengaruh endometriosis terhadap keberhasilan FIV menunjukkan bukti yang inkonsisten dan belum banyak studi yang menilai langsung efek endometriosis terhadap kualitas oosit sebagai parameter keberhasilan FIV.
Tujuan: Untuk menilai laju apoptosis pada sel granulosa pasien endometriosis dibanding pasien non-endometriosis melalui rasio ekspresi mRNA BAX/BCL-2 dan menilai korelasinya dengan kualitas oosit yang didapatkan saat petik ovum.
Hasil: Sampel didapatkan dari 15 subjek dengan endometriosis dan 15 subjek kontrol. Dosis rekombinan FSH total yang diterima pada kelompok endometriosis untuk stimulasi ovarium lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (p=0.005). Terdapat perbedaan bermakna kadar ekspresi BAX (p=0.029) dan BCL-2 (p<0.001) pada kedua kelompok, tetapi perbedaan rasio keduanya tidak signifikan (p=0.787). Korelasi antara rasio BAX/BCL-2 dengan parameter kualitas oosit tidak menunjukkan hubungan bermakna di kedua kelompok.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan signifikan pada rasio kadar BAX/BCL-2 di kedua kelompok dan tidak ditemukan hubungan bermakna antara rasio tersebut dengan kualitas oosit. 

Introduction: Endometriosis is one of common conditions causing infertility and an indication to undergo in vitro fertilization (IVF). High apoptosis rate and oxidative stress in patient with endometriosis is believed to cause negative effect on IVF success rate. However, there has been conflicting results on endometriosis effect to IVF success and there have been limited studies that directly assess endometriosis and its effect on oocyte quality.
Aim: To assess apoptosis rate on granulosa cells in patients with endometriosis compared to non-endometriosis patients through mRNA BAX/BCL-2 ratio and how it correlates with oocyte quality collected during ovum pick up.
Results: Samples were collected from 15 subjects with endometriosis and 15 control subjects. Total dose of recombinant FSH received by endometriosis group is significantly higher compared to control (p=0.005). There is difference in BAX level (p=0.029) and BCL-2 level (p<0.001) in both groups. However, the ratio does not differ significantly (p=0.787). No significant correlation is found in BAX/BCL-2 ratio and any of the oocyte quality parameters.
Conclusion: We found no significant difference in BAX/BCL-2 ratio between endometriosis and control group as well as significant correlation between the ratio and oocyte quality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wahyu Ali
"Dismenorea menimbulkan dampak langsung yang cukup luas baik bagi penderita, keluarga, masyarakat ataupun negara dan bangsa. Masalah yang timbul dikaitkan dengan peningkatan angka absensi sekolah dan pekerjaan, yang berakibat pada penurunan produktivitas dan pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian negara dan bangsa. Pada studi yang pernah dilakukan oleh Park, pada suatu sekolah, menunjukkan 42% siswi harus absen atau tidak dapat beraktivitas karena keluhan dismenorea. Sementara dari penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Andersch diteniukan angka absensi antara 34 sampai 50% pada perempuan yang mengalami dismenorea. Dari segi perekonomian Dawood mengemukakan bahwa di Amerika Serikat hampir 600 juta jam kerja yang setara dengan nilai 2 miliar dollar hilang setiap tahunnya akibat dismenorea yang terjadi pada perempuan usia reproduksi. Kerugian yang timbul juga berhubungan dengan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk membeli obat dalam mengatasi gejala dismenorea yang timbal.
Karena demikian luasnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh dismenorea, maka penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi keluhan yang ada sangatlah diperlukan. Penatalaksanaan dismenorea yang dikemukakan pada berbagai kepustakaan meliputi penatalaksanaan non operatif dan operatif. Penatalaksanaan non operatif dapat berupa pemberian obat-obatan anti prostaglandin, kontrasepsi hormonal oral, antagonis kalsium, perangsang adrenoseptor beta, sediaan hormonal, asam lemak Omega 3, vitamin Bl, Magnesium. AIternatif lain yang pernah dikemukakan adalah dengan akupunktur dan transcutaneous electric nerve stimulation (TENS). Sedangkan terapi operatif dapat berupa dilatasi dan kuretase, laparoscopic uterine nerve ablation (LUNA), neurektomi presakral atau histerektomi total.
