Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60232 dokumen yang sesuai dengan query
cover
JY 6:1 (2013) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Amelia
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Agung terkait putusan pengujian yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib serta dilakukannya pemanduan sumpah atau janji terhadap pimpinan DPD yang terpilih pada tahun 2017 yang masih menjadi perdebatan. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan utama. Pertama, kewenangan MA dalam pengujian terhadap Peraturan Tata Tertib DPD. Kedua, konsekuensi hukum putusan pengujian peraturan tata tertib DPD terhadap kewenangan pemanduan pengucapan sumpah atau janji pimpinan DPD tahun 2017 oleh MA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan pendekatan sejarah historical approach . Hasil penelitian ini menunjukan bahwaMAdalam melakukan pengujian terhadap peraturan tata tertib DPD adalah menjalankan fungsi peradilan yudisial dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan, MA dalam melakukan pemanduan sumpah/janji pimpinan DPD adalah menjalankan fungsi administratif non-yudisial dalam kewenangan lain yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Secara formal, DPD telah menjalankan putusan MA, tetapi tidak secara substantif. Karena faktanya pemilihan pimpinan DPD yang baru tidak didasarkan pada putusan MA.Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 Perma No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang memberikan jangka waktu selama 90 hari terhadap kekuataan hukum peraturan perundang-undangan yang dibatalkan menjadi salah satu alasan yang menempatkan MA dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, MA telah membatalkan peraturan tata tertib DPD, di sisi lain MA harus melaksanakan tugasnya untuk memandu sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, MA juga tidak memiliki kapasitas untuk menilai keabsahan dari pemilihan pimpinan tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the authority of the Supreme Court regarding the current decisions of judicial review ofthe rules of procedure of DPD Number 1 of 2016 and Number 1 of 2017 as well as guidance of oath or pledge against elected DPD leaders in 2017 which is still a debate. This study raises two main issues. First, the authority of the Supreme Court in the judicial review of the Rules of Procedure of DPD. Secondly, the legal consequences on the authority of scouting oath or promise of DPD leadership in 2017 by MA. This research is using normative juridical method through literature study and historical approach. The results of this study shows that the supreme court in judicial review of law regulation under law against the 1945 Constitution ofthe Republic of Indonesia is implementing judicial functions. Meanwhile, the Supreme Court in conducting the oath of DPD pledge is implementing administrative functions non judicial in other authorities as determined by Law Number 17 of 2014 concerning MPR, DPR, DPD and DPRD juncto Law Number 14 of 1985 regarding Supreme Court. Formally, the DPD has implemented the Supreme Court 39 s decision, but not substantively. Due to the fact that the election of the new DPD leadership was not based on the Supreme Court 39 s Decision. The provisions in Article 8 paragraph 2 of No.1 of 2011 on the Material Test Rights which give a period of 90 days to the legal power of legislation is one of the reasons that put the MA in a dilemmatic position. On the other hand, the Supreme Court has annulment the DPD rules of procedures, the Supreme Court must carry out its duties to guide the oath pledge mandated by the law, the Supreme Court also does not have the capacity to assess the validity of the election of the leader. Keywords The Supreme Court rsquo s Authority, Judicial Review, Swearing Oath, DPD."
