Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"ABSTRAK
Masalah-masalah anak di usia sekolah cukup beragam. Salah satu masalah yang berkaitan dengan sekolah di usia ini adalah menolak sekolah (school refusal). Menurut Mash & Wolfe (1999), perilaku menolak sekolah umumnya terjadi pada anak perempuan dan laki-laki dengan usia antara 5-6 tahun dan 10-11 tahun dimana di usia ini anak-anak memasuki sekolah baru. Adapun pengertian dari school refusal mengacu pada kesulitan penyesuaian diri anak terhadap situasi maupun tuntutan di sekolah (Kahn & Nursten dalam Weiner, 1982).
Perilaku menolak sekolah (school refusal) tidak dapat dibiarkan begitu saja mengingat sekolah merupakan faktor penting dalam perkembangan anak. Menurut Fremont (2003), adanya perilaku menolak sekolah secara signifikan memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang pada kehidupan sosial, emosi, dan perkembangan pendidikan pada anak-anak. Dengan demikian, diperlukan penanganan yang cepat dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab dari school refusal.
Penelitian ini penelitian kualitatif mengenai psikodinamika terjadinya school refusal pada anak usia sekolah berdasarkan wawancara dan observasi terhadap anak, orangtua serta guru. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak menolak sekolah (school refusal) dan bagaimana dinamika yang terjadi antara faktor-faktor tersebut. Diharapkan dengan mengetahui penyebabnya, penanganan terhadap masalah school refusal dapat lebih efektif dan efisien.
Peneliti mendatangi beberapa sekolah untuk mendapatkan data mengenai anak yang memiliki kesamaan dengan karakteristik school refusal. Adapun karakteristik anak yang mengalami school refusal antara lain mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian meminta pulang, pergi ke sekolah dengan menangis dan menempel terus pada figur yang dekat dengan anak, dan adanya keluhan-keluhan fisik seperti pusing, sakit perut, mual dan sebagainya (Piliang, 2004). Setelah itu, peneliti melakukan wawancara yang ditunjang dengan observasi terhadap guru, orangtua dan anak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab terjadi school refusal cukup beragam pada masing-masing anak dimana faktor keluarga terutama pola asuh, lingkungan sekolah dan kepribadian anak itu sendiri saling mempengaruhi. Berdasarkan hasil analisis dari kedua subjek, persamaan dari kedua subyek yang diteliti adalah faktor memasuki sekolah baru yang menuntut anak untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan lingkungan baru. Memasuki sekolah baru bagi sebagian anak membutuhkan penyesuaian yang lebih lama mengingat di sekolah baru terdapat guru dan teman-teman yang berbeda, kurikulum serta metode yang berbeda juga tuntutan yang berbeda."
[Depok;;, ]: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Ardita
"ABSTRAK
school refusal merupakan masalah yang serius, dampak jangka pendek meliputi nilai yang buruk, jangka panjang meliputi kesulitan pekerjaan dan ekonomi, serta kemungkinan risiko mengalami gangguan kejiwaan. Sita anak perempuan usia 10 tahun mengalami school refusal didasari oleh kecemasan sehubungan situasi kelas dan pertemanan.teknik pada cognitive behavior therapy (CBT) fokus pada mengubah disfungsi kognitif menjadi pemikiran yang lebih positif dan rasional.

ABSTRACT
school refusal is a serious problem, short-term impacts include poor value, long-term work and economic difficulties, and the possibility of a risk of psychiatric disorders. Sita's 10-year-old daughter experiences school refusal based on anxiety related to class and friendship situations. Techniques in cognitive behavior therapy (CBT) focus on transforming cognitive dysfunction into more positive and rational thinking."
2010
T38571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frilya Rachma Putri
"Latar belakang: Pada saat ini belum terdapat instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi alasan penolakan sekolah oleh anak Sekolah Dasar di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas School Refusal Assesment Scale - Revised (SRAS-R) dalam bahasa Indonesia.
Metode: 100 anak-anak dan 100 orang tua dari SDN Sumur Batu 04 Pagi Kemayoran Jakarta Pusat berpartisipasi dalam penelitian ini. Uji validitas dilakukan untuk menilai konten dan membangun validitas. Uji reliabilitas juga dilakukan dalam penelitian ini. SPSS Windows diterapkan untuk menganalisis seluruh data.
