Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andiena Syariefah Primazetyarini
"Toleransi perubahan sudut vertikal merupakan aspek penting dalam upaya meminimalisir distorsi vertikal pada radiograf gigi molar rahang bawah.
Tujuan: Menganalisis toleransi perubahan sudut vertikal pada radiograf periapikal gigi molar rahang bawah.
Metode: 30 gigi molar rahang bawah (15 gigi molar pertama dan 15 gigi molar kedua) dilakukan pengukuran panjang klinis lalu ditanam dalam model dan dilakukan pemeriksaan radiografik dengan teknik radiografi periapikal masing-masing sebanyak 7 kali dengan sudut vertikal 00, +50, +100, +150, -50, -100 dan -150 kemudian dilakukan pengukuran panjang gigi dan perbedaan tinggi cusp bukal lingual pada radiograf.
Hasil: Panjang gigi radiograf pada sudut vertikal +15° telah bertambah sebesar 0,81 dari rerata panjang klinis dengan simpangan baku ±0.39.
Kesimpulan: Toleransi perubahan sudut vertikal positif pada radiograf periapikal gigi molar rahang bawah untuk melihat panjang gigi adalah 15°.

Tolerance of vertical angle alteration is an important aspect in an effort to minimize vertical distortion on lower molars radiograph.
Objective: To analyze the tolerance of vertical angle alteration on lower molars periapical radiograph.
Methods: 30 lower molars (15 first molars and 15 second molars) were performed measurement of clinical tooth length then were planted in model and were performed radiographic examinations by using periapical radiography technique 7 times for each tooth with vertical angle 00, +50, +100, +150, -50, -100 and -150 then tooth length and buccal and lingual cusp height difference on radiograph were measured.
Results: Tooth length on radiograph at vertical angle +15° has increased 0,81 mm from clinical tooth length mean with standar deviation ±0.39 mm.
Conclusion: Tolerance of positive vertical angle alteration on lower molars periapical radiograph to looking at the tooth length is 15°.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antolis, Maureen
"Tingkat distorsi vertikal yang cukup besar pada radiograf periapikal gigi anterior rahang atas serta penggunaan lebar singulum sebagai acuan evaluasi distorsi vertikal radiograf gigi anterior.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan sudut vertikal yang masih dapat ditoleransi pada radiograf periapikal gigi insisif rahang atas.
Metode: Pada 30 gigi insisif rahang atas, dilakukan pembuatan radiograf periapikal sudut vertikal 0° sebagai acuan standar, selanjutnya dilakukan perubahan sudut vertikal -10°, +10°, -15°, +15°, -20°, dan +20°. Sumbu panjang gigi diatur posisinya sejajar film pada saat dilakukan paparan sinar-X. Kemudian panjang gigi dan lebar singulum pada radiograf dengan perubahan sudut vertikal diukur dan dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Seluruh hasil pengukuran diuji secara statistik dengan T test.
Hasil: Perbedaan antara panjang gigi klinis dengan panjang gigi radiografik pada seluruh perubahan sudut vertikal terbukti tidak signifikan (p>0.05), sedangkan perubahan lebar singulum signifikan pada sudut +15° dan -10° (p<0.05).
Kesimpulan: Panjang gigi pada radiograf periapikal gigi insisif rahang atas yang diposisikan sejajar dengan film radiograf masih dapat ditoleransi sampai dengan perubahan sudut vertikal sebesar 20º. Lebar singulum menyempit secara signifikan pada radiograf yang mengalami perubahan sudut +15º dan melebar secara signifikan pada radiograf yang mengalami perubahan sudut -10º.

The prevalence of vertical distortion in the periapical radiograph of anterior maxillary teeth is quite significant and cingulum is commonly used as the reference of vertical distortion in anterior radiograph.
Objective: To evaluate the limit of vertical angulation error that still can be tolerated.
Method: Periapical radiograph with vertical angle 0° was obtained from 30 maxillary incisors as reference, then the vertical angulation was changed into -10°, +10°, -15°, +15°, -20°, and +20°. Long axis of the teeth was adjusted parallel to the film. Tooth length and cingulum width with vertical angulation alteration was measured and compared to the actual length. All of the measurement was tested using T test.
Result: There were no significant difference between all the measurements of tooth length with the alteration in vertical angulation (p>0.05), whereas cingulum width had a significant difference at +15° and -10°, (p>0.05).
