Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89683 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muh. Abdul Khak
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2004
499.215 MUH k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Abdul Khak
"ABSTRACT
When we compare two or more objects with respect to their certain properties, it is usually appropriate to enquire whether they have this properties to the same degree or not. In this case, we use comparative constructions to express it. If two clauses is compared, both of them must have different elements, at least one difference.
A comparative construction can involve a number of parameters, the two most important being the number of entities compared and the number of qualities or properties used. A comparative construction can uses: implicitly, explicitly, and semi explicitly patterns. Some comparative constructions use gradable adjectives as predicate. In spite of that, the other constructions use nouns or verbs as predicate.
Comparative constructions in Bahasa Indonesia there are three patterns: (a) comparison of differences wick use (lebih)...daripada, dari, ketimbang, makin ...makin etc. as their comparative-markers, (b) comparison of equalities (similarities) wich use sama, seperti, bagaikan, etc., (c) comparison of superlatives wich use paling and ter- + adjective. For example of three patterns mentioned above, respectively, is (a) Ali lebih tinggi daripada Toni, (b) Ani cantik seperti ibunya, and (c) Mujahidin merupakan bagian terbesar dari aliansi oposisi tersebut.
Comparative and superlative construction usually have five of elements: (i) item of comparison, (ii) degree-marker, (iii) gradable adjective, (iv) standard-marker, and (v) standard of comparison. Comparison of equality usually has four elements, that are (i) item of comparison, (ii) gradable adjective, (iii) standard-marker, and (iv) standard of comparison.
If we analyze construction of comparation in bahasa Indonesia from their element, we find two primary and one secondary construction. The primary constructions are: (i) Construction 1 is construction with order of elements: item of comparison, degree-marker, gradable adjective, standard-marker, and standard of comparison and (ii) Construction 2 is construction with elements order: item of comparison, gradable adjective, degree-marker, standard-marker, and standard of comparison. The secondary construction is construction that vi not include in the primary construction.
In the comparison of equalities of bahasa Indonesia there are much standard-markers that are divided in two poles of meaning: the one means 'same' (namely: sama, identik, se- + adjective, persis, seperti) and the other means 'like' (that is, mirip, bak, bagai, bagaikan, laksana, seakan-akan, seolah, semacam, seperti, identik, sebagaimana, persis, se- + adjektiva, se- + nomina). Actually, the most differet of two poles is sama and mirip. Between of both there is meaning nuance. According to me, it appereances confusing to decide wich standar-marker as prototype within comparison of equalities. Finally, by statistical hypothesis, introspective judgment, and testing to native speakers, I decided that seperti is prototype of standard-marker of comparison of equalities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husin Sutanto
"Untuk apa meneliti kopula dalam bahasa Indonesia? Bukankah bahasa Indonesia tidak memiliki kopula seperti yang dimiliki oleh bahasa Inggris dan Belanda atau bahasa bahasa Eropa lainnys? Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan oleh seorang penutur asli bahasa Belanda ketika didengarnya penulis akan membahas topik kopula dalam bahasa Indo_nesia. Ketika penulis menanyakan apa yang dimaksudkannya de_ngan kopula, segera, dijawabnya, bahwa kopula tidak lain verba to be dalam bahasa Inggris atau verba zijn dalam ba_hasa Belanda. Jawabannya tidaklah mengherankan penulis karena banyak orang berpendapat seperti itu Akan tetapi, ketika penulis menanyakan ada tidaknya kata-kata selain zijn dalam bahasa Belanda yang dapat berfungsi sebagai kopula, ia mengakui adanya kata-kata tersebut. Pengakuannya, penulis yakin, bukanlah sekedar peredam ketidakpuasan penulis, karena selain penutur asli, ia juga seorang pengajar di Jurusan Sastra Belanda Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Percakapan singkat antara penulis dengan penutur asli bahasa Belanda itu maki n membesarkan semangat penulis untuk membahas kopula dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebelum per-cakapan itu, sudah ada keraguan dan ketidakpuasan dalam di_ri penulis terhadap pendapat yang menyamakan kopula dengan verba to be dalam bahasa Inggris atau dengan verba zijn dalam bahasa Belanda. Patut tidaknya kopula dalam bahasa Indonesia diperma_salahkan sebenarnya dapat kita ketahui dengan melihat se_jumlah tulisan tatabahasawan bahasa Melayu dan bahasa In_donesia.). Sejak hampir satu abad yang lalu sudah ada orang yang tertarik untuk menyatakan pendapatnya mengenai fungsi bebe-rapa kata dalam bahasa Melayu yang serupa dengan fungsi kopula dalam bahasa Belanda. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, semakin banyak pula tulisan yang mem_bahas kata-kata kopulatif dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Sebagian menyangkal keberadaannya, sebagian la_gi menganggaphya mungkin saja dimiliki oleh bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Sebagian membedakannya dari kopula ba_hasa Belanda atau bahasa Inggris, dengan memberi istilah lain kepada kata-kata kopulatif itu, sebagian lagi langsung menyebutnya kopula. Ada pula yang tidak mempersoalkan istilah untuk kata-kata kopulatif itu, melainkan membicara_kan perilaku sintaktisnya saja. Banyaknya tulisan yang membahas kata-kata kopulatif dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia itu memperlihatkan pentingnya topik tersebut. Namun, bukan berarti topik itu sudah jelas dan tuntas dibahas. Sebaliknya, akan kita lihat nanti, bahwa setiap tulisan yang membahas kata-kata kopula_tif dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia meninggalkan sejumlah topik bawah (subtopik) yang tidak sempat dibahas. ,Karena itu, penulis menyempatkan diri membahas topik bawah yang tertinggal itu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S10868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lie, Tjwan Sioe