Laparoscopie Uicrosacral Nerve Ablation (LUNA) merupakan tindakan operatif" dengan melakukan pemotongan persarafan uterus pada ligamentum sakrouterina dekat insersionya pada uterus dengan menggunakan teknik pendekatan laparoskopi. Cara ini saat ini menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi dismenorea berat yang tidak respon dengan jenis pengobatan lainnya. Dengan pendekatan laparoskopi dan menggunakan suatu electro surgical system dilakukan pemotongan ligamentum sakrouterina pada insersionya dekat di uterus.
Pemotongan ligamentum sakrouterina dapat dilakukan secara total/komplit ataupun parsial. Pada penelitian ini seianjutnya teknik pemotongan ligamentum sakrouterina secara total disebut dengan Ablasi Nervus Sakro Uterina per Laparoskopi (ANUL), sedangkan teknik koagulasi ligamentum sakrouterina secara menyeluruh disebut sebagai Koagulasi Ligamentum Sakro Uterina per Laparoskopi (KoLSU).
Meskipun dari laporan penelitian di luar negeri efektifitas dan angka keberhasilannya cukup tinggi, namun di Indonesia belum pemah dilaporkan tingkat efektifitas dan keberhasilannya dalam mengatasi dismenorea berat. Oleh karena itu penelitian inl akan meneliti efektifitas kedua teknik tersebut dalam menurunkan keluhan dismenorea, dan sekaligus membandingkannya pada populasi tertentu oraag Indonesia yang menderita dismenorea berat.
RUMUSAN MASALAH
Belum diketahui perbedaan efektifitas Ablasi Nervus Sakro Uterina per Laparoskopi (ANUL) dengan Koagulasi Ligamentum Sakro Uterina per Laparoskopi (KoLSU ) dalam mengatasi dismenorea berat.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum :
Menilai dan membandingkan efektifitas ANUL dan KoLSU dalam mengatasi dismenorea berat.
Tujuan Khusus:
1. Mengetahul karakteristik demografi dan kiinis penderita dismenorea berat.
2. Menilai patologi organ pelvik secara laparoskopi pada penderita dismenorea berat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariyono Winarto
"Pendahuluan: Endometriosis merupakan suatu kelainan jinak ginekologi yang dapat mengalami transformasi menjadi kanker. Stres oksidatif diduga berperan dalam perkembangan penyakit endometriosis. Gen supresor tumor ARID1A banyak ditemukan termutasi dan inaktif pada kanker ovarium yang berhubungan dengan endometriosis. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis peran stres oksidatif terhadap ekspresi gen supresor tumor ARID1A dalam transformasi endometriosis menjadi ganas.
Metoda: Penelitian dimulai dengan 10 sampel jaringan kanker ovarium, 10 sampel endometriosis dan3 jaringan endometrium eutopik sebagai kontrol yang diisolasi mRNA dan proteinnya. Analisis ekspresi gen ARID1A pada tingkat mRNA dilakukan dengan pemeriksaan RT-qPCR dan pada tingkat protein dengan ELISA. Pada sel endometriosis dan kanker ovarium dilakukan analisis stres oksidatif dengan pemeriksaan aktivitas antioksidan MnSOD dan pemeriksaan kadar MDA sebagai salah bukti kerusakan salah satu komponen sel. Setelah itu dilakukan uji eksperimental pada kultur sel endometriosis dan endometrium eutopik sebagai kontrol. Kedua sel kultur diinduksi dengan H2O2 konsentrasi 0 nM, 100 nM, dan 1000 nM. Analisis dilakukan terhadap ketahanan hidup sel, kadar ROS dan ekspresi gen ARID1A pada tingkat mRNA dan protein.
Hasil: Efek induksi H2O2 dalam menekan ekspresi gen ARID1A sel endometriosis dan sel endometrium eutopik pada tingkat mRNA dan protein, bermakna, meskipun pada kanker ovarium tidak bermakna pada penelitian ini.
Kesimpulan: Stres oksidatif berperan dalam menekan ekspresi gen supresor tumor ARID1A ditingkat mRNA dan protein pada endometriosis.

Introduction: Endometriosis as a gynecologic benign lesion, can transform itself into cancer. Oxidative stress is considered as an important factor in endometriosis development. Studies found that ARID1A as tumor suppressor gene, was frequently mutated and inactivated in endometriosis associated ovarian cancer. The aim of the study is to analyze the role of oxidative stress on ARID1A expresion in endometriosis malignant transformation.
