Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227916 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sevril Renishanti
"Fokus dari skripsi ini adalah untuk membahas mengenai pengaturan doktrin exhaustion of right dan doktrin first sale di Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan hak cipta atas software. Karena Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tidak mengatur mengenai hal ini, oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji hubungan antara doktrin tersebut dengan pasal 570 KUHPerdata. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menilai legalitas dari penjualan software yang dilakukan oleh pembeli dari salinan software. Skripsi ini lebih lanjut akan membahas mengenai teori-teori doktrin exhaustion of right dan doktrin first sale serta penerapannya di dunia.

The focus of this thesis is to discusss about the regulation of exhaustion of right doctrine and first sale doctrine in Indonesia in relation to copyright protection of software. Since Law No 19 Year 2002 Regarding Copyright is silent on this issue, this thesis try to examine the relation between the doctrine and article 570 of Indonesian Civil Code. The purpose of this thesis is to assess the legality of the post-sale of software which conducted by the purchaser of copy of software. This thesis will discuss further about the theory of exhaustion of right doctrine and first sale doctrine as well as its application in the world.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53190
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sebastian Sormin
"Doktrin first sale merupakan sebuah doktrin yang memperbolehkan konsumen untuk memberikan dan menjual kembali ciptaan atau salinan ciptaan yang telah dibelinya secara sah tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Namun, sampai saat ini masih diperdebatkan terkait dengan penerapan doktrin first sale terhadap karya digital, salah satunya adalah terhadap e-book dikarenakan dalam mendistribusikan suatu e-book konsumen perlu untuk membuat salinan baru terlebih dahulu, dimana tindakan tersebut berada di luar ruang lingkup penerapan doktrin first sale. Selain itu, teknologi Digital Rights Management yang seringkali dipasang dalam e-book juga mencegah seseorang untuk melakukan pendistribusian e-book. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis akan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus, dimana hasil dari penelitian ini bersifat preskriptif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah e-book yang diproteksi dengan Digital Rights Management tidaklah dijual, melainkan dilisensikan terhadap konsumen, yang dalam hal ini berbeda dengan penjualan buku cetak dan berada di luar lingkup penerapan doktrin first sale. Penelitian ini menyarankan agar pemerintah sebaiknya mengatur lebih spesifik mengenai keabsahan dari penerapan doktrin first sale dalam UU HC, khususnya terhadap karya-karya digital seperti e-book. Pengaturan ini dapat mencakup kompensasi terhadap setiap penjualan kembali yang dilakukan oleh pembeli e-book. Selain itu, aplikasi-aplikasi e-reader juga dapat menerapkan sistem yang memperbolehkan seseorang untuk memberikan suatu e-book tanpa harus menggandakannya terlebih dahulu.

The first sale doctrine allows consumers to sell or otherwise dispose the works or particular copies of the works that they have legally purchased, without the authority of the copyright owner. However, there has been a wide and varied debate regarding its application towards digital works, such as e-books where the buyer has to make a new copy for the new owner, in which it is considered to be outside the scope of the first sale doctrine. Moreover, the Digital Rights Management technology that is often implemented in e-books will prevent someone from distributing the e-books that they have bought. The author will use the statutory approach and the case approach to answer those issues, where the result of this study will be prescriptive. This study found that unlike its printed counterpart, e-books that are protected by Digital Rights Management are licensed, not sold, meaning that the first-sale doctrine cannot serve as a legal milestone towards the distribution of e-books. The study suggests that the amendment of Indonesian Copyright Act should include provisions regarding the first sale doctrine, especially towards digital works like e-books. These new provisions can include compensation and royalties every time a buyer resell an e-book that they have previously purchased. Furthermore, e-reader apps should implement a system that allows the consumers to lend or give an e-book without having to make a new copy beforehand."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramastuti Kusumaningtyas
"Doktrin first sale memberikan hak bagi konsumen untuk mengalihkan kepemilikan atas ciptaan/salinan sah ciptaan yang telah dibelinya secara sah. Dalam penelitian ini difokuskan pada penerapan doktrin first sale pada penjualan kembali karya rekaman musik, domestik maupun hasil impor, baik dalam format fisik dan/atau digital. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, sedangkan metode analisis datanya adalah metode kualitatif. Penelitian ini menyarankan agar Indonesia dalam amandeman Undang-Undang Hak Cipta memasukkan ketentuan mengenai doktrin first sale yang belum diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