Hasil: Versi SRAS-R Indonesia kuesioner anak (Cronbach s α = 0,836) dan kuesioner orang tua (Cronbach s α = 0,827). Kesahihan isi (content validity) untuk item dan skala juga menunjukkan validitas yang kuat. Analisis komponen utama (PCA) menunjukkan kesesuaian data yang dengan nilai kolerasi yang kecil dari model keempat faktor pada SRAS-R asli. Kesahihan konstruksi (construct validity) menghasilkan 4 komponen yang mewakili kuesioner orangtua dan 3 komponen dalam kuesioner anak.
Kesimpulan: Kesahihan isi (content validity) dan kesahihan konstruksi (construct validity) versi SRAS-R Indonesia telah dikonfirmasi melalui penelitian ini. Meskipun diperlukan penelitian lebih lanjut, versi SRAS-R Indonesia merupakan instrumen potensial yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi alasan penolakan sekolah pada anak di Indonesia.

Background: Recently there is no instrument to identify the reason for school refusal among primary school students in Indonesia. Therefore, this study aimed to obtain the validity and reliability of School Refusal Assesment Scale-Revised (SRAS-R) in Indonesian language.
Methods: 100 children and 100 parents from Sumur Batu 04 Pagi public elementary school Kemayoran Jakarta participated in the study. Validity tests were conducted to assess the content and construct validity. Reliability test was also conducted in this study. SPSS for Windows was applied to analyze the whole data.
Results: SRAS-R Indonesian version showed an excellent internal consistency for the reliability test in children questionnaire (Cronbach s α = 0.836) and parent questionnaire (Cronbachn s α = 0.827). Content validity for items and scales also indicated a strong validity. Principal component analysis (PCA) indicated poor data suitability from the four-factor models of the original SRAS-R. Construct validity obtained 4 components that represent the parent s questionnaire and 3 components in the children s questionnaire.
Conclusion: Content and construct validity of the SRAS-R Indonesian version is confirmed from this study. Although further research is required, the SRAS-R Indonesian version was found to be a potential instrument in identifying the reason of school refusal in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrus
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, {s.a.}
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jeshika Febi Kusumawati
"Pada anak usia sekolah, pertumbuhan linier ditentukan berdasarkan kriteria kurva pertumbuhan WHO/2007 dan CDC/2000 serta persentase tinggi badan menurut Waterlow/1977. Perbedaan kriteria yang digunakan akan menimbulkan perbedaan prevalens perawakan pendek. Penentuan kejar tumbuh anak juga masih mengalami perdebatan karena parameter kejar tumbuh dapat dinilai secara relatif (height-age z-score) dan absolut (height-age-differences). Kejar tumbuh linier yang terutama terjadi dalam 1000 hari pertama kehidupan dinilai dapat terus terjadi hingga usia sekolah. Studi potong lintang dilakukan pada 302 anak usia sekolah di Jakarta Barat. Semua anak diukur tinggi badan sewaktu penelitian dan saat subyek berusia 7 tahun. Perawakan pendek ditentukan dengan menggunakan kriteria WHO/2007, CDC/2000, dan persentase Waterlow/1977. Setiap kelompok usia diukur perbedaan nilai height-age z-score (HAZ) dan height-age-differences (HAD) dalam dua waktu pengukuran yang berbeda untuk melihat kejar tumbuh. Prevalens perawakan pendek pada anak usia sekolah berdasarkan kriteria WHO/2007 adalah 8,55%, berdasarkan CDC/2000 sebesar 13,75%, dan berdasarkan Waterlow/1977 sebesar 7,80%. Nilai Kappa WHO/2007 dan CDC/2000 adalah 0,5, WHO/2007 dan Waterlow/1977 adalah 0,8, sedangkan CDC/2000 dan Waterlow/1977 adalah 0,7. Nilai HAZ anak perempuan adalah -1,78 SD dan anak lelaki -1,44 SD. Nilai HAD anak perempuan adalah -10,83 cm untuk anak lelaki adalah -8,83 cm. Kesesuaian perawakan pendek anak WHO/2007 dan CDC/2000 memberikan hasil yang sama sebanyak 50%, WHO/2007 dan Waterlow/1977 memberikan hasil yang sama sebanyak 80%, sedangkan CDC/2000 dan Waterlow/1977 memberikan hasil yang sama sebanyak 70%. Kesan terdapat kejar tumbuh pada anak usia sekolah di Jakarta Barat berdasarkan adanya perbaikan nilai HAZ dan HAD pada pengukuran kedua dibandingkan dengan pengukuran pertama.

