Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158097 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fatmariza
"Kebijakan Kembali ke Nagari di Sumatera Barat merupakan respon lokal terhadap reformasi di Indonesia setelah rezim otoritarian Soeharto (1966-1998). Kebijakan Kembali ke Nagari ini dalam aspek tertentu dapat dipandang sebagai legitimasi dan strukturisasi peran perempuan Minangkabau di ranah publik, terlepas dari dominannya laki-laki sepanjang proses perumusan kebijakan, dan penguatan adat yang membebani perempuan. Legitimasi ini secara struktural telah memperluas wilayah peran perempuan Minangkabau yang dahulunya hanya di wilayah domestik (kaum) menjadi wilayah publik (Nagari). Adat Minangkabau menetapkan bahwa perempuan mempunyai peran sentral di dalam kaumnya dengan kedudukan sebagai Bundo Kanduang. Peran sentral perempuan Minangkabau di dalam kaum tersebut dengan kembali ke nagari secara implicit juga mendapatkan penguatan kembali. Posisi penting Bundo Kanduang dalam struktur masyarakat minangkabau ini idealnya dapat menjadi modal dasar bagi perempuan Minang untuk masuk ke ranah publik. Sehubungan dengan itu Kembali ke Nagari dapat diartikan sebagai terbukanya ruang baru bagi peran dan partisipasi perempuan Minangkabau di Nagari terutama dalam bidang politik dan pemerintahan, di samping bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial dan budaya. Terbukanya ruang sosial baru bagi partisipasi dan reposisi perempuan di ranah nagari (publik) dalam realitasnya tidaklah mudah untuk diisi dan dimanfaatkan oleh perempuan Nagari. Selain karena faktor-faktor internal seperti: kapasitas perempuan, tokoh-tokoh perempuan, kesadaran perempuan. organisasi perempuan, keberhasilan perempuan dalam mengakses posisi-posisi strategis di nagari juga sangat tergantung kepada kultur dan keterbukaan elit laki-laki di nagari baik niniak mamak, alim ulama maupun cadiak pandai (elit adat, elit agama, cendikiawan) yang dalam cukup banyak kasus masih bias gender.

The policy of returning to Nagari (Kembali ke Nagari) in West Sumatera is a responsive local policy to reform in Indonesia in post-Soeharto`s authoritarian regime (1966-1998). This policy of Kembali ke Nagari in a certain aspect can be viewed to justify and to re-structure the role of Minangkabau women in public domain vis-à-vis the dominant roles of Minangkabau men in making decisions/policies and in reinforcing cultural values to village communities. The policy of Kembali ke Nagari has extended the roles of Minangkabau women as Bundo Kanduang (the clan`s chief), to Nagari leader (Wali Nagar/ sub-district leader) and other public roles. In other words, the policy of Kembali ke Nagari is a new opportunity to Minangkabau women to participate in politics, government and economy in the local level. But it is not easy for woman to participate and reposition in public area so that the openness of structure has not been utilized by Nagari organization and success of woman in assessing the strategic position in Nagari, is also depends on the culture and openness of elite man in Nagari such as the leader of tribe, the man of religion and experts who have the gender bias perspectiveness.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1514
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwiek Wijanarti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2639
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunda Sri Sugiri
"Pada tanggal 22 Desember 1995, Presiden Republik Indonesia mencanangkan kemitrasejajaran wanita dan pria sebagai suatu Gerakan Nasional. Dikatakan bahwa: dengan kemitrasejajaran pria dan wanita yang harmonis, kita bangun bangsa Indonesia yang maju dan sejahtera lahir dan batin. Wanita sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang. Namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan ketidak sejajaran antara wanita dan pria. Kemitrasejajaran pria dan wanita masih perlu disosialisasikan, dimulai dari keluarga sebagai pranata sosial terkecil sampai pranata yang terluas, yaitu masyarakat. Penelitian ini menitikberatkan pada relasi jender suami istri di dalam keluarga. Selain itu juga ingin diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi seorang individu (informan) terhadap pandangan dan sikap serta prilakunya tentang kemitrasejajaran wanita dan pria. Untuk melihat apakah posisi suami istri setara dalam relasi perkawinannya, pembagian kerja di dalam rumah tangga dan proses pengambilan keputusan serta posisi tawar (bargaining position) istri dalam proses tersebut, menjadi perhatian dalam penelitian ini. Empat (4) orang informan dipilih dengan kriteria sudah menikah, dalam kelompok usia dewasa muda, dan mahasiswa Universitas Indonesia.