2018
T51187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Setyawan
"ABSTRAK
Tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana yang white collar crime hal ini berhubungan dengan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi ataupun kekuatan politik , subyek atau pelaku tindak pidana individu sebagai manusia dan juga dapat sebuah korporasi, berbentuk organitation crimes berkaitan dengan lintas batas wilayah negara atau transnational. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang diatur dalam KUHAP, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan surat-surat Keputusan Kapolri yang merupakan petunjuk lapangan dan petunjuk teknis, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Selanjut memberikan aturan melakukan tindakan lain sesuai dengan penilaian kualitas individu dan untuk kepentingan umum yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dengan dibatasi persyaratan a).tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b).selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c). tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d). atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e).menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, mengatur juga kewenangan diskresi. Makna dikresi dikaitkan dengan penyidikan adalah kewenangan yang diberikan .berdasarkan asas kewajiban {plichmatigheids beginsel) sebagai tindakan individu dari penyidik dengan dibatasi dengan norma-norma professional, norma hukum, norma moral dan kemasyarakatan, karena tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia, adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang undangan dengan perkembangan- perkembangan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakpastian, kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undangundang, adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus, atau memperluas atau mengisi kekosongan hukum, sehingga penerapan diskresi oleh penyidik akan lebih baik untuk mengurangi kekurangan dari peraturan-peraturan yang tertulis dalam pelaksanaan di masyarakat. Penerapan diskresi yang menyimpang dalam penyidikan tindak pidana pada umumnya dan khusus untuk tindak pidana pencucian uang di Bareskrim Mabes Polri dikaitkan dengan pelanggaran Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Kepala Polisi RI No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003) dan dibentuk Komisi Rode Etik Kepolisian RI berdasarkan Peraturan Kepolisian RI No. Pol. 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Rode Etik Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/321VII/2003),dengan "peraturan kepolisian" yang dapat juga merupakan kontrol dari masyarakatlmedia massa atau tidak mempengaruhi dalam hal-hal yang melanggar Mode Etik Profesi Kepolisian RI, sehingga penerapan diskresi dalam penyidikan tindak pidana terutama tindak pidana pencucian uang dapat dikontrol dan'pengawasan baik dari luar maupun dari dalam, misalnya kasus Brigjen Pol. Drs. Samuel Ismoko, yang telah melakukan penyimpangan penerapan diskresi dianggap melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian RI melalui proses Sidang Komisi, Komisi Kode Etik Kepolisian RI, dengan dinyatakan tidak layak menjalankan Profesi Kepolisian sebagai penyidik pada fungsi Reserse seiama 1 Tahun, selanjutnya terdapat dorongan dari masyarakat (melalui media massa) karena adanya tindak pidana maka diproses secara hukum pidana.

ABSTRAK
Criminal act of money laundering as had been provided with Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003 is that of having characteristics as white collar crimes, it is pertained to such criminal actor who has economic or political power, subject or individual actor as human or even corporation as national or international organized crimes. In doing investigation for criminal act of Money Laundering as had been provided with Criminal Code, Laws No.2 year 2002 on Police Republic Indonesia and which of decrees of Head of Police Department of Republic of Indonesia as instructional and technical guidance and Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003. Thereafter, it had set out other commitment in accordance with individual quality evaluation and for public interests had been regulated in Article 7 paragraph (1), letter j Criminal Code by limited requirements, i.e.,: a). it had not contradicted with legislation; b). in line with legal obligation which requires occupational acts; c). such acts should be proper and reasonable and included in occupational area; d). and by proper consideration based on forcing condition; e). respect to human rights. Subsequently, in article 18 paragraph (1) Laws No. 2 year 2002 regarding Police of Republic of Indonesia, also it set out discretional authority. The meaning of discretion being correlated with investigation is authority based on - obligation principles (plichmatigeheids beginsei) as individual act of investigator limited by professional, legal, moral and society norms, as result of no legislation being complete to regulate all human behavior, the delays to adjust legislation. with society changes that may result in uncertainty, lack of budget for applying -law wished by legislator (s), individual