Linear growth in school children is determined by using WHO/2007 and CDC/2000 growth chart, also height-age persentage as Waterlow/1977 criteria. Those classification resulted in different prevalence of short stature. Linear catch-up growth is considered to continue beyond the first thousand days of life, at least until school age. It could be relatively (height-age z score) or absolutely (height-age difference) assessed. A cross-sectional study was conducted in 302 school age children in West Jakarta. Body height was measured at 7 years old and at the time of study. Short stature was defined by using WHO/2007, CDC/2000, and height-age persentage as Waterlow/1977 criteria. Height-age z score (HAZ) and height age differences (HAD) was measured in each group to assess catch-up growth. The prevalence of short stature in school children was 8.55%, 13.75%, and 7.80%, according to WHO/2007, CDC/2000, and height-age persentage as Waterlow/1977 criteria, respectively. Kappa values were 0.5, 0.8, and 0.7, between WHO/2007-CDC/2000, WHO/2007-Waterlow/1977, and CDC/2000-Waterlow/1977, respectively. HAZ was -1.78 and -1.44 SD in female and male subjects, respectively. HAD was -10.83 and -8.83 cm in female and male subjects, respectively. WHO/2007 and Waterlow/1977 has the highest agreement, while WHO/2007 and CDC/2007 has the lowest agreement. Linear catch-up growth was observed among our subjects as determined by HAZ and HAD improvement compared to the first measurement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Elistyowati Pramandani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepuasan hidup remaja yang bersekolah di sekolah formal dan remaja jalanan yang bersekolah di sekolah non formal. Life satisfaction merupakan konstruk yang penting dalam penelitian positive psychology karena hubungannya sangat dekat dengan kebahagiaan sepanjang penelitiannya termasuk dalam lingkup positive personal, tingkah laku, psikologis dan social outcomes (Zumbo, 2011). Suldo dan Huebner (2005) mengkonseptualisasikan life satisfaction sebagai sebuah pemikiran atau kognisi, penilaian global individu yang dilakukan ketika mempertimbangkan kepuasan mereka terhadap kehidupannya secara keseluruhan atau dalam domai-domain tertentu seperti keluarga, lingkungan, teman dan diri sendiri. Peningkatan pemahaman life satisfaction pada remaja sangat penting karena dapat digunakan untuk mengembangkan karakteristik individu seperti social adjustment, kesehatan mental dan prestasi sekolah, selain itu life satisfaction juga berkaitan erat dengan lingkup akademis, sosial, dan kesehatan fisik (Hudkins & Shafer, 2011). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe penelitian deskriptif komparatif. Pengukuran kepuasan hidup dilakukan dengan menggunakan Multidimensional Student Life Satisfaction Scale (MSLSS) yang dikembangkan oleh Huebner di tahun 2001 dengan mengukur 5 dimensi, yaitu dimensi keluarga, dimensi teman, dimensi sekolah, dimensi lingkungan dan dimensi diri sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan hidup antara kedua kelompok remaja ini pada dimensi-dimensi tertentu. Remaja di sekolah formal memiliki kepuasan hidup pada dimensi keluarga, lingkungan dan diri sendiri yang lebih tinggi dibandingkan remaja jalanan di sekolah non formal. Sedangkan pada dimensi teman dan sekolah kedua kelompok ini tidak memiliki perbedaan. Hasil penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan memperbanyak jumlah partisipan penelitian agar perbedaan pria dan wanita dapat diteliti. Selain itu, menggunakan teknik wawancara mendalam termasuk mewawancarai orang tua akan bermanfaat untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana remaja, baik yang bersekolah di sekolah formal maupun remaja jalanan di sekolah non formal memaknai hidup mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57653
