Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Riemawati A. Lesmana
"ABSTRAK
Untuk mengetahui keadaan lnfektivitas saliva pengidap virus hepatitis B (VHB) telah dilakukan penelitian dengan cara pemeriksaan serologis menggunakan metoda ELISA untuk mendeteksi adanya HBsAg dan HBeAg dalam saliva 97 pengidap VHB yang sebagian besar (73,2%) adalah laki-laki, selama kurun waktu 10 bulan (Agustus 1994 - Mei 1995).
Dari 97 pengidap VHB didapatkan 56 dengan HBsAg dan HBeAg positip (kelompok I) serta HBsAg positip dan HBeAg negatip pada 41 lainnya (Kelompok II).
Pemeriksaan saliva pada kelompok I memperlihatkan adanya HBsAg dan HBeAg positip pada 48 pengidap (85,75), HBsAg positip dan HBeAg negatlp pada 6 pengidap (10,7%), serta HBsAg dan HBeAg negatip pada 2 pengidap lainnya (3,6%).
Pemeriksaan saliva pada kelompok II memperlihatkan tidak ditemukannya HBsAg dan HBeAg positip (0%), HBsAg positip dan HBeAg negatip pada 31 pengidap (75,6%) serta HBsAg dan HBeAg negatip pada 10 lainnya (24.4%). Sebagai kesimpulan, sebagian besar pengidap VHB dengar daya tular tinggi (infekslus), juga mempunyai saliva yang Infeksius sehingga dapat merupakan sumber penularan dan penyebaran virus dalam perawatan di bidang Kedokteran Gigi.
Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan Informasi kapada para dokter gigi tentang kecenderungan penularan virus hepatitis B melalui perawatan Kedokteran Gigi, sehingga seyogyanya dilakukan tindakan pencegahan secara optimum.

ABSTRACT
In order to know the Infectivity of saliva of hepatitis B virus (HBV) carriers, detection of HBsAg and HBeAg was carried out by serologic test using ELISA method in saliva of 97 VHB carriers who were 73,2% men, in ten-month period (August 1994 - May 1995).
Of 97 HBV carriers positive for both HBsAg and HBeAg in serum were found in 56 (Group I) and positive HBsAg and negative HBeAg In the other 41 (Group II). Examination of saliva of HBV carriers in group I showed positive HBsAg as well as HBeAg In 48 (85,7%), only positive for HBsAg in 6 (10,7%) and negative for both HBsAg and HBeAg in other 2 (3,6%) where as In group II positive for both HBsAg and HBeAg were not detected (0%), positive for HBsAg only in 31 (75,6%) and negative for both HBsAg and HBeAg In the remaining 10 (24,4%).
In conclusion, the majority of highly infectious hepatitis B carriers do also have infectious saliva which could be an Important source of Infection and transmission of the virus in the field of Dentistry.
The benefit of this study is giving information to Dentists about the possibility of the transmission of hepatitis B virus via the treatment of Dentistry, therefore the prevention of the transmission must be optimally taken."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Dewi Tedja
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Virus Hepatitis B (VHB) merupakan penyebab tersering hepatitis kronik, sirosis hepatis dan karsinoma hepatoselular di negara-negara Asia Tenggara.
VHB merupakan virus DNA berukuran 3,2 kb, mempunyai untai ganda dengan susunan genom yang kompak dan sating tumpang tindih. Materi genetik VHB tersimpan daiam 4 Open Reading Frames pada untai negatif. Transmisi VHB terjadi melalui kontak dengan darah, komponen darah atau cairan tubuh lainnya. Diagnosis infeksi VHB didasarkan adanya HBsAg dalam serum. Hilangnya HBsAg dan terbentuknya anti-HBs merupakan petanda eliminasi virus. Namun demikian mutasi yang terjadi pada gen penyandi HBsAg mengakibatkan perubahan antigenisitas HBsAg sehingga virus lolos dart pemeriksaan yang menggunakan antibodi monoklonal terhadap HBsAg. Untuk mengetahui perubahan molekuler pada gen penyandi HBsAg maka dilakukan penelitian program magister ini dengan tujuan umum untuk mengetahui dasar molekuler kegagalan deteksi serologi HBsAg pada serum donor darah di Indonesia. Untuk itu dilakukan isolasi DNA VHB, ligasi ke vektor dan transformasi ke bakteri E.coli, dilanjutkan dengan reaksi sekuensing yang hasilnya dianalisis dengan perangkat bioinformatika.
