Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211202 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pratiwi Purworini
"Adanya emansipasi perempuan membuat perempuan menyadari untuk dapat setara dengan laki-laki. Oleh karena itu banyak profesi laki-laki yang sudah dijalankan oleh perempuan. Misalnya, menjadi pengojek perempuan yang merupakan sebuah pekerjaan yang lebih banyak digeluti oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Namun hal ini berbanding terbalik dengan opini yang berkembang di masyarakat. Opini yang berkembang di masyarakat terutama dalam benak laki-laki bahwa perempuan seharusnya tetap berkiprah di ranah domestik, sedangkan laki- laki yang berada di ranah publik. Kondisi ini memunculkan adanya bias gender. Bias gender dapat menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan yang dibentuk oleh konstruksi budaya patriarki. Terkait dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat artikel di tribunnews.com mengenai pengojek perempuan. Untuk itu penulis ingin melihat sejauh mana opini masyarakat yang bersifat bias gender berkembang di media sosial terutama Twitter. Dalam melakukan pengumpulan data, penulis menggunakan data sekunder melalui pengamatan terhadap isi tweet pengguna Twitter secara aktif yang bersifat bias gender terhadap profesi pengojek perempuan. Dari 8 tweet yang telah diamati ditemukan ada 4 tweet dari pihak perempuan yang pro dan 4 tweet yang kontra justru berasal dari laki-laki. Hal ini menunjukan, ternyata budaya patriarki masih mendominasi pendapat para netizen yang bersifat bias gender.

Emancipation has led to female acknowledging that they deserve equal rights as compared to men. It's not an uncommon sight nowadays that several professions, previously dominated by men, are also done by female, ojek cabs are one amongst many examples. This however, is opposite to what the society actually believed, that female are supposed to be in charge of domestic affairs, while men would sought for money, thus this creates some sort of a gender bias. Concerning this issue, I would like to discuss an article from tribunnews.com about female ojek cabs. Also, with this in mind, the writer would like to address the extent of gender bias that exists in the society, especially from social medias such as Twitter. In collecting data, I use secondary data from Twitter for further research about gender bias towards female ojek cabs. From 8 tweets that has been observed, I found 4 tweets from woman's side who pro to the issue, while the men's was in the qontrary. This things shows that patriarchal culture still dominate the opinions of netizen that characterize as gender bias."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Marcellino Sebastian
"Sejak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Jepang berada di bawah kependudukan Sekutu selama 7 tahun, yaitu 1945-1952. Dalam Konstitusi Jepang yang diberlakukan sejak pada tahun 1947, terdapat pasal (pasal 9) yang memuat larangan bagi Jepang untuk memiliki militer. Namun, kondisi Jepang yang rentan terhadap ancaman negara lain, seperti RRC, Rusia dan Korea Utara membuat Jepang membutuhkan perlindungan dari Amerika. Di sisi lain Amerika melihat Jepang sebagai garis depan dalam menghadapi pengaruh komunisme di Asia pada masa Perang Dingin. Oleh karena itu Amerika merasa perlu membangun pangkalan militer di Jepang. Setengah beberapa dekade ketergantungan dan kehadiran Militer Amerika Serikat di Jepang menjadi perdebatan dalam masyarakat Jepang. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana pro kontra terkait keberadaan militer AS di Jepang dan factor penyebabnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui wawancara terstruktur terhadap berbagai narasumber yang berdomisili di wilayah Jepang dengan kerangka teori dari Foucault tentang kekuasaan dan Barry Buzan tentang pertahanan negara.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa di satu sisi, Jepang masih membutuhkan militer Amerika Serikat, namun di sisi lain keberadaan militer Amerika Serikat menimbulkan beberapa masalah bagi Jepang. Keberadaan militer Amerika di Jepang diperlukan terutama dikaitkan dengan perkembangan kondisi geopolitik di kawasan Asia Timur pada tahun 2022. Antara lain memanasnya hubungan RRC-Taiwan pada bulan Juli 2022, kembalinya uji coba rudal balistik Korea Utara diatas wilayah Jepang pada Oktober 2022, dan tegangnya hubungan Jepang-Rusia sebagai imbas dari invasi Ukraina pada Februari 2022. Di sisi lain, masalah yang timbul di daerah sekitar markas AS (terutama kepulauan Okinawa) seperti tindakan kriminal para personil militer AS dan polusi yang ditimbulkan membuat keberadaan militer Amerika Serikat menimbulkan permasalahan bagi Jepang. Apalagi pemerintah Jepang juga harus membayar ‘Anggaran Simpati’ untuk memelihara pasukan AS di wilayahnya. Hal itu merupakan beban bagi pemerintah Jepang.