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuana Lestari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kualitas attachment anak pada ibu dan kompetensi sosial anak pra-sekolah. Pengukuran kualitas attachment menggunakan modifikasi dari alat ukur Parent/Child Reunion Inventory (P/CRI) yang dibuat oleh Marcus (2001) dengan menggunakan insecurity scale dan pengukuran kompetensi sosial menggunakan modifikasi dari alat ukur Social Skill Rating System (SSRS) yang dibuat oleh Gresham & Elliot (1990) yang diukur melalui keterampilan sosial dan perilaku bermasalah. Partisipan berjumlah 100 orang ibu yang memiliki anak berusia 3 - 5 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kualitas attachment dengan keterampilan sosial anak (pearson correlation = -0.446, p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01), dan juga menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kualitas attachment dengan perilaku bermasalah (pearson correlation = 0.374, p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Karena menggunakan insecurity scale untuk mempermudah skoring, maka hasil yang didapat menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas insecure attachment anak pada ibu, maka akan semakin rendah keterampilan sosial yang dimiliki anak. sebaliknya semakin tinggi kualitas insecure attachment anak pada ibu, maka anak akan semakin sering menampilkan perilaku bermasalah.

This research was conducted to find the correlation between children to mother attachment quality and the children social competence in pre-school. The attachment quality was measured by modification of P/CRI tool (created by Marcus, 2001) using insecure scale method. The measurement of the social competence was measured by modification of SSRS tool (created by Gresham & Elliot, 1990) that measured through social skills and problem behavior. The participants of this research are 100 mothers whose having a child between 3 to 5 years old. The main results of this research show that the attachment quality negatively correlated significantly with and the children’s social competence (pearson correlation = -0.446, p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). The attachment quality also positively correlated significantly with the problem behavior (pearson correlation = 0.374, p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). Because of this study using insecurty scale to easier the skoring, this result show that the higher is children’s insecurity attachment to mother, the lower is the children’s social competence. In reverse, the higher is the children’s insecurity attachment to mother, children will more often showed problem behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paula Beatrix Rusly
"ABSTRAK
Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan manusia Iain untuk mengembangkan
dirinya secara optimal. Interaksi ini dimulai sejak ia berada dalam kandungan, dan terus
berlanjut sepanjang hidupnya.
Pada mula interaksi ini hanya antara individu dan kedua orang tuanya, tetapi lama
kelamaan semakin meIuas. Pada mass usia sekolah interaksinya tidak hanya dengan -orang
tua saja, melainkan juga dengan guru dan teman sebayanya. Pada masa ini hubungan
dengan teman sebaya memegang peranan yang penting dalam perkernbangan anak,
terutama dalam perkembangan sosialnya.
Bentuk hubungan dengan teman sebaya ini ada dua bentuk, yaitu persahabatan dan
penerimaan oleh teman sebaya. Kedua hal ini memiliki peranan yang berbeda dalam
perkembangan sosial anak. Melalui persahabatan seorang anak dapat mengembangkan rasa
percaya dan kesensitifan pada orang Iain, anak juga dapat belajar mengenai hubungan
timbal balik. Melalui penerimaan oleh teman sebaya anak dapat belajar mengenai kerja
sama., belajar mengkoordinir aktivitasnya, dan.belajar mematuhi aturan dan norma-norma
dalam suatu kelompok; [Parker dan Asher, 1993 dalam Sroufe et. al. 1996).
Adanya kesenjangan pengetahuan mengenai bagaimana hubungan antara kedua
konsep ini dalam perkembangan sosial anak mendorong penulis untuk melakukan
penelitian mengenai hal ini.
Penelitian ini dilakukan di suatu sekolah dasar di Jakarta pada anak usia 10-
11 tahun. Penelitian ini mecoba mencari ada tidaknya perbedaan kualitas persahabatan
antara anak yang memiliki tingkat penerimaan tinggi dan anak yang memiliki tingkat
penerimaan rendah. Hal ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan menggunakan alat
ukur sebagai berikut, Sosiometri Roster-dan Rating, Sosiometri Nominasi, dan Kuesioner
Kualitas Persahabatan.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode non probability
sampling dengan teknik cluster sampling untuk pengambilan sampel siswa usia sekolah.
