Ditemukan 67852 dokumen yang sesuai dengan query
Angela
"Film Raise the Red Lantern merupakan film yang mengisahkan Songlian, seorang gadis berusia 19 tahun yang terpaksa putus sekolah dan menikah karena usaha keluarganya bangkrut. Setelah menikah dengan kepala keluarga Chen dan menjadi istri keempat, kehidupan Songlian dalam keluarga barunya dipenuhi intrik-intrik keluarga yang tidak berujung. Film ini diakhiri dengan narasi meninggalnya istri ketiga yang menyebabkan Songlian menjadi gila dan masuknya istri kelima ke dalam kediaman keluarga Chen. Makalah ini membahas kehidupan wanita tradisional Cina secara umum yang dikisahkan dalam film ini.
Raise the Red Lantern is a film that tells the story of Songlian, a 19 years old woman who is forced to drop out of school and married off because her family business has gone bankrupt. After married to master Chen and becomes the fourth concubine, Songlian’s life in her new family is full of the unending family intrigues. The film is ended by the death of the third concubine, which drive Songlian to insanity and the entrance of the fifth concubine to Chen’s family house. This paper discusses traditional Chinese women’s lives in general, as it is potrayed in the film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Tyas Ayu Widiarini
"[
ABSTRAKJurnal ini membahas tentang simbol dari lentera merah dalam film Raise The Red Lantern (Dà Hóng Dēnglóng Gāogāo Guà (大红灯笼高高挂), 1991). Penelitian ini menggunakan pendekatan makro sastra atau ekstrinsik yaitu, menganalisis unsur-unsur di luar karya sastra yakni pengkajian konteks karya sastra di luar teks. Tujuan penulisan adalah menganalisis makna semiotika dari lentera merah. Karakteristik yang paling menonjol dalam film ini adalah lentera merah yang hampir menjadi penentu jalan cerita film ini karena melambangkan kekuasaan dari sang tuan rumah.
ABSTRACTThis journal discusses the symbol of the red lantern in the movie Raise the Red Lantern (Dà Hóng Dēnglóng Gāogāo Guà, 1991). This study uses a macro approach to literary or extrinsic i.e., analyzing the elements outside literature that studies outside the context of literary texts. The purpose of writing is to analyze the meaning semiotics of red lanterns. The most prominent characteristic of this film is the red lantern which is almost a decisive way the story of this film because it symbolizes the power of the host., This journal discusses the symbol of the red lantern in the movie Raise the Red Lantern (Dà Hóng Dēnglóng Gāogāo Guà, 1991). This study uses a macro approach to literary or extrinsic i.e., analyzing the elements outside literature that studies outside the context of literary texts. The purpose of writing is to analyze the meaning semiotics of red lanterns. The most prominent characteristic of this film is the red lantern which is almost a decisive way the story of this film because it symbolizes the power of the host.]"
2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Manurung, Paula Nihana
"Konstruksi perempuan sebagai salah satu bentuk dari konstruksi sosial saat ini sering kali ditampilkan melalui media. Konstruksi sosial merupakan proses sosial yang hadir melalui interaksi para individu yang menciptakan secara terus-menerus suatu realitas sosial. Realitas merupakan sesuatu yang dibentuk, di mana setiap individu mempunyai konstruksi yang berbeda. Hal ini pun berlaku pada konstruksi sosial akan realitas perempuan. Dalam penulisan ini, penulis akan menganalisis konstruksi perempuan melalui dua tokoh dari salah satu film Cina, yaitu Raise the Red Lantern karya Zhang Yimou yang mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga di Tiongkok pada tahun 1920-an. Film ini secara halus menggambarkan kompleksitas hubungan antara kekuasaan, ketaatan, dan kepatuhan. Dalam penulisan ini, penulis melakukan kajian dengan cara menganalisis penokohan Song Lian dan Yan’er yang melibatkan kekerasan verbal pada konflik yang ada di antara mereka. Kekerasan verbal merupakan kekerasan yang dilontarkan melalui perkataan. Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konstruksi perempuan melalui bagaimana penggambaran konflik antara dua tokoh, yakni Song Lian dan Yan’er dalam film Raise the Red Lantern. Dengan berfokus pada bagaimana cara perempuan dikonstruksikan dalam film, maka penelitian ini berkontribusi pada kajian budaya.
