Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noviyanti Angelina
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum yang diberikan bagi konsumen
terhadap kelalaian yang dilakukan oleh apoteker. Pembahasan ini merupakan hal penting dikarenakan konsumen sebagai pihak yang lemah kedudukannya sering dirugikan oleh pelaku usaha tidak terkecuali apoteker. Apoteker sebagai pihak yang memberikan layanan kesehatan kepada pasien sering tidak memperhatikan etika serta standar yang telah ditetapkan. Akibatnya, pasien yang berkedudukan sebagai konsumen sering mengalami kerugian, baik secara materi maupun non-materi. Hal ini dibuktikan melalui kasus yang diangkat dalam penelitian ini, dimana apoteker keliru dalam memberikan obat kepada konsumen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara khusus tidak mengatur mengenai konsumen obat. Akan tetapi, ketentuan dalam UUPK dapat diterapkan dalam kasus ini khususnya ketentuan mengenai penyelesaian serta pertanggungjawaban pelaku usaha.

ABSTRACT
This mini thesis discusses the legal protection given to consumers against negligence
committed by pharmacists. This discussion is important because consumers as the lame
position is often impaired by the entrepreneurs no exception pharmacist. Pharmacists as a party providing health services to patients often do not pay attention to the ethics and standards that have been set. As a result, patients as the consumer often suffer losses, both material and non - material. This is evidenced by the cases raised in this study, where the pharmacist mistakenly gave the drug to consumers. The method used in this study is a research method that is both normative research which refers to legal norms by using a literature study and interviews. Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection does not specifically regulate the drug consumers. However, provisions in UUPK can be applied in this case in particular the provisions regarding the settlement and accountability of entrepeneurs."
2014
S54115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisya Nadiandra
"Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian oleh apoteker. Dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek, dapat dilakukan oleh apoteker, tenaga ahli kefarmasian dan asisten tenaga kefarmasian. Seorang pasien dapat menebus resep obat yang diberikan oleh dokter ke apotek. Namun, terdapat permasalahan apabila yang memberikan pelayanan kefarmasian tersebut bukanlah tenaga kefarmasian. Terlebih lagi, apabila obat yang diberikan tersebut menyebabkan pasien menjadi tidak sadarkan diri akibat ketidaksesuaian obat yang diberikan oleh pihak apotek dengan obat yang tertulis di dalam resep dokter. Kasus serupa telah terjadi di salah satu apotek di Medan dimana pasien mengalami penurunan kesadaran, hipoglicemia, stroke, serta adanya suspek. Oleh karena itu, penulis ingin membahas dan meneliti bagaimana perlindungan hukum bagi pasien terhadap pengolahan obat berdasarkan resep dokter oleh apotek dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2258/Pid.Sus/2020/Pn Mdn. Telah terjadi kesalahan serta kelalaian dalam kasus tersebut, antara lain mengenai tanggung jawab apoteker, pelayanan resep, serta kesalahan pemberian sediaan farmasi atau obat oleh tenaga non kefarmasian yang menyebabkan korban tidak sadarkan diri. Penulis menyarankan bagi Dinas Kesehatan untuk meningkatkan pengawasan serta apotek untuk memiliki standar operasional prosedur yang komprehensif.

Pharmacy is a pharmaceutical service facility where pharmacists practice pharmacy. In providing pharmaceutical services, it can be done by pharmacists, pharmaceutical experts and assistant pharmacy staff. A patient can redeem their drug prescription given by a doctor to a pharmacy. However, this could cause a problem if the one who gives the drug is not a pharmacist nor pharmacist assistant nor assistant pharmacy staff. Moreover, if the drug given causes the patient to become unconscious due to the incompatibility of the drug given by the pharmacy with the drug written in the doctor's prescription. A similar case had occurred in a pharmacy in Medan where the patient had hypoglycemia, stroke, suspected hypertensive heart disease and lost consciousness. Therefore, author wants to analyze and examine the legal protection for patient in drug processing based on doctor's prescriptions by pharmacies by analyzing the Medan District Court Decision Number 2258/Pid.Sus/2020/Pn Mdn. There have been fallacies and omissions in cases involving the pharmacist's responsibility, prescription services, and errors in drug processing by non-pharmaceutical staff which caused the victim to become unconscious. The author suggests for the Health Agency to improve their supervision and for pharmacies to have more comprehensive standard operating procedures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Widi Ramadanang
