Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88629 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sali Rahadi Asih
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada tiga tahun perkembangan pertama anak. Gangguan ini memiliki karakteristik anak tidak dapat mengembangkan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi secara verbal. Anak penyandang autisma memperlihatkan pola tingkah laku tertentu yang dipertahankan dan diulang-ulang. Kehadiran anak penyandang autisma membawa kesedihan bagi suami istri sebagai orang tua. Hasil diagnosa anak memunculkan masalah-masalah baru. Baik yang berhubungan langsung dengan anak maupun yang tidak berhubungan langsung. Masalahmasalah ini bila tidak teselesaikan dapat menimbulkan konflik yang akhirnya merenggangkan hubungan perkawinan suami istri. Sedangkan bila masalah terselesaikan dengan baik dapat mempererat hubungan perkawinan mereka.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran kualitas hubungan perkawinan suami istri yang memiliki anak penyandang autisma. Kualitas hubungan perkawinan, menurut Benokraitis (1996) ditentukan berdasarkan 3 hal, yaitu sikap positif yang ditunjukkan oleh suami atau istri saat mengatasi masalah, komitmen suami atau istri dalam mengatasi masalah, komitmen perkawinan dan dukungan emosi yang diberikan oleh suami atau istri dalam mengatasi masalah. Juga ditanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri berkaitan dengan diagnosa anak sebagai penyandang autisma.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa masalah utama adalah keterbatasan anak mengungkapkan keinginan secara verbal dan mempertahankan konsentrasi. Diikuti dengan masalah tingkah laku stereotipi anak berupa mengetuk-ngetuk benda, berguling-guling di lantai dan memainkan alat kelamin. Masalah pendidikan mencakup kesulitan mendapatkan alat terapi, ketidakjelasan masa depan pendidikan anak dan kurangnya alternatif metode terapi yang ada di Indonesia. Juga kesulitan keuangan dan kesulitan menjelaskan gangguan anak kepada keluarga besar. Pada sikap positif, dua pasangan saling memperlihatkan sikap positif terhadap usaha-usaha mengatasi masalah. Sedangkan satu pasangan menunjukkan inkonsistensi sikap positif terhadap usaha-usaha yang dilakukan.
Seluruh pasangan memperlihatkan komitmen yang tinggi dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul. Pada komitmen perkawinan, dua pasangan berpendapat bahwa kehadiran anak penyandang autisma meningkatkan komitmen perkawinan mereka dan satu pasangan berpendapat kehadiran anak penyandang autisma menurunkan komitmen perkawinan mereka. Satu pasangan saling memberi dukungan emosi saat berusaha mengatasi masalah. Sedangkan pada dua pasangan ditemukan inkonsistensi pemberian dukungan emosi yang berbeda intensitasnya.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan memasukkan lebih banyak faktorfaktor yang mempengaruhi hubungan perkawinan agar mendapat gambaran lebih utuh. Perlu diteliti lebih lanjut persepsi keluarga besar terhadap kehadiran anak penyandang autisma. Juga perlu diteliti penyesuaian saudara kandung terhadap kehadiran anak penyandang autisma dalam keluarga."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S3122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardhiah
"Jumlah anak penyandang autisme di Indonesia diperkirakan mencapai angka 623.700 jiwa dan akan terus meningkat sebanyak 500 jiwa per-tahunnya. Anak dengan autisme tidak mampu untuk mengutarakan kebutuhannya sehingga orang tua meluangkan seluruh waktunya dan mengharuskan diri merawat anaknya secara intensif dibandingkan dengan orang tua lain pada umumnya. Di sisi lain orang tua yang berada dalam tahapan usia dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi bersosialisasi pada dewasa awal yang memiliki anak dengan autisme. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan menggunakan teknik accidentally sampling dengan sampel sebanyak 98 dewasa awal yang memiliki anak autisme. Hasil penelitian yang dianalisis dengan menggunakan analisis univariat menunjukkan bahwa 46,9% responden memiliki motivasi bersosialisasi sedang, 32,7% memiliki motivasi bersosialisasi rendah, dan 20,4% sisanya memiliki motivasi bersosialisasi yang tinggi . Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi orang tua dan tenaga kesehatan di Depok untuk memperhatikan kebutuhan sosialisasi yang penting untuk dipenuhi pada tahapan dewasa awal.

Autism prevalention in Indonesia count under 623.700 cases and estimated will be increase 500 cases in every year. Children with autism syndrome have a difficulties to tell their needs to parents. It makes parents take care of their children different from other parents. Whereas, parents which in young-adults phase have a development task that is looking for the comfortable social environment. This study aim to identified socialization motivation in young-adult which have an children with autism at Depok. The design of this study is descriptive which use 98 sample. The result shows that 46,9% respondens have a middle socialization motivation, 32,7% have a low socialization motivation, and the other 20,4% have a high socialization motivation. This study hopefully can give effect to medical team to pay attention about socialization which important for young-adults."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56884
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sofiah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Anggreyani
"ABSTRAK
Merawat anak berkebutuhan khusus lebih kompleks dari pada anak normal, sehingga orang tua lebih rentan terhadap stres dan membutuhkan dukungan sosial dari keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan stres pola asuh pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik cross-sectional yang melibatkan 85 orang tua siswa di Sekolah Luar Biasa Kota Depok melalui metode purposive sampling dengan pendekatan convenience sampling. Pengukuran dukungan sosial keluarga menggunakan kuesioner Dukungan Sosial Keluarga yang dimodifikasi, sedangkan untuk variabel stres parenting menggunakan kuesioner standar Parental Stress Scale (PSS). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan stres pengasuhan, yaitu jika semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin rendah stres pengasuhan yang dialami oleh orang tua (r = -0,419; p <0,0001; CI 95% ). Penelitian ini merekomendasikan pemberian edukasi dan konseling kepada orang tua mengenai tumbuh kembang anak, serta masalah yang mungkin timbul selama menjadi parenting dan strategi efektif bagi orang tua untuk mengatasi stres.