Untuk memahami informan dan dalam menganalisis temuan lapangan, dipakai teori Sistem Ekologi, teori Sistem Keluarga dan teori Belajar Sosial. Dari keempat informan, tampaknya pembagian kerja tidak terlalu kaku dalam pelaksanaannya, dalam artian sebagai suami istri pembagian kerja di dalam keluarga tidak lagi berdasarkan jender, tetapi berdasarkan kesepakatan dan melihat situasi serta kondisi pasangannya masing-masing. Sedang posisi tawar istri oleh keempat informan dirasakan setara, karena mereka diikut sertakan pada proses pengambilan keputusan, di dengar pendapatnya dan memutuskan segala hal di dalam keluarga bersama-sama. Mereka merasa di hargai walaupun tidak mempunyai penghasilan sendiri.
Keluarga orientasi, orang tua, pendidikan, media komunikasi dan pasangan hidup beserta keluarganya merupakan faktor yang mempengaruhi pandangan dan sikap informan terhadap konsep kemitrasejajaran. Konsep kemitrasejajaran pria dan wanita sebagai suami istri yang saling menghargai, saling membantu dengan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya masing-masing, sudah mulai diterima, dipahami dan diwujudkan, tetapi masih berada dalam proses transisi. Artinya masih dengan batasan-batasan tertentu, sesuai dengan tatanan keluarganya masing-masing."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Lusi Anggari
"Perubahan dan paradox sudah menjadi ciri khas bangsa Amerika. Hal ini terjadi di berbagai aspek kehidupan baik dalam level individu, masyarakat, maupun pemerintah. Ketiganya merupakan sebuah kesatuan sistem yang saling terkait, sehingga perubahan di dalam salah satu variabel sistem tersebut akan merembet pada variabel lainnya. Peran dan identitas laki-laki merupakan satu titik dalam aspek sosial kebudayaan Amerika yang masuk dalam arus perubahan tersebut. Hal ini akan membawa pengaruh penting pada masyarakat karena keluarga merupakan lembaga yang berisikan nilai dan norma budaya yang membentuk nilai dan norma budaya kelompok ataupun lapisan sosial masyarakat tertentu secara keseluruhan.
Selama ini berbagai bahasan tentang jender lebih banyak fokus pada perempuan dan umumnya dari perspektif perempuan Dan sungguh merupakan sesuatu yang menarik ketika Mrs. Doubt Fire dan Junior menampilkan hal yang berbeda yakni permasalahan laki-laki dan dari sudut pandang laki-laki.
Tesis ini menunjukkan bahwa di era 1990an terjadi perubahan peran laki-laki dalam keluarga dari breadwinner menjadi caregiver. Perubahan peran ini disokong oleh perubahan identitasnya sebagai sensitive men dan involved father atau sebutan lain yang senada yang pada dasarnya mengangkat dan menekankan pada aspek kepekaan emosi sebagai karakter yang ideal di masa itu menggantikan aspek materiil. Faktor ekonomi dan liberasi perempuan ternyata menjadi penyebab dan pendorong perubahan peran laki-laki ini. Media massa, dalam hal ini film menampilkan stereotip laki-laki baru ini sebagai figur ideal era 1990an, namun perubahan ini terhambat oleh ambivalensi perempuan dan pemerintah yang bisa dilihat sebagai sebuah paradoks demokrasi Amerika.
Rangkaian dari perubahan ini adalah redefinisi "motherhood" yang menekankan pada aspek financial support, dan keluarga yang lebih fokus pada fungsi daripada bentuk.

Changes and paradox always go hand in hand. They are present in all three levels in society i.e. individual, community, and state. The relation of those three aspects then marks the American core values. Changes themselves do not stand-alone and are believed to generate further changes in related areas.
The prevalent phenomenon in the life of the American white, middle class men in 1990s was the degrading trend of the breadwinning role due to both economic as well as social factors. As a result, fathers entering the private sphere increase from time to time. Men's new role in domestic area is well supported by their newly defined identity as new men, sensitive men, involved father and the lie which put a greater emphasis on emotional rather than material aspect as the determining factor of happiness and success in life. Media, especially films, play the role as the "major socializing influence" which is also the case with Mrs. Doubt fire and Junior.
Despite the fact that more and more men have trudge into the domestic area, the problems remain. Ambivalence in the part of women and institution are the major cause. The push and pull over women's striving for equality and preserving their "motherhood" on one side, and the shift in the ruling power from conservatives to liberal represented by the Democratic party on the other one impede men's equality with women in the private sphere. Then, it can be said that ambivalence is a paradox to.
