Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59308 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ (6) 1997
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: PTIK, 2004
363.2 POL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lya Irawati
"Implementasi e-government merupakan upaya pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pelayanan publik. Salah satu keuntungan yang dapat diambil dari e-government adalah adanya pengurangan interaksi secara personal dan peningkatan transparansi serta kererlibatan masyarakat yang dapat menurunkan potensi korupsi sebagaimana telah dibuktikan pada berbagai penelitian empiris sebelumnya.
Tesis ini membahas mengenai peran e-government terhadap penurunan tingkat korupsi di negara ASEAN pada periode tahun 2008 ndash; 2016 dengan menggunakan pengukuran Corruption Perception Index CPI , E-Government Development Index EGDI , dan E-Participation Index EPI. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan regresi panel data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa EGDI berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap CPI, sedangkan EPI berpengaruh secara positif namun tidak signifikan terhadap CPI. Penelitian merekomendasikan implementasi dan mengembangkan e-government di negara ASEAN seabagai salah satu upaya untuk mengurangi tingkat korupsi yang selanjutnya berpotensi untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan.

E government implementation is one of government efforts in many countries to improve the efficiency and transparency of public services. One advantage that can be derived from e government is the reduction of personal interaction and increased transparency and community involvement that can reduce the potential for corruption as evidenced in previous empirical studies.
This thesis discusses the role of e government in reducing corruption levels in ASEAN countries during the period of 2008 2016 using Corruption Perception Index CPI, E Government Development Index EGDI, and E Participation Index EPI . This research is a quantitative research with panel data regression approach.
The results showed that EGDI positively and significantly influence to CPI, while EPI have positive but not significant effect to CPI. This paper recommends developing countries in Southeast Asia to implement and develop e government as anti corruption tool to mitigate corruption which would potentially be benefited in increasing economic growth and reaching better development.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49587
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sulaiman
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T36916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Bethesda
"Mempidana terdakwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya didasarkan atas perbuatan yang menimbulkan akibat yakni kerugian negara, akan tetapi cukup dengan apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dalam prakteknya bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara membutuhkan adanya kerugian negara yang nyata atau riil. Di samping itu bahwa rumusan ancaman pemidanaan dalam kedua pasal a quo memberikan kontribusi akan terjadinya disparitas pemidanaan karena selain memuat alternatif mengenai jenis-jenis pidana juga memuat ancaman pidana minimum dan maksimum. Keadaan rumusan demikian merupakan ancaman pemidanaan dalam bentuk ruang hampa yang harus dikonkretisasi dalam penjatuhan pemidanaan. Dengan begitu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menilai efektivitas implementasi pemidanaan dalam kaitannya dengan jumlah kerugian keuangan negara. Kajian yang dilakukan juga merupakan bentuk kajian yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang (statute approach)dan analisa putusan (decision analysis). 

Convicting the defendants of corruption in Article 2 and Article 3 of Law Number 20 of 2001 on Amendment to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication is not only based on acts affecting the state financial or economic losses, but it is rather considered as despicable because it is not corresponding to the sense of justice or the norms of social life in the society. However, state financial or economic losses require real state losses. In addition, the formulation of criminal punishment in the two a quo articles contributes to the disparity of punishment as those do not only contain alternatives regarding types of crime, but also minimum and maximum criminal punishment. This situation is a criminal punishment in the form of vacuum which must be concretized in the criminal conviction. Therefore, the approach used in this research was to assess the effectiveness of implementation of criminalization in relation to the amount of state financial losses. The study conducted was also a form of normative juridical study through a statute approach and decision analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Putri Nurmala Sari
"Konsep penyalahgunaan wewenang dan menyalahgunakan kewenangan yang dikenal dalam dua disiplin ilmu yakni hukum administrasi negara dan hukum pidana merupakan dua konsep berbeda dan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Pada konsep penyalahgunaan wewenang, jika disebut kesalahan administratif maka keputusan dan/atau tindakan dapat diperbaiki sesuai dengan ketentuan regulasi dan diadakan ganti rugi. Konsep menyalahgunakan kewenangan merupakan ranah hukum pidana, dimana pejabat atau penyelenggara negara dalam membuat suatu keputusan dan/atau tindakan melakukan secara melawan hukum dengan kewenangan yang dimilikinya serta menyebabkan kerugian keuangan negara yang dapat dibuktikan secara nyata dan pasti.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif melalui pendekatan undang-undang yang ditelaah berdasarkan fakta hukum melalui contoh kasus terdahulu, menggunakan sumber data primer dan sekunder guna menghasilkan penelitian yang komprehensif. Hasil penelitian menyatakan bahwa penerapan konsep kedua disiplin ilmu tersebut harus secara tegas diberikan batasan. Sebab hukum administrasi merupakan bidang ilmu hukum yang bersifat preventif sedang hukum pidana merupakan bidang ilmu hukum yang bersifat represif terhadap persoalan penyalahgunaan kewenangan. Kedepan harus ada perbaikan terhadap regulasi yang mengatur penyalahgunaan wewenang terutama pada penerapan sanksi. Sanksi yang lemah selama ini baik pada hukum administrasi negara maupun hukum pidana merupakan penghambat dalam penerapan penegakan hukum.