Hasil dan kesimpulan: Pada serum donor darah dengan HBsAg (-), anti-HBs (-) dan anti-HBc (+) berhasil didapat DNA VHB pada 20 (29,9%) dart 67 sampeI; pada donor darah dengan HBsAg (-), anti-HBs (+) dan anti-HBc (+) didapat DNA VHB pada 5 (7.5%) dart 67 sampel. Sehingga jumlah total DNA VHB (+) didapat pada 25 (8,I%) dari 309 sampel dengan HBsAg (-), Pada sekuensing determinan 'a' gen S DNA VHB didapat 7 (28%) dari 25 sampel menunjukkan mutasi asam amino. Terdapat 3 pola substitusi asam amino: pola pertama substitusi M I 33L sebanyak I (4%) dari 25 sampel, polar kedua T123A sebanyak I (4%) dari 25 sampel, dan pola ketigaTI43M sebanyak 5 (20%) dari 25 sampel. Semua virus; termasuk dalam subtipe adw.
Pada studi bioinformatika, substitusi ini menyebabkan terjadinya penurunan nilai indeks antigenisitas asam amino yang bersangkutan dan asam amino yang berada di sekitarnya. Substitusi asam amino pada gen S mengakibatkan terjadinya perubahan sekuens gen P daerah reverse transcriplase yang tumpang tindih dengan gen S."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T8366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rino Alvani Gani
"ABSTRAK
Tenofovir disoproksil fumarat (tenofovir) dan telbivudin merupakan dua analog nukleos(t)ida yang tersedia untuk terapi pasien hepatitis B. Tenofovir telah diketahui sebagai agen nefrotoksik pada pasien HIV, namun masih menjadi kontroversi pada pasien hepatitis B kronik. Di lain sisi, telbivudin memiliki efek proteksi terhadap fungsi ginjal dan bahkan meningkatkan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil keamanan terhadap fungsi ginjal dari tenofovir dan telbivudin pada pasien hepatitis B kronik di Indonesia.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif pada pasien hepatitis B kronik yang mendapat terapi tenofovir atau telbivudin dalam rentang waktu Januari 2013 - Desember 2016. Pasien yang mempunyai eLFG awal <60 mL/ menit/1,73 m2 sebelum mulai terapi, mengalami perubahan regimen, lost to follow up, atau meninggal dalam 1 tahun tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Data kreatinin serum yang dinilai adalah data pada minggu ke 24 dan 48 setelah pemberian tenofovir atau telbivudin.
Hasil. Sebanyak 68 pasien dalam terapi tenofovir dan 62 pasien dalam terapi telbivudin dimasukkan penelitian ini. Kadar kreatinin serum meningkat pada kelompok tenofovir dari 0,88 (simpang baku [SB] 0,17) mg/dL pada awal studi menjadi 0,93 (SB 0,22) mg/dL setelah 24 minggu (p = 0,02) dan cenderung plateau setelah penggunaan selama 48 minggu. Namun, pada kelompok telbivudin, kadar kreatinin serum menurun dari 0,85 (SB 0,21) mg/dL pada awal menjadi 0,80 (SB 0,18) mg/ dL pada minggu ke 48 (p = 0,003).