"
2007
T19209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berdasarkan konstitusi Presiden diberikan hak untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (yang sering disingkat dengan Perppu). Pada saat bersamaan, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu diposisikan sederajat atau sejajar dengan undang-undang. Oleh karena itu, maka penerbitan dan pelaksanaan Perppu harus diawasi secara ketat oleh DPR melalui mekanisme persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam konstitusi. Namun demikian, dalam prakteknya tidak jarang ditemui deviasi atau penyimpangan terhadap pelaksanaan mekanisme konstitusional Perppu ini. Di antaranya adalah mengenai inkonsistensi pelaksanaan waktu atau masa pengajuan Perppu tersebut kepada DPR untuk disetujui atau ditolaknya Perppu. Di samping itu, mengenai status hukum Perpu pada saat Perppu tersebut ditolak oleh DPR secara yuridis formal juga menimbulkan persoalan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sudah selayaknya Perppu dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Konstitusi demi tegaknya konstitusi dan prinsip negara hukum di Indonesia"
JLI 8:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Afrizal
"Paska amandemen konstitusi Indonesia, DPR periode 1999-2004 memiliki otoritas yang besar dalam proses penyusunan UU. Namun, UU yang dihasilkan DPR masih saja memunculkan kontroversi, ketidakpuasan, menuai protes dan berbagai bentuk resistensi lainnya dari masyarakat, seperti yang diperlihatkan dalam kasus UU Yayasan dan UU Penyiaran. UU Yayasan memunculkan ketidakpuasan di kalangan komunitas yang selama ini aktif dalam pengelolaan berbagai macam kegiatan dengan menggunakan instrumen organisasi berbentuk yayasan, seperti LSM, yayasan-yayasan pendidikan, dan sebagainya. Selain itu UU yang baru saja disahkan tersebut saat ini sedang dalam proses revisi. UU Penyiaran juga menuai ketidakpuasan, terutama dari para pengelola televisi swasta. Saat ini mereka sedang melakukan judicial review atas UU tersebut.
Ketika penyusunan sebuah UU, partisipasi publik merupakan aspek penting dalam proses penyusunan UU. Pembahasan tentang partisipasi publik berkaitan erat dengan relasi masyarakat dengan negara (sate-society relation) dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara untuk mengatur warganya. Ada dua cara pandang untuk menjelaskan tentang partisipasi publik. Pertama, karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada negara, mnka pembentukan kebijakan publik sepenuhnya diserahkan kepada negara. Peran atau partisipasi masyarakat hanya dibutuhkan pada saat memilih orang-orang yang akan menduduki berbagai jabatan di lembaga negara, misalnya melalui pemilihan umum. Kedua, sekalipun telah memberikan mandatnya kepada negara, masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara. Peran masyarakat, secara urnum, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, negara menjamin tersedianya ruang-ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, negara bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh proses penyusunan kebijakan.
Dalam konteks penyusunan UU di DPR, ada dua hal yang akan menentukan hasil akhir dari RUU yang sedang dibahas, yaitu artikulasi berbagai kepentingan oleh DPR dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU tersebut. DPR diberikan ruang-ruang untuk mengartikulasikan berbagai kepentingani itu. Bentuknya berupa hak yang diberikan kepada anggota DPR dalam berbagai rapat pembahasan RUU, seperti hak ikut serta, hak berbicara, dan hak dalam pengambilan keputusan. Di luar itu, DPR juga dapat membentuk berbagai ruang artikulasi informal, seperti lobi, yang keberadaannya tergantung pada kreatifitas mereka untuk membentuknya.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan UU melalui berbagai ruang partisipasi yang tersedia. Dalam proses formal penyusunan UU, ruang partisipasi yang tersedia adalah Rapat Dengar Pendapat Umum dan sosialisasi RUU. Sementara itu, masyarakat memiliki kesempatan untuk membentuk berbagai ruang partisipasi informal, tergantung pada kemampuan mereka untuk melakukannya.
Mengacu pada pembahasan RUU Yayasan dan RUU Penyiaran, DPR belum optimal menggunakan ruang-ruang artikulasi yang tersedia. Rendahnya tingkat kehadiran dan keaktifan dalam Rapat Paripurna, Rapat Pansus, dan Raker, adalah indikator tidak digunakannya secara optimal ruang-ruang artikulasi yang tersedia. DPR juga tidak memiliki kreatifitas untuk membentuk ruang-ruang artikulasi informal. Dalam tataran informal ini, hanya lobi yang dijadikan sebagai ruang artikulasi andalan. Penggunaan ruang-ruang artikulasi yang tidak optimal ini tidak terlepas dari berbagai persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi DPR, seperti jumlah anggota Pansus yang terlalu banyak dan bidang kerjanya yang terlalu luas, ketiadaan sanksi bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam berbagai rapat pembahasan RUU, dukungan staf DPR yang tidak memadai, dominasi fraksi dalam setiap rapat pembahasan RUU, dan sebagainya.
