Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 216124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vanessa Honey Sumardi
"Penentuan jenis kelamin dan ras penting untuk identifikasi forensik.
Tujuan: Menentukan jenis kelamin dan ras berdasarkan nilai referensi dan ukuran mesiodistal (MD) dan bukolingual (BL) gigi.
Metode: Dilakukan pengukuran lebar MD dan BL pada 80 gigi molar satu rahang atas (M1 RA) dari laki-laki dan perempuan Batak dan Tionghoa.
Hasil: Terdapat perbedaan ukuran gigi M1 RA antar jenis kelamin dan ras (p<0,05), kecuali pada ukuran BL perempuan Batak dengan Tionghoa. Nilai referensi penentuan jenis kelamin ukuran BL 11,48 mm; MD 10,35 mm, penentuan suku laki-laki ukuran BL 11.88 mm; MD 10,65 mm, sedangkan perempuan BL 11,27 mm; MD 10,08 mm.
Kesimpulan: Ukuran gigi M1 RA dapat dijadikan parameter penentuan jenis kelamin dan ras pada populasi suku Batak dan Tionghoa di Indonesia.

Sex and race determination are crucial aspects in human identification.
Objective: To determine sex and race of an individual based on maxillary first molar crown dimensions.
Methods: 160 Maxillary first molars of Chinese and Batak population were measured.
Results: The differences between male and female; Batak and Chinese in all dimensions measured were statistically significant (p<0.05) except for the right and left buccolingual dimensions of Batak females and Chinese females. Sex determination reference point for buccolingual (BL) was 11.48 mm; mesiodistal (MD) was 10.35 mm, male race determination for BL was 11.88 mm; for MD was 10.65 mm, female race determination for BL was 11.27 mm; and for MD was 10.08 mm.
Conclusion: Permanent Maxillary first molar crown dimensions can be used to determine sex and race in Batak and Chinese population in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Lathifah
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin penting untuk identifikasi forensik. Salah satu metodenya berdasarkan ukuran gigi.
Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi laki-laki dan perempuan serta menentukan nilai referensi gigi molar satu rahang atas untuk penentuan jenis kelamin.
Metode: 30 gigi molar satu rahang atas laki-laki dan 30 perempuan diukur lebar mesiodistal dan bukolingual dengan kaliper digital.
Hasil: Perbedaan signifikan (p<0,05) ukuran gigi molar satu rahang atas laki-laki dan perempuan. Nilai referensi ukuran bukolingual 11.34 mm (kanan), 11.22 mm (kiri); ukuran mesiodistal 10.61 mm (kanan) 10.51 mm (kiri).
Kesimpulan: Ukuran mahkota gigi molar satu rahang atas dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin.

Background: Sex determination is an important aspect in the human identification. One of the methods is using tooth dimensions.
Objective: To obtain the differences of male and female tooth size using maxillary first molar crown dimensions and to determine reference point for sex determination.
Methods: 30 males and 30 females, on maxillary first molar study cast. Mesiodistal and buccolingual width were measured using digital calipers.
Results: The differences between males and females in all dimensions measured were statistically significant (p<0,05). The reference point for buccolingual width was 11.34 mm (right), 11.22 mm (left); for mesiodistal width was 10.61 mm (right) and 10.51 mm (left).
Conclusion: Maxillary first molar crown dimension may be used as an aid in sex determination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S43922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Godjali
"Latar Belakang: Dalam identifikasi odontologi forensik, diperlukan penentuan jenis kelamin dan ras.
Tujuan: Menenentukan jenis kelamin dan ras berdasarkan ukuran mesiodistal (MD) dan bukolingual (BL) gigi kaninus rahang bawah, beserta nilai referensinya.
Metode: Dilakukan pengukuran MD dan BL gigi C RB pada populasi suku Batak dan Tionghoa, selanjutnya ditetapkan nilai referensinya.
Hasil: Ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD dan BL pada pengujian antar jenis kelamin (p<0,05). Pada pengujian antar ras ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD, namun tidak pada ukuran BL. Pada penentuan jenis kelamin nilai referensi ukuran MD 6,942 mm dan BL 7,527 mm. Pada penentuan ras, nilai referensi pada laki-laki ukuran MD 7,529 mm dan BL 7,845 mm, sedangkan perempuan MD 6,643 mm dan BL 7,210 mm.
Kesimpulan: Ukuran MD dan BL gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin dan ras.

Background: In odontologic forensic identification, determining sex and race are important.