Sampel yang diambil dipisahkan ke dalam dua kelompok yaitu, (1) Kelompok Tingkat
Penerimaan Tinggi (TPT), 30 orang, dan (2) Kelompok Tingkat Penerimaan Rendah
(TPR) 30 orang.
Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya .perbedaan kualitas persahabatan yang
signifikan antara kedua kelompok tersebut. Dari hasil analisa keenam aspek kualitas
persahabatan juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok tersebut, kecuali pada aspek yang terakhir yaitu aspek konflik dan
pengkhianatan.
Pada analisa lebih lanjut, yaitu dengan memisahkan kelompok TPR dan TPT
berdasarkan jenis kelaminnya, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara
kelompok TPT dan TPR pada anak perempuan. Perbedaan ini muncul pada aspek
pertolongan dan bimbingan, dan aspek konflik dan pengkhianatan.
Hasil yang demikian diduga disebabkan oleh peranan faktor budaya, faktor jenis
kelamin, adanya social desirability. Diduga faktor-faktor ini bekerja secara simultan
sehingga menimbulkan hasilkan hasil yang demikian.
Saran peneliti, untuk masa yang akan datang dapat dilakukan penelitian mengenai
kualitas persahabatan pada laki-laki dan perempuan, mengenai hubungan kelekatan dengan
persahabatan dan penerimaan oleh teman sebaya. Juga dapat dilakukan penelitian
mengenai persahabatan dalam budaya Indonesia, untuk itu diperlukan pengembangan alat
ukur kualitas persahabatan yang lebih lanjut lagi dalam budaya Indonesia."
1997
S2545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Prantini Natalia
"Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan kadangkala menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan menyesuaikan dirinya dengan standar tingkah laku tertentu. Standar tingkah laku tersebut dipandang sesuai dengan tuntutan guru/sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya anak tidak dapat memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka. Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi pemicu timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar anak, antara lain menghindari atau menolak pergi ke sekolah _ Perilaku tersebut digolongkan sebagai School Phobia atau School Refusal (Bakwin & 'Bal-rwin, 1972; Weiner, 1982; Wenar, 1994). Anak yang mengalami School Rehearsal menunjukkan penolakan untuk hadir di sekolah dengan cara mengungkapkan berbagai keluhan fisik dalam upaya menyakinkan orang tua agar dirinya diijinkan tetap tinggal di rumah. Misalnya : sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan, diare, muntah, dan sebagainya.
Disamping itu mereka sering pula mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka menolak ke sekoLah Misalnya : guru yang galak, tugas-tugas terlalu sukar atau terlalu mudah, teman-teman yang tidak menyenangkan, dan lain-lain. (Bakwin & Bakwin, 1972; Weiner, 1982; Wenar, 1994). Pada umumnya School Rejiasal disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu (1) pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah (separation anxiety) pada anak, dan (2) adanya peristiwa-peristiwa pencetus yang dapat menimbulkan kecemasan anak untuk berada di sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua (Weiner, 1982). Forer Sentence Conquering Test (F SCT) merupakan salah sama alat diagnostik dengan menggunakan teknik proyeksi. Tes ini dapat memberikan int`ormasi-informasi yang kaya bagi keperluan diagnostik (Rabin &. Haworth, 1960). Alat ini telah diadaptasi oleh Prof Dr. Singgih D. Gunarsa, yaitu berupa 60 (enam puluh) kalimat yang belum selesai yang harus dilengkapi oleh subjek dimana ia memiliki kebebasan penuh untuk memberikan jawaban-jawabannya. Kalimat-kalimat yang harus diselesaikan oleh subjek mencerminkan berbagai wilayah (area) kehidupan anak, meliputi : (1) sikap terhadap dan karakteristik dari figur interpersonal (ayah, ibu, laki-laki, perempuan, dan Egur otoritas), (2) harapan atau keinginan anak, (3) penyebab dari perasaan atau tindakan anak, dan (4) reaksi anak terhadap kondisi-kondisi eksternal