The concepts of abuse of authority and abuse of authority are known in two disciplines, namely state administrative law and criminal law, are two different concepts and run in accordance with existing provisions. In the concept of abuse of authority, if it is called an administrative error, the decision and/or action can be corrected in accordance with the provisions of the regulation and compensation will be held. The concept of abusing authority is the realm of criminal law, where officials or state administrators in making decisions and/or actions are carried out against the law with their authority and cause state financial losses that can be proven in a real and definite way.

This research is a normative research through a legal approach which is analyzed based on legal facts through examples of previous cases, using primary and secondary data sources to produce comprehensive research. The results of the study stated that the application of the concepts of the two disciplines must be strictly defined. Because administrative law is a field of legal science that is preventive in nature, while criminal law is a field of law that is repressive in nature to the problem of abuse of authority. In the future, there must be improvements to regulations governing abuse of authority, especially in the application of sanctions. Weak sanctions so far, both in state administrative law and criminal law, are an obstacle in the application of law enforcement."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuanakotta, Theodorus M.
Jakarta: Salemba Empat, 2018
364.132 3 TUA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Febri
"Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang di dalam keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menentukan hasil pengawasan aparat intern pemerintah salah satunya adalah terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara karena dalam keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan mengandung ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang memiliki kompetensi absolut untuk melakukan pengujian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 mengatur pengujian unsur penyalahgunaan wewenang namun dengan frasa tambahan sebelum adanya proses pidana. Frasa tersebut menimbulkan problematika terhadap penyelesaian pengujian unsur penyalahgunaan wewenang. Hakim dalam memutuskan perlu membuat pertimbangan (ratio decidendi) dan kriteria ideal mengenai penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara karena kesalahana adminstratif. Dan juga putusan PTUN dalam tataran eksekusi tidak dijalankan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Penelitian tesis dengan menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis normatif, tipologi penelitiannya adalah preskriptif, dan hasil penelitiannya berbentuk preskriptif-analitis.Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa kriteria ideal atau pertimbangan dalam putusan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara berdasarkan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 didasarkan pada maksud dan tujuan permohonan, kompetensi PTUN, legal standing, dan pertimbangan hukum terhadap hasil pengawasan APIP, asas legalitas, penilaian kerugian negara berdasarkan potential loss (hukum materiil) bukan lagi actual loss sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, serta kriteria ideal lainnya adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam keputusan dan/atau tindakan yang menimbulkan kerugian negara karena kesalahan administrasi. Terhadap putusan PTUN mengenai pengujian unsur penyalahgunaan wewenang sesuai sifatnya bahwa putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap maka putusan tersebut merupakan putusan eksekutorial yang dapat dilaksanakan, selain itu bersifat mengikat semua orang (erga omnes). Sementara itu frasa sebelum adanya proses pidana dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 menimbulkan implikasi berupa pembatasan terhadap kompetensi absolut peradilan lain dalam hal terjadinya kerugian negara karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tidak mengatur seperti hal tersebut, sehingga ditinjau dari hukum perundang-undangan terjadi konflik norma dengan adanya frasa sebelum adanya proses pidana. Putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat dan eksekutorial namun sulit dieksekusi meskipun sudah ada pengaturan upaya paksa, selain itu daya mengikatnya adalah erga omnes.

Government Agencies and/or Officials are prohibited from committing abuse of authority in decisions and/or actions determined and/or carried out. Article 20 of Law Number 30 of 2014 determines the results of supervision of internal government apparatus, one of which is that there are administrative errors that cause losses to state finances because the decisions and/or actions of Government Officials contain whether or not there is an element of abuse of authority. Based on Article 21 paragraph (1) of Law Number 30 of 2014, the one that has absolute competence to examine whether or not there is an element of abuse of authority is the State Administrative Court. Article 2 of Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 regulates testing for elements of abuse of authority but with an additional phrase prior to criminal proceedings. This phrase raises problems with the completion of testing elements of abuse of authority. Judges in deciding need to make considerations ( ratio decidendi ) and ideal criteria regarding the abuse of authority which causes state losses due to administrative errors. And also PTUN decisions at the execution level are not carried out by Government Agencies and/or Officials. Thesis research uses normative juridical research methods, the research typology is prescriptive, and the research results are prescriptive-analytical. The results of this study are that the ideal criteria or considerations in the decision to evaluate elements of abuse of authority that are detrimental to state finances based on Article 16 of Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 are based on the intent and purpose of the application, competence of the State Administrative Court, legal standing , and legal considerations of the results of APIP supervision. , the principle of legality, the assessment of state losses based on potential loss (material law) is no longer an actual loss according to the Constitutional Court Decision Number 25 of 2016, as well as other ideal criteria is the presence of an element of unlawful act in decisions and/or actions that cause state losses due to administrative errors . Regarding the PTUN's decision regarding the examination of elements of abuse of authority according to its nature that the PTUN's decision has permanent legal force, the decision is an executorial decision that can be implemented, besides that it is binding on everyone (erga omnes). Meanwhile, the phrase before criminal proceedings in Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 has implications in the form of restrictions on the absolute competence of other courts in the event of state losses because Law Number 30 of 2014 does not regulate such matters, so that in terms of statutory law there is a conflict of norms with the phrase before the criminal process. Administrative Court decisions have binding and executorial powers but are difficult to execute even though there have been coercive measures in place, in addition to that their binding power is erga omnes."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>