Women’s construction as a form of social construction is currently often displayed through the media. Social construction is a social process that exists through the interaction of individuals who continuously create a social reality. Reality is something that is formed, where each individual has a different construction. This also applies to the social construction of women's reality. In this writing, the author will analyze women’s construction through two characters from one of the Chinese films, Raise the Red Lantern by Zhang Yimou which tells the story of the life of a family in China in the 1920s. The film lightly illustrates the complexity of the relationship between power, obedience, and respect. In this writing, the author conducted a study by analyzing the characterizations of Song Lian and Yan'er which involve verbal abuse in the conflict between them. Verbal abuse is a violence that is expressed through words. The objective of the final project is to find out the women's construction through the portrait of the conflict between two characters, Song Lian and Yan'er in the film Raise the Red Lantern. By focusing on how women are constructed in the film, this research contributes to cultural research."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Encik Mohammad Ibnussabil
"Salah satu fokus kajian gender adalah posisi perempuan sebagai pihak yang paling sering dirugikan. Hal tersebut tergambarkan dengan jelas dalam film. Film menjadi alat atau media untuk menyampaikan opini, termasuk mengenai perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kedudukan perempuan dalam film Turning Red. Peneliti melihat kedudukan perempuan yang tidak berdaya direpresentasikan secara verbal maupun nonverbal dalam film tersebut. Studi ini menggunakan teori gender dan metode penelitian semiotika. Hasil telaah menunjukkan kedudukan perempuan direpresentasikan sebagai berikut: 1) tunduk kepada orang tua, 2) tidak berdaya untuk menyampaikan pendapat dan perasaan, 3) tidak berdaya untuk memilih dan 4) menjadi korban dari harapan keluarga.
Among other issues, women's disproportionately disadvantaged position has been one of the main focuses of gender study. This phenomenon is also eloquently portrayed in a film--a tool or medium for communicating ideas, including those about women. This particular study seeks to explain how the film "Turning Red" portrays women's positions in the family. The author notes how the film--verbally and nonverbally--depicts the position of disempowered women. By utilizing gender theory and semiotic research techniques, this study finds women are represented as follows: 1) being obedient to parents, 2) being unable to express their thoughts and feelings, 3) being unable to make decisions, and 4) becoming victims of familial expectations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia;, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Resti Nurfaidah
"Poligami ditengarai sebagai pemicu keretakan rumah tangga. Namun, di tengah polemik yang tidak berkesudahan, antara pro dan kontra, poligami tetap dijalankan dalam kehidupan manusia. Poligami bahkan dianggap sebagai ritual dalam beberapa budaya di dunia, seperti Timur Tengah, India, Cina, dan beberapa suku asli di berbagai belahan dunia. Salah satu kasus poligami menarik diungkapkan oleh Su Tong dalam sebuah novel yang berjudul Raise the Red Lantern. Poligami yang digambarkan dalam novel tersebut menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan cenderung radikal sehingga menimbulkan korban nyawa dan penderitaan psikis yang dialami oleh beberapa istri. Persaingan tidak sehat ditunjukkan oleh simbolisasi penempatan lampion sebagai penanda kuasa patriarkis dominan dalam rumah tangga Tuan Chen Zuoqian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan kompleksitas poligami tersebut melalui sudut perlawanan Teratai sebagai perempuan berlatar akademis yang cukup tinggi sekaligus istri keempat Tuan Chen Zuoqian. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif. Deskripsi tentang Teratai dan orang-orang di sekitarnya dianalisis dengan menggunakan konsep metafora Lakoff dan Johnson. Metafora tersebut tidak hanya berfungsi sebagai upaya perbandingan, melainkan mengiris konsep budaya setempat yang menjadi latar belakang cerita. Simpulan yang penulis dapatkan adalah poligami dalam keluarga Chen Zuoqian merupakan perkawinan kompleks dan cenderung merendahkan derajat perempuan di dalam budaya patriarkis."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:1 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Diandra Nurandea Monami
"Penelitian ini membahas tentang penggambaran kehidupan dan kedudukan sosial perempuan di era Cina tradisional berdasarkan peran tokoh perempuan bernama Ju Dou dalam film Ju Dou ????karya sutradara Zhang Yimou dan Yang Feiliang 1990. Dalam masyarakat tradisional Cina, perempuan memiliki kedudukan sosial yang lebih rendah dari pada laki-laki. Konsep ini menyebabkan perempuan tradisional Cina tidak memiliki pilihan dan kebebasan dalam menjalani kehidupannya. Penelitian ini menghubungkan penggambaran kedudukan sosial tokoh perempuan Ju Dou dalam film dengan kondisi sosial perempuan pada masa tradisional di Cina untuk meneliti sejauh mana penggambaran ini ditampilkan dalam film.