Since Japan's defeat in World War II, Japan was under Allied occupation. Within the Japanese Constitution that was published in 1947, lies an article (Article 9) which prohibits Japan from possessing a military. This however left Japan's vulnerable to threats from neighboring countries such as the PRC, the Soviet Union and North Korea and thus required Japan to ask America for military protection. On the other hand, America saw Japan as the front line in preventing the spread of communism in Asia during the Cold War. Because of that America felt the need to build military bases in Japan. After more than half a century later, Japans dependency of the United States Military presence Japan is still prevalent and has becoming a debate within the Japanese Society. This study investigates the pros and cons regarding the presence of the US military in Japan and the multiple factors behind it. The method used in this research is a qualitative method through structured interviews with various sources (in this case, Japanese Nationals) who reside in Japan with the theoretical framework of Foucault on strength and Barry Buzan on national defense.

The results of this study found that on the one hand, Japan still needs the United States military, but on the other hand the presence of the United States military creates several problems for Japan. America's presence in Japan is needed, especially in relation to geopolitical developments in the East Asia region in 2022. This include the rising tension of PRC-Taiwan relations in July 2022, the return of North Korea's ballistic missile tests over Japanese territory in October 2022, and the worsening of Russo-Japan relations as a result of the invasion of Ukraine in February 2022. On the other hand, problems within in the area around US bases (especially the islands of Okinawa) such as criminal acts of US military personnel and various pollutions caused by military activities. Moreover, the Japanese government also has to pay the 'Sympathy Budget' to maintain US troops on its territory which is becoming a huge burden for the Japanese government to bear."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muflihuddaroini
"Status Papua sudah final sebagai bagian dari NKRI, namun kelompok pro-kemerdekaan Papua terus berupaya memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan kelompok ini juga terus bertransformasi, dari perjuangan senjata (hard approach) oleh OPM dan faksi-faksi militernya, hingga cara-cara diplomasi (soft approach) dan internasionalisasi isu Papua oleh Benny Wenda dkk. Kelompok ini juga terus menggencarkan propagandanya di media sosial. Menggunakan metodologi kualitatif deskriptif dan dengan dibantu aplikasi analisis media sosial INDIGO, penelitian ini mencoba menjelaskan strategi propaganda kelompok pro-kemerdekaan Papua dalam internasionalisasi isu “Papua Merdeka” di media sosial khususnya Twitter. Menggunakan teori strategi sebagai teori utama dan didukung dengan teori propaganda politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi kelompok pro-kemerdekaan Papua memiliki tujuan (ends) menarik simpati internasional agar melakukan intervensi sehingga dapat dilakukan referendum, dengan cara (ways) teknik white, grey, dan black propaganda, memanfaatkan beberapa isu mulai dari pelanggaran HAM, eksploitasi alam & kerusakan lingkungan, rasisme & marjinalisasi orang asli Papua untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri, melalui sarana (means) media sosial dengan memanfaatkan peran aktivis, jurnalis, akun Free West Papua, dan bot.

