Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lilis Wijaya
"Tesis ini membahas tentang Implementasi PPK- BLUD terhadap keberlangsungan Puskesmas Kecamatan Tebet. Sesuai dengan SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 2086/2006 tanggal 28 Desember 2006, dengan ditetapkan Pola Pengelolahan Keuangan (PPK) Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) ini berlaku di Puskesmas Kecamatan Tebet , Jakarta Selatan secara bertahap dengan menggunakan pendekatan manajemen Puskesmas.
Komitmen dari Manajemen Puskesmas Kecamatan Tebet dalam otonomi penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD dan pendapatan yang diperoleh dan jasa layanan berupa retribusi yang berasal dari masyarakat, pendapatan operasional BLUD ini dapat dikelola langsung untuk membiayai operasional dan belanja pegawai . Terjadi peningkatan penerimaan retribusi di tahun 2008 sebesar 5% dari anggaran tahun 2007, sedangkan pada tahun 2008 terjadi peningkatan subsidi APBD sebesar 10% dari APBD tahun 2007. Hal ini menyebabkan jauhnya Puskesmas untuk dapat mandiri, namun karena timbulnya pergeseran masalah kesehatan, maka manfaat dari subsidi APBD ini dapat dirasakan oleh Puskesmas untuk dapat mengantisipasi masalah kesehatan tersebut.
Otonomi dalam perencanaan strategis diaplikasikan dengan wewenang penetapan visi dan misi, penetapan tujuan umum secara luas, pengelolaan aset dan pertanggungjawaban kegiatan operasional. Prinsip kepemimpinan yang berkomitmen dengan meningkatkan komunikasi, kesadaran, motivasi dan melibatkan pegawai dalam mengatur dan mengawasi Puskesmas, termasuk didalamnya pemberian reward bagi yang berprestasi misalnya diikutkan dalam pemilihan karyawan teladan, mengikuti kursus singkat dengan biaya ditanggung oleh Puskesmas, imbalan lainnya dapat diberikan dalam bentuk jasa medis/insentif yang besarannya berbeda beda tergantung dari penilaian kinerja pegawai.
Dalam survey kepuasaan pelanggan yang dilakukan pada bulan September 2007 di poli umum , kenyataan yang ada masih kurang dibandingkan dari harapan Puskesmas , hal ini menambah motivasi pegawai apalagi sejak ditetapkannya Manajemen ISO 9001-2000, Puskesmas harus dapat memberikan pelayanan yang lebih baik. Puskesmas memang harus memenuhi kebutuhan masyarakat, dan masyarakat menganggap Puskesmas dapat memenuhi kebutuhan akan kesehatannya. Sehingga menimbulkan nilai positif bagi keberlangsungan PPK- BLUD Puskesmas Kecamatan Tebet, mengingat pendapatan yang diperoleh dari retribusi menjadi salah satu andalan beroperasinya Puskesmas. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Tebet dengan menggunakan penelitian studi kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa Puskesmas Kecamatan Tebet perlu melakukan diversifikasi usaha dengan membentuk unit usaha baru (misalnya poli akupuntur, poli perawatan kulit wajah) sebaiknya Pemerintah Daerah DKI Jakarta perlu melakukan peninjauan ulang terhadap besaran tarif yang sudah diberlakukan sejak tahun 2006, kedepannya perlu dilakukan suatu studi yang lebih luas dengan sampel yang lebih besar untuk melihat implementasi PPK-BLUD di puskesmas-puskesmas di DKI Jakarta agar dapat menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan (policy recommendation) untuk Pemerintah DKI Jakarta terkait kebijakan PPK-BLUD, Untuk mengoptimalkan pelayananan kepada masyarakat, penempatan pegawai sesuai dengan kompetensinya, mencari pasar baru dengan cara meningkatkan pemasaran Puskesmas Kec Tebet melalui usaha menyebarkan leaflet, brosur, media promosi lainnya ke perkantoran swasta, home industri, perusahaan swasta dan kompleks perumahan golongan menengah keatas, melakukan talk show diradio swasta di Jakarta Selatan, mengikuti pameran di acara- acara seperti seminar awam dan seminar ilmiah dam penerbitan artikel di media."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T41260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Melviani
"Kanker sigmoid merupakan salah satu penyakit keganasan pada saluran gastrointestinal yang banyak dialami pada masyarakat perkotan. Kanker sigmoid dapat menyebar ke secara langsung ke organ terdekatnya seperti ovarium. Salah satu tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan operasi sigmoidektomi dan histerektomi. Berdasarkan jurnal terkait, pasien paska operasi sigmoidektomi dan histerektomi berisiko masing-masing sebesar 14 dan 54 untuk terjadi injuri uretra dengan gejala kelemahan pada spingter uretra sehingga dapat menyebabkan inkontinensia urine. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk mencegah masalah tersebut ialah dengan melakukan latihan kegel. Latihan kegel yang dilkukan secara rutin dapat membantu meningkatkan kekuatan otot pelvis dan menguatkan sfingter uretra. Latihan dilakukan bertahap sebanyak 4x10 set dalam sehari. Evaluasi latihan kegel dilakukan dengan palpasi bladder untuk mengevaluasi pengosongan bladder setelah miksi. Sebelum latihan kegel dilakukan, penanganan manajemen nyeri pada pasien paska operasi harus dilakukan dengan baik terlebih dahulu agar toleransi latihan kegel tinggi sehingga latihan dapat dilakukan.