Objectives: To determine race and sex by using mesiodistal (MD) and buccolingual (BL) measurements of mandibular canines and to obtain their reference points.
Methods: Measured MD and BL mandibular canines measurements of Batak and Chinese in Indonesia, then calculated the reference points.
Results: There is significant difference of MD and BL measurements between sex (p<0,05). There is significant difference of MD measurement between races but there isn’t on BL measurement. To determine sex, reference point for MD measurement is 6,942 mm and BL is 7,527 mm. To determine race, reference point for men is 7,529 mm for MD and 7,845 mm for BL, for women is 6,643 mm for MD and 7,210 mm for BL.
Conclusions: Mesiodistal and buccolingual measurements can be used to determine sex and race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuli Andari
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan hal yang penting dalam identifikasi forensik dan salah satu metodenya adalah melalui pengukuran gigi geligi. Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi kaninus rahang bawah pada laki-laki dan perempuan serta mendapatkan nilai indeks standar untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Dilakukan pengukuran mesiodistal kaninus rahang bawah dan jarak interkaninus, dihitung nilai indeks standar dengan rumus indeks standar kaninus rahang bawah. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) ukuran gigi kaninus rahang bawah antara laki-laki dan perempuan. Nilai indeks standar kaninus kanan 0.2546 mm, kaninus kiri 0.2456 mm. Kesimpulan: Gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin individu.

Background: Sex determination is important in forensic identification and one of the methods is teeth measurement. Objectives: To obtain the differences of mandibular canine size between males and females and to get mandibular canine index standard (MCIs) for sex determination. Methods: Measured mesiodistal width and intercanine distance of mandibular canine, index standard value is calculated with MCIs formula. Results: There was a highly significant differences is mandibular canine size between males and females (p value<0.05). MCIs value for right canine is 0.2546 mm, for left canine is 0.2456 mm. Conclusion: Mandibular canine can be used for sex determination."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Ahliya Aryani Budi
"Latar Belakang: Indonesia merupakan negara kepulauan yang berlokasi diantara dua benua dan dua samudera. Selain itu, Indonesia juga memiliki 129 gunung berapi. Kondisi ini tidak hanya menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya bencana alam. Bencana alam yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak korban yang harus diidentifikasi. Salah satu metode yang digunakan untuk identifikasi adalah analisis pada gigi geligi. Masing-masing gigi anterior dan posterior memiliki berbagai variasi morfologi yang dapat mengindikasikan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Tujuan: penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dimorfisme seksual berdasarkan analisis variasi morfologi gigi anterior dan posterior dan untuk mengetahui variasi mana yang menjadi karakteristik ras Mongoloid terutama pada populasi di Indonesia. Metode: Sampel terdiri dari 50 cetakan rahang atas dan bawah laki-laki dan 50 cetakan rahang atas dan bawah perempuan. Variasi morfologi yang dianalisis adalah wingin, shoveling, double shoveling, bushmen canine, ridge aksesori distal pada gigi kaninus, metacone, hypocone, Cusp of carabelli, variasi cusp lingual pada gigi premolar, jumlah cusp, protostylid, hypoconulid, enteconulid, dan metaconulid. Arizona State University Dental Anthropology System (ASUDAS) digunakan sebagai referensi untuk membandingkan prevalensi variasi morfologi pada cetakan rahang. Hasil: Persentase winging adalah 36% yang terdiri dari 16 laki-laki dan 20 perempuan. Persentase shoveling adalah 84% yang terdiri dari 38 laki-laki dan 46 perempuan. Double shoveling memiliki prevalensi 67% yang terdiri dari 33 laki-laki dan 34 perempuan. Persentase Bushmen canine adalah 26% yang terdiri dari 14 laki-laki dan 12 perempuan. Prevalensi dari Ridge aksesori distal gigi kaninus berjumlah 46% yang terdiri dari 22 laki-laki dan 24 perempuan. Prevalensi metacone adalah sebanyak 20% yang terdiri dari 10 laki-laki dan 10 perempuan. Prevalensi hypocone berjumlah 90% yang terdiri dari 47 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi metaconule kecil sekali yakni 3% yang terdiri dari 3 laki-laki. Prevalensi Cusp of carabelli sejumlah 12% yang terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan. Variasi cusp lingual pada gigi premolar sebanyak 18% yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan. Jumlah cusp memiliki tiga kategori: Prevalensi cusp berjumlah 4 pada laki-laki sebanyak 53,3% sedangkan pada perempuan sebanyak 46,7%. Prevalensi cusp berjumlah 5 pada laki-laki sebanyak 52,6% sedangkan pada perempuan sebanyak 47,4%. Prevalensi cusp berjumlah 6 pada laki-laki sebanyak 42,9% sedangkan pada perempuan sebanyak 57,1%. Frekuensi protostylid hanya sebanyak 6 yang terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan. Hypoconulid memiliki prevalensi 85% yang terdiri dari 42 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi enteconulid sebanyak 27% yang terdiri dari 12 laki-laki dan 15 perempuan. Dan yang terakhir, metaconulid memiliki prevalensi sejumlah 22% yang terdiri dari 8 laki-laki dan 14 perempuan. Tes chi-square menggunakan SPSS 20 antara masing-masing variasi morfologi dan penentuan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Kesimpulan: Tidak ada variasi morfologi yang menunjukkan dimorfisme seksual dan variasi yang memiliki frekuensi paling tinggi pada ras mongoloid adalah hypocone dan hypoconulid.

