Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181077 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dominikus Fernandy Sartono Prasetyo
"Ekstraksi premolar dalam perawatan ortodonti membantu proses uprighting gigi molar 3 impaksi sehingga dapat erupsi dengan baik.
Tujuan: mengukur perubahan angulasi gigi molar 3 rahang bawah yang impaksi mesioangular sebelum dan sesudah perawatan ortodonti.
Metode: penelitian ini menggunakan 25 radiograf panoramik berusia 10-21 tahun sebelum dan sesudah perawatan ortodonti.
Hasil: uji Wilcoxon dan uji T berpasangan (p<0,05) menunjukkan tidak ada perubahan angulasi molar 3 yang bermakna pada kedua sisi (p>0,05) dan cenderung mengalami peningkatan angulasi dengan meskipun secara statistik perbandingan perubahan keduanya tidak berbeda bermakna (p>0,05). Peningkatan angulasi paling banyak terjadi pada kelompok usia dewasa (17-21 tahun).
Kesimpulan: ekstraksi premolar dalam perawatan ortodonti tidak memengaruhi angulasi gigi molar 3 impaksi secara bermakna.

Premolar extraction in orthodontic treatment helps uprighting process of impacted third molars so that they could erupt well.
Aim: to measure mesioangular impacted lower third molars angulation change during orthodontic treatment.
Methods: this study used 25 panoramic radiograph aged 10-21 years old before and after orthodontic treatment.
Result: Wilcoxon test and paired Ttest (p<0,05) showed there were no significant change in lower third molars angulation on both sides (p>0,05) and tended to experience the increase in angulation though statistically comparison between them were not significant (p>0,05). These increase happen the most in the adult group (17-21 years old).
Conclusion: premolars extraction in orthodontic treatment does not affect impacted third molars angulation significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gema Muhammad Ramadhan
"Latar Belakang: Angulasi gigi molar 3 rahang bawah impaksi berpengaruh terhadap frekuensi timbulnya berbagai keadaan patologis di rongga mulut. Di sisi lain, jarak antara distal gigi molar 2 rahang bawah dan ascending ramus memiliki pengaruh terhadap keberhasilan erupsi gigi molar 3 rahang bawah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin dan suku berpotensi untuk mempengaruhi kedua hal tersebut. Tujuan: Meneliti hubungan antara angulasi gigi molar 3 rahang bawah impaksi dan jarak dari distal gigi molar 2 rahang bawah ke ascending ramus dengan jenis kelamin dan suku. Metode: Radiograf panoramik diperoleh dari rekam medik pasien RSKGM FKG UI periode Januari 2018 – Desember 2018. Hasil perhitungan dihubungkan ke deskripsi jenis kelamin dan suku pasien yang tertera pada rekam medik. Hasil Penelitian: Hubungan antara jenis kelamin terhadap jarak dari distal gigi molar 2 ke ascending ramus menujukkan nilai p = 0.016 (p < 0.05). Hubungan antara jenis kelamin terhadap angulasi gigi molar 3 rahang bawah menunjukkan nilai p = 0.28 (p >0.05). Hubungan antara suku terhadap jarak antara gigi molar 2 ke ascending ramus dan angulasi gigi molar 3 rahang bawah menunjukkan nilai p >0.05. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin pasien dan jarak dari distal gigi molar 2 rahang bawah ke ascending ramus. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan angulasi gigi molar 3 rahang bawah impaksi. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suku dengan angulasi gigi molar 3 rahang bawah impaksi dan jarak dari distal gigi molar 2 ke ascending ramus.