Sigmoid cancer is a malignancy of the gastrointestinal tract that is experienced by the urban community. Sigmoid cancer can spread directly to nearby organs such as ovary. One of the surgery choices is sigmoidectomy and hysterectomy. Based on the relevant journal, patients were treated with this method have risk of 14 and 54 respectively for urethra injury which symptoms is weakness of the urethra sphincter, resulting in urine incontinence. One of the interventions that can prevent patients from the urine incontinence is Kegel exercise. Regular exercises can help improve and strengthen control of the urethra sphincter. Exercises done gradually as 4x10 sets in a day. The evaluation of exercise using a bladder palpation to evaluate bladder emptying after micturition. Before kegel exercise is started, handling the management of pain post surgery must be performed well so that patients have a high tolerance of kegel exercises and the exercise can be done soon after surgery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oman R. Rakinda
"Kepuasan pelanggan merupakan hasil kerjasama seluruh divisi, frontline maupun supporting division. Kualitas kerjasama manajemen operasi antar divisi berfluktuasi, berakibat pada kualitas pelayanan baik internal maupun eksternal melayani pelanggan. Karena customer expected value terus berkembang dan pentingnya kerjasama antar divisi diperlukan pemetaan dan pengetahuan yang memadai mengenai kualitas kerjasama.
Pada penelitian awal ditemukan fenomena collaborative workplace dalam hubungan kerja antar divisi, diketahui sering dilakukan diskusi dan kontak informal antar personal dari berbagai divisi untuk membahas permasalahan, termasuk mencari cara dan prosedur baru dalam pelaksanaan pekerjaan dan mengatasi klaim pelanggan. Karena itu menarik untuk meneliti fenomena tersebut dengan menggunakan kerangka teori collaborative workplace.
Organisasi berkembang dari entrepreneurial phase ke collaboration phase. Organisasi yang masuk tahap dewasa mengalami the red-tape crisis ditandai penerapan aturan formal dan prosedur birokratis diterapkan secara universal serta hubungan kerja impersonal. Organisasi tidak efektif, ketidakpuasan meningkat, managemen melakukan breakdown birokrasi dengan tujuan control yang lebih, tidak ada gambaran yang jelas bagaiman sistem, aturan dan prosedur bekerja karena lambatnya mesin birokrasi.
Ketika red-tape crisis teratasi, organisasi memasuki collaboration phase. Teamwork digunakan untuk merepersonaliti hubungan kerja, distribusi tugas terdiferensiasi, ada share responsibility ke dalam team work dan unit organisasi, pekerjaan terintegrasi secara komprehensif. Kompleksitas pembuatan aturan dan pengambilan keputusan diregulasi dan direorganisasi ke dalam team work. Manajemen fokus membangun trust-based relationship, tujuannya integrasi internal melalui sharing knowledge, sharing skill dan collaborative leadership.
Collaborative workplace merupakan collaborative design yaitu desain organisasi yang memiliki kecerdasan bekerjasama daripada hanya dibatasi teknologi, spesialisasi dan membatasi keanggotaan orang dalam kelompok. Collaborative workplace memiliki lima elemen yaitu; collaborative culture, collaborative leadership, strategic vision, collaborative team proses dan collaborative structure.
Fenomena collaborative workplace pada latar belakang masalah dapat menciptakan kepuasan kerja, pada saat yang sama menghasilkan kualitas pelayanan, karena itu menarik untuk meneliti situasi collaborative workplace yang terjadi. Maka pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah; 1) Sejauh mana situasi collaborative workplace terjadi? 2) Pada level manajemen apa situasi collaborative workplace berjalan? 3) Intervensi manajemen apa yang diperlukan agar situasi collaborative workplace makin kuat? 4) Peluang apa yang dapat diraih dari situasi collaborative workplace?