Background: Indonesia is an archipelagic country which located between two continents and two oceans. Beside that Indonesia also has 129 volcanoes. This condition not only made Indonesia rich of natural resources but also increase the risk of natural disaster. Natural disaster cause many victims to be identified. One of the methods used for identification is tooth analyzing. Each anterior and posterior tooth has some various traits which are able to indicate whether a person is male or female. Objectives: This study is conducted to identify sexual dimorphism based on analysis of anterior and posterior non-metric dental crown traits and to know which traits that become the characteristic of Mongoloid race especially in Indonesian population. Methods: Samples consist of 50 dental casts male and 50 dental casts female. Dental crown traits being analyzed were winging, shoveling, double shoveling, bushmen canine, canine distal accessory ridge, metacone, hypocone, metaconule, Cusp of carabelli, lingual cusp variation, cusp number, protostylid, hypoconulid, enteconulid, and metaconulid. The Arizona State University Dental Anthropology System (ASUDAS) was used as reference to compare the prevalence of dental traits in dental casts. Results: The percentage of winging if 36% which consists of 16 males and 20 females. Shoveling percentage is 84% which consists of 38 males and 46 females. Double shoveling has 67% prevalence which consists of 33 males and 34 females. The percentage of Canine Mesial Ridge (Busmen Canine) is 26% which consists of 14 males and 12 females. The prevalence of Canine Distal Accessory Ridge is 46%, which consists of 22 males and 24 females. Metacone has 20% prevalence which consists of 10 males and 10 females. Hypocone has 90 % prevalence which consists of 47 males and 43 females. The prevalence of metaconule is 3% which consists of only dental cast male. Cusp perempuan. Prevalensi hypocone berjumlah 90% yang terdiri dari 47 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi metaconule kecil sekali yakni 3% yang terdiri dari 3 laki-laki. Prevalensi Cusp of carabelli sejumlah 12% yang terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan. Variasi cusp lingual pada gigi premolar sebanyak 18% yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan. Jumlah cusp memiliki tiga kategori: Prevalensi cusp berjumlah 4 pada laki-laki sebanyak 53,3% sedangkan pada perempuan sebanyak 46,7%. Prevalensi cusp berjumlah 5 pada laki-laki sebanyak 52,6% sedangkan pada perempuan sebanyak 47,4%. Prevalensi cusp berjumlah 6 pada laki-laki sebanyak 42,9% sedangkan pada perempuan sebanyak 57,1%. Frekuensi protostylid hanya sebanyak 6 yang terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan. Hypoconulid memiliki prevalensi 85% yang terdiri dari 42 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi enteconulid sebanyak 27% yang terdiri dari 12 laki-laki dan 15 perempuan. Dan yang terakhir, metaconulid memiliki prevalensi sejumlah 22% yang terdiri dari 8 laki-laki dan 14 perempuan. Tes chi-square menggunakan SPSS 20 antara masing-masing variasi morfologi dan penentuan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Kesimpulan: Tidak ada variasi morfologi yang menunjukkan dimorfisme seksual dan variasi yang memiliki frekuensi paling tinggi pada ras mongoloid adalah hypocone dan hypoconulid.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widurini Djohari
"BASTRAK
Kerusakan gigi molar satu rahang atas frekuensinya Cukup tinggi dan sering disertai kelainan pulpa. Perawatan saluran akar pada gigi ini memerlukan keterampilan yang ditunjang oleh pengetahuan anatomi dan morfologi a.l. panjang gigi, bentuk penampang saluran akar, jumlah akar, jumlah saluran akar, dan letak orifis. Dalam perawatannya sering dijumpai kesulitan menentukan letak apeks, karena pedoman ukuran yang ada berdasarkan ukuran gigi orang Amerika atau Eropa. Belum ada pedoman yang berdasarkan ukuran gigi orang Indonesia.