"Self-Medication atau swamedikasi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan yang saat ini banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan Dunia. Self-Medication atau swamedikasi sendiri merupakan kegiatan pengobatan diri sendiri yang didasarkan pada pengetahuan individu yang diperoleh dari berbagai sumber tanpa adanya konsultasi dengan dokter. Self-Medication atau swamedikasi diawali dengan self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri yang berdasarkan pada sumber non tenaga medis atau tidak berdasarkan pada diagnosis yang dilakukan oleh dokter. Setelah melakukan self-diagnose dan sudah mengetahui perkiraan penyakit yang dialami, selanjutnya pelaku self-Medication atau swamedikasi akan membeli obat untuk penyakit tersebut di toko obat ataupun apotek. Apoteker memiliki peran penting dalam melayani Self-Medication atau swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat di apotek. Dalam pelayanan Self-Medication atau swamedikasi di apotek, apoteker harus terlebih dahulu mengetahui penyakit apa yang diderita oleh pelaku swamedikasi. hal tersebut dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada pelaku swamedikasi di apotek. Proses untuk mengetahui penyakit yang diderita tersebut terlihat seperti diagnosis yang dilakukan oleh dokter dan merupakan wewenang dari dokter. Dalam peraturan perundang-undangan belum disebutkan secara jelas mengenai wewenang apoteker dalam melakukan wawancara kepada pelaku swamedikasi yang bertujuan untuk mengetahui penyakit yang dialami oleh pelaku swamedikasi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini akan membahas mengenai wewenang apoteker untuk memberikan obat dan diagnosis kepada pasien atau pelaku swamedikasi di apotek dilihat dari peraturan perundang-undangan hukum kesehatan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa wewenang apoteker dalam hal melakukan wawancara untuk menentukan penyakit yang dialami oleh pelaku swamedikasi diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan namun terbatas pada penyakit-penyakit ringan yang dapat diobati dengan obat golongan bebas dan bebas terbatas.

Self-medication is a prevalent practice in Indonesia and worldwide, where individuals diagnose and treat themselves based on their own knowledge without consulting to a doctor. This process begins with self-diagnosis, using non-medical sources rather than a doctor's diagnosis. After self-diagnosing, individuals proceed to purchase medicines for their perceived ailment from pharmacies. Pharmacists play a crucial role in facilitating self-medication by providing assistance to customers in pharmacies. They engage in interviews with individuals to determine their medical condition, resembling a doctor's diagnosis, although the legal framework does not clearly define the authority of pharmacists in conducting these interviews. Through normative juridical research, this study aims to explore the authority of pharmacists to provide medications and diagnoses to self-medication actors in pharmacies within the context of health law legislation. The findings reveal that pharmacists are permitted by the legislation to conduct interviews to identify the illnesses experienced by self-medication actors. However, this authority is limited to minor ailments that can be treated with over-the-counter and limited over-the-counter drugs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Clarissa Zion Putri
"Semenjak pandemi Covid-19 berlangsung, banyak oknum dalam sektor farmasi yang memanfaatkan keadaan untuk menjual obat Covid-19 dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Tindakan pelaku usaha ini banyak menimbulkan kerugian, khususnya terhadap konsumen, sehingga penting untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen dalam undang-undang yang dapat diterapkan apabila terjadi transaksi pembelian obat Covid-19 di atas HET. Berdasarkan pengaturan tersebut, dapat diketahui pula sanksi bagi pelaku usaha yang bertanggung jawab dalam penjualan obat Covid-19 di atas HET. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dalam penelitian ini untuk menelaah asas-asas hukum dan sumber hukum tertulis terkait perlindungan konsumen dan penjualan obat Covid-19 dengan harga di atas HET. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pelaku dalam hal ini telah melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Meskipun begitu, tetap dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik dan jelas mengenai pelanggaran terhadap HET agar perlindungan konsumen dapat lebih tegas ditegakkan dan tidak lagi menimbulkan pertanyaan atau pelanggaran lebih lanjut. Selain itu, pengawasan Pemerintah sebaiknya tidak hanya berfokus pada penjualan obat Covid-19 di pasar, melainkan juga dilakukan pengawasan sejak proses produksi, sehingga tidak ada celah bagi pelaku usaha untuk melakukan permainan harga sejak proses produksi hingga pemasaran.