Analisis menggunakan teori collaborative workplace, akan tetapi karena keterbatasan yang ada hanya dilakukan pada aspek budaya atau collaborative culture. Collaborative culture menjadi dasar situasi collaborative workplace yaitu kerangka kerja dan budaya kerja baru yang menggantikan hirarki sebagai dasar kita diarahkan, diatur dan diorganisasikan. Pengorganisasian dilaksanakan secara across group teams. Prinsipnya dibangun atas penghormatan pada budaya, asumsi dasar kerja dan pemahaman pada realitas bagaimana usaha seharusnys dijalankan. Collaborative culture memiliki dasar-dasar nilai yang disebut collaborative work ethic, terdiri ; respect for people, honor and integrity, ownership and aligenment, consensus, trust based relationship full responsibility and accountability serta recognition and growth.
Penelitian menggunakan metode deskriptif, objeknya hubungan kerja antar divisi, tujuannya untuk menggambarkan sifat hubungan kerja yang sedang berjalan dan memeriksa sebab-sebab dari gejala collaborative workplace, kemudian dianalisis berdasarkan kerangka teori secara kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui kajian pustakan, kuisioner, wawancara, dan FGD. Menggunakan purposive sampling dengan sample adalah 4 orang manager dan 10 asisten manager. Skala pengukuran yang digunakan semantic differential.
Kesimpulannya menunjukan situasi collaborative workplace berada pada kategori tinggi, baik pada level asisten manager (nilai rata-rata 3,853) maupun pada level manager (nilai rata-rata 3,478) dengan selisih 0,376. Artinya nilai-nilai collaborative workplace ; respect for people; honor and integrity, ownership and aligenment, consensus, trust-ased relationship, full responsibility & accountability serta recognition and growth telah mendasari hubungan kerja namun demikian masih diperlukan sejumlah improvement dalam pelaksanaan nilai-nilai tertentu agar diperoleh peluang-peluang yang menguntungkan perusahaan.

Customer satisfaction resulted by a whole divisions working together. Both frontline and supporting divisions. Integration among divisions running fluctuate, the condition resulted a fluctuate service quality both internally and externally to service the customer. Because of a customer expected value growth and crucial point of divisions working together, we need a clearly map and comprehensive information about how working together quality.
On preliminary research found a collaborative workplace phenomenon in workforce relationship among divisions, informal discussion and direct contact created by personally across division and across group, to accomplishing problem and find a new rules and procedures, and how to create a responsive customer care effectively. It's interesting to research about the phenomenon through which collaborative workplace theory framework.
Organization lifecycle moves through entrepreneurial phase to collaboration phase. Mature Organization ends with the red-tape crisis, is what bureaucracy a bad name. Attempts to apply formal rules and procedures in a universal and impersonal manner create an organizational environment that becomes not only ineffective, but increasingly distasteful to workers. Things will generally worsen when management's first response to the breakdown of bureaucratic control is to implement even more control. The problem reaches crisis proportions when employees either cannot figure out how to make the system of rules and procedures work.
If the organization is to emerge the red-tape crisis it will generally proceed to a collaboration phase. During this phase the organization uses teamwork as a means of re-personalizing the organization by distributing the now over-differentiated task into more recognizable chunks and assigning shared responsibility for them to groups of individuals in ways that make work once again comprehensible. What was to complex for rule making to regulate can be reorganized into smaller unit managed from within as a teams. A greater focus on trust and collaboration is often required in these circumstances, requires a qualitative change in organizational form as well as in the integrations skill and leadership styles demanded of managers.
Collaborative workplace is a collaborative design, the objective is to create a work process in which the exact new information will emerge to enable the participants to create new knowledge, and thus to solve the problems at hand. Collaborative workplace element are; collaborative culture, collaborative leadership, strategic vision, collaborative team process and collaborative structure.
Collaborative workplace phenomenon, according to these research background create a workforce satisfaction, at the same times resulted a service quality, its interesting, than arranged a fundamental research problems as focus of this research are: 1) How far collaborative workplace climate run? 2) At what management level collaborative workplace climate run? 3) What kind management intervention needs to drive a strong collaborative workplace climate? 4) What kind opportunity will get by organization through collaborative workplace climate?
Analyzed through collaborative workplace theory framework, but restricted just only on culture aspect called collaborative culture. Collaborative culture become basic of collaborative workplace climate, that is a new cultural framework that can replace hierarchy as the basis for how we lead, manage, and organize work. This principle not only honors these fundamental assumption and our cultural heritage, but also recognizes the realities of what it take to run a business. As cultural framework for leading and managing enterprise, collaboration is a work ethic that govern human behavior in the organization across groups, team, and even companies. The core values are respect for people, honor and integrity, ownership and alignment, consensus, trust-based relationship, full responsibility and accountability and recognition and growth.