ABSTRACT
Caring for children with special needs is more complex than normal children, so that parents are more vulnerable to stress and need social support from family. This study aims to determine the relationship between family social support and parenting stress in parents of children with special needs. This study used a cross-sectional analytic descriptive study design involving 85 parents of students at the Depok City Special School through a purposive sampling method with a convenience sampling approach. Measurement of family social support used a modified Family Social Support questionnaire, while for parenting stress variables used the standard Parental Stress Scale (PSS) questionnaire. The results of the analysis showed that there was a significant relationship between family social support and parenting stress, namely if the higher the family social support, the lower the parenting stress experienced by parents (r = -0.419; p <0.0001; 95% CI). This study recommends providing education and counseling to parents regarding children's growth and development, as well as problems that may arise during parenting and effective strategies for parents to deal with stress."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara R.P. Ajisuksmo
"ABSTRAK
Untuk mengakui dan memenuhi hak-hak anak, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990 dan mensahkan UU No 23 tentang Perlindungan Anak tahun 2002. Pasal 28 dari KHA menyatakan bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan, mewujudkan hak tersebut secara bertahap berdasarkan pada kesempatan yang sama. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa pendidikan dasar adalah wajib dan harus diberikan secara cuma-cuma, dan negara harus menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan lanjutan. Dalam kenyataan, masih banyak anak yang tidak dapat mengikuti pendidikan karena kemiskinan orang tua mereka yang memaksa mereka untuk bekerja guna menopang ekonomi keluarga. Padahal dengan bekerja, anak tidak mempunyai cukup waktu untuk belajar dan mengembangkan seluruh kemampuan dan keterampilan mereka. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran deskriptif mengenai tingkat dan status pendidikan, serta bentuk
pendidikan alternatif yang diikuti oleh anak-anak yang dikategorikan sebagai anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Selain itu, survei ini juga mencoba untuk mengidentifikasikan pihak-pihak mana saja yang ada di sekitar anak yang membantu membayar SPP mereka. Survei ini melibatkan 165 anak yang berusia di bawah 18 tahun yang
merupakan dampingan dari 7 (tujuh) LSM di Jakarta,
Bogor, dan Surabaya yang menjadi mitra kerja PLAN International.

Abstract
In order to recognize and to fulfill the childrens rights, as well as to protect them, the Indonesian Government ratified the Convention on the Rights of the Children (CRC) in 1990 and approved Law No. 23 on Child Protection in 2002. Article 28 of CRC states that the states parties recognize that the right of the children to have education, and to achieve this right progressively on the basis of equal opportunity. This statement implies that states parties shall make primary education compulsory, available and free to all. The states parties shall also encourage the development of different forms of secondary education. In fact, many children could not participate in and therefore should drop out from their basic education because their very poor parents. In
stead, they have to work to support their familys life. This survey was intended to give a descriptive overview of the educational status and level, as well as to offer forms of alternative
education for children who are categorized as in needs of special protection (CNSP). In addition, this survey was intended to identify individuals or institutions that the poor children school tuition. This survey in volved 165 children below 18 years of age who were assisted in by 7 (seven) NGOs in Jakarta, Bogor, and Surabaya which have a partnership with PLAN International. "
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia], 2009
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Megawaty Affriany
"Perkawinan kembali merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan
setelah seorang wanita bercerai. Hasil survey di Amerika Serikat yang dilakukan kepada wanita bercerai menyebutkan bahwa 90% mempertimbangkan akan melakukan perkawinan kembali jika menemukan pasangan yang tepat (Thabes,dalam Papalia dkk 2001). Setelah perceraian, anak-anak umumnya tinggal bersama ibunya. Karenanya wanita seringkali membawa anaknya pada perkawinan berikutnya. Perkawinan kembali pascacerai yang melibatkan anak dan perkawinan sebelumnya cenderung memiliki masalah. Masalah akan semakin bertambah ketika wanita bercerai melakukan perkawinan kembali dengan pria lajang, Penyesuaian dalam perkawinan cenderung semakin sulit bila orang tua tirinya belum pernah menjadi orang tua sebelumnya (Hurlock, 1986). Untuk mewujudkan perkawinan kembali yang berhasil dan bahagia pasangan perlu melakukanpenyesuaian perkawinan pada berbagai area dalam perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
jumlah responden 2 pasangan suami istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang biasa dihadapi pada perkawinan kembali pascacerai adalah masalah persetujuan keluarga, masalah hubungan ayah tiri dan anak tiri yang berusia remaja, masaiah hubungan dengan mantan suami, masalah antara suami dan istri akibat hubungan ayah tiri dan anak tiri yang kurang baik, masalah keuangan keluarga, kesulitan ijin dari suami jika mantan suami ingin berternu, dan masalah penggantian nama mantan suami dalam akte kelahjran anak. Strategi penyesuaian yang dilakukan setiap pasangan berbeda pada setiap masalah. Strategi yang paling dominan adalah aktif kompromi di mana penyelesaian masalah hanya memuaskan satu pihak. Gambaran penyesuaian perkawinan yang cukup berhasil tampak pada sedikit masalah pada area penyesuaian perkawinan. Gambaran penyesuaian yang kurang berhasil ditandai dengan masalah pada berbagai area penyesuaian yang belum terselesaikan. "
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>