Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55534 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riefky Bagas Prastowo
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai peran Pesantren Ali Maksum dalam upaya
melawan ideologi jihad radikal yang disebarluaskan oleh kelompok terorisme.
Skripsi ini melihat peran pesantren sebagai sebuah reaksi sosial masyarakat
terhadap kejahatan. Landasan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian
ini adalah peacemaking criminology dan pendekatan secara soft-approach dalam
penanggulangan terorisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan penelusuran data
sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini menemukan bentuk-bentuk dari peran pesantren dalam
melawan ideologi jihad radikal. Bentuk-bentuk tersebut berupa pelibatan
masyarakat dalam kegiatan yang diselenggarakan pesantren dan adanya wacana
pengganti sebagai sebuah cara untuk melawan ideologi jihad radikal. Namun
demikian, penelitian ini tidak bisa digeneralisasi terhadap pesantren yang lain.
Selain itu penelitian ini hanya mendeskripsikan peran pesantren dan tidak melihat
efektifitas keberhasilan dari program mereka.

ABSTRACT
This minithesis discussed about the role of pesantren in efforts against ideology
jihad radical being disseminated by a group of terrorism. This minithesis looked at
the role of boarding school as a social community reaction to the crime. The
theory and concept that used in this research is peacemaking criminology and soft
approach on counter-terrorism. This research used the qualitative approach with
field research methods. The technique of collecting data is by using observation,
interview and tracing data secondary pertaining to issues discussed in this
research. The result of this research found the forms of the role of pesantren in
counter-ideologi of Radical Jihadi. These forms of involvement of the community
in the activities held there and the presence of substitute discourse as a way to
counter-ideology of radical jihadi. However, these studies cannot be generalized
to other pesantren. In addition this study only describes the role of pesantren and
not see effectiveness the success of their programs."
2014
S54506
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Muhammad Ahmadi
"Pesantren yang merupakan subkultur bangsa Indonesia tentunya mempunyai struktur sosial sendiri yang unik. Kiai adalah tokoh sentral pesantren yang memimpin dan berdiri sebagai imam, guru juga pemilik lembaga pendidikan yang bernama pesantren. Sehingga kiai memiliki otoritas yang penuh terhadap persantren yang dipimpinnya. Tak berlebihan kalau kemudian kiai disebut sebagai salah satu dari agen perubahan sosial yang ada dalam pesantren dan juga cultural broker bagi pesantren. Sebagai sebuah organisasi, pesantren tidak hanya kiai yang disebut aktor. Ada beberapa aktor dalam pesantren, salah satunya adalah ibu nyai yaitu istri kiai pemilik atau pengasuh pesantren.
Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta adalah pesantren salaf yang didalamnya tradisi Islam NU sangat kental. Pendidikan klasikal masih menjadi metode pendidikan dalam pesantren tersebut. Peran kiai masih dominan sebagaimana layaknya pesantren pada umumnya. Tetapi ada beberapa ibu nyai dalam pesantren ini juga memiliki peran yang tidak kalah dengan kiai. Sebab ibu nyai tidak digambarkan sebagai pendamping kiai saja tetapi ada peranan yang ibu nyai mainkan karena ibu nyai termasuk dalam elit pesantren yang tentunya memiliki power sebagaimana layaknya elit sosial dalam masyarakat.
Seberapa ibu nyai dalam pesantren Al Munawwir ini turut serta untuk memberikan arti dalam perjalanan pesantren. Dimana ibu nyai turut berperan serta dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pesantren. Peran ibu nyai yang menonjol dalam pesantren merupakan basil dari proses yang berlangsung dalam diri ibu nyai. Adanya persepsi yang dimilikinya dan struktur sosial pesantren yang saling berinteraksi ditambah dengan adanya motif dan situasi serta kondisi yang mendukung membuat ibu nyai dapat melakukan reproduksi dan memainkan perannya dengan kesadarannya sendiri. Tak dapat dinafikan adanya dorongan dari aktor-aktor lain dalam pesantren yang mendorong ibu nyai.