Simpulan. Tenofovir berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan eLFG pada pasien hepatitis B kronik dengan eLFG >60 mL/menit/1,73 m2."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soewignjo Soemohardjo
Jakarta : EGC, 1999
616.362 3 SOE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Masdalina
"Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) merupakan salah satu masalah besar dan kebanyakan terjadi pada kelompok usia produktif yang sampai saat ini belum dapat diatasi. Pada tahun 2001 pengguna Napza di Indonesia mencapai lebih dari 2 juta jiwa dengan kematian akibat Over Dosis sebanyak 17.16 %. Sebagian besar pengguna yaitu 1.3 juta jiwa tinggal di wilayah Jakarta dan diperkirakan 35 % siswi SMU dari 64 sekolah di Jabotabek ditemukan sebagai pengguna berat dan pengedar Napza.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat berapa besar kontribusi penggunaan tehnik parenteral terhadap kejadian terpapar virus Hepatitis B dan C pada populasi pengguna Napza di Pusat Pemulihan Napza di wilayah Jabotabek. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan cross sectional, dengan jumlah sampel 201 orang di dapat dari catatan medis penderita yang dirawat dari Januari - November 2001.
Hasil penelitian didapatkan Prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis B sebesar 43.6% dan prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis C sebesar 69.1%, untuk hubungan kejadian terpapar virus Hepatitis B didapatkan hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis B setelah dikontrol variabel lain dengan risiko 2A68 (CI 0.893-5.262). Untuk Hepatitis C ada hubungan bermakna secara statistik antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis C setelah dikontrol variabel lain dengan risiko lebih tinggi yaitu 37.334 kali lebih tinggi (CI 12.455 - 11L911). Dapat disimpulkan bahwa tehnik parenteral memberikan kontribusi sebesar 44.7 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis B dan 92 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis C.
Saran yang diberikan berupa : informasi tentang bahaya penggunaan Napza dan bahaya tambahan dari penggunaan jarum suntik dan alat sayat (tehnik parenteral) bersama-sama, gerakan lintas sektor untuk meminimasi distribusi dan utilisasi Napza, saat ini kita mungkin harus mulai terbuka untuk membuat klinik-klinik khusus yang dapat mengakomodasi kepentingan pengguna melalui kontrol terhadap pemakaian dan tehnik penggunaan terutama untuk pengguna lama yang sulit direhabilitasi dan untuk pengguna kambuhan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah memperkuat fungsi dan peran keluarga agar keluarga dapat melakukan deteksi dini terhadap tanda-tanda penggunaan Napza untuk mencegah penggunaan berlanjut.
Daftar bacaan: (1976 - 2001)

Contribution of Parenteral Technique due to Hepatitic B and Hepatitic C Viral Expose at Drug Users in Centre of Rehabilitation 2001Narcotics, Psychotropic and others addictives (NAPZA) abuse problem is one of the biggest problems and it's happen to productive period in life and have not solved yet. In 2001 there is more than 2 million people use NAPZA with 17.16% mortality caused over dose. A lot of drug users about 1.3 million people live in Jakarta and estimated at 35% of them are SMU students from 64 schools in Jabotabek as chronic users and seller.
Objective for this research to know contribution of parenteral technique due to Hepatitic B and C Viral expose at drug users population whom rehabilized in centre of rehabilitation in Jabotabek. This research use cross sectional design, sample size 201 users have been rehabilized, collecting data come across Laboratories examinations and justify with medical diagnose in medical records.
Results from this research are Prevalence rate for Hepatitic B viral expose occur to 43.6% and Prevalence rate for Hepatitic C viral expose occur to 69.1%. There are not significant relationships between parenteral techniques to be Hepatitic B Viral expose after controlled by another variables with 2.168. 95% CI (0.893-5.262) and There are a significant relationships between parenteraI technique to be Hepatitic C Viral expose after controlled by another variables with 37. 95% CI (12.55-111.911). Conclusion for this research are : Parenteral technique gives 44.7 % contribute to Hepatitic B viral ekspose and 92% contribute to Hepatitic C viral expose.