The first-sale doctrine provides that once the holder of an intellectual property right consents to the sale of particular copies of his or her work, he or she may not thereafter exercise the distribution right with respect to such copies. The focus of this study is the application of the first sale doctrine in the re-sale of musical recordings, including domestic and/or imports product, whether in a physical and/or digital format. This study is a qualitative normative study. The data were collected from literature study. This study suggests that the amendment of Indonesian Copyright Act will include provisions regarding the first sale doctrine which is not yet regulated in the Law No.19 of 2002 regarding Copyright."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Terry Iona Byandry Artsyerina
"Video reaction merupakan suatu bentuk kritik audiovisual yang populer dalam internet khususnya YouTube. Pengaturan mengenai penggunaan yang wajar sudah ada pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang didalamnya mengatur ketentuan terhadap suatu bentuk kritik. Namun, Indonesia belum memberikan pengaturan secara jelas mengenai perlindungan terhadap tindakan video reaction. Dalam skripsi ini, penulis akan menganalisis peraturan terkait perlindungan hukum pemegang hak cipta terhadap video reaction pada internet di Indonesia menurut ketentuan UU Hak Cipta dan bagaimana pengaturan serta penerapan doktrin fair use dalam upaya perlindungan hak cipta terhadap video reaction pada internet di Indonesia apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dari kepustakaan melalui studi dokumen. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pengaturan perlindungan tersebut secara implisit terdapat dalam Undang-Undang Hak Cipta, tetapi pengaturan mengenai penggunaan yang wajar atau fair use sendiri belum cukup memberikan cakupan yang luas. Sehingga, Indonesia dapat mengadopsi peraturan yang ada di Amerika Serikat dengan tetap memperhatikan dan menyesuaikan peraturan tersebut dengan kondisi Indonesia.

Video reaction is a form of audiovisual criticism that is popular on the internet, especially YouTube. Regulations regarding fair use already exist in Law No. 28 of 2014 concerning Copyright which includes provisions for a form of criticism. However, Indonesia has not provided clear regulations regarding protection against video reactions. In this thesis, the author will analyze the regulations related to the legal protection of copyright holders against video reactions on the internet in Indonesia according to the provisions of the Copyright Law and how to regulate and apply the doctrine of fair use in an effort to protect copyright against video reactions on the internet in Indonesia when compared to the United States. This research was conducted with a juridical-normative research method with data obtained from the literature through document studies. The results of this study indicate that the regulation of protection is implicit in the Law No. 28 of 2014, but the regulation on fair use alone is not sufficient to provide a broad scope. Thus, Indonesia can adopt existing regulations in the United States while still paying attention to and adapting these regulations to Indonesian conditions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurusyifa, authot
"Tulisan ini menganalisis doktrin freedom of panorama (Kebebasan Panorama) dalam konteks perlindungan hak cipta atas karya fotografi. Doktrin ini berkaitan dengan limitasi (limitations) dan pengecualian (exception) dalam peraturan terkait hak cipta. Hak cipta menimbulkan hak eksklusif Pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Karya fotografi merupakan salah satu jenis karya cipta yang dilindungi namun sejauh mana perlindungannya jika terdapat unsur ciptaan lain di dalamnya.  Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum bersifat normatif, yang menitik beratkan pada norma atau aturan hukum dengan pendekatan Inter-Disiplin, dan analisis data kualitatif untuk menjawab pokok permasalahan berikut: bagaimana hak cipta atas karya fotografi dapat lahir, apakah Pencipta karya fotografi harus meminta izin kepada pemilik setiap objek yang difotonya, dan apakah doktrin Freedom of Panorama diakui dalam hukum hak cipta di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah Hak cipta atas karya fotografi lahir saat Ide telah diwujudkan dalam bentuk nyata, dideklarasikan, dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun, dan merupakan karya yang orisinal atau berasal dari kreasi, imajinasi, dan ekspresi pribadi penciptanya, tanpa meniru atau menjiplak karya orang lain. Perlindungan atas karya fotografi bersifat terbatas, Hak ekonomi berlaku selama periode tertentu, yaitu 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Status ciptaan menjadi public domain setelah waktu perlindungannya habis. Pencipta karya fotografi harus berhati-hati dalam memilih objek foto. Kebutuhan atas izin tergantung objek dan tujuan pemanfaatan karya fotografinya, mengingat relasi objek dan subjek hukum bervariasi. Tedapat objek foto yang memerlukan izin contohnya apabila patut diduga karya tersebut masih dilindungi hak cipta berdasarkan UUHC 2014. UUHC 2014 tidak mengatur mengenai pemanfaatan karya cipta yang berlokasi secara permanen di tempat umum secara khusus dalam aturan pembatasannya, khususnya yang berhubungan dengan karya fotografi. Selama UUHC 2014 masih berlaku dan perlindungan hak cipta atas ciptaan juga masih berlaku, hak eksklusif Pencipta dan/atau pemegang hak juga berlaku.

