Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201569 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Murti Bunanta
"ABSTRAK
Di Indonesia cukup banyak dilakukan penulisan kembali dan penerbitan cerita rakyat, baik untuk keperluan cerita anak-anak, maupun untuk kepentingan dokumentasi dan inventarisasi. Melalui pendataan yang dilakukan untuk kepentingan penelitian ini, dapat dilihat bahwa cerita rakyat untuk anak paling banyak diterbitkan dalam kurun waktu dua puluh tahun belakangan ini. Paling tidak ada enam penggunaan dari buku-buku tersebut yang dapat disebutkan di sini, yaitu: (1) sebagai bacaan penghibur (leisure reading) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, (2) sebagai teks bacaan buku pelajaran bahasa Indonesia, (3) sebagai teks bacaan buku pelajaran bahasa Belanda dan bahasa daerah, (4) sebagai teks bacaan buku pelajaran bahasa Inggris, (5) sebagai bacaan pendidikan yang berkaitan dengan budi pekerti, dan (6) sebagai bacaan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral Pancasila.
Penulisan kembali cerita rakyat untuk bahan bacaan anak mengundang berbagai argumentasi. Paling tidak ada lima masalah yang telah dilontarkan oleh para peneliti Barat. Pertama, berkaitan dengan asal cerita rakyat. Karena berasal dari tradisi Iisan, maka ada pendapat yang mengatakan bilamana cerita rakyat sudah menjadi bahan bacaan, maka tak dapat disebut lagi sebagai cerita rakyat (Shannon, 1986: 117). Kedua, berkaitan dengan kejujuran pengarang. Seseorang yang menuliskan kembali suatu cerita rakyat seyogyanya mencantumkan dalam bukunya selain data-data dari sumbernya, juga memberikan keterangan apakah cerita tersebut merupakan saduran, versi pendek, atau penceritaan kembali (lihat Ord, 1986:115). Ketiga, berkaitan dengan mutu penulisan atau ketrampilan penulis. Tidak semua pengarang menghasilkan versi yang baik; ada versi yang bersifat moralistis, ada yang sangat disederhanakan, ada yang memberikan keterangan panjang lebar dan amat membosankan pada setiap kejadian, dan ada pula yang memberikan banyak detil-detil seperti sebuah novel (lihat Nodelman, 1982: 9 dan lihat pula Smith, 1980: 18). Keempat, berkaitan dengan maksud penulisan kembali cerita tersebut. Misalnya: 1. Untuk kepentingan target pembaca, seperti yang dilakukan Charles Perrault. la mengubah beberapa bagian dongeng Cinderella supaya cocok dengan pembaca bukunya, yaitu anak-anak yang berasal dari golongan bangsawan; 2. Untuk menghilangkan hal-hal yang dianggap tabu supaya dapat dibaca anak, seperti yang dilakukan oleh Grimm bersaudara; 3. Untuk kepentingan suatu paham, yaitu feminisme yang bermaksud mengubah citra tokoh wanita dalam cerita rakyat (lihat Lurie, 1990: 16-28). Perubahan-perubahan semacam ini antara lain dianggap sebagai penyebab cerita rakyat mengalami distorsi (Nodelman, 1990: 145). Kelima, berkaitan dengan asal usul koleksi. Timbul pertanyaan, apakah cerita yang diberikan pada anak sebaiknya yang berasal dari koleksi di lapangan ataukah yang sudah dituliskan kembali (lihat Lurie, 1990: 22 dan lihat pula Smith, 1980: 18).
Sesuai dengan keadaan di Indonesia, masalah yang disoroti dalam disertasi ini adalah penulisan kembali (retelling) cerita rakyat untuk anak di Indonesia ditinjau dari penyajian cerita. Hal ini berkaitan dengan masalah ketiga di atas, yaitu kualitas penulisan. Untuk itu, dibahas 22 versi dongeng Bawang Merah Bawang Putih dari 21 pencerita kembali (untuk selanjutnya disebut pengarang). Penelitian dilaksanakan dengan membandingkan penyajian cerita 22 versi tersebut. Perlu dikemukakan, bahwa pada awalnya telah diteliti 128 cerita rakyat yang terdiri dari 8 judul cerita (tema). Kedelapan judul ini merupakan tema yang paling sering dituliskan dan diterbitkan kembali sehingga muncul dalam berbagai versi tulis. Cerita-cerita ini berjenis dongeng, legenda, dan mite. Berhubung metode kerja dan metode penelitian yang dipakai ternyata dapat diterapkan pada ketiga jenis cerita rakyat ini, maka diputuskan untuk menggunakan dan menuliskan satu contoh saja, yaitu Bawang Merah Bawang Putih.