Human capital yang dimiliki oleh ibu nyai membuat ibu nyai dapat memberdayakan dirinya dan membuatnya lebih berperan dalam komunitas pesantren. Saat ibu nyai telah mendapatkan tempat dan legitimasi dari komunitas pesantren sebagai alit ibu nyai dapat membawa angin perubahan bagi pesantren. Ibu nyai sebagai perempuan sanggup mengalokasikan power dalam tindakan sosialnya. Otoritas power yang dimiliki ternyata dimanfwkan sedemikian rupa oleh ibu nyai walaupun ibu nyai mendapatkan tantangan sebagai konsekuensi logis ketika ada sekelompok orang yang bplum siap.
Pesanlren salaf tidak seperti dibayangkan selama ini sebagai sesuatu yang ortodok dan kaku yang mengkungkung peran dan kebebasan perempuan. Di pesantren ini peran ibu nyai ternyata tidak lepas dari legitimasi yang diberikan oleh komunitas pesantren terlebih adanya kiai yang memberikan legitimasi tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Al Tahaj
"Fenomena radikalisasi ideologi radikal teroris yang terjadi secara massif dan tidak biasasemenjak kebangkitan kelompok teroris internasional, IS Islamic State , memaksa pemerintahberpikir keras untuk menemukan formula dalam rangka menghentikan laju proses radikalisasi.Era global dan demokrasi, dimana batas-batas Negara seakan tidak ada lagi, informasi yangmelimpah, serta kebebasan dalam bersuara, seakan menjadi momok ketika dimanfaatkan olehkelompok radikal untuk melakukan propaganda-propaganda naratif ideologi radikal terorismilik mereka. Pembentukan BNPT pada tahun 2010 yang menggantikan fungsi DeskKoordinasi Penanggulangan Terorisme yang dianggap berhasil melakukan upaya-upaya hardapproach namun dianggap kurang mampu untuk menghentikan aksi terorisme yang terusmenerus terjadi. Aksi terorisme tidak akan terjadi selama radikalisasi ideologi radikal dapatdihentikan, untuk itu BNPT melalui Direktorat Pencegahan BNPT menyusun kebijakan dibidang pencegahan, yang salah satunya dalam bentuk strategi kontra-radikalisasi yangdilakukan secara online dan offline. Strategi kontra-radikalisasi yang dilakukan oleh DirektoratPencegahan BNPT ini terdiri dari kontra-propaganda dan kontra-naratif. Inti dari strategi danprogram ini adalah untuk menjadikan ideologi radikal teroris menjadi tidak menarik bagimasyarakat Indonesia melalui kontra-naratif, dan serta membantu meningkatkan rasa cintatanah air dan kebangsaan melalui kontra-propaganda. Melihat kebijakan dalam bentuk programini telah dilaksanakan oleh BNPT, namun arus radikalisasi dan aksi terorisme masih terusterjadi, sehingga perlu dilakukan analisa secara mendalam mengenai letak kekurangan dalamupaya kontra-radikalisasi oleh Direktorat Pencegahan BNPT. Analisa ini meliputi kesesuaianantara perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan tujuan kebijakan dalamkebijakan/program kontra-radikalisasi oleh Direktorat Pencegahan BNPT dalam upayamencegah penyebaran ideologi radikal di Indonesia.