Penulis berasumsi bahwa SSCT merupakan salah satu alat asesmen yang penting untuk digunakan dalam' pemeriksaan psikologis terhadap kasus-kasus menolak ke sekolah (School Rejis Sab). Asumsi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa SSCT dapat menggali informasi -informasi yang penting dan relevan bagi permasalahan yang dihadapi subjek, mengingat alat ini berfungsi untuk menggali informasi-informasi yang terkait dengan berbagai wilayah kehidupan anak dalam situasi sehari-hari di lingkungan rumah maupun sekolah Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang masih tersedia di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tahun 2000-2002. Sampel penelitian adalah data SSCT dari 20 anak usia sekolah (6 - 12 tahun) yang mengalami menolak ke sekolah (School Rejal) Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Profil jawaban SSCT dianalisa dengan mengacu pada kategori pengelompokkan empat wilayah kehidupan anak, dikaitkan dengan faktor-faktor penyebab perilaku menolak ke sekolah. Profil tersebut digambarkan dengan melihat persentase terbanyak dan jawaban subjek pada nomor-nomor (item) yang dimaksud.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Profil SSCT pada anak-anak yang menolak ke sel-colah (school refusal) mencerminkan adanya masalah-masalah yang terkait dengan hfnnrrarz-Irman yang harus dipenuhi anak sehubungan dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik Jawaban-jawaban subjek penelitian ini mencérminkan adanya kecemasan dan kerak zafran anak pada hal-hal yang sifatnya lebih nyata dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan di sekolah dan keadaan-keadaan di sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka. Kenyataan ini menunjukkan adanya kondisi-kondisi tertentu yang mempengaruhi emosi anak usia sekolah sehubungan dengan masalah penyesuaian diri mereka terhadap tuntutan-tuntutan di sekolah (Hurlock, 1980). Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi peristiwa-peristiwa pencetus (precipitating events) yang membuat mereka menghindar atau menolak pergi ke sekolah. Dari jawaban-jawaban subyek tidak dapat disimpulkan adanya kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua yang dapat menimbulkan kecemasan berpisah (separation anxiety) pada anak. Hal ini tidak dapat terungkap melalui pernyataan-pernyataan di dalam FSCT yang sifatnya umum, sehingga tidak dapat menggali secara mendalam kedekatan hubungan antara anak dengan orang tua."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeria Allen Friskila
"ABSTRAK
Perilaku sehat pada anak usia sekolah harus diperkenalkan sejak dini agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang sehat. Keluarga memiliki peran dan fungsi penting tempat anak usia sekolah bertumbuh dan berkembang membentuk perilaku. Tujuan penelitian ini untuk menguraikan secara mendalam makna peran dan fungsi keluarga dalam meningkatkan perilaku sehat pada anak usia sekolah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi fenomenologi deskriftif. Hasil penelitian didapatkan tujuh tema, yaitu pengetahuan keluarga tentang perilaku sehat, ragam perilaku sehat pada anak usia sekolah, upaya pembiasaan perilaku sehat, ragam sumber informasi dalam mengoptimalkan perilaku sehat, keterbatasan dalam menerapkan perilaku sehat, harapan keluarga, dan pembiasaan perilaku sehat. Hasil penelitian ini memberikan implikasi bagi keperawatan yaitu untuk pengembangan ilmu keperawatan keluarga khususnya perilaku keluarga yang menjadi contoh anak berperilaku sehat.

ABSTRACT
Healthy behaviors in school age children should be introduced early in order to become the next generation a healthy nation. The family has an important role and function of a school age children grow and develop shaping behavior. The purpose of this study to describe in depth the meaning of the role and function of the family in promoting healthy behaviors in school age children. The method used is descriptive phenomenological study. The result showed seven themes, namely family knowledge about healthy behaviors, types of health behavior in school age children, efforts habituation healthy behaviors, types of resources in optimizing healthy behaviors, limitations in implementing healthy behavior, family expectations, and habituation healthy behaviors. The results of this study have implications for nursing is to the development of nursing science communities, especially the behavior of the family is an example of a healthy child behaves."
2017
T47301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>