Masalah yang ditinjau dalam mengembangkan 22 versi dongeng Bawang Merah Bawang Putih adalah sebagai berikut:
  1. Apa perbedaan dan persamaan versi-versi tersebut dan bagaimana persamaan ini membentuk suatu verisi kelompok atau versi kebudayaan
  2. Bagaimana pengarang menggarap elemen-elemen penyajian cerita
  3. Bagaimana dampak penyajian pada makna cerita
Metode penelitian yang dipakai dalam disertasi ini adalah penelitian pustaka. Secara keseluruhan, penelitian ini mengetengahkan 29 versi dongeng Bawang Merah Bawang Putih, 22 versi diantaranya akan dibahas secara mendalam dan ditabelkan, sedangkan 7 versi lainnya akan disinggung seperlunya sebagai materi pembanding (dua berasal dari buku anak Malaysia dan 5 lainnya berasal dari wawancara). Tahun penerbitan yang tertua yang dapat dilacak adalah keluaran tahun 1904 dan yang termuda keluaran tahun 1994 (sampai saat disertasi ditulis). Selain dalam bentuk buku, dongeng yang diteliti juga ditemukan dalam bentuk tulisan dalam majalah, lontar, dan dokumentasi. Mengenai bahasa yang dipakai tercatat lima versi menggunakan bahasa Belanda, satu versi bahasa Jawa aksara jawa, satu versi bahasa Bali, satu versi bahasa Inggris, dan 14 versi bahasa Indonesia. Sebagian besar buku-buku ini diterbitkan sebagai bacaan anak dan remaja. Sedangkan yang bukan dikhususkan untuk anak dan remaja tetap akan dibahas dan digunakan sebagai materi pembanding...

ABSTRACT
Folktales written for children in Indonesia have been done for more than 100 years. And in 1993 publication of folktales as children's reading was even included in the National Guidelines, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1993).
The research is aimed at finding out the problems in retelling folktales seen from the story presentation. There are two approaches applied in this research comprising children literature and folklore approaches based upon a structural theory.
As the corpus of study, 29 versions of Bawang Merah Bawang Putih were chosen, 22 versions of which were profoundly discussed while the necessary discussion of the rest 7 versions were used as comparison. The oldest publication was in 1904 and the latest in 1994. Each version was retold by different author. And the languages used in these resources are Dutch (5), Javanese in Javanese Character (1), Balinese (1), English (1), and Indonesian (14).
The research was carried out through three stages. The first stage was version analysis. The second stage was an analysis around the literary qualities such as characterization, plot, setting, theme, style and diction. Since the presentation of these elements might influence the meaning of story, the impact of presentation on meaning was then discussed in the third stage.
It could be concluded from the analysis of versions that the story published earlier seems to be the only source of reference for later works. There was no indication that the writers have tried to seek for or add other sources in order to improve the quality of their creative process.
From the analysis of presentation, it could be concluded that the literary folktales as the products of writers? creation are often didactic, moralistic, sentimental, and demonstrate moral explicitly. In treating the theme of story, the writer's attention is especially focused on the central theme (stepchild abuse) so that the values evoked on side themes seem to be ignored or deserved less consideration.
Although the tales are fantasy, but the writers' inability to sustain it and present the stories realistically caused settings in the stories do not look like to take place in a fairyland but in a real world and happen not so long ago.
Regarding the characterization, in general the protagonist appears only in a single character, kind hearted, diligent and hard working, obedience, self-surrender, not greedy, not revengeful and devoted. The result is that the story fails to present victory, recognition, and justice for the good.
The problems coming out of plots result from the numerous interpolated unconnected events which then bring about considerable sub-plots. Consequently, the story seems not to directly touch on the core of story and its conflicts. This makes the meaning of the story vague.