The radical and unusual phenomenon of radicalization of terrorist radical ideologies since therise of the international terrorist group, IS Islamic State , forced the government to think hardto find formulas in order to stop the process of radicalization. The global era and democracy,where the borders of the State seem to be no more, abundant information, and freedom ofspeech, seem to be a scourge when exploited by radical groups to perform their own radicalradical propaganda propaganda propaganda. The establishment of BNPT in 2010 whichreplaced the function of Counter Terrorism Coordination Desk DKPT which is consideredsuccessful to make efforts of hard approach but considered less able to stop continuous acts ofterrorism. Acts of terrorism will not occur during radicalization of radical ideology can bestopped, for that BNPT through the Directorate of Prevention BNPT formulate policies in thefield of prevention, one of which in the form of counter radicalization strategy conductedonline and offline. The counter radicalization strategy undertaken by the Directorate ofPrevention of BNPT consists of counter propaganda and counter narrative. The essence ofthese strategies and programs is to make terrorist radical ideology unattractive to Indonesiansthrough counter narrative, and to help increase the love of homeland and nationality throughcounter propaganda. Seeing the policy in the form of this program has been implemented byBNPT, but the flow of radicalization and acts of terrorism still continues, so it needs to be donein depth analysis of the location of deficiencies in counter radicalization efforts by theDirectorate of Prevention of BNPT. This analysis covers the correspondence between policyformulation, policy implementation, and policy objectives in the policy program of counterradicalizationby the Directorate of Prevention of BNPT in an effort to prevent the spread ofradical terrorism ideology in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Zulfahri
"Terorisme di sepanjang abad ke-21 ini telah menjadi perhatian utama di seluruh dunia. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, karena frekuensi kekerasan yang dihasilkan dari aksi-aksi terorisme sangatlah besar, sehingga banyak para peneliti yang berusaha untuk meneliti aktivitas kekerasan yang bernama terorisme ini. Terorisme adalah suatu kejahatan yang berbasiskan pada ideologi, dimana pada saat ini ideologi terorisme kebanyakan bersadarkan pada ajaran keagamaan. Di Indonesia, para pelaku aksi terorisme keagamaan mayoritas berasal dari kalangan umat Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji genealogi dan membuat pemetaan ideologi para pelaku terorisme keagamaan di Indonesia, dimana hasil dari penelitian ini nantinya digunakan sebagai bahan rujukan dalam menyusun strategi penanggulangan terorisme di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang diambil berdasarkan pada wawancara mendalam dan kajian literatur.
Hasil penelitian yang didapatkan adalah terorisme keagamaan di Indonesia merupakan cerita bersambung yang pertumbuhannya bermula dari zaman sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan saat sekarang, dimana para pelakunya saling memiliki keterkaitan. Mulai dari kemunculan gerakan Darul Islam DI yang kemudian memproklamirkan Negara Islam Indonesia NII , dilanjutkan dengan kelompok Al-Jamaah Al-Islamiyah JI , dilanjutkan lagi oleh kelompok Al-Qaeda Indonesia, dan hari ini dilanjutkan oleh kelompok ISIS Indonesia. Alasan yang menyebabkan berbagai kelompok ini melakukan aksi terorisme adalah karena karena tersumbatnya aspirasi politik untuk mewujudkan penerapan Syariat Islam secara formal di Indonesia.
Dari hasil pemetaan ideologi pelaku terorisme keagamaan di Indonesia, disimpulkan bahwa kelompok ISIS Indonesia memiliki tingkat ideologi radikal paling tinggi, dilanjutkan secara berurutan oleh kelompok Al-Qaeda Indonesia, JI, dan DI. Tingkatan ideologi radikal ini dijadikan tolok ukur untuk menilai keberhasilan program penanggulangan terorisme di Indonesia, khususnya dalam memoderasi ideologi radikal pelaku terorisme keagamaan. Akan tetapi hal ini hanya untuk strategi penanggulangan terorisme dalam jangka pendek dan menengah. Adapun untuk menuntaskan permasalahan terorisme keagamaan di Indonesia maka harus kembali kepada penyebabnya, yaitu dengan mengakomodir aspirasi politik umat Islam untuk mewujudkan penerapan Syariat Islam sesuai dengan amanah konstitusi.

Terrorism throughout the 21st century has become a major concern throughout the world. This is a natural thing, since the frequency of violence resulting from acts of terrorism is so great that many researchers are attempting to investigate this violence activity called terrorism. Terrorism is a crime based on ideology, where at present the ideology of terrorism is mostly based on religious teachings. In Indonesia, most of the perpetrators of religious terrorism are Muslim. This study aims to examine the genealogy and make mapping the ideology of the perpetrators of religious terrorism in Indonesia, where the results of this research will be used as a reference in formulating the strategy of countering terrorism in Indonesia. This study uses a qualitative method. The data are based on in depth interviews and literature review.