Conclusion: Tooth length in periapical radiograph of maxillary incisor with parallel position is still tolerable until 20º vertical angle errors. Cingulum width on radiograph with +15º vertical angle alteration is significantly narrowed and on radiograph with -10° vertical angle alteration is significantly widened.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Elton Heryanto
"Salah satu evaluasi mutu radiograf adalah besarnya distorsi vertikal yang terjadi. Distorsi vertikal ini relatif lebih sering terjadi pada pembuatan radiograf periapikal regio premolar satu rahang bawah.
Tujuan: Mengetahui perubahan sudut vertikal yang masih dapat ditoleransi pada pembuatan radiograf periapikal gigi premolar satu rahang bawah.
Metode: 30 gigi premolar satu rahang bawah yang sudah diekstraksi diukur panjang klinisnya, lalu dilakukan pembuatan radiograf periapikal dengan sudut vertikal 00, +100, +150, +200, -100, -150, -200. Panjang gigi dan selisih cusp radiograf diukur oleh dua orang pengamat masing-masing dua kali di waktu yang berbeda.
Hasil: Secara statistik, panjang gigi pada sudut 00, +100, +150, +200, -100, -150 nilai p>0,05, sehingga tidak terjadi perbedaan bermakna. Pada selisih cusp gigi secara statistik, nilai p<0,05 sehingga terdapat perbedaan bermakna.
Kesimpulan: Perubahan sudut vertikal sebesar 100 masih dapat ditoleransi untuk melihat panjang gigi pada radiograf intraoral periapikal gigi premolar satu bawah

One of the quality evaluation criteria of a radiograph is the vertical distortion. Vertical distortion is relatively more common in periapical radiographs of the mandibular premolar region.
Objective: To determine the vertical angle changes that can be tolerated in the periapical radiographs of the mandibular
premolars.
Methods: 30 mandibular first premolars that were already extracted and had the length measured clinically as well as radiographically. Periapical radiography projection were then taken with the vertical angle set at 00, +100, +150, +200, -100, -150, -200. The tooth length and the difference of the cusp height were then measured by two observers twice at different times.
Results: Statistically, tooth length at vertical angulation 00, +100, +150, +200, -100, -150 has the p value >0,05, so there is no significant difference. On the other hand, the buccal-lingual cusp difference has the p value <0,05, that means there is a significant difference.
Conclusion: In standard periapical radiography, 100 change from the normal vertical angulation could still be tolerated to measure the vertical dimension or tooth length of the mandibular first premolar tooth."
2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikail
"Latar Belakang: Penerapan teknik image enhancement pada radiografi digital saat ini dilakukan berdasarkan preferensi subjektif pengamat. Pengaturan peningkatan citra dilakukan untuk memperjelas citra radiografi, antara lain dengan mengubah kecerahan dan kontras, sehingga memudahkan interpretasi dalam penanganan kasus. Tujuan: Untuk mengetahui toleransi nilai kecerahan dan kontras pada radiografi digital kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini yang gambaran radiografinya sulit dibedakan. Metode: Menyesuaikan pengaturan peningkatan gambar dengan menyesuaikan nilai kecerahan dan kontras pada nilai +10, +15, -10, -15 yang akan diamati, diproses, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak analisis data. Hasil: Kisaran nilai yang dapat ditoleransi dalam pengaturan peningkatan dan penurunan kecerahan dan kontras pada kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini adalah di bawah +10 dan di bawah -10. Kesimpulan: Mengatur kecerahan dan kontras ke nilai di atas 10 untuk peningkatan dan penurunan dapat mengubah informasi diagnostik secara signifikan.