Papua's status is final as part of the Unitary State of the Republic of Indonesia, but Papuan pro-independence groups continue to try to separate themselves from Indonesia. The movement of this group has also continued to transform, from the armed struggle (hard approach) by OPM, to the ways of diplomacy (soft approach) and the internationalization of the Papua issue by Benny Wenda et al. This group also continues to intensify its propaganda on social media. Using a descriptive qualitative methodology, this study attempts to explain the strategies of Papuan pro-independence groups in campaigning for the issue of "Freedom Papua" on social media, especially Twitter. Using strategy theory as the main theory and supported by political propaganda theory. The results of the research show that the strategy of the Papuan pro-independence group has the aim (ends) of attracting international sympathy to intervene so that a referendum can be carried out, by ways of white, gray and black propaganda techniques, utilizing several issues ranging from human rights violations, natural exploitation & environmental damage, racism & marginalization of indigenous Papuans to demand the right to self-determination, through social media means by utilizing the roles of activists, journalists, Free West Papua accounts, and bots."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Nurmalisa
"Penelitian ini berjutuan untuk menggali keberdayaan perempuan pekerja VCS dalam berelasi dengan klien dan pihak lainnya. Terdapat banyak studi yang membahas bahwa prostitusi online menyediakan ruang yang lebih aman dimana pekerja seks dianggap lebih mampu meminimalisir resiko (Jones, 2016; NSWP, 2016; Cunningham, 2019). Namun studi-studi sebelumnya lebih berfokus pada manfaat internet terhadap profesi pekerja seks ataupun alasan pekerja seks memanfaatkan media sosial. Terdapat hal menarik lain yang dapat diteliti lebih lanjut, yaitu mengenai upaya yang dilakukan oleh pekerja seks dengan memanfaatkan ruang virtual yang tersedia untuk menciptakan posisi yang berdaya selama berelasi dengan pihak lain seperti klien dan mucikari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus terhadap 4 perempuan pekerja VCS yang mempromosikan dirinya melalui media sosial Twitter. Studi ini menggunakan konsep power, otonomi tubuh, dan teori pertukaran sosial sebagai pisau analisis. Temuan studi melalui wawancara mendalam secara virtual kepada ke-4 informan menyimpulkan pekerja VCS mampu untuk memiliki kontrol pada profesinya, kontrol atas tubuhnya, hingga kemampuan menciptakan posisi tawar yang baik. Hal ini menciptakan keberdayaan yang ditunjukan pada beberapa hal, seperti 1) Kemampuan untuk menolak dan menerima klien melalui penseleksian dan penyortiran klien yang mengacu pada kriteria klien serta kesepakatan kerja dengan klien; 2) Kemampuan dalam merespon dan menciptakan strategi untuk terhindar dari resiko capping, doxing, penipuan, online sexual harassement, hingga keberadaan faker; 3) Kemampuan pekerja VCS untuk dapat benegosiasi dengan klien selama proses transaksi seksual. Kemampuan pekerja VCS untuk dapat memproduksi kekuasaan dan menciptakan relasi kerja yang sejajar dengan klien disebabkan karena adanya pengetahuan terkait kondisi kerja, kesadaran kritis, keterampilan digital yang dimiliki, serta kemampuan untuk menciptakan sumberdaya alternatif yang dibutuhkan lainnya, yaitu uang, dengan menjaga dan memperluas pasarnya. Ruang digital juga seakan menjadi tembok pembatas antara pekerja VCS dan klien sehingga memudahkan pekerja VCS untuk menciptakan dan mengunakan kekuasaanya.

This study aims to explore the empowerment of women VCS workers in relating to clients and other parties. There are many studies that discuss that online prostitution provides a safer space where sex workers are considered to be better able to minimize risk (Jones, 2016; NSWP, 2016; Cunningham, 2019). However, previous studies have focused more on the benefits of the internet for the sex worker profession or the reasons sex workers use social media. There is another interesting thing that can be investigated further, namely the efforts made by sex workers by utilizing the available virtual space to create a position of power while dealing with clients. This study uses a qualitative approach with a case study method on 4 female VCS workers who promote themselves through social media Twitter. This study will use the concept of power, body autonomy, and social exchange theory as an analytical knife. The study findings through virtual in-depth interviews with the 4 informants concluded that VCS workers are able to have control over their profession, control over their bodies, to the ability to create a good bargaining position. This can be shown in several things that are done by VCS workers, such as 1) The ability to reject and accept clients through the selection and sorting of clients based on client criteria and work agreements with clients; 2) Ability to respond and create strategies to avoid the risk of capping, doxing, fraud, online sexual harassment, and the presence of fakers; 3) The ability of VCS workers to be able to negotiate with clients during the sexual transaction process. The ability of VCS workers to be able to produce power and create equal working relationships with clients is due to their knowledge of working conditions, critical awareness, digital skills, and the ability to create alternative resources needed, namely money, by maintaining and expanding the market. The digital space also seems to be a dividing wall between VCS workers and clients, making it easier for VCS workers to create and use their power."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Julianto
"Kendati rokok dan merokok adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius di dunia dan di Indonesia, namun sejatinya yang lebih utama adalah masalah pertarungan ekonomi politik yang bertali-temali dengan komunikasi dan media. Isu rokok telah membelah Indonesia dalam dua kubu, yaitu yang pro dan kontra terhadap regulasi terhadap komoditas yang adiktif dan membahayakan kesehatan ini.