Methods: This study started with ten samples of ovarian cancer, ten samples of endometriosis, and 3 samples of eutopic endometrioid tissues as control. They were analyzed for the expression of ARID1A by RT-qPCR and ELISA, then analyzed for the activity of MnSOD as antioxidant enzyme and level of malondialdehyde as one of the oxidative stress damage effect evidence on cell's components. The second part of the study was experimental study on cultured eutopic endometrial and endometriosis cells. They were induced by H2O2 of 0, 100, and 1000 nM concentration. Analysis of the expression of ARID1A by RTqPCR and ELISA, and the DCFH-DA for the level of Reactive oxygen species were done.
Result: The impact of the H2O2 induction in repressing ARID1A gene expression on the endometriosis as well on the eutopic endometrium cells are significant, but not on the ovarian cancer in this study.
Conclusion: Oxidative stress has a role in repressing the expression of ARID1A gene at the mRNA and protein levels on the endometriosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widyawati
"ABSTRAK
Latar belakang: Endometriosis merupakan kelainan ginekologik yang paling
sering ditemukan. Seperti halnya endometrium di uterus juga dapat terjadi
berbagai perubahan pada epitel yang melapisi kista endometriosis di ovarium,
antara lain metaplasia, hiperplasia, atipia bahkan perubahan ke arah keganasan.
Saat ini banyak penelitian yang menghubungkan antara endometriosis dan kanker
ovarium terutama jenis clear cell dan dikenal dengan istilah endometriosisassociated
ovarian carcinoma (EAOC) dan dilaporkan adanya mutasi yang
menginaktifkan gen supresor tumor (ARID1A), sehingga protein BAF250a tidak
diekpresikan pada Clear cell carcinoma (CCC) ovarii.
Bahan dan cara: Dilakukan pulasan imunohistokimia ARID1A pada sampel 20
kasus endometriosis non atipik, 20 kasus atipik dan 20 kasus CCC ovarii tahun
2012 hingga Maret 2015. Dari kelompok kasus CCC didapatkan 9 kasus EAOC.
Selanjutnya dilihat adakah perbedaan persentase ekspresi ARID1A pada
endometriosis non atipik, atipik, CCC ovarii serta endometriosis disertai CCC
(EAOC).
Hasil: Pada kelompok kasus endometriosis non atipik, atipik dan CCC ada
perbedaan bermakna persentase ekspresi ARID1A (uji Kruskal-Wallis p=0,0035).
Selanjutnya dilakukan analisis Post Hoc uji Mann-Whitney dan didapatkan
perbedaan bermakna persentase ekspresi ARID1A antara endometriosis non atipik
dan atipik dengan CCC ovarii (p=0,001 dan p=0,0015). Pada kelompok kasus
endometriosis non atipik, atipik dan endometriosis pada EAOC, didapatkan ada
perbedaan bermakna persentase ekspresi ARID1A (Uji Kruskal-Walis p=0,011).
Selanjutnya dilakukan analisis Post Hoc uji Mann-Whitney dan ada perbedaan
bermakna persentase ekspresi ARID1A antara endometriosis non atipik dan atipik
dengan EAOC (p=0,005 dan p=0,008).
Kesimpulan: Ekspresi ARID1A pada endometriosis non atipik dan atipik lebih
tinggi bermakna dibanding CCC ovarii dan EAOC. Sehingga ekspresi ARID1A
kemungkinan dapat digunakan sebagai petanda adanya transformasi ganas pada
endometriosis.
ABSTRACT
Background: Endometriosis is one of the most common gynecological
abnormalities found. Endometriosis cyst in the ovary also exhibited changes in
epithelial cyst just like endometrium in the uterus. Changes in the epithelial cells
also include metaplasia, hyperplasia, atyphia even changes toward malignan
characteristics. Nowadays, there are some research that linked endometriosis and
clear cell ovarian cancer which is known with endometriosis-associated ovarian
carcinoma (EAOC) it is reported that there?s a mutation that activated tumor
suppressor gene (ARID1A), so protein BAF250a is not expressed in Clear Cell
Carcinoma (CCC) in the ovarium.
Materials and Methods: Immunohistochemistry staining of ARID1A were done
in 20 samples of non-atypical endometriosis, 20 samples of atypical
endometriosis, 20 samples of CCC in the ovarium from the year 2012 until march
2015. From the group that experienced CCC we get 9 cases of EAOC. After that,
we see if there?s any difference in the percentage of ARID1A expression in nonatypical
endometrosis, atypical endometriosis, CCC in the ovarium and
endometriosis with CCC( EAOC).