Background: Impacted mandibular third molar angulation is related to several pathological oral conditions. The width of space between mandibular second molar and ascending ramus influences the likelyhood of there being an impacted mandibular third molar. Several studies suggests that both gender and ethnicity may play a role on determining the former and latter. Objective: Study the influence of patient gender and ethnicity towards impacted mandibular third molar angulation and width of space between mandibular second molar and ascending ramus. Method: Patient medical records containing panoramic radiographs are collected. Measurements of angulation and space width are conducted using a ruler and ruler arc. Measurement results will be correlated to patient gender and ethnicity written on medical record. Result: Relationship between patient gender and width of space between mandibular second molar and ascending ramus resulted in a p value of 0.016 (p < 0.05). Relationship between gender and mandibular third molar angulation resulted in a p value of 0.28 (p > 0.05). The impact of ethnicity towards both mandibular third molar angulation and width of space between mandibular second molar and ascending ramus resulted in a p value higher than 0.05. Conclusion: Gender has a significant influence on the width of space between mandibular second molar and ascending ramus. Gender and ethnicity has an insignificant influence on mandibular third molar angulation. Ethnicity has an insignificant influence on the width of space between mandibular second molar and ascending ramus."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valerie Kartini
"Latar Belakang: Maloklusi adalah ketidakteraturan kesejajaran gigi dan/atau hubungan lengkung gigi dengan gigi yang tidak normal yang diakibatkan oleh berbagai faktor dan dapat menyebabkan ketidakpuasan estetika sampai masalah pada segi fungsional. Pasien dengan maloklusi memerlukan perawatan ortodonti salah satunya untuk memperbaiki maloklusi. Inklinasi dan angulasi gigi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan ortodonti yang stabil dan optimal. Tujuan: Mengetahui gambaran sudut inklinasi dan angulasi gigi anterior pada pasien maloklusi skeletal kelas I pasca perawatan ortodonti cekat di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 96 rekam medik pasien maloklusi kelas I yang telah selesai mendapatkan perawatan ortodonti cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan rerata sudut U1-SN sebesar 105,60° ± 5,80°, rerata sudut U1-PP sebesar 114,55° ± 6,21°, rerata sudut L1-MP sebesar 93,63° ± 7,94°, dan rerata sudut IMPA adalah sebesar 96,40° ± 7,96°. Rerata angulasi gigi 11 sebesar 89,03° ± 3,26°, rerata angulasi gigi 21 sebesar 90,35° ± 3,07°, rerata angulasi gigi 31 sebesar 89,28° ± 4,33°, dan rerata angulasi gigi 41 sebesar 90,61° ± 5,04°. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Gambaran Inklinasi dan Angulasi Gigi Anterior pada Pasien Maloklusi Kelas I Pasca Perawatan Ortodonti Cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, rerata sudut inklinasi gigi anterior pasien termasuk dalam kisaran nilai normal, kecuali pada sudut IMPA. Rerata sudut angulasi gigi anterior pasien relatif tegak dan paralel.

Background: Malocclusion is the irregularity of teeth and is considered as oral health problem resulting from various etiological factors causing esthetic dissatisfaction to functional impartment. Patients with malocclusion require orthodontic treatment to correct the malocclusion. Inclination and angulation of teeth are one of the factors that influence the success of stable and optimal orthodontic treatment. Objective: This study aims to describe the inclination and angulation of anterior teeth on class I malocclusion patients after fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI. Methods: Cross-sectional descriptive study is done using the secondary data found in the patient’s medical record. Results: From 96 medical records of class I malocclusion patients who have completed fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the mean U1-SN angle is 105.60° ± 5.80°, the mean U1-PP angle is 114.55°. ± 6.21°, the mean angle of L1-MP is 93.63° ± 7.94°, and the mean angle of IMPA is 96.40° ± 7.96°. The mean angulation of tooth 11 is 89.03° ± 3.26°, mean angulation of tooth 21 is 90.35° ± 3.07°, mean angulation of tooth 31 is 89.28° ± 4.33°, and mean angulation of tooth 41 is of 90.61° ± 5.04°. Conclusion: Based on research on the Inclination and Angulation of Anterior Teeth on Class I Malocclusion Patients after Fixed Orthodontic Treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the inclination of anterior teeth is within the normal range, except at the IMPA angle. The angulation of anterior teeth is relatively upright and parallel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emanuel Feroz