Background: The application of image enhancement techniques in digital radiography is currently carried out based on the subjective preference of the observer. Image enhancement settings are made to clarify the radiographic image, among others by changing the brightness and contrast, so as to facilitate interpretation in case management. Objective: To determine the tolerance for brightness and contrast values ​​on digital radiography of cases of apical periodontitis and early apical abscess whose radiographic features are difficult to distinguish. Method: Adjust the image enhancement settings by adjusting the brightness and contrast values ​​at +10, +15, -10, -15 values ​​to be observed, processed, and analyzed using data analysis software. Results: The range of tolerable values ​​in the setting of increasing and decreasing brightness and contrast in cases of apical periodontitis and early apical abscess was below +10 and below -10. Conclusion: Setting the brightness and contrast to values ​​above 10 for increase and decrease can significantly change the diagnostic information."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agrita Dridya
"Latar Belakang: Dalam talaksana kasus kedokteran gigi, seringkali dibutuhkan interpretasi gambaran radiograf dengan keakuratan yang tinggi. Meskipun gambaran radiograf diyakini sudah terinterpretasi dengan kualitas mutu yang baik, namun terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tetap ada selisih ukuran objek pada gambaran radiograf dengan ukuran sebenarnya. Selisih ukuran ini dapat terjadi dalam arah vertikal, berupa distorsi vertikal. Distorsi vertikal penting untuk diperhatikan oleh klinisi untuk mencegah pengulangan pengambilan foto radiograf dan menghindari paparan radiasi berlebih pada pasien. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata distorsi vertikal pada radiograf periapikal gigi geligi maksila dan mandibula berdasarkan pengukuran selisih panjang gigi klinis dan radiografis. Metode: Penelitian ini menggunakan 120 sampel rekam medis klinis beserta dengan radiograf periapikal pasien endodontik di RSKGM FKG UI yang dikelompokkan menjadi 60 sampel gigi geligi maksila dan 60 sampel mandibula. Pengukuran estimasi panjang gigi klinis menggunakan rasio ukuran panjang kerja pada data rekam medis dan pengukuran panjang gigi radiograf diukur dari foto radiograf periapikal awal pasien. Ukuran distorsi vertikal didapat dari pengukuran selisih antara panjang gigi radiograf dengan estimasi panjang gigi klinis. Uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dilakukan dengan uji ICC dan dilakukan analisa komparatif menggunakan uji mann whitney. Hasil: Hasil analisa menunjukkan nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi maksila sebesar 1,58 mm, dengan maksimum 5,53 mm. Nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi mandibula sebesar 1,48 mm, dengan nilai maksimum 3,96 mm. Sebanyak 52 (43.33%) sampel mengalami pemanjangan, sebanyak 55 (45.83%) mengalami pemendekan, dan 13 (10.83%) data tidak terdistorsi. Kesimpulan: Rerata pengukuran estimasi panjang gigi klinis dan panjang gigi pada gambaran radiograf tidak berbeda bermakna (p 0,451). Rerata distorsi vertikal pada gigi geligi maksila dan mandibula tidak berbeda bermakna (p 0,975).

Background: In the management of dental cases, it is often necessary to interpret radiographs with high accuracy. Although it is believed that the radiographic image has been interpreted with good quality, there are various factors that cause the difference in the size of the object on the radiographic image to the actual size. The size of this distortion can occur in the vertical direction, in the form of vertical distortion. Vertical distortion is important for clinicians to pay attention to prevent retaking the radiographs and avoid overexposure of radiation on the patient. Objective: To determine the mean value of vertical distortion on periapical radiographs of maxillary and mandibular teeth based on the measurement of the difference in radiographic and actual size of the tooth length. Methods: The study or research is carried out on 120 samples of medical records along with periapical radiographs of endodontic patients at RSKGM FKG UI, divided into 60 samples of maxillary teeth and 60 samples of mandibular teeth. Measurement of estimated clinical tooth length obtained by using the ratio of working length recorded in the medical record, and the measurement of the radiographic tooth length obtained by using the patient's initial periapical radiograph. The measurement of vertical distortion was obtained by measuring the difference between the radiographic and the estimated clinical tooth length. Intraobserver and interobserver reliability tests were performed using the ICC test and comparative analysis was performed using the Mann Whitney test. Results: The results of the analysis showed that the mean of the vertical distortion in the maxillary teeth was 1.58 mm, with a maximum value of 5.53 mm. The mean value of vertical distortion in the mandibular teeth was 1.48 mm, with a maximum value of 3.96 mm. A total of 52 (43.33%) samples were elongated, 55 (45.83%) samples were shortened, and 13 (10.83%) samples were not distorted. Conclusion: The mean measurement of estimated clinical tooth length and tooth length on radiographs was not significantly different (p 0.451). The mean vertical distortion of the maxillary and mandibular teeth was not significantly different (p 0.975)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Hidayat
"ABSTRAK
Impacted mandibular molars often caused by locking of the adjacent teeth, lack of space and many other reasons. Surgical extraction used to be the first choice in treating the severely impacted molars. In this article, firstly a horizontally impacted mandibular first molar and a mandibular second molar were diagnosed radiographically. By surgical crown exposure, combined with elastic traction, the teeth can be pulled occlusally into proper position. However, a thorough observation to control the position of the impacted molars during traction is still necessary."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fatin Fadillah
"Latar Belakang: Penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah pada ras Deutromalayid berdasarkan usia kronologis, jenis kelamin, dan status gizi masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui frekuensi distribusi tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah pada ras Deutromalayid di Indonesia berdasarkan usia kronologis, jenis kelamin, dan status gizi.
Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif dengan desain potong lintang menggunakan sampel 122 data rekam medik pasien anak laki-laki dan perempuan Klinik Integrsi Anak FKG UI dengan perbandingan yang sama berusia 5-11.
Hasil: Penilaian tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah dengan reproduksi digital memiliki reproduksibilitas yang baik. Tidak ada perbedaan tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah sisi kiri dan kanan. Pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah terjadi dengan bertambahnya usia. Pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah berbeda terhadap jenis kelamin, yaitu anak perempuan lebih awal, kecuali pada kelompok usia 6, 10, dan 11. Status gizi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah, kecuali pada kelompok usia 5 dan 8.
Kesimpulan: Subjek penelitian dapat mewakilkan ras Deutromalayid di Indonesia. Perbedaan usia dan jenis kelamin menunjukkan perbedaan proporsi tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi M1 bawah, sedangkan status gizi tidak.

Background: Researches on growth and develompent of mandibular first permanent molars based on chronological age, sex, and nutritional status are limited in Deutromalayid race group.
Objectives: To know the frequency distribution of growth and development stages of mandibular first permanent molars in the Deutromalayid race group based on chronological age, sex, and nutritional status. 
Method: This is a cross-sectional descriptive study with 122 medical records of patients of Pedodontics Integrated Clinic, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia with the same ratio of both sexes aged 5-11 as samples.
Result: Assessment of growth and development stages with reproduced digital panoramics has a good reproducibility. Theres no difference of growth and development stages on left and right side. The growth and development undergo with the increase of individuals age. The growth and development differs on sex, that girls undergo earlier, except on age groups of 6, 10, and 11. Difference of nutritional status doesnt show difference of the growth and development, except on age groups of 5 and 8.
Conclusion: Subjects of research can represent the Deutromalayid race in Indonesia. Differences of age and sex show differences in growth and development of mandibular first permanent molars, while difference of nutritional status doesnt.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harismanto
"Latar Belakang: Prakiraan usia adalah bagian penting dari pemeriksaan forensik. Prakiraan usiang sering digunakan dalam berbagai kondisi, baik dalam kondisi kriminalitas maupun bencana alam. Selain itu, perkiraan usia juga dapat diterapkan pada orang yang masih hidup, terkait dengan aplikasi hukum dan penerbitan surat-surat penting. Perkiraan usia dengan untuk usia anak hingga remaja juga penting dalam konteks hukum dan medikolegal karena saat ini hanya gigi molar ketiga yang masih mengalami pertumbuhan. Tujuan: Untuk mengetahui perkiraan usia dengan menggunakan metode kh¨oler yang di koversikan dengan angka dari perkembangan gigi geraham ketiga pada penduduk Indonesia. Metode:Jumlah sample terdiri dari 300 foto radiograf panoramik pada orang Indonesia yang telah diketahui usia kronologis (8-25) tahun). Analisis ini menggunakan uji korelasi pearson. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan rumus regresi untuk perhitungan prakiraan usia. Hasil: Analisis statistik menggunakan uji korelasi Pearson (uji parametrik) menunjukkan korelasi antara variabel gigi molar tiga 18, 28, 38, dan 48, dan usia bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan koefisien korelasi (kekuatan korelasi) >0,75. Hal ini menunjukkan bahwa 18, 28, 38, dan 48 gigi geraham ketiga masing-masing berpotensi cukup kuat untuk dijadikan variabel dalam pendugaan usia kronologis. Kesimpulan: Menunjukkan rumus penghitungan estimasi usia dengan kehadiran empat molar ketiga, tiga gigi molar tiga, dua gigi molar tiga, dan satu gigi molar tigayang dapat menampilkan prakiraan estimasi usia populasi di Indonesia