Dari sampel 50 gigi molar satu atas yang dicabut dari klinik gigi di Jakarta, diukur panjang gigi dari masing-masing apeks akar Palatal, Mesio Bukal, Disto Pukal ke bidang oklusal dengan mikrometer. Dihitung jumlah akar, jumlah saluran akar, dan dicatat bentuk penampang saluran akar 5 mm dari apeks, dan konfigurasi letak oriifis.
Dari hasil pengukuran diperoleh panjang gigi rata-rata dari apeks akar palatal 19,47 mm, dari apeks akar mesio bukal 19,14 mm dari apeks akar disto bukal 18,41 mm. Dari hasil pengamatan, semua gigi mempunyai tiga akar, dan diperoleh lebih banyak gigi dengan tiga saluran akar (98 %). Dari gambaran konfigurasi letak orifis diperoleh bentuk "7" (60 %),lebih banyak dibanding bentuk "Y" (16 %) dan bentuk "T" (18 7.). Dari pengamatan bentuk penampang saluran akar, terbanyak diperoleh bentuk bulat pada akar disto bukal (82 7.), dan bentuk Blips pada akar palatal (36 %). Selain itu diperoleh pula bentuk ginjal pada akar disto bukal (4%), dan bentuk pipih pada akar mesio bukal (14 %).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widurini D.S.
"Kerusakan gigi molar satu rahang atas frekuensinya cukup tinggi dan sering disertai kelainan pulpa. Perawatan saluran akar pada gigi ini memerlukan keterampilan yang ditunjang oleh pengetahuan anatomi dan morfologi a.1. panjang gigi, bentuk penampang saluran akar, jumlah akar, jumlah saluran akar, dan letak orifis. Dalam perawatannya sering dijumpai kesulitan menentukan letak apeks, karena pedoman ukuran yang ada berdasarkan ukuran gigi orang Amerika atau Eropa. Belum ada pedoman yang berdasarkan ukuran-gigi orang Indonesia. Dari sampel 50 gigi molar satu atas yang dicabut dari klinik gigi di Jakarta, diukur panjang gigi dari masing-masing apeks akar Palatal, Mesio Bukal, Disto Bukal ke bidang oklusal dengan mikrometer. Dihitung jumlah akar, jumlah saluran akar, dan dicatat bentuk penampang saluran akar 5 mm dari apeks, dan konfigurasi letak oriifis.
Dari hasil pengukuran diperoleh panjang gigi rata-rata dari apeks akar palatal 19,47 mm, dari apeks akar mesio bukal 19,14 mm dari apeks akar disto bukal 18,41 mm. Dari hasil pengamatan, semua gigi mempunyai tiga akar, dan diperoleh lebih banyak gigi dengan tiga saluran akar (98 %). Dari gambaran konfigurasi letak orifis diperoleh bentuk (60 %), lebih banyak dibanding bentuk "Y" (16 %) dan bentuk "T" (18 %). Dari pengamatan bentuk penampang saluran akar, terbanyak diperoleh bentuk bulat pada akar disto bukal (82 %), dan bentuk elips pada akar palatal (36 7). Selain itu diperoleh pula bentuk ginjal padaakar disto bukal (4%), dan bentuk pipih pada akar mesio bukal (14 %)."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Harismanto
"Latar Belakang: Prakiraan usia adalah bagian penting dari pemeriksaan forensik. Prakiraan usiang sering digunakan dalam berbagai kondisi, baik dalam kondisi kriminalitas maupun bencana alam. Selain itu, perkiraan usia juga dapat diterapkan pada orang yang masih hidup, terkait dengan aplikasi hukum dan penerbitan surat-surat penting. Perkiraan usia dengan untuk usia anak hingga remaja juga penting dalam konteks hukum dan medikolegal karena saat ini hanya gigi molar ketiga yang masih mengalami pertumbuhan. Tujuan: Untuk mengetahui perkiraan usia dengan menggunakan metode kh¨oler yang di koversikan dengan angka dari perkembangan gigi geraham ketiga pada penduduk Indonesia. Metode:Jumlah sample terdiri dari 300 foto radiograf panoramik pada orang Indonesia yang telah diketahui usia kronologis (8-25) tahun). Analisis ini menggunakan uji korelasi pearson. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan rumus regresi untuk perhitungan prakiraan usia. Hasil: Analisis statistik menggunakan uji korelasi Pearson (uji parametrik) menunjukkan korelasi antara variabel gigi molar tiga 18, 28, 38, dan 48, dan usia bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan koefisien korelasi (kekuatan korelasi) >0,75. Hal ini menunjukkan bahwa 18, 28, 38, dan 48 gigi geraham ketiga masing-masing berpotensi cukup kuat untuk dijadikan variabel dalam pendugaan usia kronologis. Kesimpulan: Menunjukkan rumus penghitungan estimasi usia dengan kehadiran empat molar ketiga, tiga gigi molar tiga, dua gigi molar tiga, dan satu gigi molar tigayang dapat menampilkan prakiraan estimasi usia populasi di Indonesia