"Latar Belakang: Impaksi pada gigi M3 RB adalah impaksi gigi yang paling sering ditemui. Klasifikasi angulasi impaksi gigi M3 RB umumnya bergantung pada pemeriksaan visual (subjektif) terhadap radiograf panoramik menggunakan klasifikasi Winter. Metode subjektif rentan akan variabilitas dan bias pengamat, sehingga perlu adanya metode objektif untuk mengukur angulasi impaksi gigi M3 RB menggunakan alat ukur digital yang lebih akurat. Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisa perbedaan hasil klasifikasi impaksi M3 RB pada pasien RSKGM FKG UI antara metode subjektif dan objektif. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi retrospektif analitik, yang menggunakan data rekam medis dan radiograf panoramik pasien RSKGM FKG UI. Data subjektif dikumpulkan dari catatan dokter gigi pada rekam medis, sedangkan pengukuran objektif dilakukan oleh 2 peneliti menggunakan alat ukur digital. Data dianalisis menggunakan tabel tabulasi silang dan analisis Mann-Whitney. Hasil: Terdapat 101 kasus impaksi gigi M3 RB dari 89 pasien yang berhasil dikumpulkan, impaksi mesioangular adalah jenis yang paling umum ditemukan baik dalam analisis subjektif (53,47%) maupun objektif (76,24%). Terdapat perbedaan signifikan antara metode subjektif dan objektif dalam mengidentifikasi impaksi horizontal, vertikal, dan distoangular. Pada analisis subjektif, jenis impaksi horizontal banyak dilaporkan (22,77% subjektif dan 2,97% objektif), sedangkan impaksi distoangular kurang dilaporkan (2,97% subjektif dan 19,80% objektif). Kesimpulan: Ditemukan perbedaan signifikan (p = 0,000–0,012) pada angulasi impaksi gigi M3 RB antara metode subjektif dan objektif, menunjukkan pentingnya penggunaan metode objektif untuk meningkatkan akurasi diagnosis.

Background: Mandibular third molars are regarded as the teeth most affected by impaction. Their assessment typically relies on subjective visual inspection of panoramic radiographs using classification systems such as Winter’s classification. However, these methods are prone to variability and observer bias, emphasizing the need of objective methods which offer precise, reproducible measurements using digital tools. This study addresses the gap in data by comparing subjective and objective methods in classifying mandibular third molar impactions within RSKGM FKG UI population. Methods: An analytic retrospective study was conducted using secondary data from patient medical records and panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Subjective assessments were performed by practitioners, and objective measurements performed by 2 practitioners utilizing digital measurement tools. Data were analyzed using crosstabulation table and Mann-Whitney analysis. Results: The study included 101 cases from 89 patients. Mesioangular impactions were the most common type in both subjective (53.47%) and objective analyses (76.24%). Significant disparities were found between subjective and objective methods in identifying horizontal, vertical, and distoangular impactions. Horizontal impactions were overestimated (22.77% subjective dan 2.97% objective), while distoangular impactions were underreported (2.97% subjective dan 19.80% objective). Conclusion: Significant disparities were found between subjective and objective methods in most pairwise comparisons (p = 0.000 – 0.012), highlighting the importance of adopting objective digital measurement tools for precise diagnosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Maulida
"Tujuan: Menganalisis perbedaan Indeks Gingiva antara penggunaan sikat gigi ortodonti dan sikat gigi non-ortodonti pada pasien yang dirawat dengan piranti ortodonti cekat.
Metode: Penelitian eksperimental klinis, blinded-examiner dengan 32 (tiga puluh dua) subjek yang dibagi secara acak menjadi dua kelompok sikat gigi. Dilakukan pemeriksaan Indeks Gingiva Löe dan Silness pada gigi 16, 21, 25, 36, 41, dan 45 sebelum perlakuan dan tiga minggu setelah perlakuan.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan Indeks Gingiva yang bermakna antara penggunaan sikat gigi ortodonti dan sikat gigi non-ortodonti pada pasien perawatan ortodonti cekat (uji Mann-Whitney; p>0,05).