The result of the research is that religious terrorism in Indonesia is a serialized story whose growth dates back to the Indonesian independence era up to the present time, where the perpetrators have interconnectedness. Starting from the emergence of Darul Islam DI movement which then proclaimed the Islamic State of Indonesia NII, followed by Al Jamaah Al Islamiyah JI group, followed by Al Qaeda Indonesia group, and continued by ISIS Indonesia. Alasan yang menyebabkan berbagai kelompok ini melakukan aksi terorisme adalah karena karena tersumbatnya aspirasi politik untuk mewujudkan penerapan Syariat Islam secara formal di Indonesia.
From the result of mapping the ideology of the perpetrators of religious terrorism in Indonesia, it is concluded that ISIS Indonesia group has the highest level of radical ideology, followed sequentially by Al Qaeda group Indonesia, JI, and DI. The level of radical ideology is used as a benchmark to assess the success of counter terrorism programs in Indonesia, especially in moderating the radical ideology of perpetrators of religious terrorism. However, this is only for counterterrorism strategies in the short and medium term. As for to solve the problem of religious terrorism in Indonesia it must return to the cause, that is by accommodating the political aspirations of Muslims to realize the implementation of Islamic Sharia in accordance with the mandate of the constitution."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Hadiyanto
"ABSTRAK
Di negara kita terdapat beberapa organisasi sosial keagamaan, bentuk dan cirinya beraneka ragam, salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi-organisasi tersebut merupakan asset bangsa dan negara yang sangat berharga. NU yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh para kyai pengasuh pondok pesantren, secara garis besar terbentuknya terdorong oleh 2 hal, pertama ; dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa asing (internal), dan kedua ; dalam rangka melestarikan ajaran Islam tradisional Ahlusunnah Wal Jama'ah, khususnya dengan naiknya penguasa baru di Arab Saudi yang beraliran Wahabi penentang praktek keagamaan Islam tradisional tersebut.
Inti ajaran NU adalah Ahlusunnah Wal Jamaah yang mencakup Akidah (teologi), , Syariah (hukum) dan Ahlak ' (etika) , sedangkan pola fikirnya adalah Tawassuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta'addul (adil dan lurus). Ketiga Inti ajaran dan pola fikir ini senantiasa mewarnai kehidupan warga NU.
Implementasi kegiatan-kegiatan NU di masyarakat tercermin pada beberapa sayap organisasi yang jumlahnya cukup banyak, meliputi Lembaga-lembaga, Lajnah/panitia tetap dan Badan-badan otonom. Dalam gerak dinamiknya, NU telah banyak memberikan sumbangan bagi bangsa dan negara. Baik dalam kapasitasnya sebagai jam'iyyah diniyah yaitu organisasi keagamaan, sosial dan pendidikan maupun sebagai partai politik.
Dengan luasnya bidang garapan NU, maka penulis membatasi pembahasan berdasarkan 2 pertimbangan :
1. Dengan melihat bahwa pendiri, penopang dan basis NU adalah komunitas pesantren, maka membahas tentang sumbangan NU bagi negara dan bangsa akan kurang lengkap tanpa membahas pondok pesantren.
2. Cerminan miniatur gerak dinamik kehidupan NU di masyarakat, dapat terlihat pada kehidupan pondok pesantren, yaitu meliputi bentuk pembinaan warga pesantren dan pola hubungan antara kyai dengan santri.
Untuk itulah penulis mengambil studi kasus pondok pesantren, persisnya pondok pesantren Krapyak Yogyakarta.
Pada sosok NU ini terdapat sesuatu yang menarik untuk diteliti, ternyata masyarakat tradisional dengan dipelopori oleh para kyai, mampu mendirikan suatu organisasi dan berhasil menghimpun jutaan pengikut dengan basis masyarakat pedesaan dan kaum santri, dinamiknya mampu mewarnai kehidupan sosial dan politik, serta suaranya diperhitungkan oleh pemerintah. Untuk itu, inti masalah penelitiannya adalah strategi dan taktik NU dalam membina umat, masalah tersebut diteliti melalui 3 pertanyaan pokok:
