Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118235 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firly Amalia Rizky
"Film adalah hasil karya seseorang yang dapat dinikmati oleh para penonton, dan penonton berharap sajian film tersebut dapat memanjakan mata mereka dengan jalan cerita dan setting film yang berkualitas. Film ?The Raid? sebagai Sinema Nasional yang dapat menggemparkan kancah Internasional dengan jalan cerita dan setting yang bagus. Film ini merupakan hasil campur tangan dari Gareth Evans dan Mike Shinoda dibagian musik skoring.
Hasilnya, masyarakat sangat puas dengan film ini walaupun ada campur tangan orang luar, dan berharap penuh agar sineas Indonesia dapat menghasilkan Film Indonesia berkualitas yang murni tanpa campur tangan seperti ini lagi.

Movie or motion picture is an artistical work which can be enjoyed by wide arrange of audience. They intend to watch movies which can spoil their eyes with great quality of storyline as well as it's setting. "The Raid" movie as national cinema and work of art can appalling the international world with it's storyline and setting. This movie is a masterpiece between Gareth Evans and Mike Shinoda specified for the scoring.
The result as imagined before can really hit the audience with pleasure despite it is not fully directed by Indonesians. People put their hope to national film makers that they can produce more high quality of Indonesian movies without the intervention of foreign film makers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Vetta Hamid
"Perfilman Indonesia dikejutkan oleh The Raid (Gareth Evans, 2012) yang didapuk menjadi generasi film laga Asia berikutnya. Film ini telah lebih dulu mendulang sukses di di luar negeri,diantaranya:ditayangkan perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) di tahun 2011, menjadi pilihan utama Sundance Film Festival 2012 dan meraih box office di bioskop terpilih di Amerika Serikat. Kesuksesan The Raid di Indonesia dan di luar negeri menjadi kejutan karena film ini di luar formula film Indonesia bahkan Hollywood pada umumnya, yaitu dengan menggabungkan unsur laga tradisional Indonesia, Pencak Silat dengan sinematografi ala Hollywood. Makalah ini dianalisis dengan dasar argumentasi Hesmondhalgh (2012) dan Miège (1989) yang mengkritik pesimisme budaya Adorno dan Horkheimer (1972 & 1976) mengenai komodifikasi budaya dan standardisasi produk. Makalah ini berargumen bahwa pengenalan industrialisasi dan teknologi baru dalam produksi budaya justru memunculkan arah baru dan inovasi yang menarik.

Indonesian film industry was shocked by The Raid (Gareth Evans, 2012) which was predicted to be the next generation of Asian action/martial arts movies. Before being screened in Indonesia, The Raid had gained success overseas, including: premiered at the Toronto International Film Festival (TIFF) in 2011, became one of the official selections atSundance Film Festival 2012 and became box office in selected theaters in the United States. The unexpected success of The Raid was a surprise because the film is outside the Indonesian and Hollywood movie formula in general, as it combines elements of the traditional Indonesian Pencak Silat with Hollywood-style cinematography. This paper is analyzing the phenomenon based on Hesmondhalgh (2012) and Miège (1989) that argue Adorno and Horkheimer’s cultural pessimism (1972 & 1976) about culture commodification and standardization of products. Furthermore, this paper argues that industrialization and the introduction of new technologies in cultural production led actually led to new directions and innovations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
"ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk memperdebatkan apakah film harus konform ke masyarakat atau tidak karena beberapa alasan bertentangan bahwa film harusnya bisa ditampilkan sesuai dengan apa yang sutradara inginkan daripada melalui proses sensor yang bisa mengurangi nilai dari film itu sendiri. Literature review digunakan sebagai metode penelitian ini, yang diambil dari Heider 1991 , Haryanto 2008 , Heeren 2012 , dan Bazin 2005 . Penelitian ini menemukan bahwa alasan film harus konform adalah: 1 Konformitas dalam sinema berarti bahwa citra film belum diakui sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia karena film berasal dari budaya luar, yang berarti masyarakat Indonesia takut budaya mereka akan tergantikan. 2 Hal yang mendorong pasar film di Indonesia berasal dari persepsi penonton umum. Persepsi mereka didukung oleh latar belakang budaya mereka sendiri, namun, satu hal yang membuat penonton memiliki pendapat sejenis adalah agama. 3 Menurut undang-undang, film harus mendidik bangsa. Namun, kata ldquo;mendidik rdquo; tidak pas jika tidak berasal dari sutradara, dan film juga tidak seharusnya mendidik kalangan muda tentang budaya barat karena itulah apa yang film luar negeri tekankan.