Kecuali dalam kasus RUU Penyiaran, masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan ruang-ruang partisipasi yang tersedia. Masyarakat tidak memiliki inisiatif untuk memanfaatkan ruang partispasi yang ada. Dan tidak kreatif untuk menciptakan berbagai bentuk ruang partisipasi informal. Pengetahuan yang tidak memadai tentang mekanisme penyusunan UU di DPR dan dinamika yang mengiringinya, penguasaan yang lemah terhadap substansi RUU dan bentuk-bentuk lobi, sedikitnya dana yang tersedia, selain juga ruang partisipasi di DPR yang sempit, adalah beberapa hal yang sering menghambat masyarakat untuk menggunakan ruang-ruang partisipasi secara optimal.
Sinergi dalam penggunaan ruang-ruang di atas antara DPR dan masyarakat juga tidak terjadi, kecuali dalam kasus RUU Penyiaran. Kesediaan untuk bermitra di antara mereka adalah hambatan paling besar dalam membangun sinergi ini.
Kondisi di atas tentu saja berdampak pada UU yang dihasilkan DPR. Penggunaan ruang artikulasi yang rendah menyebabkan pembahasan UU menjadi tidak matang, terbukti dengan direvisinya UU Yayasan, sekalipun UU tersebut tetap sah secara formal prosedural. Sedangkan tidak optimalnya penggunaan ruang partisipasi berakibat pada lemahnya legitimasi UU yang dihasilkan DPR yang seringkali berujung pada ketidakpuasan atau penolakan masyarakat terhadap UU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Suwandy
"Notaris/PPAT dituntut mematuhi peraturan perundang-undangan serta Kode Etik. Mereka harus mengetahui tanggung jawabnya dan menjaga sikap serta perilaku dalam berpraktek. Namun, kewajiban yang seharusnya diimplementasikan dalam menjalankan jabatannya ternyata tidak dibarengi dengan kenyataan di lapangan. Masih banyak terjadi pelanggaran yang membawa akibat hukum pada akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT, bahkan sampai pada gugatan di pengadilan.
Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan analisis data secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris/PPAT harus memperhatikan prosedur pembuatan akta menurut ketentuan yang berlaku, menaati Kode Etik serta mengedepankan itikad baik dan prinsip kehati-hatian. Dengan integritas moral yang mantap Notaris/PPAT dapat menghindarkan diri dari tuntutan hukum.

Notary/Official Land Deed Maker must comply with legislation and Codes of Conduct. They must know their responsibilities and keep the attitude and behavior. But the obligation that should be implemented, do not accordance with the fact. Many violations of the deed made by Notary/Official Land Deed Maker even to the lawsuit in court.
This thesis use juridical normative research methods with qualitative data analysis technique. From the analysis it can be concluded that Notary/Official Land Deed Maker should pay attention to the procedure of making deed under the applicable provisions, adhere to the Codes of Conduct, priority to good faith and the precautionary principle. With good moral integrity, Notary/Official Land Deed Maker can avoid from lawsuit.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faza Luna Lestari
"Pada 16 Januari 2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membacakan putusan uji materiil yang pada pokoknya menyatakan unsur "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" dalam Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP bertentangan dengan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga saat ini unsur tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Unsur "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" sering disalah gunakan oleh penegak hukum karena unsur itu sendiri tidak memiliki batasan pengertian yang jelas. Di sisi lain, Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP mengenai tindak pidana paksaan sering disalah artikan oleh penegak hukum dengan pemberian kualifikasi berupa "pasal perbuatan tidak menyenangkan", padahal unsur yang sifatnya alternatif tersebut hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai perbuatan "memaksa" tadi. Kesalahan dalam memberikan kualifikasi tertentu pada Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tersebut memicu kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menerapkannya. Setelah adanya uji materiil, perumusan unsur yang ada pada pasal tersebut menjadikan sangat terbatasnya perbuatan yang dapat dipidana dengan Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP.