1. Bagaimana cara NU membina warganya menjadi warga negara yang baik.
2. Apa yang membuat warga NU dalam bermasyarakat berpola peduli lingkungan.
3. Apakah ada hubungan antara kinerja sistem Pesantren dengan kinerja sistem Ketahanan Nasional.
Dengan berlandaskan teori yang relevan dan menggunakan observasi partisipatif dilengkapi dengan studi kepustakaan, penelitian kami menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Cara NU membina warganya sebagai warga negara, ternyata tidak melalui saluran struktur jenjang organisasi yang ada, melainkan terselenggara melalui struktur jenjang non-formal yang dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
a. Untuk daerah yang tidak ada pondok pesantren di dalamnya, implementasi pembinaan melalui 2 media: Kegiatan perkumpulan jama'ah tarekat yang terselenggara di Masjid-masjid, langgar, musholla dan surau, termasuk di rumah Kyai dan Kegiatan Yasinan, Tahlilan dan pembacaan Barzanji yang rutin di laksanakan minimal seminggu sekali;
b. Untuk daerah yang di dalamnya ada pesantren, di samping dua media di atas, pembinaan diberikan oleh kyai kepada warga NU melalui pengajian rutin di dalam pesantren.
Kedua bentuk media komunikasi tersebut yang berjalan secara intensif telah menjadi sarana pembinaan yang efektif dan melahirkan rasa persaudaraan yang erat.
2. Pola peduli lingkungan dalam bermasyarakat, tertumbuhkan oleh inti ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah dan asas berfikir Tawassuth (jalan tengah/moderat), Tawazun (keseimbangan) dan Ta'addul (keadilan/lurus). Tiga asas ini dalam implementasinya telah melahirkan sikap muslim yang non-sektarian yang di butuhkan bagi sistem ketahanan nasional.
3. Di tinjau dari masukan instrumental, masukan mentah, masukan lingkungan, proses dan keluaran, terdapat adanya sifat Isomorphic (kemiripan bentuk) antara kinerja sistem pesantren dengan sistem ketahanan nasional. Out put pendidikan pesantren berupa manusia yang berwatak dan bersifat non-sektarian, merupakan pendukung bagi sistem ketahanan nasional.
4. Pola hubungan antara para pimpinan NU dengan warganya tidak mengikuti kaidah rasional formal organisasi, namun hubungan yang terjadi adalah hubungan patronase yang tertumbuhkan oleh serba ajaran etik keagamaan, dan ternyata bentuk struktur organisasi NU telah menjadi sumber genetik dari budaya kultur patronase di lingkungan NU tersebut."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rocky Sistarwanto
"Pasca Bom Bali I 12 Oktober 2002, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan dua fatwa penting yaitu: Melarang terorisme dengan mengatasnamakan Jihad dan Larangan mendukung bom bunuh diri. Namun dua fatwa tentang Terorisme ini telah gagal merangkul Muslim Indonesia lebih luas.
Terorisme terutama dengan modus bom bunuh diri masih terus terjadi di Indonesia. Diduga penyebab utama gagalnya kedua fatwa ini adalah karena Muslim Indonesia pada umumnya memiliki pemikiran yang samar tentang makna Jihad yang sebenarnya. Maka tidaklah mengherankan jika mereka memiliki asumsi yang sama jika terorisme dan bom bunuh diri yang dilakukan dengan mengatasnamakan pembelaan Islam dan Muslim sebagai akibat terjadinya kekerasan terhadap mereka di sejumlah negara Barat untuk alasan tertentu dapat dibenarkan; demikian juga mengapa diantara kaum Muslim tidak begitu mengutuk terorisme dan tindakan bom bunuh diri.
Sebenarnya dalam fenomena Islam di Indonesia Jihad fie sabilillah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar, sendiri bukanlah monopoli kelompok teroris saja. Sejak era reformasi, beberapa kelompok menyatakan menolak azas tunggal tersebut sebagai landasan perjuangannya, telah memunculkan berbagai kelompok Islam dengan mengusung landasan perjuangan jihad fie sabilillah tersebut. Tidak hanya bermunculan kelompok baru, beberapa kelompok Islam yang dulu "tertidur" karena penerapan asas tunggal ini seolah terbangun kembali dan menemukan lingkungan yang sempurna untuk kehidupan kelompoknya. Namun demikian tidak semua kelompok gerakan Islam dengan serta merta muncul menjadi kelompok-kelompok teroris.