The language style of the folktale should be brief and simple. Nevertheless, many versions use language style with long sentences. Besides, in some version the style used does not fit the age of intended readers.
The research also shows that the interpretation of meaning is only based upon what has been explicitly presented due to the unawareness of its symbolic meaning. Besides creation and improvisation done by the authors are merely focused on the step children's sufferings and the cruelty of step mother. Consequently, events having the elements of fantasy which are potential to be developed without ruining the central theme are ignored or even forgotten.
Another thing that contributes to the problems is related to retellings which are not intended for leisure readings but as educational aids and informational readings instead. This has made the children unable to interpret the meaning of story freely as it is strictly tied to certain intended answers.
In addition to discussing the problems in retelling a folktale, the research also shows how the concept of Type-Index and Motif-Index derived from folklore study could be applied on literary study. Moreover, the research has also identified the uniqueness of Bawang Merah Bawang Putih story as having two tale-types namely "Cinderella" and "The Kind and the Unkind Girls". And unlike the most European fairytales, the main woman character is not stereotype.
To conclude, a good retelling depends upon three aspects. Firstly, to enforce creation not strictly to plots connected to the central theme alone. Secondly, the ability to sustain the fantasy and imagination contained in fairy tales. And thirdly, meaning interpretation should be considered from literal and psychological prospective. In this way the retellings will not be destructive creations, but innovative instead.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
D77
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murti Bunanta
Jakarta: Balai Pustaka, 1998
398.2 MUR p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2009
398.3 DHA k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yophie Septiady
"Rumah adat atau rumah tradisional merupakan bahan yang menarik dalam penelitian Antropologi. Beberapa peneliti telah banyak `mengupas' tentang bahan penelitian ini, seperti; Cunningham (1964), Raglan (1964), Rapoport (1969), Singarimbun (1975), Broadbent (1984), Duly (1985), Oliver (1987), Mangunwijaya (1988), Fox (1990, 1993), Waterson (1991, 1993), Egenter (1995), Gintings (1996), Molnar (1996,1999), Suparlan (1999), Woodward (1999), Provencher (1999), dan lain-lain, yang membahas dari tujuan dan sudut pandangnya masing-masing.
Berdasarkan pengetahuan referensi di atas, saya mencoba mengkaitkan antara simbol-simbol pada bangunan rumah adat Karo di desa Lingga dengan cerita prosa rakyat yang ada pada masyarakatnya. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, karena hubungan yang terjadi di dalamnya berkaitan erat sekali dengan unsur-unsur budaya dari masyarakatnya, seperti; agama, ideologi, kekerabatan, status sosial, pranata, dan adat istiadat. Pemakaian folklor (cerita prosa rakyat) sebagai salah satu bagian dari budaya akan lebih mempertajam pemahaman budaya untuk mengetahui budaya pada masyarakatnya.
Cerita prosa rakyat dan simbol memiliki hubungan yang sating mendukung. Cerita prosa rakyat dalam penyampaian atau penuturannya kadang kala menggunakan alat bantu pengingat (mnemonic device), biasanya berupa benda-benda yang memiliki mutan simbol-simbol untuk mempermudah dan memperkuat penuturannya. Begitu pula dengan simbol, beberapa di antaranya membutuhkan cerita prosa rakyat untuk lebih menegaskan pemahaman dan penyampaian maksud dari dibuatnya simbol tersebut.