Since the Covid-19 pandemic took place, business actors in the pharmaceutical sector have taken advantage of this phenomenon to sell Covid-19 medicines at prices above the Maximum Retail Price (MRP) set by the Ministry of Health. The actions of these business actors cause a lot of disadvantages to the consumers, so it is important to know the regulations that can be used to protect the consumers if they encountered a Covid-19 medicines purchase transaction with prices above the MRP. Based on said regulations, penalties for the responsible business actors could also be determined. For this research, Author uses the juridical-normative method to examine legal principles and awritten legal sources related to consumer protection and the selling of Covid-19 medicines at prices above MRP. The results of this research indicate that the actions of perpetrators in this case have violated human rights regulated in the The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and many other laws and regulations, including Act No. 8, s. 1999 about Consumer Protection. Even so, there is still a need for more specific and clear regulations regarding violations of the MRP policy, so that the consumer protection can be enforced more firmly and no longer raise questions or further violations. In addition, the Government's supervision for this policy should not only focus on the selling of Covid-19 medicines in the market, but it also needed supervision since the production process, so there is no opportunity for business actors to manipulate the prices since the production process up to the marketing process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahul Jannah
"Dalam berinvestasi di pasar modal, investor memerlukan perusahaan efek sebagai pedagang perantara. Perusahaan efek dapat melakukan penyalahgunaan wewenang terhadap efek investor seperti pada kasus PT Sarijaya Permana Sekuritas. Risiko ini harus diatasi dengan memberikan perlindungan hukum bagi investor dalam rangka pertanggung jawaban perusahaan efek yang terbukti melakukan penyalahgunaan dana atau efek milik investornya. Bapepam-LK mengeluarkan Peraturan Bapepam-LK Nomor VI.A.4 dan VI.A.5 yang mengamanatkan pendirian lembaga penyelenggara dana perlindungan pemodal dalam rangka melindungi investor di pasar modal. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penyelenggara dana perlindungan pemodal berperan untuk melindungi aset investor dan memberikan pengembalian kerugian aset investor dalam hal terjadi kehilangan sebagai akibat terjadinya peristiwa tertentu seperti penyalahgunaan wewenang yang dilakukan perusahaan efek.

When investing in the capital market, investors need securities companies as market intermediary. Securities companies can do the abuse of authority against the effects of investors as in the case of PT Sarijaya Permana Securities. These risks must be overcomed with provide legal protection for investors in order the stewardship of securities companies proven to commit the misuse of funds or investor effect. Bapepam LK issue regulations Bapepam-LK Rule Number VI.A.4 and VI.A.5 that dictates the establishment of investor protection fund in order to protect investors in capital market. The results of this study concluded that the investor protection fund role is to protect investors assets and provide a return loss of investors assets in the event of a loss as a result of the occurrence of certain events such as abuse of authority by the securities company."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54126
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosma Handayani
"Industri jasa periklanan dan promosi dewasa ini telah ber kembang cukup pesat dan mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Kemajuan dan keberhasilan tersebut perlu terus dikembangkan dengan pembinaan yang tepat. Perlu pula dilakukan pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan periklanan khususnya di bidang obat dan makanan . Pengendalian dan pengawasannya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat termasuk produsen dan kalangan periklanan itu sendiri. Langkah-langkah pembinaan dan pengawasannya haruslah bersifat persuasif, edukatif dan preventif agar kegiatan periklanan obat tidak menyesatkan dan merugikan masyarakat. Jika dengan adanya iklan obat yang menyesatkan tersebut ternyata menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka perlu adanya tanggung jawab yuridis dari para pengusaha yang terlibat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Tanggung jawab tersebut dalam bentuk ganti rugi dari pelaku perbuatan melawan hukum kepada pihak yang dirugikan agar hak-hak konsumen yang telah dilanggar pulih kembali. Tuntutan konsumen yang dirugi kan tersebut didasarkan pada pasal 1365 juncto 1371 K.U.H. Perdata. Konsumen sebagai penggugat harus membuktikan bahwa syara-tsyarat materiil perbuatan melawan hukum telah dipenuhi dengan melihat dari isi iklan obat yang menyesatkan. Jika terbukti isi iklan obat yang menyesatkan tersebut memenuhi syarat-syarat materiil dari perbuatan melawan hukum, maka yang bertanggungjawab selain produsen juga pihak yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengiklanan obat dan pihak-pihak lain yang memperoleh keuntungan finansial dari iklan tersebut berdasarkan pasal 1365 juncto 1371 dengan melihat dari isi iklan obat yang menyesatkan. Jika terbukti isi iklan obat yang menyesatkan tersebut memenuhi syarat-syarat materiil dari perbuatan melawan hukum, maka yang bertanggungjawab selain produsen Juga pihak yang bertugas melakukan pengawasan terhadap penqiklanan obat dan pihak-pihak lain yang memperoleh keuntungan finansial dari iklan tersebut berdasarkan pasal 1365 junc to 1371 K.U.H. Perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S20361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Dwi Murni
"Di era digital ini, perkembangan teknologi memang sangat pesat, salah
satunya pada bidang perbankan. Perbankan bertransformasi memberikan kemudahan bagi nasabahnya untuk bertransaksi secara mobile hanya dengan menggunakan smartphone. Layanan ini biasa disebut dengan layanan digital banking atau Layanan Perbankan Digital. Namun, tak dapat dipungkiri, semakin canggih teknologi, semakin canggih pula niat jahat dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meretas teknologi tersebut. Dengan adanya modus kejahatan untuk meretas teknologi, hal ini dapat menyebabkan kerugian bagi
konsumen akibat peretasan akun bank. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu diketahui bentuk pertanggungjawaban bank terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat peretasan akun bank. Adapun metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal terjadinya kerugian yang dialami konsumen, bank harus bertanggung jawab terhadap kerugian tersebut, jika terbukti kerugian yang timbul bukan merupakan kesalahan konsumen.