Finally, men's changing role requires a change in women's in the form of redefined motherhood. This time, women's new role will consider putting emphasis on financial support for the dependants. As for family, focus will be directed towards function than forms.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chung, Kumala Sari Dewi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2699
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareth Edith
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Patri Hartanti
"Individu dalam kehidupan bermasyarakat memiliki peran-peran tertentu yang disandangnya. Salah satu yang saat ini sedang marak dibicarakan adalah peran suami istri yang sama-sama bekerja. Pria dan wanita yang telah memasuki masa dewasa dan menikah, diharapkan memenuhi harapan peran masing-masing aebagai pasangan. Sebagaimana dijelaskan dalam peran jenis kelamin, pria maupun wanita juga mempunyai peran-peran yang harus dipenuhi oleh diri sendiri dan berhak meminta pasangannya melakukan kewajiban perannya. Peran jenis kelamin tradisional yang selama ini ditanamkan adalah bahwa pria sebagai suami diharapkan untuk mencari keluarga sementara peran wanita adalah sebagai pengelola rumah tangga dan anak-anak. Bagaimana dengan keberadaan pria dan wanita yang suami istri bekerja? Fenomena pria dan wanita yang suami istri bekerja saat ini banyak terjadi. Banyak alasan mengapa pria dan wanita menikah memutuskan untuk sama-sama bekerja, diantaranya mencari tambahan penghasilan meningkatkan taraf hidup, merasa kesepian dan terasing di rumah dan sebagainya. Keputusan pria dan wanita menikah untuk sama-sama bekerja ini menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif, yang salah satunya adalah berkuranggnya waktu bagi keluarga, terutama bagi pengelolaan rumah tangga dan merawat anak~anak.
Penelitian ini menitikberatkan pada pembagian peran antara pria dan wanita yang suami istri bekerja, khususnya dalam melaksanakan tugas rumah tangga dan tugas perawatan anak. Mengapa hal ini menarik diteliti disebabkan oleh beberapa sumber yang menyatakan bahwa masalah yang seringkali terjadi pada pasangan suami istri bekerja adalah pada pembagian waktu untuk keluarga dan pekerjaan. Adapun masalah umum yang diajukan dalam penelitian adalah; Bagaimana harapan dan kenyataan atas partisipasi diri dan pasangannya dalam pelaksanaan tugas rumh tangga dan tugas perawatan anak pada pria dan wanita yang suami istri bekerja? Adanya ketidakseimbangan partisipasi antara, pria, dan wanita dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut menarik peneliti untuk menjawab masalah ini.
Subyek penelitian ini adalah pria dan wanita yang suami istri bekerja, memiliki anak usia balita dan berpendidikan minimal SLTA. Alat ukur utama yang digunakan adalah kuesioner dan wawancara sebagai alat tambahan untuk memperkaya analisa data dari kuesioner. Kuesioner terdiri dari 34 item (11 item tugas rumah tangga dan sisanya item tugas perawatan anak). Kepada responden ditanyakan bagaimana harapan serta kenyataan pada tiap item tugas, sehingga analisa dilakukan pada masing-masing item tugas pula (survey opini). Harapan dan kenyataan dilihat melalui derajat tanggung jawab antara pria dan wanita yang suami istri bekerja. Caranya, dengan melingkari salah satu angka yang terentang dari angka 5 (bertanggungjawab penuh) sampai angka 1 (tidak ikut bertanggungjawab).
Hasilnya, wanita mengharap dirinya (sebagai istri) sedikit dibantu dalam pelaksanaan tugas perawatan anak, tapi mengharap berbagi tanggung jawab dengan suami daiam melaksanakan tugas rumah tangga. Harapan pria (sebagai suami), istri tetap bertanggung jawab lebih besar dari dirinya pada pelaksanaan tugas perawatan anak. Dengan demikian, ada kesesuaian harapan pria dan wanita dalam hal Ketidaksesuaian kenyataan yang dipersepsi oleh pria atas tanggungjawab istri rata-rata terjadi di mana kenyataan partisipasi istri dipersepsi lebih kecil dari harapannya. Sedangkan pada wanita, ketidaksesuaian harapan dengan kenyataan atas partisipasi dirinya terjadi di mana partisipasi istri dipersepsi lebih besar dari kenyataannya.