Selama ini Indonesia tergolong dalam salah satu negara yang paling lemah dalam meregulasi tembakau dan rokok. Regulasi terhadap tembakau/rokok membutuhkan kemauan politik yang kuat, karena walaupun Konstitusi mengamanatkan negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi kelangsungan hidup warganya namun harus berhadapan dengan pragmatisme ekonomi politik yang berujung pada mesranya penyelenggara negara dengan industri rokok.
Argumen perlindungan kesehatan masyarakat dibenturkan dengan argumen ekonomi, karena dikontruksikan bahwa tembakau dan rokok adalah komoditas yang berjasa menyumbang cukai puluhan triliun rupiah serta menyangkut mata pencaharian jutaan petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Padahal tembakau dan rokok yang berisfat adiktif dan membahayakan kesehatan walaupun legal namun tidak normal.
Kesadaran palsu dan mitos-mitos seputar tembakau dan rokok berkelindan dengan hegemoni oleh pemilik industri rokok . yang menampilkan diri sebagai dermawan dan warga negara yang baik lewat iklan, promosi dan sponsor yang massif. Akibatnya jumlah perokok di Indonesia terus meningkat menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Dua dari tiga pria dewasa menjadi perokok. Industri rokok juga secara sistematik menjerat perokok-perokok di bawah umur. Semuanya ini menimbulkan dampak kesehatan yang amat dahsyat berupa kematian prematur lebih dari 200.000 jiwa per tahun, di antaranya 25.000 perokok pasif yang terutama di kalangan kaum perempuan dan anak-anak.
Penelitian ini mencoba membedah kontestasi wacana pro-kontra regulasi rokok di ruang publik media massa dan media sosial yang terdistorsi oleh aneka trik interferensi atau gangguan yang dilakukan industri rokok. Peneliti mencoba memadukan Teori Diskursus dan Ruang Publik Habermas, Teori Hegemoni Gramsci, dan Teori Habitus Bourdieu.

Eventhough cigarettes and smoking are serious public health problem in the world as well as in Indonesia, acatually it is more prominently a political economy contestation that intertwine with communication and the media. The issue of tobacco that has divided Indonesia into two sides, namely the pros and the contras towards regulation of this addictive and hazardous commodity.
So far Indonesia is considered as one of few countries that poorly regulate tobacco and cigarettes. Regulating tobacco/cigarettes needs a strong political will, since the Constitution entrusted that the State should nurture the Nation and protect the sustainabable life of its people, while on the other hand it has to confront with political economic pragmatism of tobacco-industrioState complex.
The arguments of public health protection is colliding with economic arguments, since it has been constructed that tobacco and cigarettes are commodities that collect trillions of Rupiah excise tax and considered as the life and blood of several million tobacco farmers and cigarette company workers. Eventhough tobacco and cigarettes are addictive and hazardous to health, they are legal yet abnormal.
False consciousness and myths that surround tobacco and cigarettes intertwining with the hegemony mastered by the owners of cigarettes companies who perform as philanthropists and good citizens through their massive tobacco advertising, promotion and sponsorship. Consequently the number of smokers in Indonesia is continuosly increasing and become the third highest after China and India. Two out of three adult males are smokers. The cigarettes companies are systematically entrap under age smokers. Due to this situation, a horrifying health impact implies with the premature deaths of more than 200,000 lives every year, including passive smokers, mostly among women and children.
This research is trying to analyze the discourse contestation of pro and contra towards tobacco regulation in the public sphere of mass media and social media that are distorted by many sly interferences practiced by the cigarette companies. The researcher is trying to synthesize Habermas’s Discourse and Public Sphere theories, Gramsci’s theory of Hegemony, and Bourdieu's concept of Habitus.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1952
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mazrul Aziz
"Impeachment presiden adalah suatu peristiwa konflik politik, dilemmatis, Iuar biasa, dan sensitif bagi rakyat dan bangsa Amerika, guna mewujudkan nilai-nilai budaya demokrasi. Dilematis, dalam arti karena wacana impeachment yang kontroversial akibat misinterpretasi dan miskonsepsi terhadap pasal-pasal konstitusi yang beresiko tinggi bagi sejarah dan citra bangsa dikemudian hari jika gegabah membuat keputusan menurunkan seorang presiders yang popular dimata rakyat. Presiden Bill Clinton dipersalahkan atas dasar etika amoral tapi dia tidak bersalah menurut hukum dan konstitusi, karena tindak amoral tidak tertuang dalam tuntutan impeachment. Luar biasa dalam arti sangat langka terjadi walaupun ada preseden terdahulu tahun 1 868 terhadap Presiden Andrew Johnson. Justru itu, proses impeachment menuntut kebijaksanaan penuh kehati-hatian serta pertimbangan matang bagi semua pihak. Sensitif maksudnya karena proses impeachment menuntut perhatian serius rakyat Amerika menyangkut status presiden mereka karena presiden merupakan simbol negara, kedudukan paling terhormat dan agung bagi masyarakat Amerika.