On january 16, 2014 the Constitutional Court of the Republic of Indonesia announced the judicial decision which essentially states that the elements "by any other actions or by an unpleasant treatment" in Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code contrary to the rule of law as provided in Article 28D, Paragraph 1 of Contitution of 1945, so this time the elements no longer have the force of law. The elements "by any other actions or by an unpleasant treatment" often misused by the law enforcer because the elements itself doesn't have clear definitions. On the other hand, Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code about the crime of coerce is often misunderstood by the law enforcer to be qualified as "the crime of unpleasant treatment", whereas the elements that are alternative is only one way actions to achieve "coerce" itself. Error in giving certain qualifications to Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code lead to arbitrariness in applying the law enforcement. After judicial review, the formulation of the elements that exist in the article make very limited actions that can be punished by Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57098
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syamsiati D.
"Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2a) perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana hukum acara pada umumnya, hukum acara pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi memiliki proses-proses yang harus dilalui. Dari sekian proses tersebut, pengujian mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, merupakan tahapan yang paling penting untuk dapat beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktik, hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan dua persyaratan yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki legal standing, yaitu harus menyatakan termasuk empat kualifikasi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK< kemudian menjelaskan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian tersebut harus spesifik aktual maupun potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya undang-undang, dan kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan tersebut kerugian tidak akan terjadi lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga membahas hal yang masih terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yaitu dalam mengenai ketiadaan norma sebagai obyek pengujian dalam Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 51 ayat (3) huruf b UUMK, mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalam praktek, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian undang-undang dalam hal ketiadaan norma. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pembentukan UUMK sendiri dilakukan sangat singkat dan cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya masih sangat sederhana. Sehingga Mahkamah Konstitusi berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Based on the provisions in Article 24, paragraph (2a) changes the third of the 1945 Constitution, judicial power is held by a Supreme Court (MA) and the judicial body that is located underneath the environment in general, the religious environment, the military environment, the environment administration of justice, and by a Constitutional Court. Four of the authority of the Constitution Court, one of which is to test the laws of the 1945 Constitution. The authority of the laws of the constitution of the Constitutional Court is the protection of constitutional rights of citizens. As the law in general, the law of the law on the Constitutional Court have the processes that must be passed. Of the process, the position of the law (legal standing) from the applicant, is the most important stages to be able to be in session in the Constitutional Court.
In practice, the judge Constitutional Court to apply the two requirements that must be fulfilled so that the applicant has legal standing, the claim must include the four applicant qualifications as specified in Article 51, paragraph (1) UUMK then explained that the applicant has a constitutional right given to the 1945 Constitution, constitutional rights are disadvantaged by the introduction of the law, damages must be specific and actual potential, the relationship between loss causalities with the introduction of laws, and possibly with the application to be granted loss will not occur again.
In writing this essay author also discusses the things that are related to the Constitutional Court the authority to test the law in the absence of norms as a test object in the Constitutional Court as the law in the Constitutional Court in the event. Based on the provisions in article 51 paragraph (3) letter b UUMK, require the applicant in the application of laws against the 1945 Constitution to construe the clear material in the cargo clause, article, and/or part of the law deems contrary to the 1945 Constitution.
In practice, the Constitution Court grant the application of the law in the absence of norms. This may happen because the establishment of their own UUMK is very short and the scope of the problem formulated in the convention to be contain the rule is very simple. So that the Constitutional Court seeks to set up the problems faced in practice with the Constitutional Court Rules form. Keywords: Constitutional Court, Legal Standing, Object Testing."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22591
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>