Background: Age estimation is an important part of forensic examination. Age forecasts are often used in various conditions, both under conditions of crime and natural disasters. In addition, age estimates can also be applied to living persons, related to legal applications and the issuance of important papers. Estimates of age for children to adolescents are also important in legal and medicolegal contexts because currently only third molars are still developing. Objective: To determine the estimated age using the Kh¨oler method which is converted to the number of third molars in the Indonesian population. Methods: The number of samples consisted of 300 panoramic radiographs of Indonesian people with known chronological age (8-25) years). This analysis uses the Pearson correlation test. This analysis is used to obtain a regression formula for calculating the estimated age. Results: Statistical analysis using the Pearson correlation test (parametric test) showed a correlation between the third molar variables 18, 28, 38, and 48, and age was statistically significant (p < 0.05) with a correlation coefficient (correlation strength) >0, 75. This shows that 18, 28, 38, and 48 third molars each have strong enough potential to be used as variables in estimating chronological age. Conclusion: Shows the formula for calculating age estimation with the presence of four third molars, three third molars, two third molars, and one third molar that can show the estimated age of the population in Indonesia."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ninda Putri Wahyuni
"Ukuran gigi merupakan informasi penting dalam bidang antropologi ragawi, forensik kedokteran gigi serta kedokteran gigi klinis. Ukuran mahkota gigi dapat diukur secara mesiodistal dan bukolingual. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan perbedaan ukuran mesiodistal dan bukolingual mahkota gigi molar satu sulung (dm1) dan molar dua sulung (dm2) rahang atas dan rahang bawah pada model studi anak laki-laki dan perempuan. Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif analitik pada 60 anak laki-laki dan 70 anak perempuan dengan teknik sampling menggunakan rumus analitik numerik tidak berpasangan, dengan uji t tidak berpasangan. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada ukuran mesiodistal gigi dm1 rahang atas dan pada ukuran bukolingual gigi dm2 rahang atas (p<0,05). Didapatkan variasi ukuran mahkota dm1 dan dm2 laki-laki dan perempuan dalam bentuk tabel presentil. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ukuran mesiodistal dan bukolingual gigi anak laki-laki dan perempuan kecuali pada mesiodistal gigi dm1 rahang atas dan bukolingual gigi dm2 rahang atas. Variasi ukuran mesiodistal dan bukolingual gigi dm1 dan dm2 anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan yang ditampilkan dalam bentuk tabel persentil yang dapat menjadi referensi ukuran mahkota.

Dental size is important for physical anthropology, forensic dentistry and clinical dentistry. The size of the crown tooth can be measured in the dimension of mesiodistal and bucolingual. Aim: This study aims to determine the variation and difference of mesiodistal and bucolingual size of maxillary and mandibullary primary first molar and primary second molar of boys and girls’s study model. Method: The method of this study is descriptive analytic in 60 boys and 70 girls and above chosen with unpaired numerical analytic formula and analyzed using unpaired t-test. Results: The mesiodistal size of maxillary primary first molar and the buccolingual size of maxillary primary second molar was significantly different (p< 0.05). The variations of mesiodistal and buccolingual crown size of boys and girls organized by percentile table. Conclusions: There was no significant differences of mesiodistal and buccolingual crown size between boys and girls except the mesiodistal size of maxillary primary first molar and the buccolingual size of maxillary primary second molar. The mesiodistal and buccolingual variations of boys are greater than girls and organized by percentile table which can be use as a reference for dental crown size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>