This research used descriptive method, the object's is inter divisions work relationship, the goal is to describe what like work relationship run and to analyze collaborative workplace environment, than analyzed qualitatively through theory framework. Data collecting through library research, questioner, interview, and focus group discussion (FGD). Sampling purposive used with 4 Managers and 10 Managers Assistance as respondent. Measurement scale arrangement with semantic differential.
The conclusion is collaborative workplace climate working on a highs category both of Manager Assistance level (rate value = 3,853) and Manager level (rate value = 3,478), the gap rate value 0,375. This means collaborative workplace core values; respect for people, honor and integrity, ownership and alignment, consensus, trust-based relationship, full responsibility and accountability, and recognition and growth are running well and become a foundation of work relationship but it's needed some management improvement to implement some core values through which get new opportunities for the enterprise.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thariq Adha Gumilang
"Skripsi ini membahas tentang upaya untuk menemukan konfigurasi yang optimal pada sistem pengoperasian paralel baterai. Konfigurasi operasi paralel baterai yang digunakan adalah konfigurasi paralel baterai yang memiliki kapasitas yang sama dan baterai yang memiliki kapasitas berbeda. Jenis baterai yang digunakan adalah baterai lead acid dengan rating 12 V, 65 Ah dan 12 V, 38 Ah. Simulasi matematis dilakukan dengan menggunakan hukum Peukert untuk memperoleh besaran bilangan Peukert untuk setiap konfigurasi pengoperasian baterai. Sehingga dapat diperoleh perbandingan pengaruh dari setiap konfigurasi terhadap kualitas baterai yang digunakan melalui perhitungan bilangan peukert hasil dari simulasi.
Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh, pengoperasian paralel baterai dengan kapasitas yang berbeda antara baterai 65 Ah dan 38 Ah menyebabkan penurunan kualitas pada baterai yang digunakan. Hal tersebut disebabkan karena nilai rating arus nominal untuk setiap baterai yang digunakan memiliki nilai yang berbeda. Pada Baterai dengan rating 65 Ah terjadi peningkatan bilangan peukert dari n=1,286 menjadi n=1,447 dan pada baterai 38 Ah terjadi peningkatan bilangan peukert dari n=1,278 menjadi n=1,682. Sedangkan pada pengoperasian paralel dengan kapasitas yang sama tidak akan menyebabkan penurunan kualitas baterai apabila dioperasikan pada arus nominalnya.

The focus of this study is about finding optimal configuration in parallel battery operation system. The configurations of parallel battery operation that used in this study are parallel battery with same capacity and parallel battery with different capacity . The type of batteries that used are lead acid battery with rating of 12 V, 65 Ah and 12V , 38Ah. A mathematical simulation done using Peukert Law which used to obtain the value of Peukerts number for each battery operating configuration. In order to obtain comparative effects of any configuration on the quality of the battery used through Peukert number calculation results of the simulation.
Based on simulation results, the parallel operation of battery with different capacity between the 65 Ah and 38 Ah battery cause a decrease in the quality of batteries. It is happened because the value of the nominal current rating for each battery used has a different value. The peukert number of the 65 Ah battery has been increased from n= n=1,286 to n= 1,447 and on the 38 Ah battery, the peukert number has been increased from n=1,278 to n=1,682. While the parallel operation with the same capacity will not affect the quality of the batteries when operated at the nominal current.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58897
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tubagus Achmad Chair Chaulan
"Kegiatan bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok dari tahun ke tahun semakin bertambah mencapai 14 juta ton. Akan tetapi hal ini tidak diikuti dengan produktivitas dari pelabuhan yaitu dwelling time yang sangat lama dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai strategi untuk menambah produktivitas pelabuhan, yaitu dengan strategi Yard Truck Operation dan Yard Allocation.
Penelitian ini menggunakan discrete event simulation untuk mencoba kombinasi strategi single cycle dan dual cycle pada Yard Truck Operation dengan strategi separation on each block, diamond separation, horizontal separation on each block dan vertical separation on each block pada strategi Yard Allocation.
Hasil penelitian memberikan bahwa strategi twin cycle (strategi alokasi truk) dan strategi separation on each block memberikan produktivitas yang tinggi di Tanjung Priok. Penelitian ini diharapkan dapat menambah produktivitas dari pelabuhan di Indonesia.

Loading and unloading activities at Tanjung Priok port from year to year is increased up to 14 million tons. However, this is not accompanied with the productivity of the port, and cause dwelling time become long . Therefore, it is necessary to do research on strategies to increase the productivity of the port, which is the strategy Yard Yard Truck Operation and Allocation.