This study discusses the depictions of life and social position of women in the traditional Chinese era based on the role of the female character Ju Dou in the film Ju Dou by director Zhang Yimou and Yang Feiliang 1990 . In traditional Chinese society, women have lower social standing than men. This concept causes traditional Chinese women to have no choice and no freedom to live their lives. This study links the depiction of the social standing of the female character Ju Dou in the film with women 39 s social conditions in traditional Chinese times to examine the extent of which these depictions are featured in the film. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Yurie Agita
"Kehidupan perempuan dalam masyarakat Cina tradisional bukan merupakan kehidupan yang mudah. Ketimpangan kedudukan antara laki laki dan perempuan tergambar jelas dengan adanya aturan dan norma norma yang membedakan antara laki laki dan perempuan. Perempuan di dalam kebudayaan Cina yang patriakat digambarkan sebagai seseorang yang harus taat patuh sopan mempunyai tata krama setia kepada suami dan lain lain. 'The Good Earth atau Bumi yang Subur' merupakan novel karya Pearl S Buck yang menggambarkan kehidupan tokoh utama wanita yakni O Lan sebagai perempuan yang sangat memahami kedudukan dan statusnya di dalam keluarga. Tulisan ini berusaha memaparkan mengenai bagaimana tokoh O Lan menjalankan peran dan kewajibannya sebagai seorang istri ibu dan menantu di dalam keluarga suaminya Wang Lung.
Not an easy thing for women who live in Chinese traditional society. There are a lot of norms and rules which clearly distinguish the position between men and women in there. Women in patriarchal societies were described as a person who must be obedient polite have manners and be faithful to her husband. 'Bumi yang Subur or The Good Earth is one of novel of Pearl S Buck which describe a main female character's life named O Lan as a woman who understands her position and status in family. This paper will describe how O Lan carrying out her roles and duties as a wife mother and a daughter in law in her husband family Wang Lung."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Anita Haryani
"Haryani, Anita. Ketergantungan Wanita Cina di Dalam Keluarga Cina Tradisional. Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Jurusan Asia Timur Studi Cina Universitas Indonesia, 1993. Selama hidupnya, seorang wanita dalam keluarga Cina tradisional mengalami tiga fase ketergantungan. Pertama, sebelum menikah, ia bergantung pada ayahnya. Kedua, setelah menikah ia bergantung pada suaminya. Ketiga, setelah suaminya meninggal, ia bergantung pada anak laki-lakinya. Setiap fase ketergantungan tersebut secara garis besar dapat dibagi dalam dua bentuk ketergantungan. Yang pertama adalah ketergantungan ekonomi dan yang kedua adalah ketergantungan status. Ketergantungan ekonomi banyak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat Cina pada waktu itu seperti bentuk masyarakatnya yang agraris, norma-norma yang menyebabkan wanita tidak leluasa bergerak dalam kehidupan sosialnya. Jenis ketergantungan ekonomi ini hampir sama dalam ketiga fase ketergantungan. Usaha-usaha wanita untuk melepaskan diri dari ketergantungan itu ada yang positif seperti menjadi biksu atau pendeta Tao (abad 19 dan 20), tetapi ada juga yang negatif seperti menjadi pelacur"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
S12951
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Melinda Sista Pratita
"Turning Red (2022) adalah sebuah film animasi yang tentang seluk-beluk keluarga Tionghoa- Kanada. Karakter utama film ini adalah Meilin Lee, seorang remaja perempuan berusia 13 tahun yang bisa berubah menjadi panda merah seperti setiap keturunan perempuan dari keluarga ibunya. Konflik muncul dalam keluarga generasi kedua dan ketiga perempuan Kanada-Asia, seperti Meilin Lee dan ibunya, Ming Lee. Penelitian ini bertujuan mencari makna panda merah sebagai simbol pergumulan emosional dan jati diri, yang berubah-ubah pada setiap generasi. Penelitian ini juga berusaha memahami lebih lanjut dampak dari hubungan ibu dan anak perempuan pada setiap individu serta