This thesis analyses the freedom of panorama doctrine in the context of copyright protection for photographic works. Freedom of Panorama is related to limitations and exceptions in regulations related to copyright. Copyright gives rise to the exclusive rights of the Author and/or copyright holder. Photographic works are a type of copyrighted work that is protected, but to what extent is the protection if there are other works in it. This thesis was prepared using normative legal research methods, which focus on legal norms or rules with an inter-disciplinary approach, and qualitative data analysis to answer the following main issues: how can copyright for photographic works arise, whether the Author of a photographic work must ask permission from the owner of each the objects they photographed, and whether the Freedom of Panorama doctrine is recognized in copyright law in Indonesia. The result of this research is Copyright for photographic works is born when the idea is embodied in a tangible form, declared, can be seen, heard, reproduced, or communicated through any device, and is an original work or derived from the creation, imagination, and personal expression of its author, without imitating or plagiarizing the work of others. Protection of photographic works is limited, Economic rights are valid for a certain period, which is 50 (fifty) years from the date of Publication. The status of the works becomes public domain after the protection time expires. Author of photographic works must be careful in choosing photo objects. The need for permission depends on the object and purpose of using the photographic work, considering that the relationship between object and legal subject varies. There are photo objects that require permission, for example if it is reasonable to suspect that the work is still protected by copyright under UUHC 2014. The UUHC 2014 does not regulate freedom of panorama or the use of copyrighted works that are permanently located in public places specifically in its limitations, especially those relating to photographic works. As long as the 2014 UUHC is still in effect and copyright protection of the work is still in effect, the exclusive rights of the Author and/or rights holder also apply."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardosi, Tulus Hasudungan
"Hasil penelitian dalam Tesis ini betujuan untuk memberikan pemahaman tentang perlindungan hak cipta atas karya koreografi melalui doktrin fiksasi dan originalitas. Beberapa pertanyaan yang menjadi pisau analisis dalam penelitian hukum ini adalah bagaimana ketentuan fiksasi yang tepat dan harus dipenuhi oleh karya cipta koreografi, bagaimana ketentuan originalitas dapat terpenuhi oleh karya cipta koreografi, dan apakah pendaftaran Hak Cipta goyang dribble sebagai karya seni tari telah memenuhi ketentuan fiksasi. Dengan metode penelitian normatif, penulis menggunakan pendekatan konsep, pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan yang ada.
Fiksasi merupakan salah satu komponen penting untuk melindungi hak cipta koreografi. Dengan diwujudkannya koreografi ke dalam bentuk nyata, akan mempermudah koreografer dalam mengamati adanya penggandaan karya koreografi tanpa ijin. Di Indonesia, fiksasi dilakukan menggunakan audiovisual recording dan foto disertai penjelasan (manual book). Pendaftaran goyang dribble di DJKI RI dengan melampirkan manual book telah memenuhi ketentuan fiksasi, jika goyangan tersebut termasuk kategori tari. Dari penelitian, ternyatan goyang dribble tidak memenuhi kriteria tarian, sehingga tidak memiliki bentuk fiksasi yang tepat. Selain fiksasi, originalitas menjadi penentu apakah suatu ciptaan benar-benar berasal dari si pencipta atau bukan. Terkait koreografi, independent creation adalah doktrin yang tepat dalam menentukan originalitas koreografi. Dengan doktrin independent creation, koreografer tidak perlu khawatir jika karyanya sama dengan koreografi lain, sepanjang dapat membuktikan kreasi independen ciptaannya.
Untuk menjawab permasalahan di atas, DJKI RI perlu menetapkan fiksasi koreografi melalui Audiovisual dengan kamera yang diletakkan di berbagai sudut untuk menangkap keseluruhan gerak penari. Selain itu, sebaiknya Audiovisual dan manual book dibuat kumulatif. untuk mencegah terjadinya dua Fiksasi terhadap satu karya koreografi. Kemudian, diperlukan penerapan doktrin independent creation dalam menentukan orisinalitas karya koreografi untuk menunjukkan bahwa koreografi tersebut orisinal diciptakan oleh si Koreografer.