ABSTRACT
AbstractThis article aims to argue whether the cinema has to conform to the society or not; due to contradicting arguments that a movie should be screened as the director rsquo;s intended instead of sensored according to certain values. Literature review is used as the research method, analyzing arguments based on Heider 1991 , Haryanto 2008 , Heeren 2012 , and Bazin et.al. 2005 articles. This research found that the reason film has to conform is 1 because its origin from the foreign culture. Conformity means that the nature of the cinema hasn rsquo;t been approved completely from Indonesian people. Lembaga Sensor Film still thinks that a film is vulnerable to the western culture, in which, like colony, Indonesian fear it will have an invasive effect towards Indonesian society. 2 The mainstream audience perspective is the force that drive Indonesian film market. What motivates the audience rsquo;s perspective is based on their cultural background, but one aspect that overruled the difference is the religion. 3 The constitutional law that a film has to educate people. The term ldquo;educating rdquo; is not valid if it isn rsquo;t come from the director, that film should not teach young people about the western culture because it rsquo;s what foreign films are advertised."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chopra, Deepak
Sudbury: Infinite Possibilities Publishing, 1996
811.52 CHO r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irawanto
Yogyakarta: Media Pressindo, 1999
791.43 BUD f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhdi Sahrul Ramadhan
"Artikel ini membahas tentang upaya dari sineas film nasional untuk meningkatkan kualitas dari film yang tayang di bioskop Jakarta pada tahun 1950 hingga 1965. Film Indonesia pada tahun 1950 memiliki permasalahan terhadap rendahnya kualitas film nasional yang ditayangkan. Rendahnya kualitas film nasional dilatar belakangi oleh peralatan produksi yang masih sederhana, kurangnya sumber daya manusia yang berpengalaman dalam film, kurangnya promosi terhadap film dan kurangnya kerjasama antara sineas serta pemerintah untuk membangun citra film nasional. Contoh permasalahan terhadap kualitas film adalah sinematografi dan alur cerita yang kurang baik. Rendahnya kualitas film Indonesia mendorong terjadinya dominasi terhadap film-film impor di bioskop besar Jakarta dan menarik minat penonton terhadap film impor seperti film Hollywood, India dan Cina yang tayang di bioskop kelas I dan II. Merasa berada di posisi yang sulit karena film nasional berada di bioskop kelas II dan III dengan target pasaran yang masih rendah, beberapa sineas Indonesia mulai berupaya untuk meningkatkan kualitas film yang mereka produksi. Upaya tersebut berupa revitalisasi terhadap produksi, promosi dan penayangan film, membangun kerjasama antar sineas dalam menyelenggarakan acara apresiasi Festival Film Indonesia. Upaya tersebut kemudian berhasil membawa dampak yang cukup besar, seperti masuknya film Lewat Djam Malam, Harimau Tjampa dan Tarmina kedalam Festival Film Asia Tenggara. Artikel ini disusun menggunakan metode sejarah, dengan pengumpulan data berupa arsip, surat kabar sezaman, buku dan jurnal artikel, yang diperoleh melalui Sinematek Indonesia, Perpustakaan Nasional dan melalui arsip online.

This article discusses the efforts of the national film sineas to intensify the quality of films shown in Jakarta cinemas from 1950 to 1965. The Indonesian movie in 1950 had problems with the low quality of national movies being screened. The low quality of national movies is caused by simple production equipment, lack of experienced human resources in film, lack of promotion of films and lack of cooperation between filmmakers and the government to build a national movies image. Examples of problems with movie quality are poor cinematography and storylines. The low quality of Indonesian movies encourages the dominance of imported movies in big cinemas of Jakarta and attracts audiences' interest in imported movies such as Hollywood, Indian and Chinese movies that are shown in class I and II cinemas. Feels that they are in a difficult position because national movies are in class II and III cinemas with a low target market, several Indonesian filmmakers have begun to try to improve the quality of the movies they produce. These efforts are in the form of revitalizing movies production, promotion, screening and building cooperation between filmmakers in organizing the Indonesian Film Festival appreciation event. These efforts then succeeded in having a considerable impact, such as the inclusion of the movies Through Djam Malam, Harimau Tjampa and Tarmina into the Southeast Asian Film Festival. This article was compiled using the historical method, with data collection in the form of archives, contemporary newspapers, books and journal articles, which were obtained through Sinematek Indonesia, the National Library and online archives."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Muhammad Akmal Alwee
"Monumen Nasional adalah sebuah monumen yang merepresentasikan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda, Monumen ini dibangun di masa presiden soekarno yang mana pada saat itu ditujukan untuk menyatukan bangsa Indonesia, agar rakyat Indonesia mempunyai satu kebanggaan yang sama. Monumen ini terletak di Kota Jakarta yang menjadi ibu kota Indonesia, secara tidak langsung Monas menjadi identitas Indonesia dan Kota Jakarta dengan statusnya sebagai bangunan cagar budaya Nasional. Penggunaan Monas saat ini sesuai dengan tujuan awal yaitu, menceritakan tentang bangsa Indonesia itu tersebut. Namun belakangan ini muncul sebuah gagasan bahwa area Monas dan jalan Medan Merdeka akan digunakan sebagai area sirkuit untuk ajang balapan Formula E yang mana peserta akan mamacu mobil elektrik nya dengan kecepatan tinggi dan memberikan kampanye mobil listrik ramah lingkungan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan apakah Monas layak untuk menyelenggarakan event yang sangat berbeda dari tujuan awal fungsi monas. Tujuan tulisan akademik ini adalah untuk mengamati dan membahas mengenai isu apropriasi Monas yang akan digunakan untuk event balapan mobil tersebut. Hasil dari bahasan mengenai isu appropriasi ini akan menjadi sebuah saran, seberapa layak monas digunakan untuk ajang balapan mobil tersebut.