Cerita prosa rakyat yang terbagi menjadi 3 katagori; mite, legenda, dan dongeng, memiliki ciri dan wujud masing-masing sesuai dengan fungsi dan kegunaannya yang dapat dihubungkan dalam makna dari simbol-simbol yang ada, sehingga makna tersebut menjadi semakin jelas arahnya tujuannya. Cerita prosa rakyat dan simbol-simbol yang ada pada rumah adat Karo menunjukkan suatu hubungan yang saling mendukung untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan dan budaya mereka agar hidup selaras, baik antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alamnya. Untuk meneliti masalah ini tidaklah mudah, sebagai seorang peneliti haruslah benar-benar `masuk' (dapat menyelami) dan sabar dalam mengamati masalah penelitiannya, karena pengamatan penelitian bukan hanya pada tahap; melihat apa yang mereka kerjakan, mencatat apa yang mereka tuturkan dan benda apa yang mereka gunakan, tetapi juga memahami perilaku dan konsep berfikir yang ada pada diri mereka, serta `mewaspadai' konsep berfikir kita sendiri adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eem Suhaemi
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2009
398.3 EEM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Suparta
"ABSTRAK
Masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang pencitraan wanita sebagaimana diungkapkan di dalam satua-satua Bali. Penelaahan terhadap masalah tersebut pada dasarnya dilakukan karena ungkapan yang berkenaan dengan kewanitaan terlihat sangat jamak di dalam satua-satua Bali itu. Kajian terhadap masalah ini dimaksudkan untuk: (1) mengungkapkan citra wanitanya, terutama yang menyangkut nilai-nilai kewanitaan yang terkandung di dalamnya, dan berkaitan dengan itu (2) melalui kajian atas ungkapan-ungkapan tersebut untuk mengetahui pola pemikiran dan latar belakang sosial-budaya yang bertautan dengan peranan wanita di dalam tradisi lisan (orality) terutama dalam tradisi nyatua dalam masyarakat Bali serta dalam konteksnya dengan dominasi budaya purusaisme ataupun androginus pada umumnya.
Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini pada prinsipnya adalah analisis isi (content analysis). Nnmun sejauh itu juga disadari, bahwa dalam penelahaan terhadap nilai-nilai kewanitaan yung merupakan unsur isi dari satua-satua Bali itu tidak secara kese1uruhan terintegrasikan ke dalam pendekatan struktur yang lengkap. Melainkan hanya sepanjang berkaitan dengan kepentingan di atas baru disinggung --terutama masa1ah tokoh secara singkat. Dalam hal itu juga didukung oleh adanya konsep gander dan teori nilai berkenaan dengan kritik sastra feminis. Untuk itu pengambilan data dari sumber data sekunder ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun satua-satua Bali yang dijadikan sumber datanya telah dikelompokan atas jenis satua-satua Bali yang sangat banyak menggunakan judul dengan tokoh wanita dan jenis satua yang tidak menggunakan tokoh wanita, ataupun fable.
Dari analisis yang dilakukan dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu: (1) secara umum pencitraan wanita di dalam satua-satua Bali tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai sosio-kultural dan sosio-historis yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat Bali itu sendiri, (2) pencitraan wanita di dalam satua-satua dengan jelas diungkapkan terutama dalam kaitan dengan perannya: sebagai ibu dan Dewi Kesuburan, wanita ideal atau sebaliknya, yakni wanita (ibu tiri) yang serakah, wanita (putri perawan atau perempuan tua/monopause) sebagai perawat atau penyupat laki-laki atau makhluk lainnya yang terkena kutukan ataupun sihir jahat untuk kembali menjadi manusia atau pulang ke Hyang Mahasumber-Nya, 3) pencitraan wanita yang terungkap ituterbukti menunjukkan adanya sesuatu "warna" yang merupakan telah masuknya perbagai pengaruh dari budaya lainnya terhadap budaya Bali sejak waktu yang berabad-abad lamanya."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Triana Lolitasari
"Perkembangan teknologi digital di Korea Selatan secara tidak langsung mempengaruhi kesusastraan mereka. Salah satu contohnya adalah digitalisasi karya sastra, khususnya cerita rakyat. Perubahan media cerita tentunya menyebabkan perubahan isi maupun cara penyampaian. Penelitian ?DIGITALISASI CERITA RAKYAT KOREA KONGJWI dan PATJWI: SEBUAH PERBANDINGAN? bertujuan untuk menjelaskan digitalisasi cerita rakyat di Korea yang menyebabkan cerita tidak lagi disampaikan hanya melalui bentuk teks melainkan telah mengalami penambahan efek suara, gerak, dan penyederhanaan cerita dalam bentuk digital. Bentuk digital ini dipublikasikan dan dapat diakses secara bebas. Pemaduan dari berbagai media dalam cerita digital membuat cerita tersajikan dengan lebih baik dan memberikan kesan lebih kepada penonton.