In this digital era, technological developments are indeed very rapid, one of them is the banking sector. Transformed banking makes it easy for customers to do mobile transactions only by using smartphones. This service is commonly referred to as digital banking services. However, it cannot be denied, the more sophisticated the technology, the more sophisticated it would be for the irresponsible people with
evil intentions to hack the technologies. With the existence of hacking crimes in technology, this can cause losses for consumers due to bank accounts hacking. Based on this background, it is necessary to know the form of bank accountability for consumers who suffer losses due to the hacking of bank accounts. The research method used in this research is descriptive-analytical. The results showed that any losses experienced by consumers, banks must be responsible for these losses, if it is proven that the losses arouse are not the fault of the consumer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ronaldo Nazaronnie
"Skripsi ini menganalisis pengaturan mengenai standardisasi pusat kebugaran di Indonesia sebagai bentuk perlindungan konsumen dan perlindungan hukum atas cedera konsumen yang disebabkan oleh pusat kebugaran yang tidak memenuhi standardisasi. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Di Indonesia, belum terdapat pengaturan spesifik mengenai standardisasi pusat kebugaran, namun untuk suatu pusat kebugaran mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI), harus mengajukan melalui Online Single Submission untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). NIB tersebut berlaku sebagai SNI untuk pusat kebugaran. Di sisi lain, terkait standardisasi lebih detail terkait pusat kebugaran di Indonesia belum diatur jelas. Saat ini, standar yang ada lebih berfokus pada perizinan usaha melalui sistem OSS dan NIB, serta pedoman umum dari asosiasi seperti APKI dan PPKI. Ketiadaan standardisasi spesifik ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko bagi konsumen, sehingga diperlukan pengembangan dan implementasi standar yang lebih komprehensif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tanggung jawab pelaku usaha pusat kebugaran terhadap cedera konsumen yang disebabkan oleh fasilitas yang tidak terstandarisasi. Pelaku usaha diwajibkan menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dengan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas, memberikan informasi yang akurat, dan menyediakan fasilitas yang memenuhi standar keamanan. Bila terjadi cedera, pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan pertama, kompensasi, dan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku. Konsumen memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban, baik melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan maupun melalui jalur pengadilan, dengan kemungkinan sanksi bagi pelaku usaha mulai dari tindakan administratif hingga pidana. Dengan demikian, UU ini memberikan perlindungan hak bagi konsumen dan menetapkan kewajiban yang jelas bagi pelaku usaha pusat kebugaran untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pengguna layanannya.