This study uses a discrete event simulation to try a combination of single-cycle strategy and dual cycles in Yard Truck Operation with separation strategy on each block, diamond separation, horizontal separation on each block and each block of vertical separation on the Yard Allocation strategy.
From the results of the research give that strategy a twin cycle (truck allocation strategy) and strategy of separation on each block gives high productivity in Tanjung Priok. This study is expected to increase the productivity of ports in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T41733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kartini Sari
"ABSTRAK
Dampak krisis moneter berpengaruh besar terhadap pelayanan kesehatan gigi dimana sebagian besar peralatan, bahan material dan obat-obatan adalah impor sehingga harganyapun semakin mahal dan kemampuan masyarakat untuk membelipun berkurang. Industri jasa pelayanan kesehatan gigi, bila ingin tetap bertahan pada masa seperti ini harus mengupayakan agar biaya yang dikeluarkan dapat dilampaui oleh pendapatan. Instalasi Rawat Jalan Gigi dan Mulut RSHS sebagai salah satu pusat pendapatan rumah sakit yang masih mendapat subsidi pemerintah dan sampai saat ini masih mengalami defisit anggaran. Dengan adanya krisis pada saat ini biaya operasional semakin meningkat dan tidak ditunjang dengan peningkatan subsidi dari pemerintah, terlihat dengan semakin sulitnya pengadaan (obat dan bahan habis pakai.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang efisiensi biaya di Instalasi Rawat jalan Gigi dan Mulut Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan kajian studi kasus pendekatan kuntitatif dan kualitatif dengan metode analisis deskriptif untuk mendapatkan gambaran efisiensi biaya di Instalasi Rawat Jalan Gigi dan Mulut RSHS Bandung, yang berkaitan dengan biaya total, biaya standar maupun subsidi dan pendapatan dengan menggunakan metoda analisa double distribution.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bila menggunakan biaya satuan berdasarkan biaya total, tidak satupun bagian Instalasi Rawat Jalan Gigi dan Mulut mengalami surplus tetapi bila menggunakan biaya satuan berdasarkan biaya variabel maka hanya Poli Pedodonti yang kondisinya surplus. Perbedaan biaya tersebut pada setiap poli berbeda tergantung dari jumlah tenaga, luas poli, sarana dan prasarana yang dimiliki poli, jenis bahan dan obat serta tingkat pemanfaatan pelayanan.
Inefisiensi terjadi bila biaya total dibandingkan dengan pendapatan dan subsidi begitu pula bila biaya total dibandingkan dengan biaya standar. Inefisiensi ini terjadi karena besarnya biaya investasi bangunan bila biaya ini dihitung dengan menggunakan laju inflasi 53,74%, besarnya biaya sumber daya manusia dan tingginya biaya obat dan bahan medis. Dapat dilakukan upaya pengendalian biaya dengan cara menekan biaya obat/bahan medis dan tenaga kesehatan, meningkatkan total output, meningkatkan total pendapatan dan subsidi silang baik antar pasien, antar bagian Instalasi Rawat Jalan Gigi dan Mulut, maupun antara FKG UNPAD dan RSHS.

ABSTRACT
The impacts of monetary crisis highly affect dental health service. Most equipment, material and medicines axe imported that their price is increasingly expensive while on the other hand the people purchasing power is decreasing. If dental health service industry to maintain its survival during such period it must attempt to suppress the cost to keep with the revenue. Up to now, Dental Health Clinic of RSHS as one of hospital which receive subsidy from the government subsidy which can be seen from the increasingly difficulties of purchasing of medicines and disposable material.
The purpose of this research is to obtain description of efficiency cost in Dental Health Clinic of Dr. Hasan Sadikin Bandung. This research is a case study with a quantitative and qualitative approach by using descriptive analysis method to obtain description of cost in dental clinic of RSHS Bandung related to total cost, standard cost and subsidy and revenue by using double distribution analysis method.
The results of this research indicate that if using cost unit of total cost, none of the part dental clinic that obtain surplus. However, when using the unit cost based on variable cost, it is only Pedodonti clinic than obtain surplus. The cost difference in each clinic depends on number of personnel, extent of clinic, facilities and infrastructure owned by clinic, types of material and medicines and level of service utilization.