The advancement of digital technology in South Korea indirectly has affected Korean Literature. One of the examples is digitalization of Korean folklore. The digitalization give effects to the folklore itself and creates a new way in storytelling by using digital medias. A research about ?Digitalization Korean Folklore Kongjwi and Patjwi: A Comparison" has a purpose to explain the whole things about the folklore itself. The Digitalization of Korean folklore made the story of it to be no longer only be submitted through a text but has experienced the addition of sound effects, motion, and simplification of the story which is then presented in digital form. This digital form has been published and can be freely accessed by anyone. The proper integration of various medias in the digitalized story makes the story more interactive and gives more impression to the audience.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rahmah Az Zahra
"Penelitian ini mengkaji perbandingan penokohan dan tema dalam cerita rakyat Namukkunkwa Seonyeo dari Korea dengan cerita rakyat Jaka Tarub dari Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode close reading dengan analisis penokohan dan tema dalam cerita rakyat dilihat dari pengaruh kebudayaan masyrakat tempat kedua cerita rakyat berasal. Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan penokohan dalam kedua cerita rakyat dipengaruhi oleh nilai dan kebudayaan pada masyarakat sumber cerita rakyat berasal, sedangkan persamaan yang ada dalam kedua dongeng dipengaruhi oleh struktur geografis tempat kedua cerita rakyat berasal yang cenderung mirip sehingga menimbulkan beberapa persamaan nilai kebudayaan dalam masyarakat tempat cerita rakyat berasal.

This research is focused on comparing the characters and themes between Korean folklore Namukkunkwa Seonyeo with Indonesian folklore Jaka Tarub. The method that used in this thesis is close reading method with analysist about the characters and themes of folklores judging from culture of people in folklores origin place. The result of the study is the difference between this two folklore affected by the value and culture of people in the origin place where this two folklores came, whilst the equation between this two folklore affected by the similarity in geographic where the origin places of this two folklore so as some of the culture between the origin places have similarity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalti Novianti
"ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada pemahaman pembaca terhadap budaya dan masyarakat Kansai khususnya Osaka melalui unsur humor yang ada di dalam cerita rakugo Kansai, karya Katsura Beichoo.
Pemahaman atas humor didasarkan pada pilihan dari para informan, dan dianalisis melalui teori frame dari David Raskin. Kontradiksi frame menimbulkan faktor kejutan ( surprise ) pada puncline nya. Selain itu ketidakselarasan ( Incongruity ) juga menjadi pemicu timbulnya unsur humor sesuai dengan teori dari Alison Ross.
Unsur humor yang terdapat dalam rakugo Kansai dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang ada dalam lingkung masyarakat Kansai, dan Osaka pada khususnya. Osaka yang dikenal sebagai kota dagang yang kaya akan budaya pedagangnya (shounin bunka ). Dari budaya pedagang yang ingin menjaga hubungan baik antar sesama itulah sistem hubungan pararel muncul dan lahir lah budaya tertawa (wahha bunka ).
Dalam penelitian ini, metode wawancara digunakan untuk menguji pemahaman informan terhadap hal yang melatar balakangi unsur humor dalam rakugo Kansai. Informan terdiri dari dua kelompok, yaitu orang Kansai dan non Kansai. Data yang terkumpul dianalisis melalui teori Sperber dan Wilson mengenai teori relevansi, yang akan menghubungkan antara cerita dan budaya.
Dari analisis terhadap hasil wawancara, disimpulkan bahwa : Orang Kansai yang dibesarkan dalam lingkung budaya yang sama dengan latar cerita rakugo Kansai, tebih memahami setiap latar betakang dari unsur humor di dalam rakugo Kansai. Sedangkan orang non Kansai mengerti akan unsur humor yang terdapat di dalam cerita rakugo
Kansai, namun pendapat yang dinyatakan oleh informan non Kansai, lebih mengarah kepada pandangan stereotype mereka terhadap orang Osaka.
Penelitian ini difokuskan pada pemahaman pembaca terhadap budaya dan masyarakat Kansai khususnya Osaka melalui unsur humor yang ada di dalam cerita rakugo Kansai, karya Katsura Beichoo.
"
2007
T 20515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>