This thesis analyzes the regulations regarding the standardization of fitness centers in Indonesia as a form of consumer protection and legal protection against consumer injuries caused by fitness centers that do not meet standardization. This thesis is compiled using doctrinal research methods. In Indonesia, there are no specific regulations regarding the standardization of fitness centers. However, for a fitness center to obtain the Indonesian National Standard (SNI), it must apply through the Online Single Submission to obtain a Business Identification Number (NIB). The NIB serves as the SNI for fitness centers. On the other hand, more detailed standardization related to fitness centers in Indonesia is not clearly regulated. Currently, existing standards focus more on business licensing through the OSS and NIB systems, as well as general guidelines from associations such as APKI and PPKI. The absence of specific standardization potentially creates legal uncertainty and risks for consumers, thus requiring the development and implementation of more comprehensive standards. The Consumer Protection Act regulates the responsibility of fitness center business operators for consumer injuries caused by non-standardized facilities. Business operators are required to ensure consumer safety by implementing clear Standard Operating Procedures (SOP), providing accurate information, and offering facilities that meet safety standards. In case of injury, business operators are responsible for providing first aid, compensation, and indemnification as per the applicable regulations. Consumers have the right to seek accountability, either through out-of-court dispute resolution or through judicial channels, with possible sanctions for business operators ranging from administrative actions to criminal penalties. Thus, this law provides rights protection for consumers and establishes clear obligations for fitness center business operators to ensure the safety, security, and comfort of their service users."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Hadi
"Permasalahan obat batuk sirop yang menyebabkan gangguan ginjal akut pada anak mencapai angka 326 kasus per 5 Februari 2023. Kasus ini memberikan dampak yang besar kepada masyarakat selaku konsumen karena produk obat yang harusnya menyembuhkan malah menyebabkan kematian pada anak. Selain itu penyebab kematian ini disebabkan oleh obat atau sediaan farmasi yang pada dasarnya telah memiliki izin edar. Masalah ini menunjukkan lemahnya perlindungan kepada masyarakat dalam hal ini konsumen yang selalu berada di posisi yang tidak diuntungkan dalam hubungannya dengan pelaku usaha obat-obatan. Pengawasan obat yang merupakan bentuk dari perlindungan hukum kepada konsumen tidak dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal yang mengumpulkan data-data melalui media cetak, dalam jaringan, jurnal, buku, dan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi konsumen khususnya dalam kasus obat yang menyebabkan gagal ginjal sehingga menyebabkan meninggal ratusan anak di seluruh dunia pada tahun 2022-2023. Pada penelitian ini melihat pelanggaran hukum di bidang perlindungan konsumen yang dilanggar oleh beberapa industri farmasi. Serta melakukan komparasi hukum dengan pengaturan yang dilaksanakan di Amerika dan India terkait pengawasan obat. Pada akhirnya ditemukan adanya 4 perusahaan yang telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Kesehatan. Serta adanya permasalahan dalam kelembagaan pengawasan obat di Indonesia yang menjadikan pengawasan obat yang lambat dan tidak efektif dalam melakukan pengawasan di Indonesia.

The Case of cough syrup that causes acute kidney failure to children reached 326 cases as of February 5, 2023. This case has a big impact on society, Those situation cause of medicinal products that should cure patient become cause of death hundreds of children. In addition, the cause of death is caused by drugs that basically have a distribution license. This case shows the lack of protection to the consumers who are always at a disadvantage position in transaction with drug industries. Those situation is implication of Drug supervision which is a form of legal protection to consumers is not implemented properly by the government. This study uses doctrinal research methods that collect data through print, dalam jaringan, journals, books, and laws and regulations related to cases of violations that cause harm to consumers, especially in the case of drugs that cause kidney failure causing the death of hundreds of children worldwide in 2022-2023. This study looks at violations of laws in the field of consumer protection that are violated by several pharmaceutical industries. As well as comparing the law with the regulations implemented in America and India related to drug control. In the end, it was found that there were 4 companies that had violated the provisions in the Consumer Protection and Health Law. Moreover, there are problems in drug supervision institutions in Indonesia that make drug supervision slow and ineffective in conducting supervision in Indonesia compared to food and drugs administration in America and Central Drugs Standard Control Organization in India."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardanty Sista Heriyani
"Pada prakteknya perjanjian leasing mencantumkan benda-benda yang dijadikan jaminan oleh lessee guna menjaga kelancaran pembayaran uang sewa. Akibatnya ketika lessee wanprestasi, maka lessor dalam praktek langsung melakukan eksekusi terhadap benda jaminan tersebut melalui penjualan kepada pihak ketiga. Akan tetapi timbul masalah ketika eksekusi tersebut dinyatakan tidak sah karena pengembalian objek leasing ditangan lessor dianggap sebagai bentuk pembayaran hutang milik lessee sehingga tidak diperlukan lagi eksekusi benda jaminan milik lessee. Permasalahan lainnya yang dapat muncul adalah ketika pembeli sebagai pihak ketiga merasa dirugikan akibat penjualan benda jaminan tersebut sebagai bentuk eksekusi yang telah dinyatakan tidak sah. Dalam skripsi ini, dibahas mengenai perkara wanprestasi yang menghasilkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 216 PK/Pdt/2004 jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 610 PK/Pdt./2008 .

Practically, leasing agreement usually listed things which used as guarantee by lessee to keep the payment of the rent. In excess, when the lessee default the agreement, the lessor will execute the guarantee goods with a selling to the third parties. But in the other hand, there is a problem occured when the execution stated not right because the leasing object in the lessor hand is considered as debt payment by the lessee, which means the execution of the lessee’s guarantee goods was no need to be executed anymore. The other problem will occurred when the buyer as the third party feels disadvantage in order the execution of the guarantee goods was stated not right. This Thesis will discuss about the default case in the decision of Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 216 PK/Pdt/2004 jo. Decision of Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 610 PK/Pdt/2008."
2014
S54139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>