Inefficiency occurs when the total cost is compared to revenue and subsidy. The same when total cost is compared to standard cost. This inefficiency occurs due to the large amount of building investment cost if the cost is calculated by using inflation rate of 53.74%, the large amount of human resources cost and high cost of medicines and medical materials. Due to this matter, cost control efforts in needed by suppresing medical cost or dental materials and health personnel, increasing total output, increasing total revenue and cross subsidy among patients, among dental clinics, and between Faculty of Dentistry University of Padjadjaran and RSHS.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninik Purwaning Setyorini
"Since 2005 the government has implemented School Operation Subsidy program for the basic education. In 2009, with a significant increase in the amount of the subsidy, the government launched free education policy in the primary and junior high schools. Two of the issues to understand are how well the program has been implemented and the factors that influence the implementation in the junior high school. This research aims to describe the implementation of School Operation Subsidy program at the preparation and implementation stages at state junior high schools at the cluster of State Junior High School 1 Bojonggede Bogor, West Java in 2009 and identify factors that influence the implementation. This research is descriptive qualitative. Data were collected from School Operation Subsidy Teams at SMPN 1 Bojonggede, SMPN 1 Tajur Halang, dan SMPN 2 Bojonggede through indepth interviews. For triangulation purposes, indepth interviews were also conducted with the School Operation Subsidy Manager of Bogor District, Commissariat of SMPN 1 Bojonggede cluster, and School Committee. Interviews were audio recorded and an interview scheme was used in the interview. Recorded data were transcribed and categorized according to the implementation stages. The categorized data were then used to describe the implementation of School Subsidy Program. Analyses were then attempted to determine the compliance of the implementation. Finally the factors that influence the implementation were analyzed. This research adopts Provus Discrepancy Evaluation Model (1969). According to this model, a program evaluation is conducted to determine whether a discrepancy exists between some aspect of the program implementation and standards governing that aspect of the program. In terms of School Operation Subsidy program, the standards are regulations in the Guidelines of School Operation Subsidy 2009. The four variables influencing policy implementation proposed by Edwards (1980), communication, resources, disposition, and bureaucratic structure, are used to analyze factors that influence program implementation at school. Research findings indicate that the School Operation Subsidy program is generally well implemented despite some practices which do not comply with the regulation, i.e. Implementation Guidelines of School Operation Subsidy 2009. The non- compliant practices include: (1) the School Operation Subsidy Team that does not have a student parent as a member in it, (2) the school principal does not issue the letter of oppointment for the School Operation Subsidy Team, and (3) the creation of an additional structure for the subsidy implementation by the district manager, i.e. commissariat, (4) the arrangment of additional socializations by the commissariat and non-govermental organizations, and (5) the financial report and fund disbursement that are arranged monthly. Generally schools allocate some of the subsidy for components other than the 13 items listed in the subsidy guidelines. In addition, despite the administrative accountability, subsidy management is not very transparent. Further analysis indicate that non-compliant practices are due to inadequate communication (poor transmission and infornation clarity), limited sources (staff and funds), negative attitudes of the subsidy implementors.

Sejak 2005 pemerintah melaksanakan program BOS bagi pendidikan dasar. Pada tahun 2009, dengan kenaikan dana BOS yang signifikan dari tahun sebelumnya, pemerintah mengimplementasikan pendidikan gratis pada jenjang SD dan SMP. Salah satu masalah yang belum diketahui dengan baik dalam kaitannya dengan implementasi program tersebut adalah seberapa baik program tersebut telah dilaksanakan dan apa saja yang mempengaruhi implementasinya di SMP. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi program BOS pada tahap persiapan dan pelaksanaan di SMP-SMP Negeri dalam Komisariat SMP N 1 Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada tahun 2009 dan mengidentifikasi hal-hal yang menjadikan implementasi program sebagaimana ditemukan di lapangan. Penelitian ini deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dari Tim Manajemen BOS SMPN 1 Bojonggede, SMPN 1 Tajur Halang, dan SMPN 2 Bojonggede Kabupaten Bogor melalui wawancara mendalam yang direkam dengan dipandu oleh pedoman wawancara. Untuk trianggulasi, data juga dikumpulkan dari manajer BOS di Kabupaten Bogor, Komisariat SMP Negeri 1 Bojong Gede, dan Komite Sekolah. Rekaman data ditranskrip secara penuh. Data selanjutnya dikategorisasikan menurut kategorisasi tahapan implementasi. Dengan data yang telah dikategorisasikan tersebut implementasi program BOS digambarkan dan kemudian dikaji kesesuaiannya dengan ketentuan. Akhirnya hal-hal yang mempengaruhi implementasi dikaji. Penelitian ini mengadopsi