Kesimpulan: Penggunaan sikat gigi ortodonti maupun sikat gigi non-ortodonti, keduanya dapat menurunkan Indeks Gingiva pada pasien perawatan ortodonti cekat.

Objective: To analyze the differences of Gingival Index between usage of orthodontic toothbrushes and non-orthodontic toothbrushes in fixed orthodontic patients.
Method: The study is clinical experimental with blinded examiner. Thirty-two subjects were randomly divided into two groups of toothbrushes. Examinations were done using Gingival Index Löe and Silness on teeth 16, 21, 25, 36, 41, 45 before experiment and three weeks after experiment.
Result: There was no significant difference in Gingival Index between usage of orthodontic toothbrushes and non-orthodontic toothbrushes in fixed orthodontic patients (Mann-Whitney test; p>0,05).
Conclusion: Usage of orthodontic toothbrush and non-orthodontic toothbrush both can reduce Gingival Index in fixed orthodontic patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anjani Primawerdhani
"Latar Belakang: Kebersihan mulut yang baik dibutuhkan oleh pasien yang dirawat dengan alat ortodonti cekat, karena adanya alat-alat ortodonti seperti brackets, arch wire, bands, ligatures dan auxaillaries dapat memudahkan plak dan debris terkumpul di sekitarnya. Salah satu cara kontrol plak gigi yang paling umum ialah dengan menyikat gigi.
Tujuan: Menganalisis perbedaan indeks plak antara penggunaan sikat gigi ortodonti dan sikat gigi konvensional pada pasien yang dirawat dengan alat ortodonti cekat.
Metode: Pada penelitian eksperimental klinis ini, 32 (tiga puluh dua) subjek yang dibagi secara acak ke dalam dua kelompok yaitu kelompok sikat gigi ortodonti dan kelompok sikat gigi konvensional. Subjek diberikan pasta gigi yang sama dan diinstruksikan untuk menyikat gigi dua kali sehari dengan metode Bass selama dua menit. Skor Indeks Plak diukur sebelum dan sesudah penggunaan sikat gigi selama tiga minggu berturut-turut.
Hasil: Hasil uji Mann-Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara penggunaan sikat gigi ortodonti dan sikat gigi konvensional pada pasien perawatan ortodonti cekat (p>0,05).
Kesimpulan: Penggunaan sikat gigi ortodonti maupun sikat gigi konvensional sama-sama efektif menurunkan indeks plak pada pasien yang dirawat dengan alat ortodonti cekat.

Background: Patients with fixed orthodontic appliances need to maintain good oral hygiene because the presence of orthodontic appliances such as brackets, arch wire, bands, ligatures and auxaillaries can facilitate plaque and debris accumulation around those sites. The most common way to control dental plaque is by toothbrushing.
Aim: To analyze plaque index differences between the use of orthodontic toothbrush and conventional toothbrush in patients with fixed orthodontic treatment.
Method: In this clinical experimental study, thirty two subjects were randomly divided into two groups which are orthodontic toothbrush group and conventional toothbrush group. Subjects were given the same toothpaste and instructed to brush their teeth twice a day with Bass method for two minutes. Plaque index scores were measured before and after three consecutive weeks of toothbrush usage.
Result: The results of Mann-Whitney test concludes that there is no statistically significant difference between the use of orthodontic toothbrush and conventional toothbrush in patients with fixed orthodontic appliances (p>0,05).
Conclusion: The use of orthodontic toothbrush and conventional toothbrush equally effective to decrease plaque index in patients with fixed orthodontic appliances.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Berwin
"Latar Belakang: Gigi impaksi merupakan kondisi ketika gigi mengalami kegagalan untuk erupsi sepenuhnya ke lengkung gigi dalam waktu yang diharapkan. Berdasarkan frekuensi kejadiannya, gigi molar tiga rahang bawah (M3 RB) paling sering mengalami impaksi dengan prevalensi mencapai 60.6% di Indonesia. Salah satu faktor lokal utama terjadinya gigi M3 RB impaksi adalah kurangnya ruang pada lengkung rahang bawah yang sering dikaitkan dengan proses pertumbuhan tulang mandibula. Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran morfologi tulang mandibula yang mencerminkan kuantitas dan arah pertumbuhan tulang seperti tinggi simfisis mandibula, panjang badan mandibula, dan sudut gonial berpotensi untuk mempengaruhi kejadian gigi M3 RB impaksi.