Suggestion of this research are: Give right information about effect using NAPZA and addictive hazard from use parenteral technique and laserate aids together. Intersector action to minimize distribution and utilization drugs. Today we must be make specialize clinics to accommodate users by control about using and parenterel technique to chronical users and relapse users. But one of very important thing are makes family function and role to early detection the symptom of using drugs to prevent chronic users.
References: 30 (1976-2001)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization (WHO) memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.
Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.
Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan (69,9%), bekerja sebagai perawat (38,3%) dan dokter (38,3%), serta terpajan secara perkutan (93,4%). Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 (13%) sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 (8%) dan anti-HCV reaktif pada 12 (6%) sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 (28,1%) petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9% (81) petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5% (66) petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60% petugas minum ARV secara lengkap (28 hari). Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 (24%) dan 41 (22,4%) petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin (HBIG). Dari 22 (59%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 (2,7%) yang melakukan. Dari 15 (41%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 (5,4%) yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 (31,1%), 38 (28,8%) dan 2 (1,5%) petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 (21,4%) dan 37 (20,3%) petugas.
Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.

Introduction: Health care workers (HCW) have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization (WHO) estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post-exposure prophylaxis could reduce the transmission risk. Goal: To identify the implementation of post-exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Method: A cross-sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014-2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.
Result: Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female (69.9%), worked as nurse (38.3%) and doctor (38.3%), and exposed percutaneously (93.4%). Positive anti-HIV was found in 25 (13%) people of exposure sources, positive HBsAg in 13 (8%) people and positive HCV in 12 (6%) people. Workers with protective anti-HBs were 55 (28.1%) people. In 183 reports, 81 (45,9%) workers were recommended to receive ARV, 66(81.5%) workers did receive it, and 40(60%) workers took complete ARV (28 days). Follow-up 3 and 6 months was done by 44 (24%) and 41 (22,4%) workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and/or immunoglobulin (HBIG). In 22 (59%) recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 (2,7%) who took that. In 15 (41%) recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 (5,4%) who took both. Follow-up of HBsAg and anti-HBs on 3rd and 6th months were done by 41 (31,1%), 38 (28,8%) and 2 (1,5%) workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow-up of anti-HCV, 39 (21,4%) and 37 (20,3%) workers did the follow-up on 3rd and 6th month.
Conclusion: The implementation of post-exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker's knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization WHO memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM .Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan 69,9 , bekerja sebagai perawat 38,3 dan dokter 38,3 , serta terpajan secara perkutan 93,4 . Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 13 sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 8 dan anti-HCV reaktif pada 12 6 sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 28,1 petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9 81 petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5 66 petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60 petugas minum ARV secara lengkap 28 hari . Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 24 dan 41 22,4 petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin HBIG . Dari 22 59 yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 2,7 yang melakukan. Dari 15 41 yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 5,4 yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 31,1 , 38 28,8 dan 2 1,5 petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 21,4 dan 37 20,3 petugas.Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.
Introduction Health care workers HCW have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization WHO estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post exposure prophylaxis could reduce the transmission risk.Goal To identify the implementation of post exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM .Method A cross sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014 2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.Result Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female 69.9 , worked as nurse 38.3 and doctor 38.3 , and exposed percutaneously 93.4 . Positive anti HIV was found in 25 13 people of exposure sources, positive HBsAg in 13 8 people and positive HCV in 12 6 people. Workers with protective anti HBs were 55 28.1 people. In 183 reports, 81 45,9 workers were recommended to receive ARV, 66 81.5 workers did receive it, and 40 60 workers took complete ARV 28 days . Follow up 3 and 6 months was done by 44 24 and 41 22,4 workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and or immunoglobulin HBIG . In 22 59 recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 2,7 who took that. In 15 41 recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 5,4 who took both. Follow up of HBsAg and anti HBs on 3rd and 6th months were done by 41 31,1 , 38 28,8 and 2 1,5 workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow up of anti HCV, 39 21,4 and 37 20,3 workers did the follow up on 3rd and 6th month.Conclusion The implementation of post exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker rsquo s knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>