model evaluasi diskrepansi dikembangkan oleh Provus (1969). Menurut model ini, evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah pelaksanaan/kinerja program sesuai dengan standar-standar pelaksanaan program yang telah ditetapkan. Dalam hal pelaksanaan BOS, standar-standar yang dimaksud adalah ketentuan-ketentuan dalam Panduan Pelaksanaan BOS 2009. Selanjutnya variabel komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi (Edward, 1980) digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi BOS di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program BOS pada tingkat sekolah pada tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan secara umum berjalan dengan baik. Namun demikian, implementasi tersebut diwarnai oleh beberapa praktik yang kurang sesuai dengan ketentuan dalam Panduan Pelaksanaan BOS 2009. Ketidaksesuaian tersebut terutama meliputi: (1) tidak adanya anggota dari unsur orangtua siswa selain Komite Sekolah dalam struktur tim manajemen, (2) tidak diterbitkannya SK tim manajemen BOS sekolah oleh kepala sekolah, (3) adanya tambahan struktur pengelola BOS, yaitu komisariat BOS, (4) adanya sosialisasi BOS tambahan oleh Komisariat dan LSM yang diakibatkan oleh belum memadainya sosialisasi yang diselenggarakan oleh Manajer BOS Kabupaten Bogor, (5) berlakunya ketentuan penarikan dana dan pelaporan penggunaan dana setiap bulan. Pada umumnya sekolah menggunakan sebagian dana BOS untuk membiayai kegiatan di luar 13 komponen pembiayaan yang ditetatapkan dalam panduan BOS 2009. Selain itu, walaupun akuntabel secara administratif, pengelolaan BOS di sekolah belum transparan. Analisis menunjukkan bahwa ketidaksesuaian implementasi disebabkan oleh adanya komunikasi (transmisi dan kejelasan informasi) yang kurang memadai, keterbatasan sumberdaya (staf dan dana), dan sikap yang kurang positif dari pelaksana/pengelola."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T29100
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
A. Pawitra Indriati
"Dengan perkembangan kondisi pasar keuangan selama dua tahun terakhir akibat dari krisis subprime mortgage, pelaku pasar yakin bahwa pengukuran risiko pasar nilai VaR masih harus dilengkapi dengan analisis Stress Testing nilai VaR. Penelitian ini akan melakukan stress testing atas nilai VaR portofolio efek saham PT DA yang dihitung dengan Simulasi Historical dan Simulasi Monte Carlo. Simulasi historical yang merupakan perhitungan nonparametric (menggunakan data historis sebagai perubahan return saham) dipilih karena secara internal, pendekatan ini masih sering digunakan. Sedangkan simulasi monte carlo dianggap sebagai metoda yang lebih baik sebab nilai acak yang dibangun diyakini selalu konvergen ke keadaan riilnya. Atas perhitungan nilai VaR, akan dilakukan analisis Scenario Stress Testing yang menggunakan kejadian historis sebagai kondisi ekstrim ("stress event"). Analisis stress testing dilakukan dengan menghitung ulang nilai VaR sesuai skenario yang ditetapkan sebagai kondisi ekstrim. Estimasi nilai stress testing VaR dengan model dalam penelitian diharapkan dapat diaplikasikan dalam pengawasan potensi risiko pasar pada PT DA.

The progress of recent financial market in the last two years, as a result of subprime mortgage crisis, leads to the belief of the market players that Value at Risk should be complemented with Stress Testing Analysis. This research will run stress testing analysis? on the Value at Risk of the PT DA's portfolio which use Historical and Monte Carlo Simulation. Historical simulation which is an nonparametric approach (which uses historical data as stock return changes) was chose due to the intensity of internal uses. While monte carlo simulation was chose due to the belief as a better method. The reason is that it is believed that the random numbers generated will always converge the the riil condition. Stress testing analysis will be run based on these VaR figures using Scenario Analysis approach, that use historical events as its stress events. Stress testing analysis will rerun the process of calculating VaR according to the simulation methods and stress events. Estimating stress testing VaR figures using these models is expected to be a reference for managing market risk in the company."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T28095
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Trihandoyo
"Tingkat pemulihan biaya pada unit-unit produksi di RSUD sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh masing masing tingkat pendapatannya. Diharapkan konsep subsidi silang dapat berjalan guna pemerataan pelayanan kesehatan.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang dilakukan di 2 RSUD di Propinsi Jawa Tengah (RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri). Pengumpulan data dilakukan dengan melihat data yang sudah ada hasil dari penelitian penulis pada tahun 2000, dan untuk data keuangan tahun 2001 menggunakan penyesuaian (adjustment) dengan indeks harga konsumen dari data biaya tahun 2000. Perhitungan biaya dilakukan dengan dengan 2 Cara yaitu secara full cost maupun secara direct cost.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan unit produksi yang tertinggi di RSUD Sragen pada tahun 2000 adalah rawat inap dan terendah elektro diagnostik, sedangkan tahun 2001 pendapatan tertinggi rawat inap dan terendah radiologi. Pada RSUD Wonogiri pada tahun 2000 pendapatan tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik, untuk tahun 2001 pendapatan tertinggi juga rawat inap dan terendah kamar operasi (OK).