pengaruhnya terhadap satu sama lain. Penulis kemudian melakukan analisis kerumitan pencarian jati diri yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan personal berdasarkan pada hubungan dengan model stereotipe minoritas, psikologi imigran, dan konsep jati diri. Maka, penelitian ini akan menambah pemahaman akan isu-isu yang muncul pada karakter film dari perempuan Tionghoa-Kanada generasi kedua dan ketiga, memberikan gagasan bagi pengalaman dan dam tantangan dalam kerangka studi identitas dan diaspora oleh Stuart Hall. Ini menekankan signifikansi dari model mitos minoritas pada perjalanannya, khususnya dalam hubungan ibu dan anak perempuan, sekalgius memberikan gagasan tentang strategi negosiasi terhadap ekspektasi sosial.
Turning Red (2022) is an animated movies that centralized the story upon the intricacy of a Chinese-Canadian family. It follows the story of a 13-year-old Meilin Lee who experiences her coming of age by turning into a red panda as it is a fate that befalls the women of every generation in her family from her mother’s lineage. Which then generates the conflict of the story mainly between the second and third generation of Asian Canadian women in the family as portrayed by Meilin Lee and her mother, Ming Lee. This research aims to examine the significance of the red panda as a symbol for emotional struggles and a sense of self, which differ across generations. It further seeks to understand the impacts of mother-daughter relationships on individuals and how they influence each other. This leads to the further analysis on the complexity of finding one’s true self that is caused by cultural and personal factors based on the connection with model minority stereotypes, psychology of the immigrants, and the concept of self. Thus, this study enriches our understanding of the issues experienced by this movie characters of second and third-generation Chinese-Canadian women, providing insights into their experiences and challenges within the framework of Stuart Hall's study of identity and diaspora. It emphasizes their significance of the model minority myth on their journeys, particularly within mother-daughter relationships, offering insight on their societal expectations negotiating strategies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Yanti Azmah Ulya
"Latar belakang penelitian ini adalah untuk menjelaskan makna lampion merah dalam kebudayaan Cina di Jakarta. Setiap negara memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam kebudayaan Cina setiap warna memiliki maknanya masing-masing. Masyarakat Cina sangat percaya mengenai makna dari setiap warna, salah satunya adalah warna merah. Dalam kebudayaan Cina merah merupakan warna keberuntungan. Warna merah identik dengan hari-hari besar di Cina. Begitu pula dengan orang-orang Cina yang datang dan menetap di Indonesia, khususnya Jakarta. Kebanyakan masyarakat Cina memakai pakaian berwarna merah pada saat hari-hari besar, seperti pada saat perayaan tahun baru Imlek. Demikian pula oranamen-ornamen yang digunakan, seperti lampion merah. Lampion merah yang biasanya di gantungkan di depan pintu pada saat perayaan Imlek tidak hanya sebagai hiasan untuk memeriahkan perayaan Imlek saja, tetapi juga sebagi tanda keberuntungan dan kemakmuran.
The background of this research is to explain the meaning of red lanterns in Chinese culture in Jakarta. Every country have different culture. In Chinese culture, every colour has a meaning. Chinese people strongly belief regarding the meaning of each colour, one of them is red. In Chinese culture, red is a colour of fortune. Red identically with the major holidays in China. Likewise the Chinese people who came and lived in Indonesia, especially in Jakarta. Most of Chinese people wear red cloth during their major holidays, such as during the celebration of the Lunar new year. Likewise ornaments are used, such as red lanterns. Red lanterns that usually hung on the door during Chinese New Year celebrations are not just as decoration for the celebration of Chinese New Year, but also as a sign of fortune and prosperity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library