Background: Age estimation is an important part of forensic examination. Age forecasts are often used in various conditions, both under conditions of crime and natural disasters. In addition, age estimates can also be applied to living persons, related to legal applications and the issuance of important papers. Estimates of age for children to adolescents are also important in legal and medicolegal contexts because currently only third molars are still developing. Objective: To determine the estimated age using the Kh¨oler method which is converted to the number of third molars in the Indonesian population. Methods: The number of samples consisted of 300 panoramic radiographs of Indonesian people with known chronological age (8-25) years). This analysis uses the Pearson correlation test. This analysis is used to obtain a regression formula for calculating the estimated age. Results: Statistical analysis using the Pearson correlation test (parametric test) showed a correlation between the third molar variables 18, 28, 38, and 48, and age was statistically significant (p < 0.05) with a correlation coefficient (correlation strength) >0, 75. This shows that 18, 28, 38, and 48 third molars each have strong enough potential to be used as variables in estimating chronological age. Conclusion: Shows the formula for calculating age estimation with the presence of four third molars, three third molars, two third molars, and one third molar that can show the estimated age of the population in Indonesia."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramadita Satya
"ABSTRAK
Latar Belakang: Impaksi Molar 3 rahang bawah telah diketahui akan meningkatkan resiko fraktur tulang mandibula terutama di daerah angulus mandibula. Fraktur angulus mandibula sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Masyarakat belum mengetahui pentingnya odontektomi sebagai langkah awal pencegahan fraktur angulus mandibula.Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan dari adanya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 rahang bawah.Material dan Metode: Rekam medis pasien poli Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Umum kabupaten Tangerang selama periode Januari 2013-Desember 2017 dikumpulkan dan didapatkan 41 orang dengan fraktur angulus mandibula. Setiap sampel diidentifikasi adanya fraktur angulus mandibula, adanya impaksi molar 3 rahang bawah, posisi erupsi impaksi molar 3 dan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory. Data diolah dengan uji Chi Square dan Kolmogorov Smirnov, serta ditentukan Odd Ratio. Uji hipotesis korelatif dilakukan dengan Uji Contingency Coeficient, Phi ? ? ?, Cramer rsquo;s V, dan Kendall rsquo;s Tau-b.Kesimpulan: Ditemukan hubungan antara terjadinya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 bawah mandibula dengan p = 0,01 p < 0,05 dengan Odd Ratio = 4,615; memiliki hubungan korelatif dengan p = 0,010 p < 0,05 dengan kekuatan r = 0,272 lemah . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan posisi erupsi Suprabony,Infrabony p=0,375 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory p=0,087, p>0,05 .Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Jenis Kelamin p=0,763 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Usia p=1,000 p>0,05. ABSTRACT
Background: Impacted third molar of mandibula have been studied to have a role in increasing mandible fracture especially in the mandibular angle region. Mandibular angle fractures are often the result of traffic accidents in Indonesia. People do not yet know the importance of odontectomy as a first step to prevent fracture of the mandibular angle.Objective: To determine whether there is association or correlation of the presence of angular fracture in the presence of lower third molar impaction.Materials and Methods: Medical records of patients with Oral and Maxillofacial Surgery of Tangerang District General Hospital during the period of January 2013-December 2017 were collected and obtained 41 people with mandibular angle fractures. Each sample identified an mandibular angle fracture, a lower third molar impaction, third molar impaction eruption position and an impaction class according to Pell and Gregory. The data were processed by Chi Square and Kolmogorov Smirnov, and Odd Ratio was determined. Test the correlative hypothesis with Contingency Coefficient, Phy ? ? ?, Cramer rsquo;s V, and Kendall Tau B test.Conclusion: There was found a association between the presence of mandibular angle fracture in the presence of mandibula lower 3 molar impaction with p = 0,01 p 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Gender p = 0,763 p> 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Age p = 1,000 p> 0,05"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mindya Yuniastuti
"Latar Belakang
Penentuan usia seseorang memegang peranan penting dalam kedokteran forensik, tidak hanya untuk identifikasi tubuh, tetapi erat pula kaitannya dengan tindak kejahatan dan kecelakaan (1). Akibat dari tindak kejahatan dan kecelakaan ini, tidak jarang ditemukan kerangka manusia atau korban yang sulit diidentifikasi. Banyak prosedur dapat ditempuh dalam menentukan usia seseorang antara lain dari penutupan sutura tengkorak, penyatuan epifisis, dan diafisis tulang panjang, permukaan simfisis pubis serta dari gigi geligi seseorang (2,3,4,5,6,7,8,9,10,11).