The National Monument is a monument that represents the struggle of the Indonesian people against Dutch colonialism. This monument was built during the Soekarno era, which at that time was intended to unite the Indonesian people. This monument is located in the city of Jakarta, which is the capital of Indonesia. Indirectly Monas becomes the identity of Indonesia and the City of Jakarta with its status as a National cultural heritage building. The current use of Monas is in accordance with the original purpose, namely, to talk about the Indonesian nation. However, recently an idea emerged that the Monas area and the Medan Merdeka road would be used as a circuit area for the Formula E race where participants would drive their electric cars at high speed and provide an environmentally friendly electric car campaign for the Indonesian people. This raises a question whether Monas is appropriate to hold events that are very different from the original purpose of the Monas function. This academic paper aims to observe and discuss the issue of Monas appropriation to be used for the car race event. The results of this discussion on the issue of appropriation will be a suggestion, how appropriate Monas is used for the car racing event."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irawanto
Yogyakarta : Media Pressindo , 1999
791.409 BUD f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handriyani
"Tesis ini menganalisis penyelenggaraan komunikasi publik bidang kesehatan terhadap kontroversi Pekan Kondom Nasional Tahun 2013 (PKN 2013) ditinjau dari aspek yuridis dan komunikasi krisis. Kontroversi PKN 2013 dipicu beredarnya isu pembagian kondom gratis dan bus kondom yang menimbulkan penolakan publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi deskriptif melalui content analysis, studi dokumentasi, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan kurang terbukanya badan publik (Kemenkes, KPAN, dan DKT Indonesia) menginformasikan PKN 2013 dan reaktifnya sikap pihak pemerintah mengelola komunikasi krisis PKN 2013. Hasil penelitian menyarankan meregulasi kebijakan komunikasi publik dua arah yang proaktif.

This thesis analyzes the implementation of public communication in health sector to the controversy of National Condom Week in 2013 (NCW 2013) in term of juridical aspect and crisis communication. The controversy of NCW 2013 was triggered by the spread of the issues of free condom distribution and condom bus that cause public rejection. This research is qualitative approach with descriptive study design. The results showed lack of transparency in public bodies (Ministry of Health, National AIDS Commission, and DKT Indonesia) to inform NCW 2013 and reactive attitude of the government to manage the crisis communication of NCW 2013. The researcher suggests regulating the two-way public communication policy that is proactive."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T41936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Putri Anisti
"Manusia merupakan makhluk yang terus menerus berkembang, terutama dari segi pengetahuannya. Dari masa ke masa manusia selalu berusaha untuk menciptakan hal baru yang memudahkan kehidupan mereka. Sama halnya dengan manusia, arsitektur sebagai wadah bagi mannusia pun turut berkembang mengikuti segala macam perubahan, baik dari segi sosial maupun estetika. Modernity muncul ditandai oleh perkembangan sosial masyarakat, teknologi, dan industri. Pada masanya, dwelling, sebagai kebutuhan paling dasar mengalami perubahan. Skripsi ini mencoba mengkaji mengenai kontroversi makna dwelling dan kebutuhan manusia di era modern serta bagaimana arsitektur mewadahi dwelling sebagai home di era modern. Pada akhirnya, setting yang appropriate akan menjadi hal yang paling utama.

Human is a being that keeps developing from time to time, especially their knowledge. From time to time human always try to create something new which will help them doing their everyday life and make it easier. Same thing with human, architecture as a ‘container’ for human activity also develops following all kinds of changes, in terms of social and aesthetic. Modernity was marked by the changing of society, technologies, and industries. At the time, dwelling, as a fundamental needs also changed. This thesis is studying the controversy of the real meaning of dwelling and the human needs in this modern era, also how architecture mediates dwelling as home in modern era. In the end, appropriate settings will be the most important thing."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46088
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>