Results: In non-atypical endometriosis, atypical and CCC cases groups there are
significant differences on the percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis
test p=0,0035). Post Hoc analysis were done using Mann-Whitney test and there
are significant differences on ARID1A expression between non-atypical and
atypical endometriosis with CCC (p=0,001 and p=0,0015). In non-atypical
endometriosis, atypical and EAOC groups there are significant differences on the
percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis test p=0,011). Post Hoc
analysis were done using Mann-Whitney test and there are significant differences
on ARID1A expression between non-atypical and atypical endometriosis with
EAOC (p=0,005 and p=0,008).
Conclusion: Expression of ARID1A in non atypical and atypical endometriosis
are significantly higher compared to ovarian CCC and EAOC. So, we can say that
ARID1A may be used as a marker for malignancy transformation in
endometriosis.
;Background: Endometriosis is one of the most common gynecological
abnormalities found. Endometriosis cyst in the ovary also exhibited changes in
epithelial cyst just like endometrium in the uterus. Changes in the epithelial cells
also include metaplasia, hyperplasia, atyphia even changes toward malignan
characteristics. Nowadays, there are some research that linked endometriosis and
clear cell ovarian cancer which is known with endometriosis-associated ovarian
carcinoma (EAOC) it is reported that there?s a mutation that activated tumor
suppressor gene (ARID1A), so protein BAF250a is not expressed in Clear Cell
Carcinoma (CCC) in the ovarium.
Materials and Methods: Immunohistochemistry staining of ARID1A were done
in 20 samples of non-atypical endometriosis, 20 samples of atypical
endometriosis, 20 samples of CCC in the ovarium from the year 2012 until march
2015. From the group that experienced CCC we get 9 cases of EAOC. After that,
we see if there?s any difference in the percentage of ARID1A expression in nonatypical
endometrosis, atypical endometriosis, CCC in the ovarium and
endometriosis with CCC( EAOC).
Results: In non-atypical endometriosis, atypical and CCC cases groups there are
significant differences on the percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis
test p=0,0035). Post Hoc analysis were done using Mann-Whitney test and there
are significant differences on ARID1A expression between non-atypical and
atypical endometriosis with CCC (p=0,001 and p=0,0015). In non-atypical
endometriosis, atypical and EAOC groups there are significant differences on the
percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis test p=0,011). Post Hoc
analysis were done using Mann-Whitney test and there are significant differences
on ARID1A expression between non-atypical and atypical endometriosis with
EAOC (p=0,005 and p=0,008).
Conclusion: Expression of ARID1A in non atypical and atypical endometriosis
are significantly higher compared to ovarian CCC and EAOC. So, we can say that
ARID1A may be used as a marker for malignancy transformation in
endometriosis.
;Background: Endometriosis is one of the most common gynecological
abnormalities found. Endometriosis cyst in the ovary also exhibited changes in
epithelial cyst just like endometrium in the uterus. Changes in the epithelial cells
also include metaplasia, hyperplasia, atyphia even changes toward malignan
characteristics. Nowadays, there are some research that linked endometriosis and
clear cell ovarian cancer which is known with endometriosis-associated ovarian
carcinoma (EAOC) it is reported that there?s a mutation that activated tumor
suppressor gene (ARID1A), so protein BAF250a is not expressed in Clear Cell
Carcinoma (CCC) in the ovarium.
Materials and Methods: Immunohistochemistry staining of ARID1A were done
in 20 samples of non-atypical endometriosis, 20 samples of atypical
endometriosis, 20 samples of CCC in the ovarium from the year 2012 until march
2015. From the group that experienced CCC we get 9 cases of EAOC. After that,
we see if there?s any difference in the percentage of ARID1A expression in nonatypical
endometrosis, atypical endometriosis, CCC in the ovarium and
endometriosis with CCC( EAOC).
Results: In non-atypical endometriosis, atypical and CCC cases groups there are
significant differences on the percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis
test p=0,0035). Post Hoc analysis were done using Mann-Whitney test and there
are significant differences on ARID1A expression between non-atypical and
atypical endometriosis with CCC (p=0,001 and p=0,0015). In non-atypical
endometriosis, atypical and EAOC groups there are significant differences on the
percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis test p=0,011). Post Hoc
analysis were done using Mann-Whitney test and there are significant differences
on ARID1A expression between non-atypical and atypical endometriosis with
EAOC (p=0,005 and p=0,008).
Conclusion: Expression of ARID1A in non atypical and atypical endometriosis
are significantly higher compared to ovarian CCC and EAOC. So, we can say that
ARID1A may be used as a marker for malignancy transformation in
endometriosis.