Di samping pria dan wanita menyatakan harapan atas partisipasi istri, kedua kelompok responden juga diminta menyatakan harapan dan mempersepsi kenyataan partisipasi suami dalam rumah tangga. Tugas yang paling banyak diharapkan wanita dari suami untuk sama-sama bertanggung jawab lebih cenderung pada tugas praktis perawatan anak, seperti membuatkan susu botol, memakaikan popok dan sebagainya. Pada sendiri sebagai suami mengharap dirinya hanya membantu untuk sebagian besar tugas rumah tangga. Perbedaan harapan antara pria dan wanita adalah pada tugas mengatur keuangan rumah tangga dan membuatkan susu botol balita. Pria mengharap partisipasi dirinya lebih sedikit dibanding partisipasi istri.
Ketidaksesuaian harapan pria atas partisipasi dirinya dengan kenyataan yang dipersepsinya lebih kepada tugas perawatan anak, di mana ketidaksesuaian tersebut terjadi karena kenyataan partisipasi suami yang dipersepsi pria lebih kecil dari harapannya. Sedangkan ketidaksesuaian harapan wanita atas partisipasi suaminya dengan kenyataan yang dipersepsi wanita lebih kepada tugas perawatan anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2708
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesara Rafiantika
"Konformitas merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam film G.I. Jane, konformitas dilakukan oleh pemeran utama perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang dibentuk melalui hegemoni maskulinitas. Konformitas menjadi hal yang perlu dilakukan dalam film G.I. Jane sebagai cara untuk mengubah pandangan tentang stereotipe feminin dan maskulin. Skripsi ini akan membahas tentang hegemoni maskulinitas yang terbentuk dalam film G.I. Jane melalui kekuasaan patriarki sampai pada akhirnya terjadi proses perubahan representasi identitas. Representasi identitas baru tersebut merupakan cara berkonformitas. Hasil analisis mengungkapkan bahwa konformitas dalam film G.I. Jane dilakukan oleh tokoh utama dengan cara mengubah penampilan fisiknya sebagai bentuk ketidaksetujuannya dengan konstruksi patriarki dalam film tersebut yang menolak kesetaraan laki-laki dan perempuan. Selain itu, hasil analisis juga mengungkapkan bahwa konformitas dalam film tersebut merupakan sebuah cara untuk menetang dikitomi antara perempuan dan laki-laki yang cenderung melemahkan perempuan. Konformitas tersebut terjadi melalui interaksi tokoh utama dengan beberapa tokoh pendukung dalam film tersebut. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa konformitas tidak selalu merepresentasikan ketertundukan pada kekuasaan. Pendobrakan konstruksi dan dominasi yang melemahkan perempuan dapat dilakukan melalui konformitas.

Conformity is a way of adaptation in a society. In G.I. Jane, conformity is done by the main female character as a woman resistance of patriarchy domination which is established through hegemony masculinity. Conformity in G.I. Jane needs to be done as a way to change the paradigm in forming feminine and masculine stereotype. This undergradute thesis explains how hegemony masculinity is formed by patriarchy power and triggers a representation of new identity of the main female character. The representation of a new identity is the way to show her conformity. The result of analysis reveals the main female character in G.I. Jane shows her conformity by changing her physical appearance. She does the conformity as her disagreement to patriarchal construction which eliminates the power of women and ignores the equality between women and men. Moreover, the result of analysis shows the conformity is a way to oppose dichotomy between women and men which tend to debilitate women’s power. The conformity is established by the interactions between the main female character and the supporting characters in the movie. By acknowledging he results of analysis, it can help to give a new thought of the ideaa of conformity. Conformity is not only a symbol of submission, but also a representation of power and domination resistance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S43936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nawaningrum
"Sosialisasi tentang jender merupakan sesuatu hal yang penting. Sosialisasi dapat menyebabkan berkelanjutannya nilai-nilai tentang pria dan wanita yang ada dalam masyarakat. Sosialiasi tentang jender dapat dipelajari oleh seorang anak salah satunya lawat buku. Buku pelajaran merupakan buku yang sangat dekat bagi anak-anak usia sakolah (anak usia 5-12 tahun, remaja 13-20 tahun. Selain sebagai bahan ajar, buku pelajaran dapat berfungsi sebagai bahan ajar penyampaian jender.
Secara umlum penelitian ini bertujuan untuk memahamipengetahuan murid tentangjender, secara khusus (1) mengetahui pandangan anak tentangbacaan pada bukupelajaran sekolah yang bersifat jender. (2) mengetahui pandangan anak sendiri tentang peran-peran wanita dan pria di dalam masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah dasar dan Menengah masih belum sensitif jender. Gambar atau teks yang ada cenderung menempatkan perempuan pada sektor domestik dengan alternatif pilihan peran yang terbatas, Perempuan yang aktif di luar rumah cenderung digambarkan sebagai guru . Begitu juga dengan kegiatan boneka, pasaran dan tali digambarkan sebagai permaianan perempuan. Sebaliknya lelaki cenderung digambarkan dengan stereotipi bekerja, berprestasi di luar rumah.