Tujuan: Mengevaluasi hubungan kejadian gigi M3 RB impaksi dengan morfologi tulang mandibula.
Metode: Sebanyak 110 sampel sisi rahang bawah diperoleh dari 67 data radiografi panoramik digital pasien RSKGM FKG UI (50 perempuan dan 17 laki-laki; usia: 21.22–30.91 tahun). Sampel yang tersedia kemudian dibagi menjadi kelompok kasus (sisi rahang dengan gigi M3 RB yang mengalami impaksi baik fully unerupted atau partially erupted) dan kelompok kontrol (sisi rahang dengan gigi M3 RB yang erupsi sempurna) untuk dilakukan perbandingan. Pada studi ini, uji-t independen dan uji Anova 1 arah digunakan untuk menganalisis hubungan status impaksi gigi M3 RB dan klasifikasinya dengan morfologi tulang mandibula pada data berdistribusi normal. Di sisi lain, uji Mann-Whitney U dan Uji Kruskal Wallis digunakan untuk menganalisis hubungan status impaksi gigi M3 RB dan klasifikasinya dengan morfologi tulang mandibula pada data berdistribusi tidak normal.
Hasil: Tinggi simfisis mandibula dan sudut gonial secara statistik (p < 0.05) lebih rendah pada kelompok kasus. Sementara itu, panjang badan mandibula antara kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak berbeda secara statistik (p > 0.05). Pada hasil tinjauan pasien laki-laki saja, tidak ditemukan adanya perbedaan tinggi simfisis, panjang badan mandibula, dan sudut gonial antara kelompok kasus dan kelompok kontrol secara statistik (p > 0.05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan kejadian gigi M3 RB impaksi dengan ukuran tinggi simfisis dan sudut gonial. Semakin kecil ukuran tinggi simfisis dan sudut gonial, semakin besar kemungkinan gigi M3 RB mengalami impaksi. Di sisi lain, tidak ditemukan adanya hubungan kejadian gigi M3 RB impaksi dengan ukuran panjang badan mandibula.

Background: An impacted tooth is a condition when a tooth fails to fully erupt into the dental arch within the expected time. Based on the frequency of occurrence, the mandibular third molar (M3M) is the most frequently impacted with a prevalence of 60.6% in Indonesia. One of the main local factors for impacted M3M is the lack of space in the lower arch which is often associated with the growth process of the mandibular bone. Several studies have shown that the size of the mandibular bone morphology that reflects the quantity and direction of bone growth such as symphisis mandibular height, mandibular body length, and gonial angle has the potential to influence the occurance of impacted M3M.
Objective: To evaluate the relationship between the occurance of impacted M3M and mandibular bone morphology.
Methods: A total of 110 samples of the mandibular side were obtained from 67 digital panoramic radiographic data of RSKGM FKG UI patients (50 women and 17 men; age: 21.22–30.91 years). The data were then divided into the case group (jaw side with M3M that were fully unerupted or partially erupted) and the control group (jaw side with M3M that fully erupted) for comparison. In this study, an independent t-test and 1-way ANOVA test was used to analyze the relationship between the impaction status of M3M and their classification with the morphology of the mandible in normally distributed data. On the other hand, the Mann-Whitney U test and the Kruskal Wallis test were used to analyze the relationship between the impaction status of the M3M tooth and its classification with the morphology of the mandible bone in abnormally distributed data.