Dalam tesis ini fenomena terorisme di Indonesia berusaha dijelaskan secara sosiologis dengan menggunakan teori Peter Berger dalam bukunya yang berjudul The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Dalam tesis ini mencoba menjelaskan Ideologisasi Jihad yang digunakan oleh teroris untuk meyakinkan anggotanya untuk mempertahankan world of view-nya, yang menempatkan Amerika sebagai musuh Islam yang didukung oleh pemerintah Indonesia. Ideologisasi Jihad ini juga digunakan oleh kelompok teroris untuk meyakinkan anggotanya untuk melakukan aksi bom bunuh diri.

After the first Bali Bombing October 12, 2002, the Indonesian Ulema Council has issued two fatwas important are: banning terrorism in the name of Jihad and prohibition to support suicide bombing. However, these two fatwas on Terrorism has failed to embrace the wider Muslim Indonesia. Terrorism, especially with the mode of suicide bombings are still happening in Indonesia.
Presumably the main cause of the failure of this two fatwa is because Muslim Indonesia in general have a vague idea about the true meaning of Jihad. It's not surprising if they have the same assumptions, if terrorism and suicide bombings carried out in the name of defending Islam and Muslims as a result of the violence against them in some Western countries for certain reasons can be justified, so why among the Muslims did not condemn terrorism and act of suicide bombing.
Actually, the phenomenon of Islamic Jihad fie sabilillah to enforce amar makruf nahi munkar in Indonesia, alone is not the monopoly of terrorist groups only. Since the era of reform, some groups had denounced the single principle as the foundation of struggle, has led various groups of Islamic by carrying the foundation of the struggle of these jihad fie sabilillah. Not only are new groups popping up, some Islamic groups who had ?fallen asleep? due to the application of this single principle seemed to wake again and find the perfect environment for the life of the group. However, not all groups of Islamic movements with necessarily appear to be terrorist groups.
In this thesis, the phenomenon of terrorism in Indonesia trying to be explained sociologically, by using the theory of Peter Berger in his book The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. In this thesis tries to explain the ideological jihad used by terrorists to convince its members to defend world of view, which places the U.S. as an enemy of Islam which is supported by the Indonesian government. Ideologizing Jihad is also used by terrorist groups to convince its members to conduct suicide bombings."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T27987
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sudrajat Djumantara
"Hampir semua model akademis memahami radikalisasi sebagai perkembangan yang berlangsung selama periode waktu tertentu dan melibatkan banyak faktor dan dinamika yang berbeda. Sisi lain radikalisme ini dapat dijelaskan sebagai metode yang diterapkan oleh kelompok agama Islam Sunni yang bertujuan untuk menggulingkan rezim penguasa yang memiliki kekuatan geopolitik non muslim yang mendukung mereka untuk membuka jalan dalam mencapai tujuan tersebut, sehingga wujud ancamannya terasa secara global di berbagai belahan dunia mulai dari Amerika, Eropa, Australia dan Asia, termasuk di Indonesia. Salah satu wilayah Indonesia yang pernah menjadi sorotan dunia akibat gerakan radikal yang melahirkan aksi terorisme adalah provinsi Sulawesi Tengah. Secara substansial, Sulawesi Tengah menjadi daerah endemik radikalisme di Indonesia akibat akses konflik komunal masyarakat Poso yang meluas dan berimplikasi pada terlampauinya batas-batas sosial dalam kurun waktu yang lama.
Di samping itu, wilayah Sulawesi Tengah ini menjadi daerah endemik aksi radikal, disebabkan oleh perluasan jaringan teroris radikal ke Sulawesi Tengah yang didasarkan pada konflik Poso dan di luar konteks konflik Poso. Berdasarkan adanya permasalahan kegagalan dalam penerapan strategi pencegahan radikalisme di atas, dapat diidentifikasikan masalahnya berasal dari belum tepatnya sasaran pelaksanaan strategi pencegahan gerakan radikal tersebut dan belum adanya tolak ukur keberhasilan dalam pencegahan gerakan radikal di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaan strategi pencegahan radikalisme diperlukan evaluasi. Tindakan ini sangat diperlukan mengingat banyaknya temuan pelaku aksi teror di Indonesia yang pelakunya bersembunyi di wilayah Poso, yang sebanyak 13 orang pelaku teroris mulai dari teroris bom Bali hingga tokoh-tokoh yang aktif tergabung dalam kelompok radikal JAD dan JAT. Tokoh-tokoh tersebut yang ditemukan berada di wilayah Poso ini memiliki peran sebagai intelijen JAD dan bendahara JAD, serta 1 tokoh aktif yang menjabat sebagai Sekjen JAT.