Konflik kepentingan dari kelompok oposisi partai dan kelompok agamais konservatif telah memanfaatkan wacana agama dibalik konspirasi perebutan kekuasaan. Mayoritas opini publik yang berkembang dan sikap pragmatisme pemikiran generasi modern masyarakat Amerika berpikir realistis dan sanggupmembilah privacy dari dinas pemerintahan. Mereka menyetujui pelaksanaan impeachment tapi menolak memberhentikan Clinton. Dengan solusi yang tepat, Senat Amerika mengakomodir aspirasi rakyat tersebut sehingga impeachment berakhir gagal.
Aspek-aspek positif profesionalisme, prestasi kinerja Clinton ikut mempengaruhi gagalnya tuntutan impeachment terhadap dirinya karena dia berhasil menjadikan booming-nya perekonomian Amerika, menutup deficit anggaran Federal yang minus $.290 milliar sampai akhir 1992, sehingga surplus $.9.5 milliar tahun 1999, mereformasi pendidian, meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat, GDP dan income per kapita rakyat.
Penelitian ini bertujuan memperlihatkan bagaimana konflik politik yang terjadi dan opini masyarakat yang berkembang di Amerika dalam polarisasi pro dan kontra opini terhadap impeachment Presiden Clinton. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kwalitatif serta kajian dengan metode analisis deskriptif-interpretatif dan metode content analysis. Buku-buku dan bahan-bahan ilmiah kepustakaan digunakan sebagai teori pendukung terhadap analisis data-data tertulis yang relevan dari media peta, koran-koran, majalah, jurnal, internet, proquest dan lain-lainnya.

The Impeachment of President Bill Clinton, apparently is a political event, on the horns of dilemma, unusual, and very sensitive for all the Peoples of the United States to implement the values of American Democracy. A dilemma here implies that the discourse of impeachment toward Bill Clinton is very controversial due to the fact of misinterpretation, and misperception about the Constitution which is very risky for the country in the long future to unseat the popular president like Bill Clinton. Clinton is blamed in terms of moral-ethic but not in terms of Laws and Constitution. It is unusual because it is very uncommon, and scarcely happening, though, there was a previous precedent toward the impeachment president Andrew Johnson in 1868. Therefore, the process of impeachment should be carefully handled, with a wise consideration for all sides.
Sensitive here implies that the impeachment process requires serious attention from American Peoples concerning the status of their president because a president is a noble symbol of the Nation and highly honorable for all Americans Conflict of interest from opposition party, and interest group of religious conservatives, have made use the religious discourse as the reason behind the conspiracy to unseat President Clinton.
Majority of opinion growing in American societies, as well as the pragmatic attitude of American modern societies, think realistically to isolate the matter of privacy from the state duties. The accurate solution of Senate could considerably accommodate the people aspiration so that the impeachment process finally resulted in failure. Positive aspects of Clinton., his professional performance, and effective lobbies, have exactly influenced the decision of impeachment process. In addition, prestigious performance and popularity of Clinton have made spectacular achievements in American History, to push America as the world leader, and to pursue the American dreams "the City upon the Hill". Majority of American peoples refused to unseat Clinton from White House due to his prestigious success in his efforts to make economy of America booming, to cut the deficit federal budget from 1290 billion in 1992 to surplus $.9,5 billion in 1999, to reform education, and social security.