Djakarta: The World Publishing, [date of publication not identified]
499.286 LIE k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar Ruskhan
"Kontak bahasa yang terjadi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain akan berpengaruh pada bahasa yang bersangkutan. Kontak bahasa itu tidak dapat dipisahkan dengan kontak budaya yang terjadi, bahkan dipandang sebagai salah satu aspek kontak budaya. Weinreich (1953:5) menyebutkan bahwa pengaruh bahasa lain ke bahasa tertentu merupakan difusi dan akulturasi budaya. Menurut Schuchardt seperti yang dikutip Haugen (1992:198), pengaruh tersebut terlihat pada kosakata yang dipungut oleh bahasa tertentu. Hal itu merupakan ciri keuniversalan bahasa. Tidak ada satu bahasa pun yang luput dari pengaruh bahasa atau dialek lain. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka, misalnya, memungut tidak kurang dari separuh kosakatanya dari bahasa Latin, Yunani, Skandinavia, dan Perancis (Robins, 1991:438; Gonda, 1973: 26; Moeliono, 1968:441; 1981:162). Bahkan, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa Eropa yang terbuka terhadap pungutan (Jespersen, 1955; Baugh, 1968; Ahmad, 1992). Masalah pemungutan ke dalam suatu bahasa berkaitan dengan tingkat kedwibahasaan masyarakat yang melakukan perriungutan itu (Haugen, 1950;
1973; Broselow, 1991:200--201). Pada awalnya pemungutan terbatas pada penutur dwibahasawan. Setelah meniadi pungutan ("barang jadi"), penutur ekabahasawan memanfaatkannya meniadi kata sehari-hari (Moeliono, 1989: 162; Samsuri, 1980:58). Hal itu ditandai pula oleh penggunaan dua bahasa secara bergantian dan berturut-turut oleh penutur dwibahasawan atau alih kode (Haugen, 1992:198), baik dalam bentuk sebuah kalimat maupun di antara kalimat sehingga menghasilkan butir pungutan baru ke dalam perbendaharaan bahasanya (Clyne, 1987). Kondisi yang demikian berlaku pula di dalam bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat yang multibahasa, alih kode yang menghasilkan pemungutan itu berlangsung dalam kehidupan berbahasa. Hal itu terlihat dengan cukup banyaknya pungutan dari berbagai bahasa, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Salah satu pungutan itu berasal dari bahasa Arab.
Pengaruh Bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu--yang kemudian bernama Bahasa Indonesia--bersamaan dengan masuk agama Islam ke Nusantara. Berkaitan dengan pengaruh bahasa Arab itu, ada baiknya dikemukakan pandangan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara. Ada dua pandangan mengenai masuknya agama Islam ke Nusantara ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-7 (Baried, 1982; Sudarno, 1990; Dasuki et al., 1993; Azmi, 1993; Tiandrasasmita, 1993) dan pandangan lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi (Tiandrasasmita, 1993; Abdulgani, 1993)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daddy Rohanady
"Skripsi ini merupakan penelitian atas Bahasa Indonesia secara deskriptif dengan sumber data lisan dan tulisan. Penelitian ini bertujuan melihat (1) hubungan antarverba. di dalam predikat berverba ganda, dan (2) hubungan antara predikat berverba ganda dengan argumen. Hal ini dilakukan karena penulis melihat banyak pemakai bahasa Indonesia yang menggunakan predikat berverba ganda, sedangkan hal itu kurang mendapat perhatian para ahli tata bahasa. Penulis berharap penelitian ini dapat memberi gambaran tentang bentuk-bentuk predikat berverba ganda dalam bahasa Indonesia secara menyeluruh. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan adanya predikat yang terdiri dari dua verba, tiga verba, dan empat verba. Setiap jenis predikat tersebut memiliki sejumlah kemungkinan variasi gabungan verba yang menyatakan makna sendiri-sendiri. Predikat yang terdiri dari 2 verba hanya memiliki 1 hubungan makna, predikat yang terdiri dari 3 verba memiliki (maksimal) 3 hubungan makna, sedangkan predikat yang terdiri dari 4 verba memiliki (maksimal) 11 hubungan makna.
Hubungan makna yang dinyatakan oleh variasi gabungan verba itu sendiri hanya terdiri dari 4 jenis, yakni hubungan yang menyatakan (1) tujuan atau maksud, (2) sebab-akibat atau akibat-sebab, (3) persamaan waktu atau keserempakan, dan (4) pemerian. Hubungan antara predikat berverba ganda dengan argumen di tentukan oleh ketransitifan verba terakhirnya. Jika verba terakhirnya intransitif, predikat itu minimal ber_hubungan dengan 1 argument. Jika verba terakhirnya monotransitif, minimal predikat itu berhubungan dengan 2 argumen. Jika verba terakhir bitransitif, minimal predikat itu berhubungan dengan 3 argumen. Dan Jika verba terakhirnya ditransitif , predikat itu berhubungan dengan 1 atau 2 argumen, Keempat jenis hubungan itu dapat digambarkan sebagai berikut 1). a ? P = V1 Vintr; (2) a ? P = V1 - Vmonotr - b; (3) a - P = V1 - Vbitr - b dan c ; (4) a - P = V1 - Vditr - b"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suladi
Jakarta : Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2000
499.252 SUL k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ramlan
Yogyakarta: Andi, 1993
499.221 RAM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Balai Pustaka, 1993
499.221 TAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwijatmoko, B.B.
Yogyakarta : Fakultas Sasatra Universitas Sanata Dharma, 2001
499.221 DWI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>