Almost all academic models understand radicalization as a development that takes place over a period of time and involves many different factors and dynamics. The other side of this radicalism can be explained as a method applied by the Sunni Islamic religious group which aims to overthrow the ruling regime that has non-Muslim geopolitical power supporting them to pave the way for achieving this goal, so that the threat is felt globally in various parts of the world starting from America, Europe, Australia and Asia, including in Indonesia. One of the regions of Indonesia that has been in the world spotlight due to radical movements that gave birth to acts of terrorism is the province of Central Sulawesi.
Substantially, Central Sulawesi has become an endemic area of radicalism in Indonesia due to the widespread access to communal conflicts of the Poso people and the implications of the exceeding of social boundaries for a long time. In addition, the Central Sulawesi region has become an endemic area for radical action, due to the expansion of the radical terrorist network to Central Sulawesi which is based on the Poso conflict and outside the context of the Poso conflict. Based on the problem of failure in implementing the radicalism prevention strategy above, it can be identified that the problem stems from the inaccurate target of implementing the radical movement prevention strategy and the absence of a measure of success in preventing radical movements in Indonesia, so the implementation of the radicalism prevention strategy requires evaluation. This action is very necessary considering the many findings of terrorists in Indonesia whose perpetrators were hiding in the Poso area, as many as 13 terrorists ranging from the Bali bombing terrorists to figures who are active in the JAD and JAT radical groups. These figures who were found in the Poso area had roles as JAD intelligence and JAD treasurers, as well as 1 active figure who served as JAT Secretary General.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Rudolf Valentino
"ABSTRAK
Tragedi Bom Bali di Legian Kuta pada tanggal 12 Oktober 2002 membawa isu terorisme ke garis depan pemikiran keamanan di Indonesia. Karena serangan yang mendadak, banyak korban yang tewas. Konstitusi Indonesia UUD 1945 mengamanatkan negara untuk bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini pemerintah Indonesia yang merumuskan sebuah kebijakan. Kebijakan adalah produk dari proses politik dimana dilakukan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Salah satu bentuk kebijakan adalah kebijakan kriminal yang mengatur respon hukum masyarakat dan strategi pemberantasan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh negara. Saat ini dalam kebijakan pidana Indonesia, terorisme didefinisikan sebagai tindak pidana. Hal ini telah menjadi perdebatan panjang karena ambiguitas dalam definisi teror dan telah menghasilkan multitafsir karena ketidakjelasan definisi teror. Banyak orang kuatir definisi teror ini akan diterjemahkan bebas oleh para pemangku kepentingan. Akibatnya, tujuan ideal dari suatu kebijakan tidak dapat dicapai, sebaliknya malah menghasilkan masalah baru yang mencederai demokrasi. Penelitian kriminologis ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data. Dalam hal menganalisis data, digunakan teori hegemoni Gramsci Antonio serta teori kriminologi konstitutif Stuart Henry dan Dragan Milovanovic. Penelitian ini menyimpulkan bahwa negara telah memainkan peran penting untuk merumuskan strategi kontra terorisme di Indonesia dengan pendekatan Penegakan Hukum dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia pada kerangka demokrasi. Meskipun demikian, model Penegakan Hukum ini tetap harus didukung oleh langkah-langkah pencegahan yang akan diatur dalam kebijakan sosial untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan koersif dan kekuatan persuasif.