The goal of the research is to show how the growing issues between pro and contra towards impeachment President Clinton. The research of this thesis uses the qualitative-approach with the deep studies by means of the descriptive interpretative-analysis and the methods of content analysis. Books and scientific materials from library are used as the theories to support the analysis toward the relevant-written articles collected from multiple-resources such as books, and mass media press, such as magazines, journals, bulletins, newspapers, internets, and pro-quests.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T204
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Basalim
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002
342.029 UMA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Basalim
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002
342.029 UMA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Grace Juliyanti
"ABSTRAK
Dalam Konstitusi Jepang 1947 terdapat pasal 9 yang isinya berkaitan dengan kebijakan luar negeri Jepang dan masalah demiliterisasi. Perdana Menteri Abe berencana untuk melakukan amandemen terhadap pasal 9 karena pasal tersebut membatasi Jepang dalam penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik internasional sehingga pergerakan Jepang menjadi terbatas khususnya dalam bidang keamanan. Rencana tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Jepang. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pandangan masyarakat Jepang mengenai rencana amandemen pasal 9 dalam Konstitusi Jepang 1947 yang ingin dilakukan oleh Perdana Menteri Abe. Hasil analisis menunjukan bahwa mayoritas masyarakat Jepang menolak rencana tersebut. Sampai saat ini Jepang menolak untuk ikut serta dalam segala bentuk peperangan maupun memperkuat kekuatan militernya, dengan alasan rakyat Jepang takut akan terulang kekelaman masa lalu di PD II jika Jepang memperkuat pasukan militernya. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah dan studi pustaka. Analisis dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik deskriptif analisis.

ABSTRACT
In Japan rsquo;s 1947 constitution article 9, Japan rsquo;s foreign policy and demilitarization is discussed. Prime Minister Abe planned to make an amendment on article 9 because it limits the military power usage in order to resolve the dispute or international conflict with the result that restrain Japan especially in the national security field. The plan raises pros and cons in Japanese society. This paper will try to explain the Japanese society rsquo;s view on the article 9 amendment plan by Prime Minister Abe. The result shows that the majority of the society objects the plan proposed. To date, Japan has refused to participate in all forms of war as well as strengthening its military strength arguing that the society is afraid of recurring the past World War II if Japan strengthens its military forces. This research was conducted with history research methods and literature studies. This is a qualitative research with descriptive analysis. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Arif
"Tesis ini bertujuan memahami relasi kuasa di balik kontestasi wacana di harian Kompas dalam memberitakan sengketa pembangunan pabrik semen di Kendeng Utara, Jawa Tengah. Untuk menggali permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Pertama-tama dilakukan analisis pembingkaian terhadap berita yang pro dan kontra pembangunan pabrik semen untuk mengetahui pola kontestasi wacana dan aktor-aktornya. Berikutnya, dilakukan kajian etnografi ruang redaksi guna mengetahui relasi kuasanya.
Hasil penelitian menunjukkan Kompas menjadikan kontestasi wacana sebagai mekanisme kontrol atau swasensor atas pemberitaan mereka. Temuan ini melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa kepemilikan modal di tangan segelintir orang telah berdampak buruk bagi independensi media terkait perannya dalam proses demokratisasi (Nugroho, 2012; Lim, 2011; Tapsell, 2012; dan Haryanto, 2011; Steele, 2011).
Dalam penelitian ini, kuasa ekonomi politik di balik praktik swasensor ini diperkaya dengan dimensi permainan kuasa di antara individu wartawan dan praktik swasensor yang telah menjadi habitus Kompas sejak Orde Baru. Jika dulu swasensor dilakukan dalam rangka menyiasati represi politik penguasa, saat ini hal itu dilakukan demi melayani kepentingan kapital dan kepentingan "raja-raja kecil" yang berkuasa di jajaran redaksi. Tesis ini juga menyertakan diskusi teoritik tentang integrasi pendekatan ekonomi politik kritis dengan kajian budaya media.

This thesis aims to investigate power relations behind the discourse contestation of pro-contra towards cement plant in North Kendeng, Central Java, in Kompas daily. To explore these issues, authors used qualitative research methods. First performed analysis of the framing of the news pros and cons of the cement plant to determine the pattern of contestation discourse and the actors. Next, conducted ethnographic studies to determine power relation in the newsroom.
The results showed Kompas makes contestation discourse as a control mechanism or self-censorship on their journalistic practice. These findings complements previous studies, that the ownership of capital in a few hands have negative impact for the independence of the media related to its role in the democratization process (Nugroho, 2012; Lim, 2011; Tapsell, 2012; and Haryanto, 2011; Steele, 2011).
In this study, the power of political economy behind the practice of self-censorship is enriched with the dimension of the game of power between the journalists as individual and practice of self-censorship that has become habitus Kompas since the New Order. Previously, self-censorship is done in order to survive againts the ruling political repression, now it is done for the sake of serving the interests of capital and interest ?little kings? who ruling the newsroom. This thesis also includes a theoretical discussion about the integration of a political economy approach with the media culture studies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>