;Background: Endometriosis is one of the most common gynecological
abnormalities found. Endometriosis cyst in the ovary also exhibited changes in
epithelial cyst just like endometrium in the uterus. Changes in the epithelial cells
also include metaplasia, hyperplasia, atyphia even changes toward malignan
characteristics. Nowadays, there are some research that linked endometriosis and
clear cell ovarian cancer which is known with endometriosis-associated ovarian
carcinoma (EAOC) it is reported that there?s a mutation that activated tumor
suppressor gene (ARID1A), so protein BAF250a is not expressed in Clear Cell
Carcinoma (CCC) in the ovarium.
Materials and Methods: Immunohistochemistry staining of ARID1A were done
in 20 samples of non-atypical endometriosis, 20 samples of atypical
endometriosis, 20 samples of CCC in the ovarium from the year 2012 until march
2015. From the group that experienced CCC we get 9 cases of EAOC. After that,
we see if there?s any difference in the percentage of ARID1A expression in nonatypical
endometrosis, atypical endometriosis, CCC in the ovarium and
endometriosis with CCC( EAOC).
Results: In non-atypical endometriosis, atypical and CCC cases groups there are
significant differences on the percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis
test p=0,0035). Post Hoc analysis were done using Mann-Whitney test and there
are significant differences on ARID1A expression between non-atypical and
atypical endometriosis with CCC (p=0,001 and p=0,0015). In non-atypical
endometriosis, atypical and EAOC groups there are significant differences on the
percentage of ARID1A expression (Kruskal-Walis test p=0,011). Post Hoc
analysis were done using Mann-Whitney test and there are significant differences
on ARID1A expression between non-atypical and atypical endometriosis with
EAOC (p=0,005 and p=0,008).
Conclusion: Expression of ARID1A in non atypical and atypical endometriosis
are significantly higher compared to ovarian CCC and EAOC. So, we can say that
ARID1A may be used as a marker for malignancy transformation in
endometriosis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Familia Bella Rahadiati
"Latar belakang: Karsinoma ovarium adalah salah satu keganasan paling mematikan di bidang ginekologik. Penyebab keganasan belum diketahui pasti dan umumnya tidak memiliki gejala klinik yang jelas. Karsinoma ovarium tipe I khususnya karsinoma endometrioid dan karsinoma sel jernih diketahui dapat berasal dari endometriosis. Karsinoma yang berasal dari endometriosis dikenal sebagai endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). Pengembangan model hewan coba karsinoma ovarium yang berhubungan dengan endometriosis diperlukan untuk penelitian dasar dan uji klinik menggantikan jaringan manusia. Pada penelitian ini dikembangkan model hewan coba karsinoma ovarium dengan teknik autoimplantasi dan induksi DMBA.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini mengunakan blok parafin dari tikusyang sebelumnya telah mendapatkan operasiplasebo (SHAM), autoimplantasi endometrium, kombinasi autoimplantasi endometrium dan induksi DMBAyangdikorbankan pada minggu ke-5,10, dan 20. Dilakukan penilaian histopatologik dan pulasan imunohistokimia ARID1A dengan penilaian persentase positivitas pada 200 sel.
Hasil: Penelitian ini menghasilkan lesi endometriosis atipik sebanyak 1 (20%) dan karsinoma sel jernih sebanyak 1 (20%)pada implantasi dan induksi DMBA 10 minggu dan karsinoma endometrioidsebanyak 100% pada kelompok induksi DMBA. Pulasan ARID1A tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,313) pada seluruh kelompok perlakuan.

Background: Ovarian carcinoma is one of the most deadly malignancies in the gynecologic field. The cause of malignancy is not known for sure and generally do not have clear clinical symptoms. Type I ovarian carcinoma especially endometrioid carcinoma and clear cell carcinoma is known to originate from endometriosis. Carcinoma originating from endometriosis is known as endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). The development of experimental animal models of ovarian carcinoma associated with endometriosis is needed for basic research and clinical trials replace human tissue. In this study an experimental model of ovarian carcinoma was developed with autoimplantation and DMBA induction techniques.
Materials and methods: This study used paraffin blocks from mice that had previously received placebo surgery (SHAM), endometrial autoimplantation, combination of endometrial autoimplantation and DMBA induction and were sacrificed at 5,10 and 20 weeks. Assessment of ARID1A expression by assessing the percentage of positivity in 200 cells.
Results: This study resulted in 1 (20%) atypical endometriosis lesions and 1 (20%) clear cell carcinoma in 10 weeks DMBA implantation and 100% endometrioid carcinoma in the DMBA induction group. ARID1A ekspression did not show a significant difference (p = 0.313) in all treatment groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>