Results: Symphisis mandibular height and gonial angle were statistically (p < 0.05) lower in the case group. Meanwhile, the mandibular body length between the case group and the control group was not statistically different (p > 0.05). In the results of the review of male patients only, there was no statistical difference in symphisis height, mandibular body length, and gonial angle between the case group and control group (p > 0.05).
Conclusion: There is a relationship between the occurance of impacted M3M with the size of the symphisis height and gonial angle. The smaller the size of the symphisis height and gonial angle, the more likely the M3M to experience impaction. On the other hand, there was no relationship between the occurance of impacted M3M and mandibular body length.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Chandra
"Gigi molar tiga merupakan gigi yang paling sering mengalami impaksi. Distribusi dan frekuensi impaksi gigi molar tiga yang mengakibatkan karies pada gigi molar dua dapat diteliti lebih lanjut.
Tujuan : Melihat dan menganalisis distribusi frekuensi karies pada gigi molar dua terkait impaksi gigi molar tiga rahang bawah berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Bahan dan metode : Analisis dilakukan pada 442 kasus impaksi gigi pasien RSKGM FKG UI periode Januari 2014-Desember 2016 dengan melihat data sekunder pasien.
Hasil : Jumlah kasus karies pada gigi molar dua terkait impaksi gigi molar tiga rahang bawah pada jenis kelamin perempuan lebih besar dibanding jenis kelamin laki-laki dengan perbandingan persentase 54.9 : 45.1 atau 1,2 : 1. Sedangkan untuk kelompok usia yang mengalami kasus karies terkait impaksi gigi molar tiga rahang bawah berturut-turut adalah sebagai berikut : kelompok usia 16-25 tahun 42.4, 26-35 tahun 42.4, 36-45 tahun 12.5, 46-55 tahun 2.2, 55-65 tahun 0 dan 66-75 0.5.
Kesimpulan : Kelompok usia 21-25 tahun berjenis kelamin perempuan lebih rentan mengalami karies pada gigi molar dua terkait impaksi gigi molar tiga.

Impacted third molars often occur. Frequency and distribution of impacted third molars accociated with caries on second molars needs to be investigated.
Aim: To know and analyze the frequency distribution of caries on second molars associated with impacted mandibular third molars based on age group and gender.
Method: 442 Medical records of patients with impacted teeth in RSKGM FKG UI period of Januari 2014 December 2016 were analyzed.
Results: Female were more involved than male with percentage of 54.9 45,1 or 1,2 1. Based on age group, caries on second molars associated with impacted mandibular third molars are age group 16 25 years old 42.4, 26 35 years old 42.4, 36 45 years old 12.5, 46 55 years old 2.2, 55 65 years old 0 and 66 75 0.5.
Conclusion: Female within the age group of 21 25 years old have the highest risk in caries on second molars associated with thirs molars impaction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Amelinda Prayogo
"Tindakan odontektomi gigi molar 3 bawah merupakan salah satu tindakan yang cukup sering dilakukan. Namun, hingga saat ini pengaruh faktor pasien dan faktor dental terhadap tingkat kesulitan bedah masih menjadi kontroversi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, dan klasifikasi impaksi dengan lama tindakan odontektomi gigi molar 3 bawah. Lama tindakan bedah masih menjadi standar emas untuk mengukur tingkat kesulitan bedah. Sebanyak 49 pasien yang memerlukan 49 odontektomi gigi molar 3 bawah dilibatkan dalam studi ini. Uji korelasi dilakukan pada faktor pasien dan dental dengan lama tindakan odontektomi. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara klasifikasi Pell dan Gregory bedasarkan kedalaman impaksi (P=0,037) dan klasifikasi Winter (P=0,039) dengan lama tindakan odontektomi. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara klasifikasi Pell dan Gregory bedasarkan kedalaman impaksi dan klasifikasi Winter dengan lama tindakan odontektomi.