Penentuan usia didasarkan pada gigi geligi seseorang menjadi sangat penting artinya terutama jika bahan lain yang diperlukan untuk identifikasi telah rusak, misalnya pada kasus kebakaran, kecelakaan pesawat terbang, atau telah terjadi proses pembusukan tubuh seseorang (7, 12). Pada keadaan tersebut biasanya gigi geligi merupakan jaringan satu-satunya yang relatif masih utuh (7,8,9), sehingga struktur maupun morfologinya tidak berbeda dengan orang hidup. Hal ini dapat terjadi karena gigi geligi dilapisi oleh email, yang merupakan jaringan tubuh yang paling keras (13,14,15). Oleh karena itu, perkiraan usia dan gigi geligi dapat merupakan sumbangan informasi yang amat berguna dalam hal penentuan usia tersebut, sehingga akan lebih memudahkan para ahli forensik melakukan identifikasi usia secara tepat (16).
Untuk menentukan atau memperkirakan usia didasarkan pada gigi geligi , ternyata gambaran radiografis memegang peranan penting (15,17, 18,19). Dengan foto radiografis dapat diketahui antara lain gambaran pertumbuhan gigi, urutan erupsi dan kalsifikasi gigi, yang semuanya berguna selain di bidang kedokteran gigi forensik, juga antropologi dan arkeologi, dalam kaitannya dengan identifikasi usia. Di bidang arkeologi ini biasanya gambaran radiografis digunakan untuk perkiraan usia pada penemuan sejumlah besar rangka, meskipun hal ini umumnya jarang digunakan untuk dasar pemeriksaan rutin (16). Selain itu, dengan foto radiografis identifikasi dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan tepat (18,19). Dan berbagai jenis foto radiografis, yang banyak digunakan adalah foto panoramik, karena dengan foto tersebut akan diperoleh seluruh gambaran gigi sulung maupun gigi tetap pada rahang atas dan bawah dengan jelas.
Beberapa penelitian tentang perkiraan usia berdasarkan gambaran radiografis pertumbuhan gigi telah dilakukan, namun penelitian gigi molar 3 rahang bawah masih langka. Beberapa kemungkinan langkanya penelitian ini disebabkan karena waktu erupsi gigi molar 3 sangat bervariasi dibandingkan dengan gigi lainnya (20,21). Penelitian tentang perkiraan usia berdasarkan pertumbuhan gigi molar 3 rahang bawah saja, akan mendapatkan kisaran usia yang pendek yaitu antara 14 - 20 tahun, sehingga hubungannya dengan identifikasi usia sangat terbatas.
Pembentukan akar gigi molar 2 rahang bawah sudah dimulai pada usia antara 7-8 tahun (22,23). Oleh karena itu gabungan penelitian tentang pembentukan akar gigi molar 2 dan molar 3 rahang bawah akan mempunyai kisaran usia yang lebih lebar, sehingga penggunaannya untuk identifikasi usia seseorang lebih luas.
Pada saat ini di Indonesia belum banyak acuan untuk memperkirakan usia dari gambaran radiografis gigi geligi. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana mendapatkan data dasar untuk pedoman memperkirakan usia berdasarkan gambaran radiografis gigi geligi. Sehubungan dengan hal itu, dilakukan penelitian perkiraan usia dari gambaran panoramik radiografis dengan metode pengukuran panjang dan stadium pertumbuhan gigi molar 2 dan molar 3 rahang bawah. Dengan mengukur panjang gigi dan mengetahui stadium pertumbuhan gigi tersebut di atas, dapat diketahui perkiraan usia seseorang. Penelitian ini dilakukan bertitik tolak dari landasan pemikiran bahwa :
Gambaran radiografis merupakan cara yang tepat untuk mengetahui pertumbuhan gigi (1,16,17,21,24). Dengan membuat foto panoramik radiografis bisa diperoleh gambaran gigi geligi pada seluruh rahang. Selain itu prosedur pembuatannya cepat dan murah.
Gambaran radiografis gigi molar rahang bawah biasanya lebih jelas dibandingkan dengan gigi molar rahang alas . Hal ini disebabkan tidak adanya struktur lain di rahang bawah dibandingkan dengan rahang atas. Karena itu dengan memilih pertumbuhan gigi molar 2 dan molar 3 rahang bawah untuk perkiraan usia, diharapkan akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas, sehingga perkiraan usia diharapkan bisa lebih akurat."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>