This thesis give an information and knowledge about copyright protection of choreography by fixation and originality doctrine. Several questions which become the analysis in this legal research are what fixation is appropriate for choreographic works, how the originality provision which is must required for choreogrographic works, and whether copyright registration of ?goyang dribble? as a dance artworks already fullfiled by fixation requirement. By the normative law research method, an author use a conceptual approach, statute approach, and case approach to obtain an answer from that several questions.
Fixation is one of the important component to protect copyright of choreography. If the choreography already fixed in tangible medium, it will help the choreographer to observe the illegal reproduction of their works. In Indonesia, we use audiovisual recording or photo by description (manual book) as an required fixation for choreography. The registration of ?goyang dribble? at Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Republik Indonesia (DJKI RI) by attach manual book is already complied the fixation requirement, if the dance is including dancing category, but from the research, ?goyang dribble? is not include in a dancing category. Beside fixation, originality also become an important factor for copyright protection of choreography. In this case, ?independent creation‟ is the suitable doctrine to determine originality of choreography. By ?independent creation‟ doctrine, choreographers nothing to worry about the similarity of their choreography with the others, as long as the choreographer able to prove the independent creation of their works.
To answer that several questions, DJKI RI need to set the fixation of choreography by Audiovisual with some cameras are placed at various angles to catch a whole movemet of the dancer. In spite of, it‟s better if the Audivisual and Manual Book set as cumulative made to prevent the occurrence of two fixation for a choreography work. Then, it necessary to practice ?independent creation‟ doctrine to determine an originality of the choreography and original made by the choreographer."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maudy Andhara Putri
"Tulisan ini menganalisis konsep doktrin pelepasan hak dalam hukum perjanjian melalui perbandingan pengaturan dan penerapan di Indonesia dan Inggris. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan komparatif. Konsep doktrin pelepasan hak di Indonesia berasal dari prinsip rechtsverwerking dalam sistem hukum Belanda, yang menyatakan bahwa seseorang dapat kehilangan haknya apabila tindakannya menunjukkan tidak ada niat untuk melaksanakan hak yang dimilikinya. Sejatinya, konsep pelepasan hak ditujukan demi kepastian hukum, agar seseorang yang telah melepaskan haknya tidak dapat melaksanakan haknya tersebut kembali dan melindungi pihak lain. Pelepasan hak dapat diterapkan tidak hanya dalam lingkup hukum agraria, tetapi juga dalam lingkup hukum perdata dan hukum perjanjian. Namun, penerapan konsep pelepasan hak di Indonesia masih terbatas dalam lingkup hukum agraria yang telah diatur dalam PP No. 24/1997 dan lebih lanjut PP No. 20/2021. Berbeda halnya dengan dalam hukum perjanjian, konsep pelepasan hak secara diam-diam tidak diatur dan dirumuskan secara jelas dan khusus dalam KUHPerdata, sehingga penerapannya masih jarang diterapkan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Indonesia menganut sistem hukum civil law yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan di Inggris, doktrin waiver of rights memungkinkan seseorang untuk melepaskan haknya melalui pernyataan, tindakan, atau sikap diam yang bertentangan dengan keberadaan hak tersebut. Sebagai negara yang menganut sistem hukum common law,doktrin waiver of rights di Inggris sudah lumrah untuk diterapkan baik dalam lingkup hukum publik maupun privat, termasuk hukum perjanjian. Doktrin yang telah memiliki preseden yang terstruktur ini memiliki unsur-unsur pokok, yaitu adanya perkataan atau tindakan yang tegas, dan adanya pengetahuan terkait hak dan kapasitas untuk bertindak. Perbandingan doktrin pelepasan hak di Indonesia dan doktrin waiver of rights di Inggris dalam hukum perjanjian kemudian dapat menjadi acuan untuk pembaharuan pengaturan terkait pelepasan hak secara diam-diam dalam hukum perjanjian pada peraturan perundang-undangan hukum perdata di Indonesia.