ABSTRACT
The tragedy of Bali Bombing in Legian-Kuta in October 12, 2002 brought the issue of terrorism to the forefront of Indonesia’s security thinking. Due to the suddenness of attack, a large number of people were killed. The Constitution of Indonesia UUD 1945 has mandated the state to be responsible to protect all Indonesian people and Indonesia’s motherland. To achieve this purpose Indonesia’s government formulated a policy. Policy is a product of the political process under which circumstances separation or distribution of power is executed. One form of policies is criminal policy which regulates legal responses of the society and the strategy on crime eradication that legalized formally by the state. Currently in Indonesia’s criminal policy, terrorism is defined as criminal act. This has been a long debate because of the ambiguities in the definition of terror and has produced multi-interpretation because it does not clearly specify the definition of terror. Most people feel anxious this the definition of terror interpreted freely by stakeholders. As a result, the ideal purpose of a policy could not be achieved, on the contrary it will produce a new problem that harms democracy instead. This criminological research is conducted by using qualitative research methods to collect data. In order to analyze the data, the theory of hegemony Antonio Gramsci as well as the theory of constitutive criminology Stuart Henry and Dragan Milovanovic were applied. This research concludes that the state has played an important role to formulate Indonesia’s counter terrorism strategy in Law Enforcement model due to the protection of human rights in the democracy framework. However, this Law Enforcement model should be supported by the preventive measures which will be regulated under social policy to keep the coercive power and the persuasive power balance."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hanny Purnama Sari
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengungkapkan isu seputar keterlibatan juru bahasa dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Penelitian bersifat lintas-disiplin melibatkan ilmu penerjemahan, penjurubahasaan, ilmu hukum dan kajian terorisme. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif melalui wawancara dan tinjauan pustaka. Wawancara dilakukan terhadap sembilan belas informan mewakili Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus (Densus) 88, Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri, satuan Perlawanan Teror (Wanteror) Gegana, Kejaksaan, Badan Antiteror AS, Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), Perkumpulan Juru Bahasa Konferensi Indonesia (AICI), juru bahasa dan lembaga penyedia juru bahasa. Hasil penelitian menemukan bahwa keterlibatan juru bahasa telah diidentifikasi oleh penegak hukum sebagai kebutuhan dalam upaya penanggulangan terorisme. Mekanisme merekrut juru bahasa dalam konteks terorisme memiliki sifat yang unik dengan penekanan pada ideologi dan latar belakang yang bersih. Khusus terkait program deradikalisasi, kesamaan jenis kelamin antara juru bahasa dan napiter menjadi pertimbangan utama. Kendala utama terkait ketiadaan juru bahasa yang berdampak pada penyelidikan atau penanggulangan terorisme sementara sudah dapat diatasi. Temuan-temuan ini mengindikasikan perlunya komunikasi dan kerja sama antara penegak hukum dengan asosiasi profesi penerjemah dan juru bahasa Indonesia serta penyusunan pedoman teknis bagi penegak hukum dan pemangku kepentingan terkait untuk melibatkan juru bahasa dalam konteks terorisme secara tepat guna.

This research was conducted with the aim of elaborating the issues around the involvement of interpreters in counter-terrorism measures in Indonesia. It is cross-disciplinary, involving translation, interpretation, legal and terrorism studies. This research is descriptive qualitative, carried out through interviews and literature review. Interviews were conducted with nineteen informants from the National Counterterrorism Agency (BNPT), Special Detachment 88 (Densus) 88, Bureau of Intelligence and Security (Baintelkam), the Counter Terrorism Unit (Wanteror), the Attorney General's Office, the US Anti-Terror Agency, the Association of Indonesian Translators (HPI), Association of Indonesian Conference Interpreters (AICI), interpreters and agencies that provide interpreters. The study has found that the involvement of interpreters has been identified by law enforcement as a necessity in the efforts of counter-terrorism. The recruitment mechanism of interpreters in the context of terrorism is unique in that it emphasizes on clean ideology and background. With regards to the deradicalization program, the same sex between interpreters and convicts is a major consideration. The main obstacle regarding the absence of an interpreter that may have impacts on the investigation or countermeasures of terrorism has been dealt with temporarily. These findings indicate there is a need for communication and cooperation between the law enforcement agencies and associations of Indonesian translators and interpreters as well as the formulation of technical guidelines for law enforcement and relevant stakeholders to involve interpreters in the context of terrorism effectively."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>