Biaya total unit produksi pada tahun 2000 berdasarkan perhitungan full cost di RSUD Sragen tertinggi rawat inap dan terendah adalah fisioterapi, untuk tahun 2001 biaya total unit produksi tertinggi juga rawat inap dan terendah fisioterapi.
Sedangkan biaya total unit produksi tahun 2000 di RSUD Wonogiri yang tertinggi adalah rawat inap dan terendah adalah tindakan diagnotik, tahun 2001 tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik Jika perhitungan berdasarkan direct cost, biaya total unit produksi tahun 2000 di RSUD Wonogiri tertinggi rawat inap dan terendah elektro diagnostik, tahun 2001 tertinggi rawat inap dan terendah elektro diagnostik. RSUD Wonogiri tahun 2000 tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik, tahun 2001 tertinggi juga rawat inap terendah diagnostik CRR RSUD Sragen tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost, hanya satu unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Sragen sebesar 35.54% dan 27.81% jika dihitung direct cost ada lima unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Sragen sebesar 70.75% dan 54.31%. CRR RSUD Wonogiri tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost, ada dua unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Wonogiri sebesar 35.27% dan 29.95% jika dihitung direct cost ada di unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Wonogiri sebesar 56.98% dan 47.09%.
Dan perhitungan SHU unit produksi tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost pads RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri, hampir tidak ada unit produksi mempunyai SHU positif sehingga tidak terjadi subsidi silang. Jika dihitung secara direct cost ada beberapa unit produksi yang mempunyai SHU positif, jadi masih terjadi subsidi silang antar unit produksi. Namun SHU total dari hasil retribusi di kedua RSUD tersebut masih teriihat negatif.
Terlihat adanya perbedaan besaran subsidi silang antara kedua RSUD pada tahun 2000 dan 2001, dimana unit produksi yang CRR >100% (SHU positif) berbeda antara RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri. RSUD Sragen sebagian besar (5 unit produksi) yang mempunyai SHU positif, sedangkan di RSUD Wonogiri ada 2 unit produksi yang mempunyai SHU positif yaitu unit produksi laboratorium dan radiologi.

Analysis Of Cross-Subsidy for Production Unit at Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital, 2000-2001Cost Recovery Rate (CRR) for production unit at District Hospital are various influenced by each income level to expect establishing cross-subsidy concept for equity of health care service.
This case research performed at 2 District Hospital in Central Java Province (Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital). The data is collected by observing available research result of writer in 2000 and the financial data collection 2001 by applies adjustment with Consumption Price Index (CPI) of budget 2000. There are 2 methods of cost calculation namely full cost and direct cost.
The research result shows that the highest production unit income at Sragen District Hospital 2000 is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic; in 2001 the highest production unit income is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic. At Wonogiri District Hospital 2000 the highest production unit income is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic, in 2001 the highest also from hospital wards and the lowest operation room (OK).
Full cost calculation defined that biggest total cost at production unit of year 2000 at Sragen District Hospital is hospital ward and the lowest is physiotherapy, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and physiotherapy. At Wonogiri District Hospital the biggest total cost at production unit of year 2000 is hospital ward and the lowest electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest are also from hospital ward and electro diagnostic. If calculation with direct cost the biggest and the lowest total cost at production unit at Sragen District Hospital in 2000 are hospital ward and electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and electro diagnostic. At Wonogiri District Hospital in 2000 the biggest is hospital ward and the lowest electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and electro diagnostic CRR at Sragen District Hospital in 2000 and 2001 full cost calculation define that only one production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Sragen District Hospital 35.54% and 27.81%, and direct cost calculation define that there are 5 production units having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Sragen District Hospital 7035% and 54.31%. CRR at Wonogiri District Hospital full cost calculation define that there are 2 units production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Wonogiri District Hospital 35.27% and 29.95%, and direct cost calculation define that there are 2 unit production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Wonogiri District Hospital 56.98% and 47.09%.
Full cost calculation business yield remaining (SHU) of production unit at Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital in 2000 and 2001, production unit almost never have positive SHU more ever cross-subsidy was not establish there. Meanwhile direct cost calculation define that there are some units having positive S}JU where such cross-subsidy is establish among production units. However total SHU from total retribution of both District Hospital shows negative result.
There is define difference cross-subsidy of both District Hospital of year 2000 and 2001, the production unit having CRR > 100% (positive SHU) between Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital was difference. Almost the production unit at Sragen District Hospital having positive SHU and only 2 production units at Wonogiri District Hospital having positive SHU there are Iaboratory and radiology.
Reference: 24 (1980 - 2001)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 9446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>