Pendapat murid tentang peran perempuan dan lelaki dalam gambar atau teks di buku Bahasa Indonesia pun menunjukkan kurang sensitif jender. Murid Sekolah Dasar dan Menengah cenderung mendukung gambar atau teks yang menempatkan parempuan pada sektor domestik dengan alternatif pilihan peran yang terbatas.. Pendapat para murid tersebut juga merupakan kecenderungan pandangan mereka tentang pembagian peran perempuan dan lelaki dalam masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Patriani
"Adanya stereotipi yang menggambarkan bahwa manajer yang efektif sesuai dengan stereotipi maskulin merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki posisi kepemimpinan. Hal tersebut menyebabkan perempuan enggan untuk memberanikan dirinya tampil agresif yang sebenarnya merupakan faktor yang berkaitan dengan efektivitas seorang pemimpin. Keengganan ini ditimbulkan oleh adanya keadaan fear of success. Fear of success adalah suatu karakteristik kepribadian stabil yang berkembang pada masa awal kehidupan sebagai hasil dari pembelajaran peran jenis kelamin. Perempuaan akan mempelajari peran jenis kelaminnya sesuai dengan standar yang terdapat dalam masyarakat. Gambaran tersebut akhirnya menyebabkan seorang perempuan akhirnya membatasi diri terhadap hal-hal yang dianggap dunia kaum pria, dan ketika menikah lebih berperan sebagai istri yang cakap mengurus rumah tangga dan melayani suami demi menyesuaikan diri terhadap harapan masyarakat.
Hal ini terjadi pula pada perempuan Batak yang hidup di dalam budaya Batak yang patrilineal dimana suatu kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Perempuan Batak sejak kecil diajarkan untuk sebaiknya aktif di dapur serta tidak punya andil dalam pengambilan keputusan karena tingginya pengakuan akan dominasi pria. Kepemimpinan dalam masyarakat Batak, baik di bidang adat, pemerintahan dan keagamaan di pegang oleh kaum pria. Pengaruh sosialisasi dan pemahaman tersebut, selanjutnya akan sangat berpengaruh bagi perkembangan pribadi perempuan Batak. Mereka cenderung tidak mengembangkan kemampuannya secara optimal demi menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat. Akhirnya perempuan pun akan mengalami kesulitan pada saat ditempatkan pada posisi kepemimpinan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fear of success dengan efektivitas kepemimpinan perempuan berlatar belakang budaya Batak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik non-probability sampling dengan tipe Occidental sampling. Subyek penelitian adalah para pemimpin perempuan dengan batasan seseorang yang memiliki pengaruh terhadap orang lain atau kelompok, membantu seseorang yang memiliki pengaruh terhadap orang lain atau kelompok, membantu bawahan atau pengikutnya menetapkan tujuan bersama dan mencapai tujuan tersebut. Subyek penelitian adalah sebanyak 30 pemimpin, dimana setiap pemimpin akan dinilai oleh 3 orang pengikut atau bawahannya untuk menilai efektivitas kepemimpinannya. Pendidikan terakhir subyek minimal SLTA dan sebagai kontrol budaya dalam penelitian maka kedua orangtua subyek berasal dari suku Batak dan subyek masih menguasai bahasa daerah serta tinggal di kota Medan. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan skala 1-6 untuk alat ukur fear of success dan 1-4 untuk alat ukur efektivitas kepemimpinan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara fear of success dengan efektivitas kepemimpinan perempuan berlatar belakang budaya Batak. Hal yang sama juga terlihat pada dimensidimensi fear of success, kecuali pada dimensi social rejection. Ini berarti, semakin tinggi social rejection atau ketakutan akan penolakan sosial maka semakin tinggi efektivitas kepemimpinan perempuan berlatar belakang budaya Batak. Hal ini dapat teijadi karena penerimaan secara sosial adalah hal yang dianggap penting baginya sehingga munculnya ketakutan akan penolakan sosial selanjutnya dapat berpengaruh pada efektivitas kepemimpinannya. Penelitian ini masih membutuhkan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar dan spesifik, perbaikan pada alat ukur efektivitas kepemimpinan dan kontrol budaya yang lebih tepat."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S3104
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>