Mandibular third molar extraction is a common practice in dentistry. However, the relationship between patient and dental factors on surgical difficulty is still a controversy. The aim of the study is to determine the effect of age, gender, and impacted teeth classification on operation time during mandibular third molar extraction. Operation time has been considered as the gold standard to quantify surgical difficulty A total of 47 patients who required 49 mandibular third molar extraction were involved in the study. The correlation between patient and dental factors and operation time were examined. There were statistically significant correlation between Pell and Gregory's depth of impacted teeth classification (P=0,037) and Winter's classification (P=0,039). This study showed that there were statistically significant correlation between Pell and Gregory's depth of impacted teeth classification and Winter's classification with operation time."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Annisa Sophia
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan alat ortodonti cekat dapat mempersulit pembersihan gigi karena komponen alat ortodonti cekat mampu melindungi plak gigi dari pembersihan mekanis. Akibat dari buruknya oral hygiene, lingkungan rongga mulut dapat berisiko mengalami kondisi patologis pada jaringan periodontal, salah satunya periodontitis kronis. Tujuan penelitian: Mengetahui evaluasi gigi geligi yang mengalami periodontitis kronis pada kasus pemakai alat ortodonti cekat. Metode: Penelitian deskriptif retrospektif pada 76 subjek yang mengalami periodontitis kronis serta memakai alat ortodonti cekat, menggunakan data kartu status rekam medik Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2008-2017. Hasil: Frekuensi periodontitis kronis pada pemakai alat ortodonti cekat lebih sering pada gigi-gigi rahang bawah (51,3%), khususnya regio rahang bawah posterior (28,1%). Kelompok gigi dengan frekuensi periodontitis kronis tertinggi pada pemakai alat ortodonti cekat adalah kelompok gigi insisif (31,3%), khususnya elemen gigi 11 (4,6%). Sisi dengan frekuensi poket periodontal dan kehilangan perlekatan klinis tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi distal (32,6%). Sisi dengan frekuensi resesi gingiva tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi bukal (32,6%). Kesimpulan: Periodontitis kronis pada pemakai alat ortodonti cekat lebih sering pada gigi-gigi rahang bawah, khususnya regio rahang bawah posterior. Kelompok gigi dengan frekuensi periodontitis kronis tertinggi pada pemakai alat ortodonti cekat adalah kelompok gigi insisif, khususnya elemen gigi 11. Sisi dengan frekuensi poket periodontal dan kehilangan perlekatan klinis tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi distal. Sisi dengan frekuensi resesi gingiva tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi bukal.

ABSTRACT
Background: Usage of fixed orthodontic appliances could cause difficulty on oral cleansing because its components could protect dental plaque from mechanical cleansing. The consequence of bad oral hygiene leads to an oral environment that could be at risk for pathological conditions in periodontal tissues, such as chronic periodontitis. Objective: To understand the dental evaluation of chronic periodontitis in cases of fixed orthodontic patients. Method: This retrospective descriptive study was conducted on 76 subjects that have chronic periodontitis and also using fixed orthodontic appliances, by using medical records of Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI in period of 2008 - 2017. Result: The frequency of chronic periodontitis in users of fixed orthodontic appliances is more frequent in the mandibular teeth (51.3%), especially the posterior mandibular region (28.1%). The group of teeth with the highest frequency of chronic periodontitis in users of fixed orthodontic appliances was the incisors (31.3%), especially the 11 tooth element (4.6%). The side with highest frequency of periodontal pocket and clinical attachment loss in patients with chronic periodontitis who use fixed orthodontic appliances is the distal side (32.6%). The side with highest frequency of gingival recession in patients with chronic periodontitis who use fixed orthodontic appliances is the buccal side (32.6%). Conclusion: Chronic periodontitis in users of fixed orthodontic appliances is more frequent in mandibular teeth, especially the posterior mandibular region. The group of teeth with highest frequency of chronic periodontitis in users of fixed orthodontics is the incisor tooth group, especially the 11 tooth element. The side with highest frequency of periodontal pockets and clinical attachment loss in patients with chronic periodontitis using fixed orthodontic appliances is the distal side. The side with highest frequency of gingival recession in patients with chronic periodontitis using fixed orthodontic appliances is the buccal side."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>