This paper analyzes the concept of the waiver of rights doctrine in contract law through the comparison of the regulations and applications in Indonesia and United Kingdom. This paper employs doctrinal legal research with a comparative approach. The concept of the waiver of rights doctrine in Indonesia essentially originates from the principle of rechtsverwerking in the Dutch legal system, which states that one can lose their rights if their actions indicate no intention to exercise such rights. The concept of waiver of rights is aimed at ensuring legal certainty, preventing individuals who have waived their rights from reclaiming them, thus protecting the interests of other parties. The waiver of rights can be applied not only in agrarian law but also in civil law and contract law. However, the application of the waiver of rights concept in Indonesia is still limited to agrarian law as regulated in PP No. 24/1997 and further in PP No. 20/2021. In contrast, the concept of an implied waiver of rights in contract law is not clearly regulated and formulated in the Indonesian Civil Code (KUHPerdata), resulting in its infrequent application. This is due to Indonesia's civil law system, which relies on written laws. In the United Kingdom, however, the waiver of rights doctrine allows individuals to waive their rights through statements, actions, or inaction inconsistent with those rights. As a common law country, the United Kingdom's waiver of rights doctrine is widely applied in both public and private law, including contract law. This doctrine, which is well-established through structured precedents, has key elements such as unequivocal statements or conducts and knowledge of the rights and capacity to act. Comparing the waiver of rights doctrine in Indonesia and United Kingdom in contract law can serve as a reference for updating the regulations on an implied waiver of rights in contract law within Indonesia's civil law legislation legislation to further ensure legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Atha Muhana Yanfaunnas
"Perkembangan musik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya peran musisi di Indonesia, mereka melakukan berbagai cara untuk membuat karya ciptaan yang kreatif untuk menghibur masyarakat agar dapat terus berkembang di Indonesia, salah satunya dengan menciptakan karya lagu dan/atau musik menggunakan teknik sampling dengan menggunakan atau mengambil suatu Ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial. Permasalahan yang muncul terdapat dalam pengaturan mengenai perlindungan Hak Cipta di Indonesia yang masih abu-abu akan perkembangan teknik sampling dalam industri musik menyebabkan terancamnya hak moral dan hak ekonomi yang dimiliki oleh Pencipta lagu dan/atau musik orisinal dan Pencipta lagu dan/atau musik yang menggunakan teknik sampling. Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengaturan dan penerapan doktrin Fair Use dalam perlindungan Hak Cipta lagu dan/atau musik teknik sampling di negara Indonesia dan Amerika Serikat agar dapat meningkatkan pengaturan terkait di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis-normatif dan menggunakan pendekatan studi perbandingan dengan cara membandingkan dua atau lebih suatu kondisi. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan mengenai doktrin Fair Use dalam perlindungan Hak Cipta lagu dan/atau musik yang menggunakan teknik sampling di Indonesia dan Amerika Serikat terletak pada pengaturannya terutama dalam ruang lingkupnya, pada penerapannya produser lagu yang menggunakan teknik sampling di Amerika Serikat dapat menggunakan elemen dari lagu lainnya untuk dijadikan sampel tanpa perlu meminta izin kepada produser lagu orisinal dengan catatan bahwa elemen lagu yang dijadikan sampel tidak bersifat substansial dan memiliki perbedaan makna dengan lagu orisinal dengan memenuhi 4 faktor doktrin Fair Use, berbeda dengan Indonesia yang sangat terbatas dan tidak dapat diaplikasikan sebagai pembelaan dan pembuktian.

The development of music in Indonesia can not be separated from the role of musicians in Indonesia, they do various ways to create creative works to entertain the public in order to continue to grow in Indonesia, one of them by creating a song and / or music using sampling techniques by using or taking a Creation in whole or in substantial part. Problems that arise are in the regulation of copyright protection in Indonesia which is still gray on the development of sampling techniques in the music industry causing the threat of moral rights and economic rights owned by the creator of the original song and / or music and the creator of the song and / or music using sampling techniques. The purpose of the research in this thesis is to identify the differences in regulation and application of the doctrine of Fair Use in copyright protection of songs and / or music sampling techniques in Indonesia and the United States in order to improve related arrangements in Indonesia. The research method used in this study is a juridical-normative research method and uses a comparative study approach by comparing two or more conditions. This research indicates that the differences in the doctrine of Fair Use for copyright protection of songs and/or music using sampling techniques in Indonesia and the United States lie in their regulations, particularly in their scope. In practice, song producers in the United States who utilize sampling techniques can use elements from other songs as samples without needing to obtain permission from the original song producer, provided that the elements used are not substantial and carry a different meaning from the original song, in accordance with the four factors of the Fair Use doctrine. This contrasts with Indonesia, where the regulations are considerably restrictive and cannot be applied as a defense or proof."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Rayyan Gustio Kevin
"Modifikasi video game atau modding adalah suatu tindakan mengubah video game melalui program komputer dengan perangkat lunak atau software yang ada diluar video game itu sendiri. Dalam konstruksi hukum hak cipta, modifikasi video game kemudian merupakan perbuatan penggandaan, pengubahan, transformasi, adaptasi, dan penciptaan karya derivatif dari sebuah ciptaan, yaitu video game orisinilnya itu sendiri. Oleh karena itu, Kegiatan modding dapat terindikasi sebagai pelanggaran hak cipta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana perlindungan dari video game dan modifikasi video game dalam hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian dilakukan secara yuridis normatif menggunakan data sekunder dan studi pustaka sebagai bahan utama ketika melakukan penelitian. Penelitin akan berfokus dengan kasus yang sudah ada sebelumnya di Amerika Serikat yaitu Micro Star v. Formgen Inc. Dalam kasus ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa modifikasi video game dapat terindikasi sebagai sebuah pelanggaran hak Cipta tetapi dapat dilakukan apabila memenuhi kriteria yang terdapat dalam fair use dan norma pembatasan pasal 43 Undang-undang Hak Cipta Indonesia.

Video game modification or modding is an act of modifying video games through computer programs with software that exists outside the video game itself. In the construction of copyright law, video game modification is then an act of duplication, alteration, transformation, adaptation, and creation of derivative works from a work already made before, namely the original video game itself. Therefore, modding activities can be indicated as an infringement of copyright. The purpose of this study is to analyze how the protection of video games and video game modifications in copyright law in Indonesia and the United States. The research method is normative juridical form of research using secondary data and literature study as the main material when conducting research. The research will focus on a pre-existing case in the United States, namely Micro Star v. Formgen Inc. In this case, it can then be concluded that the modification of video games can be indicated as an infringement of copyright but it is permissible if it meets the criteria contained in the fair use and limitation norms of article 43 of the Indonesian Copyright Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Galuh Damar Jati
"Karakter fiksi merupakan salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari suatu karya khususnya karya sinematografi. Suatu karakter fiksi merupakan kerja keras dan jerih payah pencipta dari hasil olah kreativitas dan imajinasinya. Karakter fiktif juga merupakan salah satu unsur utama yang mendukung tema dan konflik dalam suatu narasi. Dalam Undang-Undang Hak Cipta saat ini belum mengatur secara khusus berkaitan dengan perlindungan terhadap suatu karakter fiksi. Perlindungan terhadap suatu karakter fiksi secara umum masih terhadap media dimana tempat karakter tersebut berada. Berbeda dengan Amerika Serikat, perlindungan terhadap karakter fiksi disana telah diakui dengan menerapkan standar-standar seperti Character Delineation Test dan Story Being Told Test, sehingga diperoleh kepastian perlindungan terhadapnya. Lebih lanjut, hal itu akan berpengaruh terhadap penggunaan yang wajar pada suatu karakter fiksi. Penggunaan yang wajar atau fair use merupakan salah satu doktrin sebagai bentuk pembatasan terhadap hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta. Penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi di Indonesia sejatinya merupakan penggunaan yang wajar terhadap suatu karya sinematografi khususnya film. Sebab karakter merupakan bagian utama dari suatu karya film yang membangun cerita dalam mendukung tema dan konflik. Sehingga penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi termasuk di dalam penggunaan yang wajar terhadap suatu karya film. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana perlindungan dan prinsip penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi di dalam ketentuan Undang-Undang Hak Cipta

Fictional characters are one of the integral elements of a work, especially a cinematographic work. A fictional character is the result of the creator's work and effort, as well as his creativity and imagination. Fictional characters are also one of the main elements that support the theme and conflict in a narrative. The current copyright law in Indonesia does not specifically regulate the protection of a fictional character. In general, the protection of a fictional character still on the media where the character is located. In contrast to the United States, the protection of fictional characters has been recognized in that country by using standards such as the character delineation test and the story being told test to ensure certainty of protection against it. Furthermore, it will affect the fair use of a fictional character. Fair use is one of the doctrines that limit the exclusive rights owned by the creator. Fair use of a fictional character in Indonesia is actually a fair use of a cinematographic work, especially a movie. Because characters are the main part of a movie, they build a story for supporting themes and conflicts. Therefore, the fair use of a fictional character is included in the fair use of a film work. By using the normative juridical research method, this paper will analyze how the protection and principle of fair use of a fictional character are addressed in the provisions of the Copyright Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>